Adalah
tepat ketika Imam Mujadid abad ke-12 H, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam
al-Ushul ats-Tsalatsah menyatakan bahwa kewajiban pertama di antara empat kewajiban
yang harus dipelajari seorang muslim adalah ilmu.
Juga
pada perkataan Imam al-Bukhori ketika mengetengahkan sebuah judul bab pada kitab
Shahih-nya "Bab : Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan". Al Imam Al Bukhari
mendasarkan perkataannya pada firman Allah SWT:
"Maka Ilmuilah bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah,
dan mohonlah ampun bagi dosamu" (Muhammad:19).
Pada
kenyataannya ilmu itu memang teramat penting dan menentukan, oleh karena itu
ia mesti menjadi hal pertama untuk dimengerti.
Mengapa
Ilmu? Apakah Ilmu dan Apakah Batasannya?
Para
ulama salaf telah menempatkan perhatian mereka untuk memberikan penjelasan tentang
batasan ilmu, mafhum, manhaj dan kepentingannya. Hal itu kerena mereka memahami
betul bahwa sebab-sebab terjadinya penyimpangan orang-orang yang sesat pada
asalnya karena kekeliruan tashawwur (pandangan/wawasan) mereka tentang
batasan ilmu.
Namun
perlu diketahui bahwa pemahaman atau orientasi seseorang tentang ilmu akan menjadi
benar dan bermanfaat jika didasari oleh iman serta keyakinan yang benar pula.
Al
Imam Ibnul Qayyim mengemukakan bahwa :
Iman
dan keyakinan akan melahirkan m2a'rifat (pemahaman) serta kehendak
yang benar, sebaliknya, ma'rifat serta kehendak yang benar akan melahirkan
serta mengkokohkan keimanan. Dari sini saja jelaslah bahwa penyimpangan kebanyakan
manusia dari iman adalah disebabkan penyimpangan mereka dari ma'rifat serta
kehendak yang benar.
Sementara
itu iman tidak akan menjadi sempurna kecuali jika ma'rifat mengenainya diterima
dari misykat nubuwwah (sumber kenabian / wahyu) dan disertai dengan kehendak
yang bersih dari segenap unsur noda hawa nafsu dan keinginan untuk mencari
perhatian makhluq.
Dengan
begitu ilmunya benar-benar terpetik dari misykat wahyu, sedangkan kehendaknya
benar-benar karena Allah dan keinginan negeri akhirat.
Itulah
dia manusia yang paling benar ilmu serta amalnya, dia termasuk para imam yang
mengambil petunjuk dengan perintah Allah dan termasuk khalifah Rasulullah
SAW di tengah-tengah umatnya.
Perkatan
Ibnul Qayyim di atas adalah senada dengan apa yang dikatakan oleh seorang sahabat
nabi yang mulia, Ubadah bin Shamit: "Kalau kamu suka, saya akan beritahukan
kepada kamu bahwa ilmu yang paling pertama yang akan dihilangkan dari manusia
adalah Khusyu'."
Maksudnya dari rasa khusyu' (tunduk dan patuh) inilah sebuah ilmu yang benar
akan terbangun. Tentu yang dimaksud oleh Ubadah dengan Ilmu ini adalah ilmu
yang langsung menyangkut keselamatan seseorang di dunia maupun di akhirat yaitu
ilmu tentang Allah dan Dienul Islam, sebab perkataan beliau tersebut berkenaan
dengan hadits Rasulullah SAW :
Sesungguhnya
Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya, akan tetapi Dia
mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak
menyisakan satu orang alimpun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal
satu orang alimpun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang
yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka
akan berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. (HR Bukhari
dalam al Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223).
Dengan
demikian untuk persoalan ilmu memang ada dua kemungkinan, ilmu yang benar dan
ilmu yang salah.
Ini
sesuai dengan pernyataan al Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
"Dan
diantara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa Ilmu" (al Hajj:8)
tanpa
ilmu disini yaitu tanpa ilmu yang benar.
Berdasarkan
penjelasan di atas maka mestinya setiap hamba Allah mengkaji ulang kembali adakah
ilmu yang diyakini itu sudah benar, atau bahkan ilmunya itu sekedar angan-angan
kosong belaka?
Akan
tetapi ketika persoalannya sampai pada pertanyaan:"Apakah definisi atau pengertian
ilmu itu? Maka seperti dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdillah al Khur'an,
adalah sulit untuk membuat definisi tentang ilmu, sebab disamping istilah ilmu
itu sendiri ketika didengar oleh sesorang, ia akan secara sepontan dapat mengerti
maksud istilah tersebut, juga karena sebuah definisi tentu memerlukan
bahasa-bahasa sinonim yang secara tepat mampu memberikan penjelasan hingga keseluruhan
maknanya dapat tertangkap secara utuh.
Sedangkan
ilmu ketika didefinisikan dengan bahasa panjang lebar, justru mungkin akan semakin
mengkaburkan makna ilmu itu sendiri, atau orang semakin tidak paham mengenainya.
Begitu pula ketika ilmu disebut sebagai "ma'rifah" atau"idrak" (daya tangkap)
"atau "tashawwur" (wawasan); padahal istilah-istilah itu masuk dalam pengertian
ilmu.
Oleh
karena itu, yang pennting disini bukanlah membahas tentang definisi ilmu tetapi
tentang persyaratan-persyaratan ilmu, atau dengan kata lain kapankah suatu hal
atau suatu perkataan bisa disebut ilmiah, atau bisa disebut haq dan benar?
Al-Imam
Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan:
"ilmu
ialah memindahkan gambaran yang diketahui dari kenyataan alam luar kemudian
ditetapkannya (dimasukkan hingga tetap) ke dalam diri, sedangkan amal adalah
memindahkan (mewujudkan) gambaran ilmiah dari arah dalam diri, kemudian dituangkan
dalam alam nyata.
Apabila
yang ditetapkan di dalam diri ternyata sesuai dengan kenyataan (realita),
berarti dia adalah ilmu yang benar. Namun seringkali orang menetapkan sesuatu
gambaran di dalam dirinya apa yang tidak ada wujud hakikinya, sehingga ia
mengira bahwa yang dimilikinya adalah ilmu, ia hanyalah perkiraan-perkiraan
belaka, tanpa ada kenyatannya, dan itulah kenyataaan dari pada kebanyakan
dari ilmu manusia...?"
Jadi
Ibnu Qoyyim (juga sebagian ulama' lain) memberi syarat : "suatu ilmu bisa disebut
ilmu, apabila sesuai dengan realita".
Demikian
juga yang dikatakan oleh imam asy-Syatibi bahwa:
"Ilmu
yang dikehendaki disini maksudnya ialah agar supaya terjadinya amal-amal perbuatan
dalam wujud nyatanya sejalan dengan ilmu tersebut tanpa ada perselisihan,
baik amal-amal itu merupakan perbuatan hati, lidah maupun anggota badan"
"Dengan
demikian jika suatu perbuatan biasanya berlangsung sejalan dengan ilmunya
tanpa ada perselisihan sedikitpun antara keduanya, berarti dalam kaitan ini
ia merupakan ilmu sebenarnya, kalau tidak berarti bukan ilmu karena tiada
kesesuaian antara keduanya (teori dengan kenyataan -pen). Berarti hal ini bathil,
sebab kebalikan ilmu adalah jahil (bodoh)"
Kesimpulan
Asy Syatibi rahimahullah mensyaratkan bahwa kesesuaian disini adalah kesesuain
dengan kenyataan dalam perkara-perkara indrawi, maknawi dan juga qauli
(bersifat perkataan, perkatannya benar -pen)
Persoalannya
ialah bagaimana kaidah (tentang ilmu) di atas bisa berlangsung dalam hubungannya
dengan perkara-perkara ghaib?
Misalnya
tentang Allah, asma' dan sifat Nya, malaikat, wahyu, hari akhir dan lain sebagainya
perkara yang tidak memungkinkan bagi seseorang untuk secara indrawi membuktikan
kenyataannya melalui pendekatan realistik?
Untuk
menjawab persoalan ini harus dipahami terlebuh dahulu, apakah kenyataan yang
realistik itu?
Kenyataan
realistik ialah segala sesuatu yang nyata adanya, baik yang dapat terjangkau
oleh indra maupun yang diluar jangkauan indra (ghaib)
Jadi
perkataan ghaib termasuk bagian dari kenyataan realistik (asal jelas kenyataannya
). Pembuktiannya ialah melalui periwayatan yang benar dan terpercaya.
Syaikh
Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan:
"
Sesungguhnya segala hal yang telah tsabit (jelas adanya) berdasarkan dalil
sama' (wahyu) atau dalil lainnya, berarti jelas adanya, baik tsubut (kejelasan
adanya ) itu kita ketahui dengan akal, atau tidak dengan akal , atau tidak
kita ketahui baik dengan akal atau tidak dengan akal.
Jadi
ketidaktahuan seseorang akan sesuatu, tidak menunjukkan bahwa sesuatu itu
tidak ada. Ketidaktahuan kita akan berbagai hakekat yang ada, tidak berarti
meniadakan adanya hakekat yang ada tersebut".
Dengan
demikian perkara-perkara yang ghaib jelas merupakan kenyataan yang realistik,
yang bisa diketahui tidak melaui pandangan mata, rabaan pendengaran maupun penciuman,
tetapi bisa diketahuii karena dua dua hal yakni:
Pertama: Perkara-perkara itu tidak mungkin bisa dipungkiri adanya
Kedua: Diketahui melalui pemberitaan yang secara pasti dijamin kebenarannya
dan dijamin kebenaran periwayatannya.
Pada
tingkat berikunya, Ibnu Qoyyim rahimahullah- menyatakan : "Dan segala
yang tertetapkan didalam diri yang sesuai dengan realita (ilmu yang benar-pen),
itu ada dua macam:
1) Jenis ilmu yang menjadikan diri manusia semakin sempurna dengan memahami
dan mengilmuinya; yaitu ilmu tentang Allah, asma, sifat, perbuatan-perbuatan,
kitab-kitab perintah-perintah, dan larangan-larangan Nya.
2) Jenis ilmu yang tidak membawa manusia menjadi sempurna; yaitu segenap
ilmu yang apabila tidak dimengerti / diilmui, tidak akan mendatangkan bahaya,
itulah ilmu yang tiada bermanfaat. Nabi Muhammad SAW berdo'a memohon perlindungan
dari ilmu yang tidak bermanfat. Dan seperti inilah yang nampaknya kebanyakan
"ilmu yang benar" ilmu yang pas dan sesuai dengan realita, namun jika toh
tidak diilmuipun tidak akan mendatangkan bahaya apa-apa; misalnya ialah: ilmu
falak dengan kerumitan serta tingkatan-tingkatannya, jumlah bintang, jarak
dan ukurannya.
Begitu
pula ilmu bilangan gunung , warna, luas dan besarnya, dan seterusnya..
Dengan
demikian, maka tingkat keutamaan suatu ilmu, ditentukan berdasarkan tingkat
keutamaan dan dibutuhkannya sesuatu yang mesti diilmuinya.
Tentu
saja tiada lain yang lebih diutamakan dan dibutuhkan melainkan ilmu tentang
Allah beserta segala ilmu yang menjadi rangkaiannya..
Ungkapan
Ibnul Qayyim di atas adalah benar belaka kecuali jika ilmu-ilmu tersebut membawa
pemiliknya menjadi semakin kagum pada keagungan serta ke-Maha Kuasaan Allah,
Pencipta Alam semesta.
Adalah
memang benar bahwa fitrah manusia sebenarnya amat mengenal kepada Rabbnya, bahkan
seperti dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
"Sesungguhnya
pokok ilmu tentang ilahi merupakan hal yang fitri dan pasti, ilmu tentang
ilahi tersebut jauh lebih mapan tertanam dalam jiwa dibandingkan dengan prinsip
ilmu pasti dan alam seperti 'satu adalah setengah dari dua' atau 'sebuah tubuh
tidak mungkin ada di dua tempat'; sebab pengertian-pengertian dalam ilmu pasti
dan alam itu merupakan nama-nama (penyebutan-penyebutan) yang mungkin tidak
dimengerti oleh kebanyakan fitrah. Sedangkan ilmu tentang ilahi tidak akan
terbayang kalau fitrah tidak mengenalinya. "
Namun
tentu pengenalan fitrah semata kepada Rabbnya tidaklah cukup tetapi harus didukung
dengan ilmu-ilmu lebih lanjut, yaitu memahami wahyu, sebab wahyu itulah yang
akan menjamin berlangsungnya pemahaman secara benar sehingga apa yang sudah
dikenali secara fitrah tidak akan terselewengkan.
Syaikh
Abil Izzi Al Hanafi menyatakan bahwa: "Ilmu yang paling mulia adalah ilmu ushuluddin
(pokok-pokok dien), karena tolok ukur mulianya sebuah ilmu tergantung pada kemulian
yang mesti diilmui. Kebutuhan manusia kepada ilmu ini diatas kebutuhan penting
lainnya, karena tiada hakekat hidup bagi hati dan tiada kenikmatan serta ketenteraman
kecuali apabila ia mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, lengkap dengan
Asma', Shifat serta perbuatan-perbuatan (Rubbubiyah)-nya. Akan tetapi adalah
mustahil jika akal (fitrah) semata-mata dapat memahami rincian semua persoalan
ushuluddin di atas. Oleh karenanya Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Kasih Sayang
dengan segala hkmah serta kebijaksanaan-Nya mengutus para utusan-Nya supaya
mengenalkan Allah pada umatnya dan mendakwahi mereka supaya mengabdi kepada-Nya.
Allah menjadikan kunci serta intisari dakwah yang dilakukan oleh para Rasul
itu ialah: Ma'rifat (mengenal) terhadap Allah lengkap dengan hak Ilahiyah,
Asma', Shifat serta perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah tuntutan risalah para nabi
semenjak nabi pertama hingga nabi terakhir."
Pada
sisi lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
"Risalah
Nabi SAW meliputi dua hal yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, sebagaimana
terdapat dalam firman Allah:
"Dialah
Allah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) al Huda / petunjuk dan
agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrik tidak menyukai." (at Taubah:33)
Al
Huda pada ayat di atas ialah: ilmu yang bermanfaat sedangkan dienul haq ialah
amal shalih yang terdiri dari ikhlas karena Allah dan mutaba'ah (ittiba')
kepada Rasulullah SAW.
Ilmu
yang bermanfaat meliputi segenap ilmu yang didalamnya terdapat kebaikan dan
kemaslahatan bagi umat untuk menempuh kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Tentu saja yang paling pertama masuk ke dalam ilmu yang bermanfaat adalah
ilmu tentang asma' Allah, sifat-sifat, dan af'al (perbuatan-perbuatan)-Nya,
sebab ilmu tersebut adalah ilmu yang paling bermanfaat. Ilmu inilah intisari
risalah ilahiyah dan pokok daro dakwah nabi.
Dengan
ilmu inilah bakal tegak dienullah baik secara perkataan, perbuatan maupun
keyakinan. Oleh sebab itu adalah mustahil jika nabi SAW mengabaikan persoalan
ilmu ini dan tidak menjelaskan secara tertulis kepada ummatnya, hingga hilang
keraguan serta syubhat..."
Demikianlah
uraian beberapa ulama terpercaya tentang hakekat ilmu, batasan-batasan, syarat-syarat
dan manakah ilmu yang penting, utama dan pertama harus dimengerti oleh seorang
manusia.
Dinukil
dari Majalah As Sunnah 09/I/1415 dari tulisan Ustadz Ahmas Faiz