بسم
الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Wanita yang boleh dilamar
Wanita boleh dilamar jika terpenuhi dua syarat:
1.
Tidak ada penghalang syar’i yang menghalangi untuk dinikahi
saat itu.
Jika ada penghalang syar’i, misalnya wanita itu haram
dinikahinya baik mu’abbadah (selamanya) maupun mu’aqqatah (hanya sementara
waktu) maka tidak boleh dilamar.
2.
Tidak didahului dikhitbah oleh orang lain.
Jika sudah dilamar oleh orang lain, maka ia
tidak boleh melamarnya.
Melamar wanita yang menjalani masa ‘iddah dari orang lain
Haram melamar wanita yang menjalani masa
‘idddah (menunggu), baik karena ‘iddah wafatnya suaminya maupun ‘iddah karena
ditalaq (dicerai), baik talaqnya talaq raj’iy maupun talaq ba’in.
Beberapa Faedah/Catatan:
q Jika seorang wanita
menjalani masa ‘iddah karena talaq raj’iy, maka haram dilamar, karena wanita
itu masih belum lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya, di mana suaminya
berhak merujuknya kapan saja ia mau.
q Jika wanita menjalani masa
‘iddah karena talaq ba’in, maka yang haram adalah dilamar secara sharih (tegas)[1], karena hak suami masih
terkait, dan suami berhak merujuknya
dengan ‘akad yang baru. Jika seseorang maju melamarnya adalah sama saja
mendahului bekas suaminya. Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal melamar
wanita tersebut dengan cara ta’ridh (sindiran atau tidak sharih). Pendapat yang
benar adalah boleh.
q Jika wanita itu sedang
menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami, maka boleh dilamar ketika wanita
itu masih menjalani masa ‘iddah, namun tidak dengan cara sharih (tegas)[2]. Hikmah dilarang melamar
secara sharih adalah karena memperhatikan kesedihan istri dan berkabungnya,
sekaligus menjaga perasaan keluarga si mayit dan ahli warisnya.
Dalil masalah ini adalah firman Allah
Subhaanahu wa Ta'aala:
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ
خِطْبَةِ النِّسَاء أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ
سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَن تَقُولُواْ
قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ
فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu[3]
dengan sindiran[4] atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Tetapi, janganlah kamu mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
perkataan yang ma'ruf[5].
Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis
'iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun. (QS. Al Baqarah: 235)
Yang
dimaksud sindiran adalah seseorang menyebutkan sesuatu yang menunjukkan sesuatu
yang tidak disebutnya. Contoh sindiran “Saya ingin menikah,” atau mengatakan
“Saya senang sekali, jika Allah memudahkan kepada saya mendapatkan wanita
shalihah,” dsb. Termasuk ke dalam ta’ridh juga adalah memberikan hadiah kepada
wanita yang menjalani masa iddah ini. Demikian juga termasuk ke dalam ta'ridh
adalah seseorang memuji dirinya dan menyebutkan keturunannya secara sindiran
untuk menikah.
Sukainah
bintu Hanzhalah pernah berkata: Muhammad bin ‘Ali pernah meminta izin
menemuiku, sedangkan aku belum selesai dari masa ‘iddah karena meninggalnya
suamiku. Dia (Muhammad bin ‘Ali bin Husain) berkata, “Kamukan sudah tahu adanya
hubungan kerabat antara saya dengan Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam,
adanya hubungan kerabat antara saya dengan ‘Ali dan kedudukan saya di kalangan
orang-orang ‘Arab.” Sukainah pun berkata, “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu
Ja’far, sesungguhnya engkau adalah laki-laki yang dijadikan teladan, mengapa
engkau melamarku dalam masa ‘iddahku?” Muhammad bin ‘Ali berkata, “Saya hanya
memberitahukan kamu adanya hubungan kerabat antara saya dengan Rasulullah
shallalllahu 'alaihi wa sallam dan dengan ‘Ali (yakni tidak melamar secara
sharih/tegas).”
Kesimpulannya
adalah bahwa menyebutkan secara sharih (tegas) melamar adalah haram untuk semua
wanita yang masih menjalani masa ‘iddah, sedangkan menyebutkan secara ta’ridh
(sindiran) adalah mubah baik kepada wanita yang ditalaq ba’in maupun wanita
yang menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami selain kepada wanita yang
menjalani ‘iddah talaq raj’iy. Sedangkan wanita yang ditalaq raj’iy haram
dilamar baik secara sharih maupun ta’ridh karena ia masih berstatus istri orang
lain.
q Contoh melamar secara
sharih adalah mengatakan, “Saya ingin menikahi anda,” sedangkan secara ta’ridh
(sindiran), misalnya mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?” Dan bagi wanita
boleh menjawab dengan ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh dengan tashrih
(terang-terangan).
q Bagaimana jika ada
seseorang yang melamar secara tegas kepada wanita yang masih menjalani masa
‘iddah meskipun ‘akadnya dilakukan setelah selesai ‘iddahnya?
Jawab: Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini. Imam Malik berpendapat bahwa ia harus dipisahkan, baik
sudah berkumpul (berkhalwat) maupun
belum. Namun menurut Imam Syafi’i bahwa ‘akadnya sah, meskipun ia telah
mengerjakan yang jelas-jelas terlarang. Tetapi mereka sepakat bahwa keduanya
harus dipisahkan jika seandainya ‘akad
dilakukan dalam masa ‘iddah dan sudah berkumpul (berkhalwat).
q Kemudian apakah setelah
selesai iddahnya wanita itu halal atau tidak? Imam Malik, Al Laits dan Al
Auzaa’iy berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah tidak halal dinikahi. Namun
jumhur ulama berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah halal dinikahinya jika ia
mau.
q Imam Ibnul Qayyim berkata,
“Dan dibolehkan mengkhitbah (melamar) wanita yang menjalani masa ‘iddah dengan tegas ataupun
sindiran bagi laki-laki yang mentalaqnya (suaminya) dengan talaq baa’in; kurang
dari tiga kali, karena boleh baginya menikahi wanita di masa ‘iddahnya.”
Syaikh Taqiyyuddin mengatakan, “Dibolehkan secara sharih
(tegas) dan sindiran bagi orang yang karenanya iddah dilakukan (suaminya),
jika ia termasuk orang yang halal menikahinya pada masa ‘iddah.”
Melamar wanita setelah dilamar oleh yang lain
Diharamkan melamar wanita yang sudah dilamar
oleh saudaranya apabila wanita itu sudah menerima lamarannya, sampai saudaranya
mengizinkan atau menolaknya, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلىَ خِطْبَةِ أََخِيْهِ حَتَّى
يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يأذَنَ لَهُ
“Tidak
boleh salah seorang di antara kamu melamar wanita yang sudah dilamar saudaranya[6], sampai pelamar sebelum
dia meninggalkan atau mengizinkannya.”
Khitbah (melamar) setelah dilamar oleh orang
lain menjadi boleh apabila:
a.
Si
wanita menyatakan menolak ketika dilamar,
b.
Wanita
tersebut menerima namun dengan sindiran seperti mengatakan, “Aku tidak benci
kepadamu,"
c.
Pelamar
kedua tidak mengetahui sudah dilamar oleh yang pertama,
d.
Pelamar
pertama ditolak, atau
e.
Pelamar
pertama mengizinkan kepada pelamar kedua.
Dengan demikian, jika si wanita tidak
menyatakan secara tegas menerima, maka masih bisa dilamar oleh yang lain. Hal
ini berdasarkan hadits Fathimah bintu Qais, di mana dirinya pernah dilamar oleh
Abu Jahm dan Mu’awiyah, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengingkarinya, bahkan Beliau menjodohkannya dengan Usamah bin Zaid
radhiyallahu 'anhu.
Tirmidzi menukilkan dari Imam Syaafi’i tentang hadits
larangan melamar wanita yang sudah dilamar oleh yang lain, “Apabila wanita
dilamar, lalu ia ridha dan cenderung kepada pelamarnya, maka tidak boleh
seorang pun melamarnya setelah dilamar, namun jika tidak diketahui keridhaannya
dan kecenderungannya, maka tidak mengapa dilamar.”
Faedah:
Apabila
pelamar kedua melamar setelah dilamar oleh yang pertama dan yang pertama sudah
diterima, lalu yang kedua melakukan ‘akad nikah, maka menurut jumhur ulama adalah
sah namun ia berdosa, karena larangan tersebut kembalinya kepada khitbah
(lamaran), bukan kepada syarat sahnya nikah, maka tidak dibatalkan. Sedangkan
menurut Dawud Azh Zhaahiriy akadnya dibatalkan baik sudah berkumpul bersama
atau belum.
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al
Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy
(Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza'iriy), dll.
[2] Contoh tidak sharih adalah mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?”
dan bagi wanita boleh menjawab dengan ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh
dengan tashrih (terang-terangan).
[3] Yakni yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[4] Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang
dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita
yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[5] Perkataan sindiran yang baik.
[6] Saudaranya di sini adalah sesama muslim. Sehingga jika non
muslim yang melamar maka tidak haram melamar wanita itu. Namun ada yang
berpendapat, bahwa mafhum kata "saudara" hanyalah karena melihat
ghalib (pada umumnya) sehingga tidak berlaku.