05 April, 2015

Fiqh Nikah (6) [Akad Nikah, Rukun dan Syaratnya]



بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Anjuran diadakan khutbah nikah
Dianjurkan sebelum melangsungkan akad nikah didahului dengan khutbah, baik dilakukan oleh orang yang akad maupun oleh orang lain yang hadir di situ, lafaz pendeknya adalah dengan mengucapkan, “Al Hamdulillah wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasuulillah,” dan ditambah dengan kalimat syahadatain di sana. Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ، فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ»
 “Setiap khutbah yang tidak ada syahadatnya, maka seperti tangan yang berkusta.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ، لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدِ، أَقْطَعُ»
“Semua perkara yang bernilai, namun tidak diawali dengan hamdalah (ucapan Al Hamdulillah), maka ia terputus.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits ini dihasankan oleh Ibnush Shalah dan Imam Nawawi, dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Hakim dalam Mustadraknya. Namun menurut Al Albani, hadits ini dha'if, wallahu alam).
Maksudnya adalah bahwa semua perkara yang perlu diperhatikan, namun tidak diawali dengan hamdalah, maka perkara itu terputus dari keberkahan. Dan maksudnya bukanlah khusus hamdalah, tetapi maksudnya dzikrullah agar sesuai dengan riwayat-riwayat yang lain. Meskipun demikian, yang paling utama adalah berkhutbah dengan Khutbatul haajah sbb.:
إِنَّ اَلْحَمْدَ لِلَّهِ , نَحْمَدُهُ , وَنَسْتَعِينُهُ , وَنَسْتَغْفِرُهُ , وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا , مَنْ يَهْدِهِ اَللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya:
Sesungguhnya segala puji milik Allah kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan kepada-Nya, berlindung juga kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imraan: 102)
“Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istri; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisaa’: 1)
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar--Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al Ahzaab: 70-71)
Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kami tasyahhud dalam (khutbah) haajat, yaitu: Innal hamda lillah…..dst. (HR. Ahmad dan empat orang, dihasankan oleh Tirmidzi dan Hakim).
Meskipun demikian, kalau tidak mengawali dengan khutbah, maka nikah tetap sah. Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa'id As Sa'idiy yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa ada seorang wanita yang hendak menghibahkan dirinya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau tidak berminat, kemudian ada seorang yang meminta agar wanita itu dinikahkan kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta laki-laki itu menyiapkan maharnya, tetapi laki-laki itu tidak mampu membawakannya, hingga akhirnya laki-laki itu menjadikan maharnya dengan mengajarkan Al Qur'an. Ketika itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan wanita itu kepadanya dan tidak berkhutbah.
Hikmah adanya khutbah nikah
Dalam Hujjatullah Al Baalighah disebutkan, “Dahulu kaum jahiliyyah berkhutbah sebelum akad dengan kata-kata yang mereka pandang baik, yaitu menyebutkan kelebihan kaumnya dsb. Dengan cara seperti itu, mereka menyebutkan maksud (mereka) dan meninggikannya, dan dengan begitu menjadi resmi bermaslahat. Karena khutbah dasarnya mempopulerkan dan menjadikan sesuatu dapat didengar dan dilihat orang banyak. Dan meninggikan sesuatu yang diinginkan dalam pernikahan tujuannya untuk membedakan dengan perzinaan. Di samping itu, khutbah tidak digunakan kecuali dalam masalah-masalah penting. Perhatian kepada nikah dan menjadikannnya sebagai masalah penting di antara mereka termasuk maksud yang besar. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan asalnya dan merubah sifatnya. Di sana Beliau menggabungkan antara maslahat-maslahat ini dengan maslahat lain, yaitu selayaknya dipadukan setiap memilih pasangan kata-kata yang cocok dan meninggikan setiap amal dengan syi’ar-syi’ar Allah agar agama yang hak ini tersebar tanda dan benderanya, tampak syi'ar dan tandanya. Maka di sana Beliau menyunnahkan beberapa dzikr seperti hamdalah, isti’anah, istighfar, ta’awwudz, tawakkal, tasyahhud, dan beberapa ayat Al Qur’an (ini semua ada dalam khutbatul haajah), Beliau juga mengisyaratkan untuk maslahat ini dengan sabda Beliau, “Setiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang kusta.” Juga sabda Beliau, “Setiap ucapan yang tidak diawali hamdalah adalah terputus” (telah dibahas takhrijnya), dan sabda Beliau:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الصَّوْتُ وَالدُّفُّ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara yang halal (nikah) dan yang haram (zina) adalah suara dan rebana dalam pernikahan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 4206)."
Rukun Nikah
Rukun nikah itu adalah:
1.     Kedua belah pihak mempelai ada tanpa adanya penghalang yang menghalangi sahnya nikah, misalnya wanita tersebut haram bagi laki-laki karena nasab, sepersusuan, masih menjalani masa 'iddah dan sebagainya, atau laki-lakinya kafir sedangkan wanitanya muslimah. jika seperti ini, maka tidak sah.
2.     Adanya ijab, yaitu lafaz yang diucapkan si wali atau yang menduduki posisinya misalnya mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan si fulaanah.”
3.     Adanya qabuul, yaitu lafaz yang diucapkan calon suami atau yang menduduki posisinya, misalnya mengatakan, “Saya terima pernikahan atau perkawinan ini.”
Dalil bahwa ucapan ijab seperti di atas adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا (الأحزاب: 37)
"Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia.” (QS. Al Ahzaab: 37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim berpendapat, bahwa nikah sah dengan lafaz yang menunjukkan demikian, dan tidak terbatas dengan kata-kata menikahkan dan mengawinkan.
Dan nikah juga sah dari orang yang bisu dengan tulisan atau isyarat yang dapat dipahami.
Jika ijab dan qabul terlaksana, maka nikah dianggap jadi, meskipun yang mengucapkannya hanya bermain-main, tidak bermaksud sungguh-sungguh. Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ جِدُّهنَّ جِدٌّ , وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ : اَلنِّكَاحُ , وَالطَّلَاقُ , وَالرَّجْعَةُ
“Ada tiga hal; jika serius dianggap serius dan jika bercanda dianggap sungguh-sungguh; nikah, thalaq dan rujuk.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)
Syarat sah nikah
Syarat sah nikah ada 4:
1.     Jelas siapa calon suami atau isterinya. Oleh karena itu, tidak cukup hanya mengatakan, “Saya nikahkan puteri saya kepadamu,” Sedangkan dia memiliki banyak puteri. Untuk mengetahui “siapanya?” Bisa dengan isyarat, menyebutkan nama ataupun sifat yang membedakan dari yang lain.
2.     Keridhaan kedua belah pihak; suami-isteri. Oleh karena itu, tidak sah jika karena dipaksa, kecuali bagi yang masih kecil yang belum baligh atau bagi yang kurang akal, maka bagi walinya boleh menikahkan tanpa izinnya.
Dalil syarat no. 2 ini adalah hadits Abu Hurairah berikut, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ»  قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ»
"Tidak boleh janda dinikahkan sampai diajak berembuk, dan tidak boleh gadis dinikahkan sampai diminta izinnya."  Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya?" Beliau menjawab, "Yaitu dengan diamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
3.     Wali wanita yang menikahkannya, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak sah nikah tanpa wali.” (HR. Lima orang ahli hadits selain Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Oleh karena itu, jika seorang wanita menikahkan dirinya tanpa wali, maka nikahnya batal (tidak sah), karena hal itu membawa kepada perzinaan. Demikian juga, karena wanita kurang mengetahui tentang hal yang lebih bermaslahat untuk dirinya. Dalil lain bahwa yang menikahkan adalah harus walinya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu.” (QS. An Nuur : 32)
Di ayat ini, Allah menujukan khithab (firman)-Nya kepada para wali[1].
4.     Adanya saksi pada akad nikah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam,
لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 7557)
Sebagian masalah di atas akan dijelaskan lebih rinci lagi nanti, Insya Allah.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), dll.


[1] Menurut Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhkhash Al Fiqhi, bahwa wali bagi wanita adalah ayahnya, washiy (orang yang mendapat wasiat) terhadapnya, kakeknya dari sebelah bapak dan seterusnya ke atas, anaknya yang laki-laki, lalu cucunya dan seterusnya ke bawah, saudaranya sekandung, lalu saudaranya seayah, lalu anak-anaknya, kemudian pamannya sekandung, lalu paman seayah, kemudian anak-anaknya, lalu ashabahnya yang lebih dekat nasabnya seperti dalam warisan, lalu orang yang memerdekakan, kemudian hakim. Dan nanti akan dibahas juga tentang masalah wali, insya Allah.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE