Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Aneka Masalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aneka Masalah. Tampilkan semua postingan
بسم الله الرحمن الرحيم
Adakah Bid'ah Hasanah?
(Bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang bid'ah, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Beberapa contoh bid’ah di tengah-tengah umat
1.     Mengadakan peringatan maulid Nabi, peringatan Isra’-Mi’raj, dan peringatan malam Nishfu Sya’ban.
2.     Memperingati milad (ulang tahun) tertentu.
3.     Tabarruk (ngalap berkah) pada tempat, atsar (jejak-jejak peninggalan), seseorang baik yang masih hidup atau sudah meninggal (pada kuburannya).
4.     Melakukan dzikr jama’i.
5.     Membacakan suratul Fatihah untuk ruh fulan, fulan dan fulan, dan pada kesempatan tertentu.
6.     Mengkhususkan bulan Rajab untuk umrah dan melakukan ibadah tertentu.
7.     Membaca niat dalam shalat.
8.     Bertawassul dengan jah (kedudukan) atau hak seseorang.

Syubhat dan jawabannya
Sebagian orang yang mengatakan adanya bid'ah hasanah (yang baik) beralasan dengan beberapa dalil berikut:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Barang siapa yang mengadakan sunnah yang baik dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang setelahnya, maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengadakan sunnah yang buruk dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang setelahnya, maka akan dicatat dosa atasnya seperti dosa yang orang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka." (HR. Muslim)
Hadits ini memiliki sababul wurud (sebab keluarnya), yaitu ketika segolongan orang Arab badui datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penampilan yang tidak sedap dipandang dan tampak kekurangan, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan para sahabat bersedekah, kemudian datang salah seorang Anshar membawa sekantong perak, kemudian diikuti yang lain dan seterusnya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda  demikian. Hal ini menunjukkan, bahwa maksud sunnah yang baik dalam hadits tersebut adalah mencontohkan dalam Islam sebuah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu diikuti oleh yang lain. Mengapa dijadikan alasan berbuat bid'ah, padahal lafaznya "sunnah," bukan "bid'ah," dimana maksudnya adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan lagi orang itu melakukan sebuah sunnah Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu bersedekah kemudian diikuti yang lain. Tafsir seperti ini ditunjukkan pula dalam hadits Amr bin Auf Al Muzanniy, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي، فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً، فَعُمِلَ بِهَا، كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا
"Barang siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku, lalu dilakukan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mengadakan sebuah bid'ah, lalu dikerjakan oleh yang lain, maka ia akan menanggung dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa orang yang melakukannya." (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Al Albani).
Hadits ini juga merupakan penjelas terhadap sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Mengadakan sunnah yang buruk dalam Islam," bahwa maksudnya adalah berbuat bid'ah.
Kedua, perkataan Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini," terhadap praktek shalat tarawih berjamaah di zamannya.
Hal ini sudah diterangkan sebelumnya, bahwa perkataan bid'ah di sini adalah bid'ah secara bahasa, bukan secara syara'. Karena arti bid'ah secara syara' adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa dasar dalil. Praktek shalat tarawih secara berjamaah ini pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau tinggalkan karena khawatir shalat tersebut diwajibkan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: «قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam suatu malam pernah shalat di masjid, lalu sebagian orang ikut shalat bersamanya, demikian pula pada malam selanjutnya. Akhirnya, banyak orang-orang yang ikut shalat bersama Beliau. Selanjutnya mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar (mengimami mereka). Pada pagi harinya, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar, selain karena aku khawatir shalat itu diwajibkan kepada kalian." Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan." (HR. Bukhari)
Bahkan shalat tarawih berjamaah bersama imam dianjurkan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya orang yang melakukan Qiyamullail bersama imam hingga selesai, maka akan dicatatkan untuknya Qiyamullail semalaman.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah, serta dishahihkan oleh pentahqiq Jaami’ul Ushuul 6/121).
Ketiga, perkataan Abdullah bin Mas'ud,
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
"Apa saja yang dipandang oleh kaum muslim sebagai sesuatu yang baik, maka di sisi Allah juga baik."
Maksud kaum muslim di sini adalah kaum muslim tertentu, karena di sana terdapat " ال " yang menujukkan ma'rifat (khusus). Dan kaum muslim yang dimaksud Ibnu Mas'ud adalah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Ibnu Mas'ud sendiri,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
"Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya, lalu Dia mendapati hati Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hati hamba-hamba-Nya yang terbaik, maka Dia pilih Beliau untuk diri-Nya, lalu Dia mengutusnya dengan membawa  risalah-Nya. Kemudian Dia melihat hati para hamba setelah hati Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Dia mendapatkan hati para sahabatnya sebagai hati yang paling baik di antara hati hamba-hamba-Nya. Dia pun menjadikan mereka sebagai pembela Nabi-Nya dan berperang di atas agama-Nya. Oleh karena itu, apa saja yang dipandang baik oleh kaum muslim, maka di sisi Allah juga baik, dan apa saja yang mereka pandang buruk, maka di sisi Allah juga buruk." (Diriwayatkan oleh Ahmad, dan dihasankan oleh Al Albani).
Bisa juga huruf " ال "di sini menunjukkan lil istighraq (umum), yakni ijma' (kesepakatan) kaum muslim yang termasuk ahlul ijma' (para ulama), dimana ijma' mereka adalah hujjah.
Keempat, perkataan sebagian ulama yang membagi bid'ah ke dalam beberapa bagian; ada yang wajib, haram, sunat, makruh, mubah, yang terpuji dan tercela.
Terhadap pembagian seperti ini, Imam Syathibi berkata, "Pembagian ini adalah pembagian yang diada-ada, tidak ditunjukkan oleh dalil syar'i, bahkan di dalamnya terdapat pertentangan, karena hakikat bid'ah adalah yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar'i; tidak oleh nash-nash syariat maupun kaidah-kaidahnya. Hal itu, karena jika ada dalil dari syara' yang menunjukkan wajib, sunat, atau mubah, maka itu bukan bid'ah. Bahkan amal itu termasuk ke dalam keumuman amal yang diperintahkan atau diberikan pilihan. Oleh karena itu, mengumpulkan perkara yang sifatnya bid'ah dengan suatu perkara yang ada dalilnya yang menunjukkan wajib, sunat, atau mubah berarti mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan."
Di samping itu, para ulama yang membagi bid'ah ke dalam beberapa bagian itu, seperti Al Izz bin Abdussalam, Ash Shan'ani, dan lainnya, adalah orang-orang yang keras menentang bid'ah.
Syihabuddin Abu Syamah murid Al Izz bin Abdissalam berkata, "Beliau (Al Izz bin Abdissalam) adalah orang yang paling pantas disebut khatib dan imam. Beliau sering menyingkirkan bid'ah yang dilakukan para khatib, seperti menggertak pedang di atas mimbar dan lainnya. Demikian pula Beliau menyatakan batilnya dua shalat, yaitu shalat Ragha'ib dan Nishfu Sya'ban, serta melarang melakukannya." (Thabaqat Asy Syafi'iyyah 8/210).
Imam Ash Shan'ani dalam Subulussalam berkata, "Tidak ada dalam bid'ah itu yang terpuji, bahkan semua bid'ah adalah sesat." (Lihat Subulussalam pada syarah hadits no. 347).
Kalau pun maksud sebagian ulama tentang bid'ah adalah seperti itu, yakni bahwa bid'ah dalam agama tidak semuanya sesat dan tercela, bahkan menjadi beberapa bagian; ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka kita tetap tidak boleh mengedepankan perkataan mereka di atas sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan, bahwa semua bid'ah adalah sesat. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ. أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
"Hampir saja kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan, "Abu Bakar dan Umar berkata."
Wallahu a'lam wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Maraji': Al Amru bil Ittiba' wan Nahyu 'anil Ibtida' (Imam As Suyuthiy), Al I'tisham (Imam Syathibiy), Al Luma' fir Radd 'alaa Muhassinil bida' (Abdul Qayyum As Suhaibani), At Tauhid Al Muyassar (Abdullah Al Huwail), Aqidatut Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Al Hidayah fii Masa'il Fiqhiyyah Muta'aridhah (A. Zakariya), Minhajul Firqatin Naajiyah (M. bin Jamil Zainu), dll. 
بسم الله الرحمن الرحيم
Adakah Bid'ah Hasanah?
(Bag. 1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan tentang bid'ah, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta'rif (definisi) bid'ah
Bid'ah secara bahasa artinya sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun secara syara', bid'ah artinya sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa dasar dalil.
Imam Asy Syathibi berkata, "Dengan demikian, bid'ah adalah istilah untuk tatacara yang diada-adakan dalam agama yang menyerupai syariat, dimana maksud dari mengerjakannya adalah agar lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala."
Larangan berbuat bid'ah dalam agama
Islam melarang berbuat bid'ah dalam agama, karena yang demikian dapat merusak ajaran Islam, menambah sesuatu yang bukan daripadanya, sekaligus dapat memecah belah pemeluknya. Kita dapat menyaksikan, jika tatacara ibadah diserahkan kepada setiap orang sesuai seleranya, tentu akan terjadi perselisihan dan perbedaan yang mencolok. Oleh karena itu, agama Islam melarang berbuat bid'ah dalam agama. Berikut ini beberapa dalil dari Al Qur'an, As Sunnah, serta atsar (riwayat) dari kaum salaf tentang larangan berbuat bid'ah.
Dalam Al Qur'an
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu." (Terj. QS. Al Ma'idah: 3)
Imam Malik rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mengada-ada dalam Islam suatu bid’ah yang ia pandang baik, maka sesungguhnya ia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.” (Terj. QS. Al Maa’idah: 3) Oleh karena itu, yang pada hari itu tidak menjadi agama, maka pada hari ini juga tidak menjadi agama.”
Dalam As Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ اَلْحَدِيثِ كِتَابُ اَللَّهِ, وَخَيْرَ اَلْهَدْيِ هَدْي ُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اَلْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesunguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim)
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ
"Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak. [1] (HR. Bukhari dan Muslim, sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan, "Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang tidak kami perintahkan, maka dia tertolak.")
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ   عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kamu untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kamu meskipun yang memimpin adalah seorang budak. Karena barang siapa yang hidup di antara kamu (setelah ini), maka ia akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk[2], gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham, dan jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia berkata, "Hasan shahih.")
Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam berkata: "Sabda Beliau, "Setiap bid’ah adalah sesat,” termasuk jawami'ul kalim (kata-kata singkat yang padat), dimana tidak ada sesuatu pun yang keluar daripadanya (yang dikecualikan). Ia adalah dasar yang agung di antara dasar-dasar agama. Sabda Beliau ini sama seperti sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak termasuk bagian daripadanya, maka ia tertolak." Oleh karena itu, barang siapa yang mengadakan sesuatu dan menyandarkannya kepada agama, padahal tidak ada dasar dari agama yang dapat dirujuk kepadanya, maka sesuatu itu adalah sesat, dan agama Islam berlepas daripadanya. Dan sama saja dalam hal ini, baik terkait dengan masalah akidah, amalan, ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi."
Beliau juga berkata, "Adapun yang ada dalam ucapan generasi salaf yang menganggap baik sebagian bid'ah, maka maksudnya adalah bid'ah secara bahasa, bukan secara syara'. Di antaranya adalah ucapan Umar radhiyallahu 'anhu ketika ia mengumpulkan manusia untuk melakukan Qiyam Ramadhan (shalat tarawih) dengan satu imam di masjid, lalu ia keluar dan melihat mereka melakukan shalat dengan cara demikian, kemudian ia berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Hal ini bukan bid'ah secara syara', karena praktek seperti ini pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan Beliau menganjurkannya, namun kemudian melakukannya sendiri (tidak berjamaah) karena khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada mereka.
Atsar dari kaum salaf
Dari Abdullah bin Ukaim, bahwa Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Ingatlah! Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka."
Abdullah bin Mas'ud berkata, "Ikutilah dan jangan mengada-ada. Kalian telah dicukupi, dan setiap bid'ah adalah sesat."
Abdullah bin Umar berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
"Setiap bid'ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik."
Ibnu Abbas berkata, "Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan beristiqamah. Ikutilah dan jangan mengada-ada."
Hudzaifah berkata, "Setiap ibadah yang tidak dilakukan para sahabat, maka janganlah kamu lakukan."
Umar bin Abdul 'Aziz berkata, "Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Allah, bersikap lurus dalam perkara, mengikuti Rasulullah, dan meninggalkan apa yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya."
Dari keterangan Al Qur'an, As Sunnah, dan atsar kaum salaf menunjukkan bahwa berbuat bid'ah dalam agama hukumnya haram, dan bahwa tidak ada bid'ah yang hasanah.
Pembagian bid'ah dari segi contohnya
Bid'ah dari segi contohnya terbagi menjadi beberapa bagian:
1.     Bid’ah I’tiqadiyyah, yaitu bid’ah yang terkait dengan ‘Aqidah, seperti bid’ahnya menyerupakan sifat Allah, bid’ahnya meniadakan sifat Allah, dan bid’ahnya mengingkari taqdir.
2.     Bid’ah ‘Amaliyyah, yaitu beribadah kepada Allah namun dengan cara yang tidak Dia syariatkan, seperti mengadakan ibadah yang tidak disyariatkan, menambah atau mengurangi ibadah yang disyariatkan, mengerjakan ibadah dengan cara yang diada-adakan, atau mengkhususkan waktu tertentu untuk beribadah yang tidak ditentukan oleh syariat.
Contohnya:
a)     Dalam shalat, seperti membaca “ushalliy…dst.” sebelum shalat, berta’awwudz atau mengucapkan basmalah sebelum shalat, menambahkan “sayyidinaa” ketika bershalawat dalam shalat, mengucapkan “rabbigh firli” sebelum mengucapkan aamin, dsb.
b)    Dalam dzikr, seperti membaca surat Al Fatihah sehabis shalat, membaca dzikr “Yaa lathif, Yaa lathif…dst.”, membaca “Alllah, Allah,” saja dalam berdzikr, menggoyang-goyang kepala dalam berdzikr.
c)     Dalam azan, seperti memukul beduk, mengucapkan “Innallaha wa malaa’ikatahu yushalluuna ‘alan nabi…dst.”
d)    Dalam puasa, seperti puasa mutih, puasa Rajab, puasa nisfu Sya’ban, dsb.
3.     Bid’ah Tark, yaitu meninggalkan yang mubah atau meninggalkan perbuatan yang diminta untuk dikerjakan karena menyangka sebagai ibadah. Contoh: tidak makan daging dan tidak mau menikah karena ingin beribadah.
Pembagian bid'ah dari segi tingkatannya
Bid’ah dari sisi tingkatannya ada dua, yaitu:
1.     Bid’ah Mukaffirah, yaitu bid’ah yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Contohnya, bid’ah kaum Syi’ah Rafidhah, bid’ahnya orang-orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, dsb.
2.     Bid’ah Mufassiqah, yaitu bid’ah yang menyebabkan pelakunya berdosa namun tidak keluar dari Islam. Contoh: Bid’ahnya dzikr secara jama’i dan bid’ahnya mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban untuk beribadah.
Sebab munculnya bid'ah dan awal terjadinya bid'ah
Munculnya bid’ah dalam agama banyak dipengaruhi oleh kebodohan terhadap agama, mengikuti hawa nafsu, fanatik kepada pendapat tertentu, menyerupai orang-orang kafir, bersandar kepada hadits-hadits maudhu’ (palsu) yang tidak ada asalnya, khurafat yang sama sekali tidak didasari syara’ maupun akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Ketahuilah! Bahwa pada umumnya bid'ah yang terkait dengan ilmu dan ibadah muncul di akhir-akhir masa khulafaurrasyidin sebagaimana yang diberitakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Barang siapa yang hidup di antara kalian, maka ia akan melihat banyak perselisihan. Maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk." Bid'ah yang pertama kali muncul adalah bid'ah Qadariyyah, bid'ah Murji'ah, bid'ah Syi'ah, dan Khawarij. Saat terjadi perpecahan setelah terbunuhnya Utsman, muncul bid'ah Haruriyyah, selanjutnya di akhir-akhir masa sahabat muncul bid'ah Qadariyyah, yaitu di akhir masa Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Jabir dan sahabat semisal mereka radhiyallahu 'anhum. Bid'ah Murji'ah muncul tidak jauh dari itu. Adapun kaum Jahmiyyah, maka mereka muncul di akhir-akhir masa tabi'in setelah wafatnya Umar bin Abdul 'Aziz. Telah diriwayatkan, bahwa Beliau telah memperingatkan mereka. Dan munculnya Jahm (tokoh Jahmiyyah) adalah di Khurasan pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Bid'ah-bid'ah ini muncul di abad kedua, sedangkan para sahabat masih ada dan mereka telah mengingkarinya. Selanjutnya muncul bid'ah Mu'tazilah, dan terjadi berbagai fitnah di tengah-tengah kaum muslim, tampak pula perbedaan pandangan dan kecenderungan kepada bid'ah dan hawa nafsu. Demikian pula muncul bid'ah Tashawwuf serta bid'ahnya membuat bangunan di atas kubur setelah abad-abad yang utama."
Demikianlah, semakin ke belakang waktunya, maka semakin banyak bid'ah dan beraneka ragam.
Bersambung…
Wallahu a'lam wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Al Amru bil Ittiba' wan Nahyu 'anil Ibtida' (Imam As Suyuthiy), Al I'tisham (Imam Syathibiy), Al Luma' fir Radd 'alaa Muhassinil bida' (Abdul Qayyum As Suhaibani), At Tauhid Al Muyassar (Abdullah Al Huwail), Aqidatut Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Al Hidayah fii Masa'il Fiqhiyyah Muta'aridhah (A. Zakariya), Minhajul Firqatin Naajiyah (M. bin Jamil Zainu), dll.




[1] Hadits ini merupakan penjelasan terhadap sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Setiap bid'ah adalah sesat," yakni bid'ah dalam urusan agama.
[2] Al Qaari' dalam Al Mirqaat berkata, "Dikatakan, bahwa mereka itu adalah khalifah yang empat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhum, karena Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Kekhalifahan setelahku selama tiga puluh tahun," (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Ya'la dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani),  dan hal itu berakhir dengan kehalifahan Ali karramallahu wajhah."

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE