Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan


🎙 Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan :

في الآية الكريمة ﴿ليلة القدر خير من ألف شهر﴾ لا أفهم كيف تكون ليلة القدر خير من ألف شهر، أرجو التوضيح لهذا المعنى؟

"Dalam ayat yang mulia - ('Malam lailatul qadar (kemuliaan) itu lebih baik daripada seribu bulan') - saya tidak memahami bagaimana malam lailatul qadar itu menjadi lebih baik dari seribu bulan, saya mengharapkan penjelasan makna ayat ini ? ".

Jawaban :

توضيح قوله تعالى : ﴿ليلة القدر خير من ألف شهر﴾ أن الله سبحانه وتعالى بفضله وكرمه جعل هذه الليلة في فضلها وكثرة ثواب العمل فيها خيراً من ألف شهر،

"Penjelasan firman Allah : 'Malam lailatul qadar (kemuliaan) itu lebih baik daripada seribu bulan', yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan karunia dan kedermawanannya menjadikan malam ini dalam hal keutamaan dan banyaknya pahala amal di dalamnya lebih baik dari seribu bulan.

بمعنى أن الإنسان لو عمل عملاً صالحاً ألف شهر، ليس فيه ليلة القدر، كانت ليلة القدر خيراً منه، لما فيها من الثواب العظيم الجليل والخير والبركات .

*Maknanya adalah bahwa seandainya seseorang melakukan suatu amal shalih selama seribu bulan yang tidak ada di dalamnya lailatul qadar, maka beramal di malam lailatul qadar lebih baik darinya, karena di dalamnya terkandung pahala yang besar lagi mulia, kebaikan dan keberkahan".

📓 سلسلة فتاوى نور على الدرب : الشريط رقم [ 154 ] .

Di terjemahkan oleh
Abu Sufyan Al Makassary.

Dari Aisyah radliyallahu 'anha berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdiri sholat dengan memakai baju yang mempunyai hiasan.
Setelah selesai sholat, beliau bersabda:
"Bawa baju ini kepada Abu Jahm, dan bawakan baju ambijaniyah (baju kasar dan polos), karena hiasannya membuat aku lalai dalam sholatku tadi".
(HR. Bukhari no. 373 dan Muslim no. 556)

Al 'Izz bin Abdissalam berkata,
"Makruh sholat di atas sejadah yang berhias dan bergambar..".
(Fatawa al 'izz bin abdis salam hal. 68)

Ash Shon'ani berkata, "Hadits ini dalil yang menunjukkan makruhnya semua yang membuat lalai dalam sholat berupa hiasan dan lainnya, yang menyibukkan hati".
(Subulussalam 1/151)

***
 Sumber : Dari Kitab akhthaa al mushalliin hal. 65-66 karya Syaikh Masyhur Hasan Salman)

Ditulis oleh Ustadz
   Badrusalam, Lc
               
 BBG? Al-Ilmu


Pertanyaan: Sahkah menyembelih satu kambing untuk anak laki-laki? 
Jawab: Segala puji hanya milik Allah Rab semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga, shahabat dan kawan-kawannya sampai hari kiamat. Amma ba’du; 
Boleh menyembelih satu ekor kambing untuk anak laki-laki ketika seseorang tidak mampu atau tidak mendapati (selain itu) berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (mengakikahi) Hasan dan Husain Radhiallahu ‘anhuma. Sebagaimana riwayat ini dinukil oleh Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ((mengakikahi Hasan dan Husain (masing-masing) satu ekor domba)) HR. Abu Daud dan Nasa’i. Meskipun pada lafal yang diriwayatkan Nasa’i ((masing-masing dua ekor)) dan (yang terakhir ini) yang benar. 


Maka yang utama melebihkan anak laki daripada perempuan dengan 2 ekor kambing. Dan hal ini tidak diperselisihkan sebagaimana yang terdapat pada hadits-hadits yang lalu. Dan ini merupakan kaidah syariat, bahwa Allah melebihkan laki-laki dari perempuan dan menjadikan wanita setengah bagiannya laki-laki dalam hal waris, diyat, persaksian dan pembebasan budak. Dan perkara akikah tidak dikecualikan. 


Akan tetapi apabila tidak terpenuhi olehmu “menebus gadai” kecuali dengan satu ekor untuk anak laki, maka sah insyaAllah. 
Wallahua’lam. 
Wa’aakhiru da’waana ‘anil hamdulillahi Rabbil ‘Aalamin. 
Washallallahu ‘Ala Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wat-Taabi’iina lahum bi Ihsan ila Yaumid-diin, wasallama Tasliima. 
http://www.ferkous.com/site/rep/Bo6.php 
Adalah hal yang merata di sebagian besar mesjid di Indonesia berdoa bersama setelah Shalat lima waktu, bagaimana hukum hal ini , berikut adalah jawaban Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan.

Tanya: Saya menyaksikan sebagian orang-orang yang shalat berjamaah seusai mereka shalat, mereka berdoa dengan bersama-sama, setiap kali mereka selesai shalat, apa hal ini dibolehkan? Berilah kami fatwa semoga Anda mendapat balasan di sisi-Nya.

Jawab: Berdoa setelah shalat, tidak mengapa. Akan tetapi setiap orang berdoa sendiri-sendiri. Berdoa untuk dirinya dan saudaranya sesama ummat Islam. Berdoa untuk kebaikan agama dan dunianya, sendiri-sendiri bukan bersama-sama.
Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid'ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid'ah.
Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah. 


Sumber :
Majmu' Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680)
Dalil yang lebih jelas akan hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rosululloh SholAllahu ‘alaihi wa salam; Ada seorang yang bernadzar akan menyembelih seekor unta di Buwanah (nama suatu tempat di sebelah selatan kota Mekkah sebelum Yalamlam, atau anak bukit sebelah Yanbu’) lalu orang itu bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi pun balik bertanya, “Apakah di tempat itu pernah ada berhala jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah di tempat itu pernah dilaksanakan salah satu perayaan hari raya mereka?” Mereka menjawab, “Tidak.” Maka Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penuhilah nadzarmu itu. Akan tetapi tidak boleh memenuhi nadzar yang menyalahi hukum Allah dan nadzar dalam perkara yang bukan milik seseorang.” (HR. Abu Dawud, dan isnadnya menurut persyaratan Bukhori dan Muslim. Dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohihul Jami)

Tanya:
Apa hukum Televisi?
Jawab:
Tidak diragukan, bahwa keberadaan televisi dewasa ini hukumnya haram.  Meskipun sebenarnya televisi, demikian juga radio, alat perekam, atau alat semacamnya merupakan bagian-bagian dari nikmat Allah Suhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada hamba-Nya.  Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrohim ayat 34:
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah , tidaklah kamu dapat menghinggakannya."
Sebagaimana kita ketahui, pendengaran, penglihatan ataupun lidah adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai nikmat untuk hamba-hamba-Nya.  Akan tetapi, kebanyakan nikmat ini menjadi adzab atas orang yang memilikinya.  

Sebab mereka tidak menggunakannya dijalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Sementara itu, televisi, radio, alat perekam dan sejenisnya dikatakan sebagai nikmat, kapan hal itu terjadi? Jawabnya, pada saat mempunyai nilai manfaat untuk umat.

Televisi dewasa ini, 99% banyak menayangkan nilai-nilai atau faham-faham kefasikan, perbuatan dosa, nyayian haram, ataupun perbutaan yang mengumbar hawa nafsu, dan lain-lain sejenisnya.  Hanya 1 % tayangan televisi yang dapat diambil manfaatnya.  Jadi kesimpulan hukum televisi itu dilihat dari penayangan yang dominan.

Jika telah terdapat daulah islamiyah, dan dapat menerapkan kurikulum ilmiah yang berfaedah bagi umat, maka berkaitan dengan televisi untuk saat itu; saya tidak hanya mengatakan boleh (jaiz) tetapi wajib hukumnya.
(al Ashalah 10/15 Syawal 1414 H hal. 40)

Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Beramal dalam lingkup Islam yang dilakukan oleh seorang muslim bisa masuk kategori ibadah. Dan amal itu merupakan realisasi dari ayat Allah (yang artinya):
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku." (adz Dzariyat : 56).
Makna beribadah di atas bisa berarti luas, baik itu ibadah dalam artian mahdhah (ritual) maupun dalam artian ibadah yang umum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah bahwa ibadah itu ialah segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya baik itu berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan dengan hati maupun dengan anggota badan (Ismun jaami'un li kulli maa yuhibbuhullah wa yardhahu minal aqwali wal af'ali adh dhahirah wal bathinah). Apapun bentuk ibadahnya tidak boleh keluar dari syarat pokok, yaitu sesuai dengan syari'at dan ikhlash karena Allah. Ini merupakan realisasi dari pernyataan dua kalimat syahadat. Asyhadu alla illaha illallah yang mengandung makna bahwasanya segala bentuk sesembahan itu hanya boleh ditujukan kepada Allah dan hanya karena Allah, dan Asyhadu anna Muhammadar rasulullah yang mengandung makna bahwa segala aktivitas ibadah itu harus dibangun diatas syari'at Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, untuk itu sangat penting bagi setiap muslim untuk selalu menimbang atau mengkoreksi setiap amalannya. Dengan demikian maka diharapkan amalnya itu termasuk amal yang shalih, yang masuk dalam kategori amal yang paling baik. Sebagaimana Allah telah mengatakan dalam Surah al Mulk ayat 2 (yang artinya):
"Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan yang dengan itu Dia menguji siapakah diantara kalian itu yang paling baik amalnya."
Dalam ayat ini Allah menggunakan ayat Ahsanu Amala (yang paling baik amalnya), bukan Aktsaru Amala (paling banyak amalnya), jadi nilai pertama dan utama untuk melihat amalan manusia itu adalah baiknya dan kebaikan itu ditimbang berdasarkan benar tidaknya dan keikhlashannya, sebagaimana perkataan Fudhail bin Iyadh maksud dari ahsanu amala adalah aswabu (yang paling benar) wa akhlashu (yang paling ikhlash). Jadi ukuran pokoknya itu bukan pada banyaknya amaliah tetapi kebenaran amal itu sendiri, sesuatu yang banyak belum tentu baik. Untuk itu hendaklah seseorang itu memperbanyak amalan yang ahsan dalam artian amalan yang didasarkan pada petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan dilakukan dengan penuh keikhalashan karena Allah semata, dengan demikian diharapkan kita dihindarkan dari kerugian yang tidak kita sangka-sangka, sebagaimana perkataan Allah yang termaktub dalam surah Al Kahfi 103 - 104 (yang artinya):
"Katakanlah, maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang telah sia-sia amalnya didalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka itu menyangka bahwa mereka itu telah berbuat sebaik-baiknya."
Nah, untuk menghindari kejadian yang seperti itu maka adalah sangat baik kalau kita selalu menimbang amaliah kita selama masih hidup di dunia ini karena hanya di dunialah tempat untuk beramal sedangkan akhirat itu tempat pembalasan amal. Maka adalah sangat tepat kalau kita selalu menimbang amal kita di dunia ini sebelum ditimbang dan dinilai di akhirat nanti, sebagaimana nasehat Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu: Haasibuu anfusakum qobla an tuhaasabuu (Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab).

Ada dua hadits yang secara implisit memerintahkan kepada setiap muslim untuk selalu menimbang amalnya baik dari sisi lahir maupun batin. Sebagaimana dinukil oleh Al Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Arba'in An Nawawiyah. Yang pertama, hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim.
"Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, 'Bahwasanya amal itu dengan niat, dan segala sesuatu hal itu tergantung pada apa yang diniatkannya ...'."
Imam Asy Syaukani mengoentari, bahwa hadits ini adalah salah satu dari sekian banyak kaidah dalam Islam, bahkan dikatakan merupakan sepertiga dari ilmu. Para ulama sangat mengagungkan hadits ini sehingga menjadikan pembuka dalam tulisan-tulisannya, ini sebagai suatu peringatan bagi para pencari ilmu agar selalu memperbaiki niatnya.

Berkata 'Abdurrahman bin Mahdi, "Barangsiapa yang akan menulis kitab, hendaklah memulai dengan hadits ini."Imam Bukhari adalah salah satu yang mengamalkan perkataan ini, dalam kitab Shahihnya, hadits ini menempati urutan pertama. Demikian juga dengan Al Maqdisi dalam 'Umdatul Ahkam, Imam As Suyuti dalam Jami'us Shaghir, Imam Nawawi dalam Al majmu'. Tidak ada hadits yang lebih komprehensif (menyeluruh), lebih mencukupi, lebih bermanfaat dan lebih banyak faidahnya dibanding hadits ini. Hadits ini merupakan hadits yang memberi peringatan untuk menimbang amaliah dari sisi batinnya (niat). Niat disini baik niat itu untuk membedakan dengan ibadah yang lain maupun niat dalam artian ibadah itu hanya untuk Allah semata.

Hadits yang kedua, merupakan hadits ke-5 dalam Al-Arba'in An Nawawiyah. Hadits dari Ummul Mukminin 'Aisyah, beliau berkata, berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam agama kami yang tidak ada petunjuk maka tertolak, dalam riwayat lain barangsiapa berbuat suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami maka tertolak."
Al Hafidz Ibnu Hajar berkomentar, "Hadits ini termasuk pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama." Berkata Imam At Turuqiy, "Hadits ini pantas dinamakan separo dari aturan-aturan syari'at karena orang dapat menggunakannya untuk menetapkan hukum atau menghapuskannya. Hadits ini merupakan pembuka yang agung di dalam menetapkan hukum syari'at dan menghapuskannya."
Hadits ini menegaskan hendaklah setiap muslim itu memperhatikan amalnya, apakah amalnya itu sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Karena amal yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah maka tertolak. Makna fahuwa raddun (dia ditolak) adalah marduudun (tidak diterima). Karena dalam ajaran Islam, asal dari ibadah itu adalah haram maka setiap ibadah yang Allah dan Rasul-Nya tidak mensyari'atkannya setiap muslim diharamkan bertaqarub dengannya.

Contoh , sholat adalah ibadah mahdhah, tetapi kalau jenis shalat itu tidak disyari'atkan oleh Allah dan tidak dituntunkan oleh Rasulullah, maka setiap muslim tidak boleh melakukannya, misalnya sholat sunnah/nafilah setelah shubuh atau setelah ashar. Perasaan orang awam bisa mengatakan hal itu merupakan kebaikan tapi syari'at menegaskan itu adalah kejelekan yang dalam istilah syar'i disebut dengan bid'ah. Bid'ah dalam syari'at Islam tidak ada yang baik sebagaimana penegasan Rasulullah bahwa kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah adalah sesat).

Dari dua hadits di atas menjadi motivator untuk setiap muslim hendaknya selalu menimbang amalnya baik dari sisi batin maupun lahirnya, sebagaimana komentar Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah, "Hadits ini merupakan pokok yang paling agung diantara pokok-pokok Islam sebagaimana hadits al a'malu bin niyat di atas merupakan timbangan bagi amal-amal dari sisi batinnya dan 'man ahdatsa' sebagai timbangan amal-amal dari sisi dhahiriyahnya, tata caranya (kaifiyahnya).

Oleh : AMAM Al Jawi Al Atsary

Doktor Anas Ahmad Karzun

Dan dari apa-apa yang bisa diambil terhadap sebagian penuntut ilmu (sebagai celaan untuk mereka) dalam pembahasan kita (yaitu jujur dan amanah) adalah bermudah-mudahannya mereka dalam berfatwa dengan semata-mata bermodalkan penelaahan / pengetahuan mereka dalam sebagian hukum-hukum syar'i. Sehingga salah seorang dari mereka menyangka bahwa dirinya sudah menjadi ahli fatwa dan mencoba meluruskan pendapat ahli fiqh atau membantahnya.
Adapun keadaan salafush sholih, maka mereka berada pada puncak ketelitian dan berhati-hati dalam memberi fatwa kepada manusia karena takut akan terjatuh ke dalam kesalahan atau takut berbicara tentang Allah tanpa ilmu atau takut menisbatkan kepada syari'at apa-apa yang bukan darinya. Dan keadaan mereka (salafush sholih) saling mempersilahkan orang lain untuk berfatwa, meski diri mereka mempunyai kedudukan yang mulia dan ilmu yang melimpah.
Dari Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakr Ash Shiddiq rodhiyallahu 'anhum, bahwasanya datang seorang laki-laki dan menanyakan sesuatu kepadanya. Maka Al Qosim menjawab, "Aku tidak paham." Laki-laki itu berkata, "Aku sengaja bertanya kepada engkau karena aku tidak tahu orang selain engkau (yang paham akan permasalahan ini)." Maka Al Qosim berkata, "Janganlah engkau melihat kepada jenggotku yang panjang dan banyaknya manusia yang ada di sekelilingku, demi Allah, aku tidak paham..." Beliau berkata lagi, "Demi Allah, putusnya lisanku ini lebih aku sukai daripada aku berbicara tanpa ilmu."[1]
Dari Sufyan bin 'Uyainah dan Sahnun bin Sa'id, keduanya berkata, "Manusia yang paling cepat berfatwa adalah yang paling sedikit ilmunya."[2]
Dari Al Haitsam bin Jamil, beliau berkata, "Aku menyaksikan Malik bin Anas ditanya 48 masalah, maka beliau menjawab 32 pertanyaan di antaranya dengan: Aku tidak tahu."[3]
Dari Malik, beliau berkata, "Apabila para sahabat kesulitan dalam menghadapi permasalahan, maka salah seorang dari mereka tidak menjawab satu masalah sampai mengambil pendapat temannya, dalam keadaan mereka diberi rizki berupa keteguhan, taufiq, dan kesucian hati. Maka bagaimana dengan diri kita dimana kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa telah menutupi hati-hati kita![4]
Jika Al Imam Malik rahimahullah berkata demikian tentang dirinya; maka bagaimana keadaan kita hari ini dimana sebagian dari kita mengaku bahwa dirinya mempunyai kesempurnaan dalam hal ilmu dan telah mencapai puncak dan batas akhir ilmu!!
Dan sungguh Al Imam Ibnush Sholaah telah menjelaskan bahwasanya berfatwa tanpa ilmu sungguh akan mengantarkan kepada kesesatan dan kedustaan dalam salah satu masalah dari permasalahan halal dan haram. Sehingga dapat menyebabkan pelakunya termasuk dalam firman Allah ta'ala,
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.[5]
Makna ayat ini juga mencakup orang yang menyimpang dalam fatwanya, dimana dia berkata tentang perkara yang haram: Ini halal. Atau berkata tentang yang halal: Ini haram. Atau yang semacam ini.[6]
Sudah seharusnya hal-hal tersebut harus diperhatikan oleh penuntut ilmu agar selamat dari sikap khianat dan kedustaan.

Ta'lim Rabu, 15 Dzulhijjah 1425, di Jl. Parakan Asih no. 15 Bandung
Oleh Al Akh Abu Rasyid
Kitab Aadaabu Thaalibil 'Ilmi halaman 85-87


[1] Adabul Muftii wal Mustaftii karya Al Hafizh ibnush Sholaah halaman 78, dan lihatlah I'laamul Muwaqqi'iin karya Ibnul Qoyyim 2/165.
[2] Ibid.
[3] Ibid halaman 79.
[4] Ibid halaman 80.
[5] Surat An Nahl: 116-117.
[6] Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 85.
Syaikh Al-Bany ditanya:
Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila terdapat sebuah hadits yang bertentangan dengan ayat Al-Qur'an maka hadits tersebut harus kita tolak walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah hadits :Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari keluarganya. Mereka berkata bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah Radliyallahu 'anha dengan sebuah ayat dalam Al-Qur'an surat Fathir ayat 18: Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.Bagaimana kita membantah pendapat mereka ini ?

Jawaban:
Mengatakan ada hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah yang mengutus beliau (bahkan sangat tidak mungkin hal itu terjadi).

Dari segi riwayat/sanad, hadits di atas sudah tidak terbantahkan lagi ke-shahih-annya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Umar bin Khattab dan Mughirah bin Syu'bah, yang terdapat dalam kitab hadits shahih (Bukhari dan Muslim).

Adapun dari segi tafsir, hadits tersebut sudah ditafsirkan oleh para ulama dengan dua tafsiran sebagai berikut :
1.Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika hidupnya dia mengetahui bahwa keluarganya (anak dan istrinya) pasti akan meronta-ronta (nihayah) apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati keluarganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang seperti inilah yang mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya.

Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar tidak berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih tetap meratapi dan menangisinya (dengan berlebihan), maka orang-orang seperti ini tidak terkena ancaman dari hadits tadi.

Dalam hadits tersebut, kata al-mayyit menggunakan hurul alif lam (isim ma'rifat) yang dalam kaiah bahasa Arab kalau ada isim (kata benda) yang di bagian depannya memakai huruf alif lam, maka benda tersebut tidak bersifat umum (bukan arti dari benda yang dimaksud). Oleh karena itu, kata mayit dalam hadits di atas adalah tidak semua mayit, tapi mayit tertentu (khusus). Yaitu mayit orang yang sewaktu hidupnya tidak mau memberi nasihat kepada keluarganya tentang haramnya nihayah.

Demikianlah, ketika kita memahami tafsir hadits di atas, maka kini jelaslah bagi kita bahwa hadits shahih tersebut tidak bertentangan dengan bunyi ayat:Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.
Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima adalah akibat kesalahan/dosa dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan berdakwah kepada keluarga. Inilah penafsiran dari para ulama terkenal, di antaranya Imam An-Nawawi.

2.Adapun tafsiran kedua adalah tafsiran yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di beberapa tulisan beliau bahwa yang dimaksud dengan azab (siksaan) dalam hadits tersebut adalah bukan adzab kubur atau azab akhirat melainkan hanyalah rasa sedih dan duka cita. Yaitu rasa sedih dan duka ketika mayit tersebut mendengar rata tangis dari keluarganya.

Tapi menurut saya (Syaikh Al-Albani), tafsiran seperti itu bertentangan dengan beberapa dalil. Di antaranya adalah hadits shahih riwayat Mughirah bin Syu'bah:Sesungguhnya mayit itu akan disiksa pada hari kiamat disebabkan tangisan dari keluarganya.

Jadi menurut hadits ini, siksa tersebut bukan di alam kubur tapi di akhirat, dan siksaan di akhirat maksudnya adalah siksa neraka, kecuali apabila dia diampuni oleh Allah, karena semua dosa pasti ada kemungkinan diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik.Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An-Nisa' : 48).

Banyak hadits-hadits shahih dan beberapa ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa seorang mayit itu tidak akan mendengar suara orang yang masih hidup kecuali saat tertentu saja. Di antaranya (saat-saat tertentu itu) adalah hadits riwayat Bukhari dari shahabat Anas bin Malik Radliyallahu 'anhu:Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja dikubur, dia mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang yang mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang kepada dia dua malaikat. Kapan seorang mayit itu bisa mendengar suara sandal orang yang masih hidup? Hadits tersebut menegaskan bahwa mayit tersebut hanya bisa mendengar suara sandal ketika baru saja dikubur, yaitu ketika ruhnya baru saja dikembalikan ke badannya dan dia didudukkan oleh dua malaikat. Jadi, tidak setiap hari mayit itu mendengar suara sandal orang-orang yang lalu lalang di atas kuburannya sampai hari kiamat. Sama sekali tidak !

Seandainya penafsiran Ibnu Taimiyyah di atas benar, bahwa seorang mayit itu bisa mendengar tangisan orang yang masih hidup, berarti mayit tersebut bisa merasakan dan mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya, baik ketika dia sedang diusung atau dia dimakamkan, sementara tidak ada satupun dalil yang mendukung pendapat seperti ini.

Hadits selanjutnya adalah:Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas menjelajah di seluruh permukaan bumi untuk menyampaikan kepadaku salam yang diucapkan oleh umatku.
Seandainya mayit itu bisa mendengar, tentu mayit Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lebih dimungkinkan bisa mendengar. Mayit beliau jauh lebih mulia dibandingkan mayit siapapun, termasuk mayit para nabi dan rasul. Seandainya mayit beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam bisa mendengar, tentu beliau mendengar salam dari umatnya yang ditujukan kepada beliau dan tidak perlu ada malaikat-malaikat khusus yang ditugasi oleh Allah untuk menyampaikan salam yang ditujukan kepada beliau.

Dari sini kita bisa mengetahui betapa salah dan sesatnya orang yang ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada orang yang sudah meninggal, siapapun dia. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia di sisi Allah dan beliau tidak mampu mendengar suara orang yang masih hidup, apalagi selain beliau. Hal ini secara tegas diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 194: Sesungguhnya yang kalian seru selain Allah adalah hamba juga seperti kalian.Juga di dalam surat Fathir ayat 14 :Jika kalian berdo'a kepada mereka, maka mereka tidak akan mendengar do'a kalian.

Demikianlah, secara umum mayit yang ada di dalam kubur tidak bisa mendengar apa-apa kecuali saat-saat tertentu saja. Sebagaimana yang sudah diterangkan dalam beberapa ayat dan hadits di atas.

Dikutip dari Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil karim edisi bahasa Indonesia Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur'an
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta' ditanya:
Ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, hingga terkadang pakaiannya terkena air kecing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih ?
Bismillah Assalamu Alaikun 
Membicarakan kelompok sesat bukan hanya sebatas menceritakan sejarah dan memperhatikan dasar-dasar mereka, sebagaimana membahas kejadian-kejadian sejarah dan peristiwa masa lampau. Tapi membicarakan kelompok-kelompok sesat memiliki sisi yang lebih besar dari itu. Yaitu : berhati-hati dari kejahatan atau kejelekan kelompok-kelompok ini dan dari kebid’ahan-kebid’ahan mereka. Kemudian berisi anjuran untuk tetap bergabung dengan kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah. 



Merebaknya aksi kekerasan terorisme akhir-akhir ini membuat saya membuka lagi sebuah kitab lama. Kitab yang ditulis oleh Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan ini pertama kali diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Darul Ilmi pada Jumada Tsani 1418 (1998 M).


Di dalam kitab kecil setebal 84 halaman ini secara ringkas beliau menerangkan empat induk kelompok sesat, yaitu :
Kelompok Qadariyyah
Kelompok Khawarij
Kelompok Syi’ah
Kelompok Jahmiyyah Lalu diterangkan pula Kelompok Mu’tazilah yang sebenarnya merupakan sempalan dari Kelompok Jahmiyyah. Kesesatan yang menimpa mereka berada pada tingkat aqidah. Qadariyyah menyimpang pada masalah taqdir. Khawarij berfaham takfiri. Syi’ah tersesat dalam tauhid rububiyyah. Sedang Jahmiyyah, dan Mu’tazilah, salah dalam memahami tauhid ama’ wa shifat. Jadi harus dipahami di sini bahwa perpecahan terjadi bukan pada tataran fiqih atau saat menentukan awal bulan Ramadhan, misalnya. Tapi pada tingkat aqidah yang merupakan pondasi bagi dien ini. Dari sini mereka kemudian menciptakan syariat mereka sendiri dan membuat-buat bid’ah dengan meninggalkan sunnah. Seringkali ini adalah konsekuensi dari sesatnya pemahaman mereka. Menjadi semakin jelaslah bagi kita pentingnya mempelajari aqidah sesuai dengan pemahaman para salafus shalih. Perlunya mendalami tauhid yang lurus dan terbebas dari kerancuan berpikir mereka.

Sudah menjadi sunatullah bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu. Yaitu manhaj pemahaman yang Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam dan para shahabat berdiri di atasnya.


Apabila dalam suatu majelis (perkumpulan) diperdengarkan kaset murattal (bacaan Al-Qur'an) tetapi orang-orang yang hadir dalam majelis tersebut kebanyakan mengobrol dan tidak menyimak kaset tersebut. Siapakah dalam hal ini yang berdosa ? Yang mengobrol atau yang memutar (memasang) kaset ?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Apabila dalam suatu majelis (perkumpulan) diperdengarkan kaset murattal (bacaan Al-Qur'an) tetapi orang-orang yang hadir dalam majelis tersebut kebanyakan mengobrol dan tidak menyimak kaset tersebut. Siapakah dalam hal ini yang berdosa ? Yang mengobrol atau yang memutar (memasang) kaset ?
Pertanyaan: Apakah hukum melakukan onani?
Berikut penjelasan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam kitab kecil Asilah Muhimmah

Pertanyaan:
Apakah hukum melakukan onani?
Pertanyaan
Apa hukum orang yang mengolok-olok orang-orang yang berpegang teguh dengan perintah Allah dan Rasul-Nya?

Jawaban :
Mengolok-olok orang-orang yang berpegang teguh dengan perintah Allah dan Rasul-Nya disebabkan karena mereka itu berpegang teguh (konsisten) dengan perintah itu, hukumnya haram, dan berbahaya sekali terhadap dirinya. Karena dikhawatirkan kebenciannya terhadap mereka itu disebabkan kebenciannya terhadap kondisi mereka yang berpegang teguh dengan ajaran agama Allah, di saat itu, pengolok-olokannya terhadap mereka menjadi pengolok-olokan terhadap jalan yang mereka tempuh (ajaran yang mereka pegang), maka mereka menyerupai orang yang telah dikatakan Allah tentang mereka : 
Syaikh Utsaimin ditanya:
Apa hukumnya seorang bapak menyuruh anaknya mentalak istrinya karena beberapa alasan ?

Syaikh Utsaimin ditanya:
Apa hukumnya seorang bapak menyuruh anaknya mentalak istrinya karena beberapa alasan ?
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh Rahimahullah ditanya tentang hukumnya pakaian wanita bagian bawah yang terkena najis ?

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh Rahimahullah ditanya tentang hukumnya pakaian wanita bagian bawah [1] yang terkena najis ?

Jawaban:
Sama hukumnya dengan alas kaki yang terkena najis kemudian mengenai sesuatu yang kering dan suci, maka sesuatu yang kering dan suci itu akan mensucikan najis itu, ini adalah pendapat yang kuat.

Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, 2/92

ket:
[1] yakni pakaian muslimah yang sampai ke tanah sehingga ketika berjalan terkadang terkena najis
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengalami terlambat datang bulan pada bulan Ramadhan kemudian setelah beberapa hari dari hari biasanya, ia mengeluarkan darah yang terputus-putus tidak seperti biasanya, lalu ia mandi, shalat dan melakukan puasa, apakah shalat dan puasanya itu sah ? Dan apa yang harus ia lakukan bila shalat dan puasanya tidak sah ?

Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengalami terlambat datang bulan pada bulan Ramadhan kemudian setelah beberapa hari dari hari biasanya, ia mengeluarkan darah yang terputus-putus tidak seperti biasanya, lalu ia mandi, shalat dan melakukan puasa, apakah shalat dan puasanya itu sah ? Dan apa yang harus ia lakukan bila shalat dan puasanya tidak sah ?
Syaikh Al-Bany ditanya:
Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 85 berfirman:Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima.

Sementara dalam surat Al-Maidah ayat 69 disebutkan:Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi'in, dan orang-oang Nasrani apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih, maka tidak ada ketakutan dan kesedihan yang akan menimpa mereka.Bagaimana caranya kita memahami dua ayat yang seolah-olah bertentangan ini ?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 85 berfirman:Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima.

Sementara dalam surat Al-Maidah ayat 69 disebutkan:Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi'in, dan orang-oang Nasrani apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shalih, maka tidak ada ketakutan dan kesedihan yang akan menimpa mereka.Bagaimana caranya kita memahami dua ayat yang seolah-olah bertentangan ini ?
Bagaimana hukum majalah porno, berjualan, bekerja di perusahan ini dan mengiklankan majalah ini? Apa saja bahaya-bahaya majalah seperti ini?

Diterjemahkan oleh : Muhammad Elvi Syam Lc.
Segala puji hanya milik Allah semata, dam sholawat dan salam atas nabi kita Muhammad dan atas keluarganya dan para sahabanya, dan selanjutnya :

Apabila seseorang datang untuk sholat, dan ia mendapati imam sedang ruku’ lantas ia ruku’ bersama imam, dan tidak membaca fatihah, apakah sholatnya sah. Karena saya mendengar bahwasanya tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca fatihah?



السؤال : إذا جاء الرجل للصلاة ووجد الإمام راكعًا وركع معه ولم يقرأ الفاتحة فما صحة هذه الصلاة . لأني سمعت بأنه لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب ؟


الجواب : من جاء والإمام في الركوع فإنه يكبر تكبيرة الإحرام وهو واقف ، ثم يكبر للركوع ويركع مع الإمام ويكون مدركًا للركعة ولا تلزمه قراءة الفاتحة في هذه الحالة ، لأنها فات محلها وصلاته صحيحة ؛ لأن محل قراءة الفاتحة هو القيام وقد فات ، فإذا أدرك الإمام راكعًا وركع معه فإنه يكون مدركًا للركعة وصلاته صحيحة إن شاء الله ، والدليل على ذلك أن أبا بكرة رضي الله عنه جاء والنبي صلى الله عليه وسلم في الركوع فدخل معه في الركوع ، ولم يأمره النبي صلى الله عليه وسلم بقضاء تلك الركعة بل قال : زادك الله حرصًا ولا تعد لأنه كان لما أقبل إلى الصف أسرع وكبر قبل أن يصل إلى الصف ثم دخل في الصف ، فالنبي صلى الله عليه وسلم نهاه عن السرعة .

فإذا جاء والإمام راكع فليأت بطمأنينة وهدوء كما قال النبي صلى الله عليه وسلم : إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم بالسكينة والوقار ولا تسرعوا ، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا وفي رواية واقض ما سبقك فالذي أنكره عليه إنما هو السرعة فقط ولم يأمره بإعادة الركعة التي أدركها معه ، فدل على أن من أدرك الإمام في الركوع وركع معه فإنه يكون مدركًا للركعة ، وهذا الذي سمعته من بعض الناس قول مرجوح لبعض العلماء والصحيح ما ذكرناه والله أعلم .

وأيضًا قوله : لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب فهذا للإمام والمنفرد ، أما المأموم فينصت لقراءة إمامه إذا جهر لقوله تعالى : وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ فالمأموم يقرأ الفاتحة في سكتات إمامه ، أما إذا جهر الإمام فإنه يجب على المأمومين الإنصات والاستماع للقرآن ؛ لأن قراءة الإمام قراءة للجميع .


المصدر : الموقع الرسمي لفضيلة الشيخ الفوزان


Soal :

Apabila seseorang datang untuk sholat, dan ia mendapati imam sedag ruku’ lantas ia ruku bersama imam, dan tidak membaca fatihah, apakah shoalatnya sah. Karena saya mendengar bahwasanya tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca fatihah?


Jawab :

Siapa saja yang datang (untuk sholat) sementara imam dalam keadaan ruku’ maka ia harus bertakbiratul ihram dalam keadaan tegak berdiri, kemudian ia bertakbir untuk ruku’ dan ia ruku’ bersama imam. Maka ia telah mendapatkan satu rakaat dan tidak wajib baginya membaca fatihah dalam keadaan ini, karena ia telah kehilangan tempat/waktu untuk membaca fatihah, Dan shalatnya pun Sah. Karena tempat membaca fatihah adalah dalam keadaan berdiri, dan dalam keadaan seperti ini ia tidak mendapatinya. Maka bila ia mendapati imam ruku kemudian ia ruku bersama imam, maka sungguh ia telah mendapati satu rakaat dan shalatnya sah, Insya Allah. Dan dalilnya adalah, Bahwa Abu Bakrah radhiallohu ‘anhu datang untuk sholat sementara Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam sedang ruku, maka iapun ruku, dan Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam tidak menyuruhnya mengulangi rakaatnya itu, akan tetapi Beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

زادك الله حرصًا ولا تعد

“Semoga Alloh menambahkan semangatmu dan janganlah engkau ulangi lagi.” [HR. Abu Daud dan lain-lain dalam Ash-shohihah Al-Albany][1]

Karena ia (ruku) tidak didalam shaf karena terburu-buru dan bertakbir sebelum berada dalam shaf kemudian baru ia masuk kedalam shaf, maka nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam melarangnya dari tergesa-gesa.


Maka apabila datang seseorang sementara imam dalam keadaan ruku, hendaklah ia datang dengan tenang dan santai sebagaimana sabda Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam,


إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم بالسكينة والوقار ولا تسرعوا ، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا وفي رواية واقض ما سبقك


“Apabila kalian mendengar Iqamah maka berjalanlah untuk sholat dengan tenang dan biasa/santai dan janganlah kalian tergesa-gesa, Maka apa yang kalian dapati, kerjakanlah dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.” dalam riwayat lain “kerjakanlah apa yang tertinggal”


Maka inilah hadits larangan tergesa-gesa, dan ia tidak memerintahkan untuk mengulangi rakaat yang ia dapati bersama imam. Maka ini menunjukkan bahwa barangsiapa mendapati imam dalam keadaan ruku’ dan seseorang ruku beserta imam, maka sungguh ia mendapati satu rakaat. Dan yang kamu (tanyakan) dengar dari pendapat sebagian manusia itu adalah pendapat yang Marjuh (lemah) diantara sebagian ulama, dan yang shohih (kuat) adalah apa yang telah aku sebutkan. Wallohu A’lam.


Dan Sabdanya (Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam); “Tidak ada sholat bagi siapa yang tidak membaca fatihah”, maka ini adalah ditujukan bagi Imam dan Munfarid (orang yang sholat sendiri). Adapun bagi makmum maka hendaklah ia diam untuk mendengar bacaan imamnya apabila ia menjiharkan bacaannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan bila dibacakan AlQuran maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang dirahmati.” Maka makmum hanya boleh membaca fatihah dalam saktah (tempat-tempat berhenti) imamnya. Adapun jika imam menjaharkan (menyaringkan bacaannya) maka wajib bagi seluruh makmum untuk diam dan mendengar bacaan alquran, karena bacaan imam adalah bacaan untuk seluruh makmum.


Sumber : Website Resmi Fadhilatus Syeikh Alfauzan.

[1] Dari hadits Abu Bakrah. bahwa Abu Bakrah datang, namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah ruku’. Lalu Abu Bakrah pun ruku’ sebelum mencapai shaf dan berjalan menuju shaf. Ketika beliau Rasul telah menyelesaikan shalatnya. beliau bertanya: “Siapa di antara kalian yang ruku’ sebelum mencapai shaf lalu berjalan menuju shaf?” Abu Bakrah menjawab: “Saya wahai Rasul.”, Beliau pun bersabda:

٢٣٠ - زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدَّ

“Semoga Allah menamhahkan semangat tinggi padamu. Dan jangan kamu ulangi.”

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE