Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
 *MENTAATI PEMERINTAH DALAM PERKARA YANG BAIK TERMASUK PRINSIP POKOK AQIDAH AHLUS SUNNAH*


✍ _Asy-Syaikh Dr. Muhammad Ghalib hafizhahullah berkata:_
‏السمع والطاعة لولي الأمر بالمعروف أصل أصيل من عقيدتنا أهل الإسلام، ولم يخالف فيه إلا الخوارج المارقة ومن على نهجهم من الجماعات المعاصرة.
‏هذا الكلام يرفع الضغط لبني إخوان وربيبتهم بني ليبرال.
فلا تملوا يا أهل السنة من نشر معتقدكم والالتفاف حول ولاة أموركم والدعاء لهم.
*"Mendengar dan mentaati pemerintah dalam perkara yang baik merupakan prinsip mendasar yang termasuk aqidah kita sebagai umat Islam, dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali Khawarij yang telah keluar dari Islam serta orang-orang yang semodel dengan mereka dari kelompok-kelompok yang ada di masa ini.*
*Perkataan ini akan meningkatkan tekanan terhadap para pengikut kelompok al-Ikhwanul Muslimun dan saudara seasuhan mereka dari kalangan orang-orang liberal. Maka janganlah kalian merasa bosan untuk menyebarkan keyakinan kalian, berdekatan dengan pemerintah kalian, dan mendoakan untuk kebaikan mereka, wahai Ahlus Sunnah!"*
 Sumber || https://twitter.com/m_g_alomari/status/852066473476595713
Tanya :
Syaikh yang mulia, ada dari sebagian pemuda muslim menyatakan; “Aku beraqidah dengan Aqidah Salaf”, akan tetapi mereka juga mengadopsi sebagian cara dan metode (manhaj) dari sebagian kelompok-kelompok Islam yang tidak merujuk kepada Salafus Shalih, apakah sikap yang demikian ini salah ?
Jawab :
Perlu kita ketahui, bahwa Salafiyah mencakup bidang aqidah, manhaj, dakwah dan amal. Adapun aqidah dan amal, kedua perkara ini merupakan interrelasi (saling bergandengan) dan tidak ada pemisahan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka suatu kemustahilan jika seseorang memiliki aqidah yang benar dan sempurna, kemudian terdapat padanya penyimpangan dalam hal amal. Jelas ini adalah perkara yang sangat kontradiktif, sebagaimana yang telah aku terangkan sebelumnya dalam bab “Talbis ‘Alan Naasi ”.
Soal:
Bagaiamana salaf memulai dakwahnya, apakah dimulai dengan tauhid atau dimulai dengan menjelaskan kepada para mad'u kelompok-kelompok yang sesat, walaupun orang yan didakwahi tersebut sebenarnya belum paham tauhid?
Jawab:
Penjelasan mengenai kelompok-kelompok yang menyimpang dan sesat pada hakikatnya adalah dakwah kepada tauhid, sebab maksud dari dakwah tauhid sendiri adalah menyeru kepada tauhid dan meninggalkan syirik, dan sesuatu tidak akan diketahui kecuali dengan mengetahui lawannya; dakwah untuk mengikuti jalan orang-orang beriman termasuk didalamnya dakwah untuk meninggalkankan jalan orang-orang yang mujrim; dakwah kepada Sunnah mencakup dakwah menjauhi bid'ah; amar ma'ruf harus sejalan dengan nahi mungkar. Oleh karena itu dakwah dengan menjelaskan dan mentahzir manusia dari kelompok-kelompok yang menyimpang; yang memalingkan orang dari dakwah kepada tauhid dan manhaj yang benar merupakan essensi dari dakwah kepada tauhid.
Penjelasan mengenai bahayanya dampak kelompok Jahmiyyah, Murjiah dan Khawarij dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan berbagai nama-nama yang diperbaharui dizaman ini adalah inti dari dakwah kepada tauhid.
Namun kesalahan fatal yang terjadi dalam hal ini terdapat dalam dua poin:
Pertama kesalahan dengan melebihkan dosis dakwah kepada satu sisi saja dengan meninggalkan sisi lainnya tanpa ada kebutuhan. Contohnya seluruh materi dakwah yang disampaikan hanya mengungkap kelompok-kelompok sesat semata, tidak pernah disentuh materi mengenai iman, mengenai taqdir, mengenai masalah sifat dan permasalahan lainnya. Oleh karena itu jangan sampai kita lupakan masalah tauhid dan bagian-bagiannya.
Adapun menggakat satu sisi dalam berdakwah dan meninggalkan sisi lainnya akan berdampak negatif dan berbahaya bagi orang-orang yang diseru.
Adapun kesalahan kedua atau bahaya kedua yaitu: tampilnya orang-orang yang menerangkan dan mentahzir kelompok-kelompok maupun jamaah yang sesat sementara dia sendiri tidak memahami manhaj mereka dan tidak paham manhaj salaf yang sebenarnya. Orang seperti ini memiliki peluang besar untuk memasukkan orang-orang yang benar -ahlu al-haq- kedalam gerombolan orang-orang yang sesat, tanpa basirah/ilmu dan tanpa ada rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Intinya orang yang berkompeten dalam masalah ini hendaklah dari kalangan ulama ar-rasikhin ar-rabbaniyyin yang paham memposisikan sisi mana yang lebih dibutuhkan orang-orang yang didakwahinya.
Sebagai contoh jika penyembahan kepada kuburan tersebar dinegeri itu maka hendaklah dia memprioritaskan dakwah kepada tauhid dengan segala bagiannya, dengan mengkonsentrasikan dakwahnya
mengenai bahayanya ibadah kepada kubur, jika kekurangan didalam para mad'unya mengenai masalah sifat maka dai harus benar-benar mendahulukan dakwahnya kepada masalah sifat.
Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan, Lc.

Situs Salafy
Salafipublications
Fatwa Online
TROID
Syaikh Al Albani
Syaikh Al Utsaimin
Syaikh Bin Baaz
Syaikh Rabee
Q S S
Al Manhaj
SahabNet
 
As Sunnah
Perpustakaan Islam
Ngaji Salaf
Sholat Kita
Jilbab Online
Al Furqaan
AnshoursSunnah
Al Fadani 4 Paltalk
Muhsinin
Muhsinin klik disini
Info

Mailing List

Untuk berlangganan Mailing List, daftarkan email Anda


Advertisement

Oleh Syeikh Masyhur Salman

Soal:
Bagaimana cara menuntut Ilmu bagi yang terlambat, khususnya orang yang telah tua ?
Jawab:
Barang siapa yang tidak belajar diwaktu kecil kemudian sadar setelah tua, aku bertanya berapa sebenarnya umurnya empat puluh tahunkah? Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam sendiri sebagai contoh bagi manusia diutus ketika berumur empat puluh tahun. Al-Qadhi 'Iyad mulai menuntut Ilmu setelah berumur lebih dari empat puluh tahun. Sholih Bin Kaisan salah seorang pendidik Imam az-Zuhri di sekolah, jika kita membaca sahihain kita akan menemukan puluhan hadis yang diriwayatkan Sholih Bin Kaisan dari imam az-Zuhri. Sementara dia sendiri yang mengajari Imam az-Zuhri. Dia mulai menuntut ilmu setelah berumur lebih tujuh puluh tahun.
Bagi para penuntut ilmu hendaklah memulai hal-hal yang umum terlebih dahulu, dalam syair dikatakan
"Ilmu ibarat kulit dan isi, orang yang paling beruntung adalah orang yang memulai isi kemudian kulit"
Hal-hal yang harus menjadi perhatian khusus para penuntut ilmu adalah mendalami berbagai macam spesiailisiasi secara penuh , ibarat seorang yang sedang berjalan dalam sebuah kebun yang tinggi-tingi pohonnya dan ada yang rendah sambil mengambil seluruh ilmu, dia berjalan-jalan sambil mendengarkan berbagai macam seruan yang memberitahukannya agar singgah untuk mengambil bagian.
Alangkah butuhnya dakwah kita ini kepada orang-orang yang mendalami berbagai spsesialsiasi ilmu seperti ilmu qiraat, ilmu tafsir, bahasa Arab, Tauhid, Usul, fiqh, sirah.dan sebagainya. Seorang penuntut ilmu hendaklah berjalan sambil mengambil seluruh cabang ilmu ini secara umum terlebih dahulu baru kemudian mengambil spesialisasi ilmu tertentu. Alangkah jeleknya jika seorang penuntut ilmu mengetrahui ilmu hadis maupun mustalah secara detail lengkap dengan berbagai macam permasalahan hingga bagian terkecil dan jelimet sekalipun, namun buta mengenai ilmu fiqh dan tauhid. Wallahu a'lam.
Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan, Lc.

Soal:
Penanya bertanya tentang hukum 'amaliyah istisyhadiyah (aksi mati syahid/bunuh diri) yang banyak terjadi di Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya, berdalil dengan kisah ibn umi maktum
dan kisah pemuda yang belajar dari seorang pendeta. Dalam hal ini salah seorang murid syeikh Said Ramadhan al-Buthi pernah menulis.

Jawab:
Adapun tentang amaliayah istisyhadiyah (aksi mati syahid) maka jawabannya ada pada pertanyaan sendiri, mungkin penanya bermaksud tentang hukum al-mughamarah bi an-nafs (bertempur dengan mempertaruhkan jiwa -pent), al-mughamarah ini ada beberapa macam.
Sebelumnya penamaannya dengan amaliayah istisyhadiyah (aksi matisyahid) atau amaliyah intihariyyah (aksi bunuh diri) keduanya adalah keliru, sebab jika kita namakan dengan istilah ini maka kita mendapatkan jawabannya dari makna soal sendiri tanpa harus diterangkan lebih rinci lagi.
Para ulama membahas hal ini dengan istilah hukum al-mughamarah bi an-nafsi. Seluruh dalil-dalil yang ada mengenai masalah ini, dan pertanyaan yang ditanyakan penanya ini tidak mungkin tuntas kecuali dengan penjelasan yang rinci, namun saat ini tidak tepat untuk menerangkannya secara mendetail. Seluruh aksi-aksi ini akan membuat musuh terbunuh, tetapi bukanlah membunuh musuh seseorang harus turut pula membunuh dirinya -perbedaan ini harus diperhatikan--.
Kedua: kaum muslimin membolehkan membunuh orang Islam yang digunakan sebagai perisai oleh orang-orang kafir. Menurut ulama terdapat suatu kaedah yaitu "Membunuh orang lain lebih besar disisi Allah daripada membunuh diri sendiri". Jika boleh membunuh orang lain yang digunakan sebagai perisai oleh orang kafir karena adanya maslahat yang mu'tabarah maka boleh juga bagi seseorang untuk maju berjihad walaupun harus membunuh dirinya, namun dengan beberapa syarat tertentu; ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang kebanyakan hanyalah bersifat pendapat/ijtihad. Aku telah menulis mengenai masalah ini sebuah buku dengan pembahsan yang panjang -buku ini sedang dicetak- dan buku ini bisa dibaca di internet dalam situs markaz
imam al-Albani, barang siapa yang mau perinciannya silahkan meruju kesana, dan masalah ini pernah juga ditulis di majalah al-sholah.
Ringkasan dari permasalah ini -walaupun permasalah ini banyak ditulis oleh ulama-ulama temporer sekarang- namun yang jelas permasalahan ini benar-benar menuntut ekstra lebih teliti dan tidak tergesa-gesa dengan melihat kepada nusus syairah, maqasid syariah, qowaid syariah dan mutlak membutuhkan seorang penulis yang dapat menulis dengan haq dan adil.
Pendapat yang kupilih setelah kuteliti jauh dan inilah pendapat Syeikh al-Albani bahwa aksi-aksi ini boleh dilakukan dengan beberapa syarat, diantara syarat yang terpenting adalah terwujudnya kemaslahatan besar, aksi ini dalam dunia militer biasa dilakukan walaupun mereka sepakat bahwa aksi ini tidak akan menghabisi musuh ataupun menghancurkan benteng-benteng musuh. Maka aksi seperti ini diperbolehkan dalam kondisi darurat ketika tidak menemukan jalan lain dengan persiapan dan perhitungan yang matang. Hal ini dalam dunia militer dikenal dengan perang urat saraf guna melemahkan mental lawan, sebagai bagian dari taktik perang. Maka bagi siapa yang ingin melaksanakan aksi ini, wajib bagainya untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah terlebih dahulu dan telah bertanya terlebih dahulu.
Mari kita bermohon kepada Allah agar Dia menerima amalan orang-orang yang berbuat aksi-aksi seperti ini. Adapun urusan mereka setelah meninggal sepenuhnya diserahkan kepada Allah, kita tidak boleh memastikan mereka masuk surga walaupun kita terus berdoa untuk mereka.
Namun yang kuyakini bahwa kewajiban sekarang ini bukan berbuat aksi-aksi seperti ini. Wallahu a'lam.
Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan, Lc.
Soal:
Kita mengetahui kebenaran dan keorisinilan dakwah salafiyyah, namun yang disayangkan datang pengkaburan dan kekacauan yang didalangi oleh orang-orang Sururi, yang kutanyakan adalah apa itu paham Sururi dan bagaimanaa kaedah dan prinsip mereka agar dapat diketahui dan kita dapatmeghukumi seseorang dengan kaedah ini ?

Jawab:
Syaikh Musa Ibn Nasr:
Sururiyyah adalah jamaah Hizbiyyah yang muncul pada tahun belakangan ini, dia tidak diketahui kecuali seperempat abad belakangan ini, karena mereka selalu bersembunyi dibalik salafiyyah hingga sekarang.
Sebenarnya mereka memiliki kaedah dasar dari Ikhwanul muslimin yang selalu berdiri diatas sirriyah (gerakan bawah tanah); membangkitkan massa untuk gerakan politik dengan mempengaruhi mereka; mencemoohkan dan meremehkan ulama Rabbani seperti Syeikh Albani, ibn Baaz, dan Utsaimin . Mereka mengganggap mereka sebagai Ulama yang hanya tahu perkara-perkara haid dan nifas.

Gerakan ini muncul kepermukaan dalam bentuk kritikan yang menyakitkan setelah perang teluk kedua. Mereka menggangap para ulama kita tidak paham dengan waqi (realita umat), pemahaman mereka sebatas hukum haid dan nifas. Mereka telah meniru para Ahli Bid'ah klasik yang mengatakan: 'Bahwa fikih Malik, Auza'I dan ulama-ulama lain tidak lepas dari sarung wanita". Alangkah besarnya perkataan yang keluar dari mulut mereka, dan sesungguhnya mereka hanyalah mengatakan kedustaan. Yang tidak menghormati alim-ulama kami maka sebenarnya mereka adalah penyeru kepada fitnah. Orang-orang yang mencela Syeikh Albani, ibn Baaz dan Utsaimin pada zaman ini adalah pembuat fitnah yang berada di jurang kebinasaan.

Mereka ingin memalingkan perhatian manusia kepada diri mereka dan menghalangi manusia dari para Ulama Rabbani.Mereka mengaku bermanhaj salaf walaupun sebenarnya mereka adalah Ikhwan, bahkan lebih bahaya dari Ikhwan sendiri sebab mereka selalu bersembunyi di balik salafiyyah. Semoga Allah menunjuki kita dan mereka kejalan salaf yang bersih yaitu jalan yang dirintis rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para sahabat dan tabiin.

Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc.
Soal:
Apa yang dimaksud dengan masalih mursalah, Maslahat dakwah dan hakikat hizbiyyah?
Jawab:
Permasalahan usul lainnya yaitu tentang maslahat mursalah. Banyak orang mencampur adukkan antara masalahat mursalah dengan bidah. Bid'ah digolongkan menjadi dua: bid'ah hakikiyyah dan bid'ah idofiyyah. Jika sesuatu masalah mungkin berlaku dan terjadi di masa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, tetapi ditinggalkan Rasulullah dan tidak pernah diperbuat para sahabat setelah wafatnya, maka dia digolongkan kedalam bid'ah idofiyyah dan bukan maslahat mursalah, Seperti zikir-zikir yang banyak kita dengar diucapkan di negeri ini setelah atau sebelum azan dikumandangkan. Sebab azan sendiri dimulai dengan sesuatu lafaz tertentu dan diakhiri dengan sesuatu lafaz tertentu pula, dan tidak diperlukan adanya tambahan lagi. Karena jika memang zikir-zikir ini baik dan boleh dilaksanakan tentulah mereka dapat melaksanakannya.

Adapun maslahat mursalah maka harus memiliki beberapa kriteria tertentu , diantaranya: pertama: kemaslahatan itu sendiri hendaklah maslahat hakikikiyyah (masalah yang sebenarnya) bukan kemaslahatan yang masih wahahamiyyah (diragukan). Kedua: harus benar-benar merupakan kemaslahatan yang mursalah atau mutlaqoh (kemaslahatan ansich) dimana perkara ini secara tekhnis tidak bertentangan dengan syariat dan tidak mungkin terjadi dizaman Sahabat, seperti penggunaan mikrofon dalam azan, ini bukan bid'ah tetapi merupakan contoh dari maslahat mursalah. Karena alat-alat seperti ini tidak pernah sebelumnya.

Jika sekiranya hal ini mungkin terjadi dizaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam namun ditinggalkannya pastilah penggunaan mikrofon seperti ini dianggap bid'ah. Sebab kita tahubahwa azan disyariatkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dan mikrofon ini benar-benar sangat fital digunakan untuk fungsi ini demi kemaslahatan agar orang dapat mendengarnya, sementara mustahil hal ini terjadi pada zaman rasul dan mereka tidak mengenal ataupun mempelajarinya. Maka hukumnya sama dengan hukum menggunakan kaca mata sebagai alat melihat dan membaca bagi orang-orang yang kabur penglihatannya, inilah dia maslahat . tetapi maslahat harus diletakkan sesuai dengan porsinyua dan tidak terlampau dibesar-besarkan. Jika dikatakan bahwa membaca Alquran dengna memakai kaca mata adalah sunnah, tentulah hal ini berlebihan. Namun banyak yang beraggapan bahwa orang-orang salaf tidak bias membedakan antara maslahat dengan bid'ah, sebenarnya ini merupakan kezaliman yang nyata terhadap dakwah salaf.

Ungkapan bid'ah yang diucapkan oleh ulama salaf sebenarnya berdasarkan kriteria dan persyaratan tertentu yang diambil berdasarkan istiqra (pemahaman) terhadap nas-nas dan kaedah-kaedah yang mereka susun. Literatur yang sangat relevan dalam hal ini kusarankan agar membaca dua literature penting, pertama: karya Imam syatibi al-I'tisom dimana di dalamnya da membuat kaedah dasar mengenai ahli bid'ah. Penuntut ilmu syar'i dapat mengambil banyak manfaat dari buku ini.kedua: karya syeik al-Islam Ibn Taimiyah Iqtido' sirat al-mustaqim.

Adapun maslahat dakwah, banyak orang yang menggunakannya sebagai pembenaran atas berbagai kepentingan dan keingginan mereka, padahal maslahat dakwah harus dipandang dengan kacamata maslahat yang syar'i.

Di dalam menyikapi berbagai masalah baru dan problematika besar yangberkembang, seseorang harus meruju' kepada alim ulama. Jika terdapat sesuatu hal yang dianggap dapat dijadikan sebagai kemaslahatan dakwah, maka harus ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama agar mereka yang dapat menghukuminya. Adapun masalahat yang bertentangan dengan nas syar'i seperti berbuat kebohongan, mendahulukan kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan agama tentulah tidak benar, oleh karena itupastilah berbeda anarata orang yang selalu berjalan dan beputar di atas poros agama dengan orang yang memutar balikkan agama; tentu berbeda antara seseorang yang paham dengan kemaslahatan mendesak yang harus diperbuat dalam suatu waktu tertentu dan diperkuat dengan nas-nas syar'i maupun dalil, dengan seseorang yang menjadikan agama laksana gudang agar dapat mengambil agama untuk kepentingan hawa nafsunya. Ahlu Sunnah sbagaimana yang dikatakan Imam Waki':

Menyebutkan apa-apa kelebihan dan kekurangan mereka, sementara ahlu bid'ah hanya menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka saja dan menyembunyikan kekurangan mereka.

Terakhir adalaha hakikat hizbiyyah. Al-wala (loyaliitas) dan al-baro'. sikap cinta ataupun benci haruslah berdasarkan agama. Kita dituntut untuk mencitai seseorang, membencinya wala maupun bara' atasnya haruslah karena agama. Pernah terjadi antara seorang Muhajirin dengan seoran Ansor pertengkaran, sehingga keduanya menjerit minta bantuan kepada kaum masing-masing "Wahai Ansor, Wahai Muhajirin !!". Seketika Rasulullah datang menghampiri mereka dan bersabda: "Kenapa kalian masih menyerukan fanatisme kejahiliyyah sementara aku ada ditengah-tengah kalian". Hakikat Hizbiyyah yakni al-wala' dan -al-baro' serta berkelompok yang mereka lakukan bukan berlandaskan syariat.

Agama kita sebenaranya sangat lengkap dan sangat munazzam (teratur rapi) kita diatur melaksanakan ibadah haji dalam satu waktu dan satu tempat, solat berjamaah ditempat yang ditentukan, berpuasa pada waktu yang sama, segala sesuatu diatur lengkap dalam agama kita. Barang siapa yang tidak rela dengan agama ini semoga dijauhkan Allah. Cukuplah bagi kita untuk berkumpul dibawah satu panji, melaksanakan ketaatn dan ibadah. Inilah yang dapat kusampaikan.
Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc.
Soal:
Apa pendapat anda dalam menanggapi masalah qiyas, apakah dia termasuk salah satu sumber selain Alquran dan as-Sunnah?
Jawab:
Syeikh Masyhur Salman:
Masalah ini adalah permasalahan yang banyak membuat sesorang keliru pemahamannya dan tergelincir, namun jawaban yang rajih bahwa syariat ini memiliki illat (sebab dibuatnya hukum -pent) yang mu'tabarah (dianggap). Sebagaimana yang tertulis dalam surat Umar kepada Abu Musa Al-As'ari yang berbunyi: "Kenalilah sesuatu dengan hal-hal yang serupa dengannya maka engkau akan mengetahui kebenaran". Tetapi Qiyas bukan sumber yang independen layaknya Alquran dan As-Sunnah, dia hanyalah sebuah masdar taba'i (dasar yang mengikut) dibawah cakupan Alquran dan As-sunnah. Kita paham dari Alquran dan As-sunnah adanya kaedah-kaedah umum dan ketentuan-ketentuan dasar, maupun kaedah-kaedah fikih. Dengan itulah kita berusaha menyesuaikan hukum-hukum dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa. Dalam menyikapi Qiyas, manusia yang keliru terbagi menjadi dua kelompok yang bersebrangan:
Pertama adalah kelompok yang menolak qiyas secara total dan tidak manganggap bahwa syariat ini memililiki illat, memiliki hikmah bahkan mengingkari bahwa syariat ini ada yang ma'qulatul makna( dapat di rasionalkan.pent), kelompok ini adalah keliru.

Adapun kelompok kedua: adalah kelompok yang terlalu luas dalam penggunaan qiyas sehingga meremehkan nas-nas, bahkan bukan sekedar menjadikannya dasar hokum ketiga saja, lebih dari itu dia mendahulukannya dari nas-nas, walaupun pada dasarnya sepakat menerima nas. Kelompok ini juga keliru sebagaimana yang pertama.

Jawaban yang benar bahwa Qiyas mu'tabar (dianggap sebagai salahsatu rujukan -pent). Ketika Ahmad bertemu dengan Syafii, -Ahmad sangat mencintai Syafii-. Dia pernah menukil sebuah perkatan Syafiiketika ditanya mengenai kehujjahan qiyas : "Qiyas dapat dipakai hanya pada kondisi darurat". Inilah yang diperkuat Imam Ibn Qoyyim dalam keterangannya dan penjelasannya yang sangat tepat dan sempurna hingga tidak perlu lagi ditambahi dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabbi al-'alamin. Kemudian masalah ini turut diperbincangkan oleh Jabariyyah dan Qodariyyah sehingga terseret kedalam pemahaman aqidah yang rusak. Pendapat yang paling benar dan pertengahan adalah yang kusebutkan tadi, namun kalimat yang kusampaikan ini tentu tidak cukup untuk menerangkan secara rinci permasalahan ini dari apa yang diterangkan Ibn Qoyyim.
Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc.
Soal:
Bagaimana metode yang digunakan untuk membantah ahli bid'ah?
Jawab:
Syeikh Musa ibn Nasr:
Apabila ahli bid'ah tersebut seorang tokoh ternama yang dikenal selalu menyebarkan bid'ahnya kepada khalayak ramai, maka dia harus dibantah didepan khalayak ramai pula dan di-tahzir agar orang-orang menjauhinya.

Sebaliknya jika dia orang biasa yang tidak dikenal dikhalayak ramai dan bid'ahnya hanya pada masalah-masalah yang kecil maka JANGAN dibantah didepan khalayak ramai dan disebarluaskan. Sebab ini merupakan salah satu metode yang ditempuh ahli bid'ah agar dapat dikenal dan masyhur.

Yaitu seorang ahli bidah yang tidak terkenall membuat bantahan terhadap salafiyyin pada satu masalah, kemudian dibantah kembali oleh salafiyyun dan tullabul-ilmi dengan menyebarkannya kepada orang banyak. Hal seperti ini membuat nama ahli bi'ah tersebut masyhur dan dikenal.

Tetapi perlu diperhatikan juga dalam membantahnya haruslah dengan dalil, hujjah dan dalil aqliyyah maupun naqliyyah.
Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc.
Soal:
Kapan seseorang dikatakan menyelisihi paham salaf, dengan kata lain kapan dia dikatakan bukan seorang salafi ?dan bolehkah kita katakan bahwa si fulan salafi aqidahnya tetapi ikhwani manhajnya?
Jawab:
Syeikh Musa ibn Nasr:
Bukanlah tiap orang berhak-baik seorang alim ataupun penuntut ilmu- untuk mengeluarkan ataupun memasukkan seseorang kedalam salafiyyah. Karena salafiyyah bukanah perusahaan, yayasan sosial, ataupun partai politik. Salafiyyah adalah Islam itu sendiri .Tidak seorangpun dapat mengeluarkan seseorang dari dalam Islam, sebab seseorang tidak akan keluar dari Islam kecuali dengan kekafiran ataupun mengingkari sesuatu perkara prinsip yang telah diketahui secara pasti dalam agama.
Seseorang tidak akan keluar dari Islam kecuali dengan beberapa persyaratan yang telah disebutkan ulama.

Ungkapan yang diperbolehkan sebatas: "si fulan telah menyelisihi manhaj salaf, sifulan telah meyelisihi aqidah, menyelisihi apa-apa yang diperbuat salaf" hal ini kita nyatakan jika dia keliru dalam pemahaman salaf atau menjauhi kebenaran salaf.dalam masalah-masalah ataupun kaedah-kaedah tertentu.

Adapun orang orang yang mencampur adukkan berbagai macam pola, dia menyatakan rela dengan aqidah salaf tetapi tidak dengan manhaj salaf, maka hal ini tidak pernah didapati dalam manhaj para salaf. Sebab seseorang harus menjadi seorang salaf yang tulen sejak dari ujung rambutnya hingga ujung kakinya.

Seorang yang mengaku salaf harus mengambil agama ini secara keseluruhannya. Dia harus rela dengan aqidah salaf dan manhaj salaf, berakhlak layaknya akhlak salaf, beramal sebagaimana yang diamalkan salaf. Inilah dia seorang salafi. Sebab Allah Subhanahu wa ta'ala mengatakan: "Hai orang-orang beriman masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruahan". 

Kami tidak pernah tahu ada seseorang salafi yang rela atau mengakui kebenaran aqidah salaf sementara dia mengambil pemikiran hizbiyyah. Melihat dengan kaca mata hizbiyyah, dan tidak mendekat kecuali kepada hizbnya, loyalnya dan cintanya hanya pada hizb-nya , dia tidak akan tenang jika yang datang kepadanya bukan dari kelompoknya, sekalipun orang yang paling alim, paling benar dan paling tunduk mengikuti sunnah Nabi dan petunjuk para sahabatnya.

Sifat talfiq (memilih-milih mana yang dia suka berdasarkah hawa nafsu-pent) ataupun ganti-ganti warna ini, sangat bertentangan sekali dengan manhaj salaf. Ketika anda mengatakan "manhaj salaf" maka sebenarnya manhaj ini adalah manhaj yang sempurna yang masuk didalam cakupannya aqidah, negara, muamalah dan segala sesuatu yang menyangkut Islam baik hukum-hukumnya dan kaedah-kaedahnya.

Tetapi kesempurnaan hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala semata, dan yang maksum hanyalah Rasulullah seorang, dengan demikian kita jangan mengganggap bahwa seseorang salafi itu dapat steril dari berbagai kekurangan dan aib, atau steril dari segala ketergelinciran dan kekeliruan. Namun pasti sangat jelas beda seseorang yang keliru karena salah dalam memahami sesuatu masalah dengan seseorang yang dengan sengaja membangun mazhabnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan paham salaf; mencurahkan energi dan daya pikirya untuk membela dan mempertahankan ideologinya itu; memberikan wala dan baro berdasarkan itu. wabillahi at-taufik.

Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc.
Soal:
Sebelumnya anda nyatakan bahwa dakwah salaf menyeru kepada Islam secara menyeluruh, salaf menyeru kepada rukun Islam, jihad dan politik. Pertanyaan kami, sejauh manakah diperbolehkan ikut serta dalam pertarungan politik?
Jawab:
Syeikh Salim al Hilali:
Islam adalah agama yang paripurna (syamil) dan diridhai Allah untuk kita. Allah berfirman yang artinya:
"Sesungguhnya Agama yang diridhai Allah di sisiNya adalah Islam".
"Barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan kelak hari kiamat dia termasuk orang-orang yang merugi".
Allah menyeru untuk masuk kedalam Islam secara menyeluruh dengan firmanNya:
"Hai orang-orang yang berfiman masuklah kedalam as-silmi (Islam) secara keseluruhan".
Dalam menafsirkan kata as-silm, Ibn Abbas berkata :" As-Silmi" adalah Islam. Jadi Allah memerintahkan kita untuk masuk kedalam agama ini secara menyeluruh, atau masuk secara total kedalam nya.

Adapun "As-Siayasah" (politik) dialah hakikat Islam, karena makna siyasah sendiri adalah mengatur kemaslahatan umat dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kitabullah dan Sunnah rasulNya.. Dalam merealisasikannya dibutuhkan suatu manhaj, ilmu ataupun orang-orang yang faham kemaslahatan umat. Para ulama Islam telah mengarang berbagai macam literatur siayasah syar'iyyah (politik dalam syariat Islam) diantaranya: buku al-ahkam as-Sultaniyyah karya al-Imam Al-Mawardi, As-Siyasah As-Syar'Iyyah karya Ibn Taimiyyah dan Abu Ya'la al-Musili dan At-Turuq al-Hukmiyyah karya Ibn Al-Qayyim dan sebagainya yang keseluruhannya menerangkan bahwa Islam memiliki manhaj da'wah.Islam merupakan agama seluruh nabi-nabi, Rasululullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Bani Israil dipimpin oleh para nabi, jika seorang nabi wafat maka akan digantikan dengan nabi lainnya",
Beliau juga bersabda :"Akan datang setelahku para khulafa (pemimpin)", Yang mampu memahami kemaslahatan suatu Ummat setelah para nabi adalah para ulul amri yakni al-hukkam (para pemimpin ) dan Ulama, merekalah yang berhak untuk masuk kedalam kancah perpolitikan ini untuk kemaslahatan umat.

Para pemimipin bertugas menjalankan syariat Allah, sedangkan para ulama bertugas mengarahkan umat dan menunjuki para umara. Yang berkompeten dalam hal ini adalah orang yang berilmu dan paham dengan hukum syariat, karena Kemaslahatan umat memerlukan pemahaman agama yang sempurna.

Adapun kata "politik" yang dipahami pada zaman ini sebenarnya tidak pernah dikenal oleh Islam, .karena pengertian berpolitik di era ini adalah sebatas kemampuan untuk berdebat, menggerakkan massa, kemampuan berkelit, berubah-ubah warna, kemunafikan dan selalu mengikuti kemana arah angin bertiup. Islam berlepas diri dari "politik" yang seperti ini. Karena tidak akan mendatangkann kemaslahatan kepada ummat.

Inilah perbedaan makna "politik" yang diinginkan Allah dengan makna yang dipahami oleh orang-orang sekarang, yang tidak lain target utamanya agar sampai ketampuk kekuasaan, karena itu seorang politikus rela untuk bekerja sama dengan segala macam kelompok dan segala macam mazhab. Demi ambisi ini dia rela untuk ganti-ganti warna, bersikap plin-plan dan berbuat kemuanafikan dengan politikus lainnya, walaupun bertentangan dengan Allah Tuhan alam semesta..

Adapun siyasah syar'iyyah akan selalu dibawah pimpinan seorang alim yang rabbani , Allah berfirman:" Tetapi jadilah kalian ulama yang Rabbani dengan apa-apa yang kalian ajarkan dari alkitab dan dengan apa-apa yang kalain pelajari".

Ciri-ciri alim Rabbani adalah seorang yang mendidik ummat dengan masalah-masalah yang sederhana terlebih dahulu sebelum masuk kepada masalah-masalah yang besar. Dia paham betul apa yang dibutuhkan umat, karena itu, dengan cara perlahan da'i mendidik ummat hingga sampai kepadakesempurnaan dengan izin Allah Subhanahu wa ta'ala.

Seri Soal Jawab Dauroh Syar'iyah Surabaya 17-21 Maret 2002
Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu
Sumber: Milis As Sunnah (assunnah@yahoogroups.com) Msg #4176
Oleh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As Sulaimani Al Mishri
TANYA
Di beberapa negara Islam banyak terjadi bentuk-bentuk pelecehan terhadap kuburan, ada yang menjadikan perkuburan sebagai tempat bermain bola, ada yang menjadikannya sebagai jalan tempat lalu lalang hewan ternak, atau kendaraan mereka, ada yang duduk diatasnya dan ada yang melintas diatasnya.
Apakah nasehat anda dalam hal ini ?
JAWAB:
Seorang muslim tetap dihormati dan dimuliakan, baik pada waktu ia masih hidup atau pun sesudah matinya. Ia tidak boleh dihinakan baik di dalam kuburnya maupun di dalam rumahnya. Dalam sebuah riwayat dari Basyir bin Al Khashashiyah, ia berkata
Ketika aku berjalan bersama Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam sambil bergandeng tangan, beliau berkata :
"Wahai putra Khashashiyah, janganlah engkau menjadi orang yang mengeluh terhadap Allah, engkau sekarang sedang berjalan bersama Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam   - (Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam, mengatakan demikian kepada Basyir karena ia menampakkan kegelisahannya, sebab ia sudah terlalu lama berpisah dari keluarganya)- Lalu aku berkata: "Wahai Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam  ! Ayah dan ibuku menjadi tebusannya, aku bukanlah orang yang mengeluh terhadap Allah, semua yang dianugerahkan-Nya kepadaku adalah baik"
Beliau kemudian melewati perkuburan orang-orang musyrik seraya berkata :
"Sesungguhnya mereka telah terluput dari kebaikan yang banyak (Karena mereka mati dalam keadaan musyrik)".
KemUdian beliau mendatangi kuburan orang-orang mukmin seraya berkata
"Sesungguhnya mereka akan mendaptkan kebaikan yang banyak sekali, beliau mengulanginya sebanyak tiga kali."
Saat Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam   berjalan bersamaku, pandangannya tertuju kepada seseorang yang sedang berjalan di pekurburan dengan memakai sandal, kemudian beliau menegurnya:
"Wahai pemakai sandal, celakalah engkau ! Lepaskanlah kedua sandalmu."
Orang itu kemudian menoleh dan ketika ia mengetahui bahwa yang menegurnya adalah Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam, segera saja ia lepaskan sandalnya (HR. Abu Dawud ,Hakim dan lainnya). Lihat Ahkamu Janaiz jhal 136 - 137 dan 209.
Dari Uqbah bin Amir ia berkata :" Menginjak bara api atau mata pedang yang melukai kakiku lebih aku sukai dari pada berjalan di atas kuburan seorang muslim. Sama buruknya bagiku, membuang hajat di kuburan dengan buang hajat di pasar yang di tonton orang banyak.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah secara mauquf * (NO.11773 dan 11780) Diriwayatkan secara marfu' -( di sandarkan kepada Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam   ,pent)- oleh Ibnu Majah no 1567, namun menurut pendapat kami, riwayat marfu' adalah riwayat syadz**. Maksudnya adalah : sebagaimana seorang yang buang hajat dipasar telah berbuat senonoh, demikian pula dengan seorang yang melintas diatas kuburan. Kedua-duanya adalah perbuatan tercela. Di dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dari Rasulullah, beliau bersabda :
"Seandainya salah seorang di antara kamu duduk di atas bara api sehingga terbakar pakaiannya dan melahap tubuhnya, lebih baik daripada ia duduk diatas kuburan. (HR.Muslim dalam Kitab Janaiz)
Apabila sekedar duduk di atas kuburan telah mendapat sanksi yang demikian berat, bagaimana pula dengan orang yang melintas di atasnya. Apalagi Rasulullah telah memerintahkan kepada orang yang berjalan di sela-sela kuburan agar melepaskan alas kakinya. Demikian pula para salaf juga melarang perbuatan tersebut. Akan tetapi yang sangat memprihatinkan sekarang ini adalah kuburan-kuburan tersebut telah diajdikan sebagai tempat bermain bola. Bukan hanya itu saja, bahkan orang-oragn yang mengaku sebagai juru dakwah mengadakan perlombaan-perlombaan (permainan-permainan) di atas perkuburan kaum muslimin, padahal di antara penghuni perkuburan tersebut terdapat ulama, ahli ibadah, ahli zuhud dan para penghafal Al- Quran.Hanya kepada Allah sajalah mengadukan orang-orang yang tidak percaya akan kebesaran Allah. Kita khawatir bahwa Allah akan menghinakan orang-orang yang melecehkan kuburan kaum muslimin, di dunia maupun di akhirat.
"Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak ada seorang pun yang memuliakannya" (Al- Hajj 18)
Dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syair Allah , maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (Al- Hajj 32)

----------------
Catatan kaki:
* : mauquf adalah, apa-apa yang dinukil dari sahabat berupa ucapan atau perbuatan mereka
** : Syadz adalah riwayat perawi tsiqah (terpercaya) menyelisihi yang lebih tsiqah darinya atau riwayat seorang tsiqah menyelisihi tsiqah-tsiqah lainnya

Dari: "Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar'iyyah" Jilid I, Abul Hasan Musthafa bin Ismail  As Sulaimani Al Mishri. Penerjemah: Abu Ihsan, Editor: Muslim Al-Atsari, Penerbit: Pustaka At-Tibyan, Solo. Cetaan I, Agustus 2000, hal. 66-68
Tanya :
Kitab apakah yang anda anjurkan untuk dibaca oleh pemuda yang sedang belajar?
Jawab :
Saya anjurkan padanya apabila masih awal hendaklah membaca kitab Fiqhus Sunnah oleh Sayid Sabiq, sambil dibantu dengan sebagian kitab yang dijadikan rujukan, seperti Subulus Salam. Disamping itu jika dia memperhatikan kitab Tamamul Minah (berisi koreksi dan komentar terhdap kitab Fiqhus Sunnah) maka cara ini lebih kuat dan selamat.
Saya anjurkan juga kepadanya hendaklah membaca kitab Ar Raudhatun Nadiyah oleh Sidiq Hasan Khan. Adapun tafsir, maka wajib baginya untuk membiasakan membaca kitab Tafsir Al Qur’an al Adhim oleh Ibnu katsir, walaupun sebagian tafsir tersebut panjang uraiannya. Sebab kitab tersebut paling sah, benar pada zaman ini.
Kemudian untuk nasehat dan pelembut hati maka wajib baginya membaca kitab Riyadhus Shalihin oleh Imam nawani. Sedangkan untuk aqidah membaca Syarh Aqidah Thohawiyah oleh Ibnu Abil Izzi Al Hanafi, dalam memahami kitab tersebut dibantu dengan komentar dan penjelasanku pada kitab tersebut.
Kitab-kitab secara umum untuk dibiasakan membacanya antara lain kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim al Jauziyah. Saya meyakini bahwa keduanya merupakan ulama langka di kalangan kaum muslimin. Mereka berada dalam manhaj salafus shalih baik dalam pemahaman, takwa dan kebaikkannya.
(As Shalah 5/15 Dzulhijjah 1413 hal 59)
Adalah tepat ketika Imam Mujadid abad ke-12 H, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam al-Ushul ats-Tsalatsah menyatakan bahwa kewajiban pertama di antara empat kewajiban yang harus dipelajari seorang muslim adalah ilmu.
Juga pada perkataan Imam al-Bukhori ketika mengetengahkan sebuah judul bab pada kitab Shahih-nya "Bab : Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan". Al Imam Al Bukhari mendasarkan perkataannya pada firman Allah SWT:
"Maka Ilmuilah bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah, dan mohonlah ampun bagi dosamu" (Muhammad:19).
Pada kenyataannya ilmu itu memang teramat penting dan menentukan, oleh karena itu ia mesti menjadi hal pertama untuk dimengerti.
Mengapa Ilmu? Apakah Ilmu dan Apakah Batasannya?
Para ulama salaf telah menempatkan perhatian mereka untuk memberikan penjelasan tentang batasan ilmu, mafhum, manhaj dan kepentingannya. Hal itu kerena mereka memahami betul bahwa sebab-sebab terjadinya penyimpangan orang-orang yang sesat pada asalnya karena kekeliruan tashawwur (pandangan/wawasan) mereka tentang batasan ilmu.
Namun perlu diketahui bahwa pemahaman atau orientasi seseorang tentang ilmu akan menjadi benar dan bermanfaat jika didasari oleh iman serta keyakinan yang benar pula.
Al Imam Ibnul Qayyim mengemukakan bahwa :
Iman dan keyakinan akan melahirkan m2a'rifat (pemahaman) serta kehendak yang benar, sebaliknya, ma'rifat serta kehendak yang benar akan melahirkan serta mengkokohkan keimanan. Dari sini saja jelaslah bahwa penyimpangan kebanyakan manusia dari iman adalah disebabkan penyimpangan mereka dari ma'rifat serta kehendak yang benar.
Sementara itu iman tidak akan menjadi sempurna kecuali jika ma'rifat mengenainya diterima dari misykat nubuwwah (sumber kenabian / wahyu) dan disertai dengan kehendak yang bersih dari segenap unsur noda hawa nafsu dan keinginan untuk mencari perhatian makhluq.
Dengan begitu ilmunya benar-benar terpetik dari misykat wahyu, sedangkan kehendaknya benar-benar karena Allah dan keinginan negeri akhirat.
Itulah dia manusia yang paling benar ilmu serta amalnya, dia termasuk para imam yang mengambil petunjuk dengan perintah Allah dan termasuk khalifah Rasulullah SAW di tengah-tengah umatnya.
Perkatan Ibnul Qayyim di atas adalah senada dengan apa yang dikatakan oleh seorang sahabat nabi yang mulia, Ubadah bin Shamit: "Kalau kamu suka, saya akan beritahukan kepada kamu bahwa ilmu yang paling pertama yang akan dihilangkan dari manusia adalah Khusyu'."
Maksudnya dari rasa khusyu' (tunduk dan patuh) inilah sebuah ilmu yang benar akan terbangun. Tentu yang dimaksud oleh Ubadah dengan Ilmu ini adalah ilmu yang langsung menyangkut keselamatan seseorang di dunia maupun di akhirat yaitu ilmu tentang Allah dan Dienul Islam, sebab perkataan beliau tersebut berkenaan dengan hadits Rasulullah SAW :
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak menyisakan satu orang alimpun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal satu orang alimpun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka akan berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. (HR Bukhari dalam al Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223).
Dengan demikian untuk persoalan ilmu memang ada dua kemungkinan, ilmu yang benar dan ilmu yang salah.
Ini sesuai dengan pernyataan al Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
"Dan diantara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa Ilmu" (al Hajj:8)
tanpa ilmu disini yaitu tanpa ilmu yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas maka mestinya setiap hamba Allah mengkaji ulang kembali adakah ilmu yang diyakini itu sudah benar, atau bahkan ilmunya itu sekedar angan-angan kosong belaka?
Akan tetapi ketika persoalannya sampai pada pertanyaan:"Apakah definisi atau pengertian ilmu itu? Maka seperti dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdillah al Khur'an, adalah sulit untuk membuat definisi tentang ilmu, sebab disamping istilah ilmu itu sendiri ketika didengar oleh sesorang, ia akan secara sepontan dapat mengerti maksud istilah tersebut, juga karena sebuah definisi tentu memerlukan  bahasa-bahasa sinonim yang secara tepat mampu memberikan penjelasan hingga keseluruhan maknanya dapat tertangkap secara utuh.
Sedangkan ilmu ketika didefinisikan dengan bahasa panjang lebar, justru mungkin akan semakin mengkaburkan makna ilmu itu sendiri, atau orang semakin tidak paham mengenainya. Begitu pula ketika ilmu disebut sebagai "ma'rifah" atau"idrak" (daya tangkap) "atau "tashawwur" (wawasan); padahal istilah-istilah itu masuk dalam pengertian ilmu.
Oleh karena itu, yang pennting disini bukanlah membahas tentang definisi ilmu tetapi tentang persyaratan-persyaratan ilmu, atau dengan kata lain kapankah suatu hal atau suatu perkataan bisa disebut ilmiah, atau bisa disebut haq dan benar?
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan: 
"ilmu ialah memindahkan gambaran yang diketahui dari kenyataan alam luar kemudian ditetapkannya (dimasukkan hingga tetap) ke dalam diri, sedangkan amal adalah memindahkan (mewujudkan) gambaran ilmiah dari arah dalam diri, kemudian dituangkan dalam alam nyata.
Apabila yang ditetapkan di dalam diri ternyata sesuai dengan kenyataan (realita), berarti dia adalah ilmu yang benar. Namun seringkali orang menetapkan sesuatu gambaran di dalam dirinya apa yang tidak ada wujud hakikinya, sehingga ia mengira bahwa yang dimilikinya adalah ilmu, ia hanyalah perkiraan-perkiraan belaka, tanpa ada kenyatannya, dan itulah kenyataaan dari pada kebanyakan dari ilmu manusia...?"
Jadi Ibnu Qoyyim (juga sebagian ulama' lain) memberi syarat : "suatu ilmu bisa disebut ilmu, apabila sesuai dengan realita".
Demikian juga yang dikatakan oleh imam asy-Syatibi bahwa:
"Ilmu yang dikehendaki disini maksudnya ialah agar supaya terjadinya amal-amal perbuatan dalam wujud nyatanya sejalan dengan ilmu tersebut tanpa ada perselisihan, baik amal-amal itu merupakan perbuatan hati, lidah maupun anggota badan"
"Dengan demikian jika suatu perbuatan biasanya berlangsung sejalan dengan ilmunya tanpa ada perselisihan sedikitpun antara keduanya, berarti dalam kaitan ini ia merupakan ilmu sebenarnya, kalau tidak berarti bukan ilmu karena tiada kesesuaian antara keduanya (teori dengan kenyataan -pen). Berarti hal ini bathil, sebab kebalikan ilmu adalah jahil (bodoh)"
Kesimpulan Asy Syatibi rahimahullah mensyaratkan bahwa kesesuaian disini adalah kesesuain dengan kenyataan dalam perkara-perkara indrawi, maknawi dan juga qauli (bersifat perkataan, perkatannya benar -pen)
Persoalannya ialah bagaimana kaidah (tentang ilmu) di atas bisa berlangsung dalam hubungannya dengan perkara-perkara ghaib?
Misalnya tentang Allah, asma' dan sifat Nya, malaikat, wahyu, hari akhir dan lain sebagainya perkara yang tidak memungkinkan bagi seseorang untuk secara indrawi membuktikan kenyataannya melalui pendekatan realistik?
Untuk menjawab persoalan ini harus dipahami terlebuh dahulu, apakah kenyataan yang realistik itu?
Kenyataan realistik ialah segala sesuatu yang nyata adanya, baik yang dapat terjangkau oleh indra maupun yang diluar jangkauan indra (ghaib)
Jadi perkataan ghaib termasuk bagian dari kenyataan realistik (asal jelas kenyataannya ). Pembuktiannya ialah melalui periwayatan yang benar dan terpercaya.
Syaikh Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan:
" Sesungguhnya segala hal yang telah tsabit (jelas adanya) berdasarkan dalil sama' (wahyu) atau dalil lainnya, berarti jelas adanya, baik tsubut (kejelasan adanya ) itu kita ketahui dengan akal, atau tidak dengan akal , atau tidak kita ketahui  baik dengan akal atau tidak dengan akal.
Jadi ketidaktahuan seseorang akan sesuatu, tidak menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak ada. Ketidaktahuan kita akan berbagai hakekat yang ada, tidak berarti meniadakan adanya hakekat yang ada tersebut".
Dengan demikian perkara-perkara yang ghaib jelas merupakan kenyataan yang realistik, yang bisa diketahui tidak melaui pandangan mata, rabaan pendengaran maupun penciuman, tetapi bisa diketahuii karena dua dua hal yakni:
Pertama:   Perkara-perkara itu tidak mungkin bisa dipungkiri adanya
Kedua:  Diketahui melalui pemberitaan yang secara pasti dijamin kebenarannya dan dijamin kebenaran periwayatannya.
Pada tingkat berikunya, Ibnu Qoyyim rahimahullah- menyatakan : "Dan segala yang tertetapkan didalam diri yang sesuai dengan realita (ilmu yang benar-pen), itu ada dua macam:
1) Jenis ilmu yang menjadikan diri manusia semakin sempurna dengan memahami dan mengilmuinya; yaitu ilmu tentang Allah, asma, sifat, perbuatan-perbuatan, kitab-kitab perintah-perintah, dan larangan-larangan Nya.
2) Jenis ilmu yang tidak membawa manusia menjadi sempurna; yaitu segenap ilmu yang apabila tidak dimengerti / diilmui, tidak akan mendatangkan bahaya, itulah ilmu yang tiada bermanfaat. Nabi Muhammad SAW berdo'a memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfat. Dan seperti inilah yang nampaknya kebanyakan "ilmu yang benar" ilmu yang pas dan sesuai dengan realita, namun jika toh tidak diilmuipun tidak akan mendatangkan bahaya apa-apa; misalnya ialah: ilmu falak dengan kerumitan serta tingkatan-tingkatannya, jumlah bintang, jarak dan ukurannya.
Begitu pula ilmu bilangan gunung , warna, luas dan besarnya, dan seterusnya..
Dengan demikian, maka tingkat keutamaan suatu ilmu, ditentukan berdasarkan tingkat keutamaan dan dibutuhkannya sesuatu yang mesti diilmuinya.
Tentu saja tiada lain yang lebih diutamakan dan dibutuhkan melainkan ilmu tentang Allah beserta segala ilmu yang menjadi rangkaiannya..
Ungkapan Ibnul Qayyim di atas adalah benar belaka kecuali jika ilmu-ilmu tersebut membawa pemiliknya menjadi semakin kagum pada keagungan serta ke-Maha Kuasaan Allah, Pencipta Alam semesta.
Adalah memang benar bahwa fitrah manusia sebenarnya amat mengenal kepada Rabbnya, bahkan seperti dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
"Sesungguhnya pokok ilmu tentang ilahi merupakan hal yang fitri dan pasti, ilmu tentang ilahi tersebut jauh lebih mapan tertanam dalam jiwa dibandingkan dengan prinsip ilmu pasti dan alam seperti 'satu adalah setengah dari dua' atau 'sebuah tubuh tidak mungkin ada di dua tempat'; sebab pengertian-pengertian dalam ilmu pasti dan alam itu merupakan nama-nama (penyebutan-penyebutan) yang mungkin tidak dimengerti oleh kebanyakan fitrah. Sedangkan ilmu tentang ilahi tidak akan terbayang kalau fitrah tidak mengenalinya. "
Namun tentu pengenalan fitrah semata kepada Rabbnya tidaklah cukup tetapi harus didukung dengan ilmu-ilmu lebih lanjut, yaitu memahami wahyu, sebab wahyu itulah yang akan menjamin berlangsungnya pemahaman secara benar sehingga apa yang sudah dikenali secara fitrah tidak akan terselewengkan.
Syaikh Abil Izzi Al Hanafi menyatakan bahwa: "Ilmu yang paling mulia adalah ilmu ushuluddin (pokok-pokok dien), karena tolok ukur mulianya sebuah ilmu tergantung pada kemulian yang mesti diilmui. Kebutuhan manusia kepada ilmu ini diatas kebutuhan penting lainnya, karena tiada hakekat hidup bagi hati dan tiada kenikmatan serta ketenteraman kecuali apabila ia mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, lengkap dengan Asma', Shifat serta perbuatan-perbuatan (Rubbubiyah)-nya. Akan tetapi adalah mustahil jika akal (fitrah) semata-mata dapat memahami rincian semua persoalan ushuluddin di atas. Oleh karenanya Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Kasih Sayang dengan segala hkmah serta kebijaksanaan-Nya mengutus para utusan-Nya supaya mengenalkan Allah pada umatnya dan mendakwahi mereka supaya mengabdi kepada-Nya. Allah menjadikan kunci serta intisari dakwah yang dilakukan oleh para Rasul itu ialah: Ma'rifat (mengenal) terhadap Allah lengkap dengan hak Ilahiyah, Asma', Shifat serta perbuatan-perbuatan-Nya. Inilah tuntutan risalah para nabi semenjak nabi pertama hingga nabi terakhir."
Pada sisi lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
"Risalah Nabi SAW meliputi dua hal yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
"Dialah Allah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) al Huda / petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." (at Taubah:33)
Al Huda pada ayat di atas ialah: ilmu yang bermanfaat sedangkan dienul haq ialah amal shalih yang terdiri dari ikhlas karena Allah dan mutaba'ah (ittiba') kepada Rasulullah SAW.

Ilmu yang bermanfaat meliputi segenap ilmu yang didalamnya terdapat kebaikan dan kemaslahatan bagi umat untuk menempuh kehidupan di dunia maupun di akhirat. Tentu saja yang paling pertama masuk ke dalam ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang asma' Allah, sifat-sifat, dan af'al (perbuatan-perbuatan)-Nya, sebab ilmu tersebut adalah ilmu yang paling bermanfaat. Ilmu inilah intisari risalah ilahiyah dan pokok daro dakwah nabi.

Dengan ilmu inilah bakal tegak dienullah baik secara perkataan, perbuatan maupun keyakinan. Oleh sebab itu adalah mustahil jika nabi SAW mengabaikan persoalan ilmu ini dan tidak menjelaskan secara tertulis kepada ummatnya, hingga hilang keraguan serta syubhat..."
Demikianlah uraian beberapa ulama terpercaya tentang hakekat ilmu, batasan-batasan, syarat-syarat dan manakah ilmu yang penting, utama dan pertama harus dimengerti oleh seorang manusia.

Dinukil dari Majalah As Sunnah 09/I/1415 dari tulisan Ustadz Ahmas Faiz
Mengapa umat Islam berpecah? Bukankah Islam agama yang haq? Bagaimana kita menyikapi perpecahan ummat? Apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya

“Beruntunglah orang-orang asing yang mereka memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia sesudahku dari sunnahku.” (HR At-Tirmidzi)
Iftiraqul ummah adalah takdir Allah
Iftiraqul ummah (perpecahan umat) adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti terjadi. Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits yang mutawatir:
“Terpecah umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, dan terpecah umat Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (1)

Bukti kebenaran akan hadits ini, telah mulai tampak ketika munculnya pemahaman sesat akidah Saba’iyah (akidah Khawarij dan Syi’ah). Inilah hal pertama yang didengar kaum muslimin, dan didengar pula oleh para shahabat tentang akidah iftiraq dan benih-benih firqah di kalangan muslimin yang ditiupkan oleh para pemeluknya. Dan benih-benih iftiraq ini terus tumbuh dan berkembang hingga munculnya firqah-firqah Qadariyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Dan sungguh, hal yang demikian ini terus menerus terjadi hingga masa sekarang. Hal ini semakin tampak nyata dengan lahirnya harakah-harakah dengan membawa fikrah masing-masing.

Mensikapi iftiraqul ummah
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan terjadinya iftiraqul ummah telah memberikan bimbingan agar umat tidak tenggelam dalam fitnah ini. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“ … Barangsiapa di antara kalian berumur panjang, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. …”(2)

1. Maka sikap kita yang pertama adalah tetap bepegangan pada sunnah Rasulullah saw dan para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk.

Maka dalam memahami dien ini kita harus senantiasa meruju’ kepada apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dengan pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in. Walaupun pemahaman itu berbeda dan ditentang oleh kebanyakan manusia, maka tetaplah berpegangan kepadanya. Sungguh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa Islam ini pada awal kedatangannya adalah asing dan pada suatu saat nanti akan kembali dianggap asing (diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya: (145) dari Abu Hurairah), sebuah keadaan dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah seakan menggenggam bara api, barangsiapa beramal pada hari-hari semacam ini maka pahalanya seperti pahala amalan 50 orang shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang masyhur:
“Akan suatu pada manusia suatu jaman, orang yang sabar (istiqamah) di atas agamanya pada jaman ini seperti memegang bara api.”(3)

“Sesungguhnya di belakang kalian ada suatu hari, kesabaran di dalamnya seperti memegang bara api, orang yang beramal pada hari-hari semacam ini pahalanya seperti 50 orang yang beramal seperti amalnya kalian.”(4)

Berkata Ath-Thibi tentang hadits ini: “Maknanya sebagaimana tidak mampunya seorang pemegang bara api untuk sabar karena menghanguskan tangannya seperti itu pula keadaan seorang yang beragama, pada hari itu, tidak mampu untuk tetap di atas agamanya karena banyaknya pelaku maksiat dan pelaku maksiat, tersebarnya kafasikan dan lemahnya iman.”

Berkata pula Al Qari: “Yang jelas bahwa makna hadits adalah sebagaimana tidak mungkin bagi seseorang untuk memegang bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan menanggung banyak kesusahan. Demikian pula di jaman itu tidak akan tergambar dalam benak seseorang untuk menjaga agamanya dan cahaya imannya kecuali dengan kesabaran yang besar.”

Akan tetapi, walaupun demikian keadaannya, Allah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya tidak akan membiarkan umat ini musnah dari muka bumi. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang terang-terangan di atas kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang yang mencemoohnya sampai datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian”(5)

2. Hal kedua yang harus kita lakukan ketika fitnah ini terjadi adalah tinggalkan semua golongan (firqah) yang ada, sebagaimana diriwayatkan dari Hudzaifah:
“Bahwasanya ketika manusia bertanya kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena khawatir akan menimpa diriku, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan, maka Allah datangkan kepada kami kebaikan, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Ya”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, tapi padanya ada dakhan (kotoran)”. Aku berkata, “Apa dakhannya?”. Beliau menjawab, “Kaum yang mengerjakan sunnah bukan dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau kenali mereka tapi engkau ingkari”. Maka aku berkata, “Apakah setelah kebaikan tersebut akan muncul kejelekan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, adanya dai-dai yang berada di atas pintu jahannam, barangsiapa yang memenuhi panggilannya akan dilemparkan ke neraka jahannam”. Aku berkata, “Wahai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam terangkan ciri-ciri mereka”. Beliau berkata, “Mereka adalah suatu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita, bahasanya juga sama dengan bahasa kita”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?” Beliau berkata, “Berpeganglah dengan jama/ah muslimin dan imam mereka”. Aku bertanya, “Bagaimana jika tidak ada jama’ah dan imam?” Beliau menjawab, “Tinggalkan semua firqah, meskipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kamu mati dan kamu dalam keadaan seperti itu .”(6)

3.Hal ketiga adalah senantiasa menyeru manusia kepada al haqq, saling bertawashaw bil haqq wa tawashaw bish-shabr (saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran). Inilah kewajiban yang tetap ada pada diri kaum muslimin kepada sesama mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla: Dan saling nasihat-menasihatilah engkau dengan kebenaran dan dengan kesabaran.’ (QS Al ‘Ashr: 4)

Dalam mensikapi perbedaan pemahaman yang ada, maka kewajiban ini tetap wajib diamalkan. Bukan seperti pendapat sebagian orang, “Kita bekerjasama terhadap apa-apa yang kita sepakati dan kita saling tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan yang ada.” Perkataan ini benar jika perbedaan yang ada adalah hal-hal yang memang merupakan ikhtilaf tanawu’ yang bisa ditolerir, sedangkan untuk perkara yang telah menjadi ijma’ aimmah ahlus sunnah wal jama’ah dan kaum muslimin, maka tidak ada lagi kata tasamuh. Mereka harus diberi peringatan, ditegakkan hujjah kepada mereka (iqamatul hujjah) dan jika tetap tidak mau mengikuti pemahaman yang lurus, maka mereka wajib diberi sangsi dan umat harus ditahdzir akan kesesatan yang ada pada mereka serta bahayanya bergaul dengan mereka. Sebagaimana Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu telah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.

Sedangkan jika perbedaan pemahaman yang ada seputar masalah fiqih atau pun hal-hal yang lain sifatnya ijtihadiyah, maka wajib di antara muslimin untuk mempertemukan perbedaan itu dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari yang lebih dekat kepada al-haqq. Jika upaya ini tetap tidak bisa mempersatukan pemahaman yang ada, maka hendaknya masing-masing memahami menurut keyakinan masing-masing tanpa saling cela, saling caci, dan tetap saling menghormati. Sebagaimana yang telah banyak dipraktekkan pada shahabat. Sebagai contoh: ketika dalam penyerangan Bani Quraidhah. Sewaktu hendak berangkat Nabi shalallaahu’alaihi wa sallam berpesan agar para shahabat tidak shalat kecuali setelah tiba di tujuan. Tapi ternyata sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah waktu shalat Ashar sudah tiba. Maka sebagian shahabat mengerjakan shalat di tengah perjalanan, dengan alasan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mengakhirkan shalat. Yang lain memegangi ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, yakni tidak mengerjakan shalat hingga tiba di tujuan, walau sudah habis waktunya. Ketika yang demikian sampai kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau tidak mencela satu pun dari keduanya.(7)

Demikian pula ketika Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Ubay bin Ka’ab tentang sahkah shalat dengan memakai satu baju? Maka ketika mendengar perdebatan mereka Umaa keluar dengan marah dan berkata: “Dua orang dari Rasulullah saw telah berselisih, yaitu di antara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil dari Rasul. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi aku tidak mau mendengar ada orang yang berselisih tentang hal itu setelah ini, kecuali aku mengerjakannya begini dan begitu.”(8)

4.Hal keempat yang mesti kita lakukan di tengah iftiraqul ummah ini adalah tetap berupaya untuk menjaga persatuan di antara kaum muslimin. Walaupun iftiraqul ummah adalah sebuah kepastian dan bagaimana pun usaha kita untuk mencegahnya maka iftiraqul ummah ini tetap akan terjadi, akan tetapi hal ini tidaklah menafikan kewajiban kita untuk tetap berpegang teguh kepada tali Allah dan menjaga persatuan di kalangan umat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: “Dan berpegang teguhlah kalian kepada tali Allah seluruhnya, dan hangan berpecah belah.” (QS Ali Imran: 103)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud dengan tali Allah adalah janji Allah. Dikatakan pula bahwa tali Allah ialah Al Qur’an. Sedangkan lafazh walaa tafarraquu (jangan berpecah belah) menunjukkan perintah untup berjama’ah dan melarang perpecahan.(9)

Dan perintah bersatu di sini bukanlah persatuan telompok (firqah) tertentu yang kemudian saling membanggakan kelompoknya masing-masing. Dan menganggap yang di luar kelompoknya berarti bukan saudaranya dan lantas disikapi dengan sikap seperti orang kafir. Akan tetapi adalah kesatuan kaum muslimin yang berlandaskan aqidah dan manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallaahu a’lam bish shawab.

Penjelasan tentang haditsul iftiraq
Terkait masalah haditsul iftiraq, dimana umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang mereka semua berada di dalam neraka, kecuali satu yang selamat yakni Al Jama’ah. Maka jumhur ulama mengatakan, bahwa masuknya mereka ke dalam neraka ini tidaklah kekal, akan tetapi hanya sementara. Jadi, bid’ah-bid’ah yang ada pada diri mereka tidaklah menyebabkan mereka keluar dari Islam, bid’ah itu tidak sampai menjatuhkan mereka dalam kekufuran (bid’ah mukaffirah) akan tetapi hanya sampai pada tingkatan fusuq (bid’ah muharramah). Maka mereka tetaplah muslimin, sehingga tetap ada kewajiban untuk berwala’ terhadap mereka dan ada pula kewajiban bara’ terhadap meruka sesuai dengan tingkad penyimpangan yang ada pada mereka.

Panitia Tetap Al Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta yang terdiri dari: Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Bbz, Syaikh Abdurrazaq Al Afify, Syaikh Abdullah bin Ghadyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud memfatwakan mengenai harakah-harakah yang ada saat ini, “… secara umum, setiap jama’ah mempunyai kesalahan dan kebenaran. Anda boleh bergaul dengan jama’ah manapun selagi di sana ada kebenaran dan menghindari jama’ah yang banyak kesalahannya. Tetapi tetap harus saling memberi nasihat, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.”(10)

Maka para ulama menasihatkan kepada para ahlul ‘ilm untuk turut bersama mereka dan meluruskan mereka dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullaah, “…Jika manusia memiliki ilmu dan pemahaman keluar bersama mereka untuk menyampaikan ilmu dan pengingkaran dan nasihat kepada kebaikan serta mengajari mereka sampai mereka itu meninggalkan madzhab bathilnya dan meyakini madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka diperbolehkan.”

Dan sungguh, hanya Allahlah yang Maha Mengetahui siapajah di antara harakah-harakah yang ada yang paling dekat kepada kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al Kahfi: 503-104)

Dan demi Allah, tidak ada jaminan bagi siapa pun bahwa dialah yang berada pada kebenaran. Kewajiban kita adalah berupaya semaksimal mungkin agar selalu berada dalam shiraathal mustaqiim.

Sebuah manhaj (metodologi) dalam memahani dien
Dalam meniti jalan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi bimbingan:
“… yaitu mereka yang mendengarkan perkataan yang baik, dan mengikuti yang terbaik diantaranya.” (QS Az Zumar:18)

Maka mencari ilmu dari ahlul ilmi dari mana pun adalah sebuah kebaikan, karena hikmah itu adalah milik muslim yang hilang, maka ambillah ia dari mana pun engkau mendapatkannyu. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “… Terimalah kebenaran itu apamila engkau mendengarkannya, karena atas kebenaran itu ada cahaya.” (11)

Tolok ukur kita dalam menilai kebenaran, yang pertama adalah ada tidaknya dalil tentangnya karena Rasulullah saw mengatakan: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan ibu tertolak.” (HR Mutafaqun ‘alaih)

Kemudian yang kedua, sesuaikah dengan pemahaman para salafush-shalih yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengazakan tentang mereka: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi orang-orang sesudahnya, dan kemudian orang-oyang yang sesudahnya.” (HR Arba’ah)

Allah Tabaraka Wa Ta’ala pun mengatakan tentang pemahaman para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in dengan firman-Nya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan.” (QS Al Baqarah: 137)

Seandainya apa yang kita pahami sesuai dengan pemahaman mereka maka itulah al-haqq, maka siapa pun yang berada di atas pemahaman ini maka merekalah yang disebut al-firqatun najiyah, merekalah fs-sawaadul a’zham, dan itulah al-jama’ah, sebagaimana dikatakan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap yang mengikuti sunnahku dan para shahabatku.” ; “Kalian wajib berpegana teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaui rasyidin” (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: “Al Jama’ah itu ialah setiap yang sesuai dengan al-haqq walau engkau seorang diri.” Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah walaupun engkau sendirian.” Ibnu Khallal rahimahullaah mengatakan: “Al Jama’ah ialah Jama’atul Muslimin, yaitu para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka adalah hidayah dan menyelisihi mereka adalah sesat.”

Maka barangsiapa yang mengatakan bahwa yang demikian (yakni mengambil ‘ilmu dari beberapa harakah yang ada) maka dia seperti pemulung, sungguh, dia adalah orang yang ‘sangat mengenal’ diennya sehingga dia berani menyamakan dien-nya sebagai sampah dan betapa dia sangat memuliakan harakahnya, yakni dengan menyamakannya dengan keranjang sampah yang para pemulung dapat mengambil sampah daripadanya. Allahu Ta’ala A’lamu Bish-shawab.

Semoga Allah senantiasa membimbing umat ini agar selalu bersatu di atas bendera sunnah, dan berdiri di atas landasan aqidah ash-shahihah, serta menyeru mqnusia dengan manhaj sunnah dan di atas jalan nubuwwah. Ushikum wa nafsi bitaqwallaah. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Foot note:
1. Hadits ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak shahabat, dikeluarkan oleh imam-imam yang adil, yang hafal hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al Muushili, Ibnu Abi Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh sejumlah besar ahli ilmu, seperti At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, As-Suyuti, dan Asy-Syatibi.
2. HR Nasa’I dan Tirmidzi: HASAN SHAHIH. Lihat Kitab Firqah Najiyah oleh Syaikh Jamil Zainu.
3. Dikeluarkan oleh At Tirmidzi: (2260) dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra: (195) dari Anas radhiyallaahu ‘anhu..
4. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah: (XIV/344) dan dalam tafsir: (III/110) dengan lafazh yang panjang.
5. Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafazh ini: (1920) dan Abu Dawud: (4252) dengan tambahan: “Tidak akan memadharatkan mereka orang-orang yang menyelisihinya.”, dan tambahan yang panjang di awalnya. Dikeluarkan pula oleh At Tirmidzi: (2229) secara ringkas dan dia fenshahihkannya, dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah: (10) dengan lafazx yang panjang dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad: (V/276) dengan lafazh yang panjang dan dalam (V/247) secara ringkas, dll.
6. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, 3606, Muslim dalam Shahih-nya (1847), Imam Ahmad dengan panjang (V/386), 403 dan secara ringkas (V/391,396), dengan ringkas dengan lafazh-lafazh yang berbeda-beda (V/494), Abu Dawud As-Sijistani (3244), dengan lafazh berbeda (4246) dan An-Nasa’I dalam Al Kubra (V/17,18).
7. Lihat: Al Jami’ush Shahih Bukhari-Muslim.
8. Ibnu ‘Abdi ‘l-Bar di dalam Jami’u Bayani ‘l ‘Ilmi, 2/83-84
9. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir Juz 1.
10. Lihat: Al jama’ah Menurut Ulama Salaf dan Khalaf oleh DR Abdur-Rahman bin Khalifah Asy-Syayaji. Terdapat dalam kaset Ta’qieb Samahatul ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz ‘ala Nadwah (ad-Du’at), lihat kitab An-Nashrul ‘Aaiz hal 173 oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullaah.
11. Syaikh Al-‘Allamah Ay-Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan tentang hadits ini: “Shahih, sanadnya mauquf (yakni ucapan Mu’adz).” Terdapat dalam Shahih Abi Dawud, jilid 3, hal 872, hadits ke 3855.

Al faqiru ilallaah,
Abu Syifa ( Zaenal A. Syukur )
d.a.
Zaenal A. S.
1. Fakultas Teknik Jurusan Teknfk Sipil (Angkatan ’98) UNS Jl Ir Sutami No 36 A Kentingan Surakarta 97126
2. Ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq ‘Aliy Universitas Muhammadiyah Surakarta
3. Kleco Rt 02/I Kadipiro Surakarta 57136
4. E-mail: zaenal_as@eramuslim.com

“Ikhwah fillaah, segala koreksi atas kesalahan penulisan dan penyimpangan pemahaman yang ada mohon disampaikan kepada penulis. Jazaakumullaahu khairan katsiiran.”

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE