Latest Products

Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan
Silaturrahmi merupakan salah satu ajaran dalam Islam akan tetapi masih banyak yang belum memahami hakikat dan faidah-faidah silaturahmi. Artikel ini mengupas pengertian, faidah dan tips dalam mempererat silaturahmi

Shilah artinya Hubungan atau menghubungkan sedangkan ar-Rahm berasal dari Rahima-Yarhamu-Rahmun/ Rahmatan yang berarti lembut dan kasih sayang. Taraahamal-Qaumu artinya kaum itu saling berkasih sayang. Taraahama 'Alayhi berarti mendo'akan seseorang agar mendapat rahmat. Sehingga dengan pengertian ini seseorang dikatakan telah menjalin silaturrahmi apabila ia telah menjalin hubungan kasih sayang dalam kebaikan bukan dalam dosa dan kema'siatan.
Selain itu kata ar-Rahm atau ar-Rahim juga mempunyai arti peranakan (rahim) atau kekerabatan yang masih ada pertalian darah (persaudaraan). Inilah keunikan Bahasa Arab, Satu kata saja sudah dapat menjelaskan definisinya sendiri tanpa bantuan kata-kata lain. Dengan demikian Shilaturrahmi atau Shilaturrahim secara bahasa adalah menjalin hubungan kasih sayang dengan saudara dan kerabat yang masih ada hubungan darah (senasab). Seseorang tidak dapat dikatakan menjalin hubungan silaturrahmi bila ia berkasih sayang dengan orang lain sementara saudara dan kerabatnya dia jadikan musuh. Islam dalam hal ini mengajarkan kepada kita tentang skala prioritas, yaitu dahulukanlah keluarga dan kaum kerabatmu baru kemudian orang lain. Hubungan baik dengan orang lain jangan sampai merusak hubungan kekeluargaan. Hubungan kasih sayang dengan istri jangan sampai merusak hubungan kita dengan orang tua dan saudara.

Peliharalah Tali Silaturrahmi, maksudnya peliharalah hubungan kekeluargaan kamu. Jangan sampai kamu lupa dengan nasab kamu, orang tua kamu, saudara-saudara kamu dan kerabat-kerabat kamu. Setelah itu baru peliharalah hubungan kasih sayang dengan orang-orang mu`min sebagaimana dengan saudara sendiri.
Anjuran menjalin Silaturrahmi adalah anjuran untuk tidak melupakan nasab dan hubungan kekerabatan. Satu-satunya bangsa yang paling hebat dalam menjalankan silaturrahmi adalah bangsa Arab. Mengapa? Karena mereka tidak lupa nenek moyang mereka. Makanya mereka selalu mengaitkan nama mereka dengan bapak, dan kakek-kakek mereka ke atas. Oleh karena itu dalam nama mereka pasti ada istilah bin atau Ibnu yang artinya anak.
Nabi kita Muhammad Saw mengetahui nasabnya sampai beberapa generasi sebelumnya. Nasab beliau adalah Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdul- Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.
Bukan hanya Nabi yang seperti itu, hampir seluruh orang-orang Arab mengetahui nasabnya masing-masing sampai beberapa generasi sebelumnya. Hubungan kekeluargaan dan persaudaraan diantara mereka sangat kuat. Allah menjadikan mereka sebagai contoh untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan bangsa-bangsa lain dan bangsa kita yang kebanyakan mengetahui hanya sampai kakek dan buyut. Akibat pengetahuan nasab yang terbatas ini maka efeknya sangat memprihatinkan. Diantaranya tidak mengetahui saudaranya yang jauh, menganggap bahwa dirinya tidak punya saudara, tidak mendapat bantuan dan pertolongan bila dirinya mengalami kesengsaraan, tidak punya tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan kecuali orang lain. Akhirnya ujung-ujungnya timbullah kemiskinan, anak gelandangan, dan lain sebagainya. Padahal seandainya mereka mengetahui nasab mereka siapa tahu bahwa direktur perusahaan disamping gubuknya adalah saudaranya dari buyut kakeknya.
Inilah salah satu hikmah perintah bersilaturrahmi. Bersilaturrahmi atau menjalin hubungan kasih sayang yang kuat diantara saudara dan keluarga pihak kakek dan nenek ke atas. Kalau bisa kita menghafalnya sebagaimana bangsa Arab menghafal nasab-nasab mereka baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.
Allah dalam al-Qur`an secara spesifik memerintahkan umat Islam untuk menjalin silaturrahmi/ silaturrahim;

يَاأيّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَ نِسَآءً وَاتَّقُوْا اللهَ الًّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَ الأرْحَامَ إنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْـبًا (النساء : 1)

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (an-Nisa`:1)

Dari Miqdam ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِأبآئِكُمْ إنَّ اللهَ يُوْصِيْكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأقْرَبِ

Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwasiat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kamu agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu (Silsilah Hadits Shahih; al-Albani)

Menyambung hubungan kekerabatan adalah wajib dan memutuskannya merupakan dosa besar. Dari Jubair bin Muth'im bahwa Nabi Saw bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحْمٍ (متفق عليه)
Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan persaudaraan (Muttafaq 'Alaih)

Silaturrahmi tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara seiman. Allah Swt memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain. Namun dalam hubungan silaturrahmi yang diutamakan adalah sanak famili yang masih ada hubungan darah (senasab) baru kemudian orang-orang beriman yang tidak ada hubungan darah dengan kita. Karena mereka-lah yang lebih dekat hubungannya dengan kita.

Begitu juga apabila kita meminta bantuan maka yang lebih layak kita minta adalah sanak famili kita, baru kemudian orang lain. Karena mereka dan kita sama-sama punya hak dan kewajiban untuk saling tolong-menolong.
Di dalam Islam anjuran berinfak ditujukan kepada kaum kerabat kita yang miskin dulu baru kepada orang lain. Allah berfirman :

... وَ أُوْلُوْا الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُهَاجِرِيْنَ إلاَّ أنْ تَفْعَلُوْآ إلَى أوْلِيَآئِكُمْ مَّعْرُوْفًا ... (الأحزاب : 6)

... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) menurut Kitab Allah daripada orang-orang Mukmin (lain) dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada mereka (saudaramu seiman)… (al-Ahzab: 6)

Apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan. Maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli.
Dan jangan sampai kita memutuskan tali silaturrahmi hanya karena gara-gara pekerjaan dan jabatan. Silaturrahmi lebih tinggi nilainya dari itu semua. Allah berfirman :

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إنْ تَوَلَّيْتُمْ أنْ تُفْسِدُوْا فِي الأرْضِ وَتُقَطَِعُوْآ أرْحَامَكُمْ (محمد: 22)

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahim) ? (QS. Muhammad: 22)

Kiat-Kiat Mempererat Hubungan Silaturrahmi

1. Mendahulukan Sanak-Famili yang terdekat dalam segala kebaikan, terutama orang tua. Orang tua adalah kerabat terdekat yang mempunyai jasa tidak terhingga dan kasih sayang yang besar sehingga seorang anak wajib mencintai, menghormati dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya walaupun keduanya musyrik. Kedua orangtuanya berhak mendapat perlakuan baik di dunia namun bukan mengikuti kesyirikannya. Apabila mereka faqir maka kewajiban kitalah yang membantunya pertama kali. Kemudian saudara-saudara kita seperti paman dan bibi baru setelah itu orang lain yang seiman. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dari Nabi Saw :

أَمَّا شَعُرْتَ أَنَّ عَمَّ الرَّجُلِ صَنُوْ أبِيْهِ

Apakah kamu tidak sadar bahwa paman seseorang adalah saudara bapaknya.

2. Mengingat Kebaikan Sanak-Famili kita, tanpanya mungkin kita tidak akan berarti.

3. Menghafal Nasab dan seluruh nama-nama saudara kita, dari mulai kakek dan nenek ke atas sampai kepada keturunan-keturunan mereka. Untuk hal ini sebaiknya kita membuat diagram silsilah keluarga agar dapat diingat oleh generasi berikutnya supaya mereka tetap melanjutkan tali silaturrahmi setelah kita tiada (meninggal).

4. Jangan menyakiti, menzhalimi dan berbuat buruk kepada sanak-famili kita. Sebaiknya kita-lah yang menjadi solusi untuk memecahkan segala permasalahan mereka.

Sesungguhnya orang-orang yang selalu menjaga tali silaturrahmi akan diberkahi oleh Allah dalam usahanya, rizki dan umurnya. Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda :

مَنْ أحَبَّ أنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَ يُنْسَأ لَهُ فِي أثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه (متفق عليه)

Barangsiapa yang senang diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya (diberkahi), maka hendaklah ia bersilaturrahmi (Muttafaq 'Alaih)
Aborsi semakin hari, semakin marak.. Hal ini tidak terlepas dari jauhnya para praktisi aborsi dari tuntunan agama. Artikel ini mengupas masalah aborsi dengan beberapa kondisi dilakukannya aborsi serta hukum-hukumnya. Artikel ini diambil dari Tanbiihat 'ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu'minat karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Wahai Wanita muslimah, sungguh engkau yang diamanati secara syar'i atas kandungan yang telah Allah ciptakan dalam rahimmu, maka janganlah kamu menyembunyikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (QS. Al-Baqarah : 228).
Suami adalah kepala rumah tangga, dialah nahkoda bahtera yang sedang mengarungi lautan kehidupan keluarga, dialah yang mengatur dan bertanggung jawab atas segala yang terjadi dalam rumah tanggal, khususnya hubungan suami istri.
Tugas berat ini bisa berjalan dengan baik, kalau seandainya adanya keharmonisannya dengan sang istri yang tercinta. Bukan suami saja yang berhak mendapatkan rasa kesenangan dari sang istri, tapi sebaliknya sang istri berhak juga mendapatkan hal itu dari sang suami. Dalam artikel yang singkat ini, ada beberapa poin sebagai renungan sang suami dalam rangka menjalin keharmonisan rumah tangga........
Istri dalam suatu rumah tangga memiliki peranan penting, disamping wajib menta`ati suami, sang istri adalah tempat menghilang rasa lelah dan payah suami.
Maka dalam tulisan pendek ini ada beberapa renungan buat sang istri agar rumah tangga itu tetap berbahagia, dan harmonis, silahkan disimak.

Pada edisi yang lalu telah dibahas bahwa keluarga akan merasa sakinah dan mawaddah bila punya anak yang sholih dan sholihah. Sebaliknya, alangkah sedih dan ruginya bila anak durhaka kepada Alloh Subhaanahu wa ta’aala, Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan durhaka kepada kedua orang tuanya, na’udzubillahi min dzalik. Lalu bagaimanakah upaya kita agar anak menjadi sholih dan sholihah, bahagia dunia dan akhirat?

Sholih dan sholihah adalah takdir Alloh ‘Azza wa Jalla
Di antara hal yang harus kita imani ialah, baik dan buruknya anak sudah ditentukan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla sejak dia di rahim ibu. Hanya Alloh-lah yang menjadikan sesuatu dan yang menentukan semua urusan. Perkara ini harus kita yakini agar kita tidak sombong dan membanggakan diri bila berhasil mendidik anak, dan tidak putus asa bila kita sudah berusaha mendidik semaksimal mungkin namun anak belum menjadi baik. Misalnya anak Nabi Nuh ‘Alaihissalam yang durhaka padahal orang tuanya sudah mendidiknya.
Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu (berada di tempat yang terpencil): “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” (QS. Hud [11]: 42-43)
Dalam ayat ini terdapat teladan agar kita tidak putus asa ketika belum berhasil mendidik anak.
Adapun dalil wajibnya kita mengimani takdir ialah hadits Abdulloh bin Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita kepada kami—dan beliau adalah orang yang jujur dan bisa dipercaya:
“Sesungguhnya setiap kalian telah mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Alloh mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintah untuk menulis empat perkara, yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta sengsara atau bahagianya. Demi Dzat yang tiada sembahan selain Dia, sesungguhnya ada salah seorang di antara kalian yang telah melakukan amalan penghuni surga sampai jaraknya dengan surga hanya tinggal sehasta, namun karena sudah didahului takdir, maka ia pun melakukan perbuatan ahli neraka, lalu masuklah ia ke dalam neraka. Dan sungguh ada pula salah seorang di antara kalian yang telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai jaraknya dengan neraka hanya tinggal sehasta, namun karena sudah didahului takdir, maka ia pun melakukan perbuatan ahli surga, dan masuklah ia ke dalam surga.” (Shohih Muslim 4781)

Orang tua wajib berikhtiar
Orang yang beriman kepada takdir bukan berarti meninggalkan usaha, karena Alloh ‘Azza wa Jalla memerintah kita agar berilmu lalu beramal. Bukankah Alloh ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mengerjakan sholat? Bukankah kita disuruh menikah agar punya anak? Bukankah kita diperintah untuk menuntut ilmu agar menjadi orang yang berilmu dan beramal? Bukankah anak yang pandai membaca al-Qur’an karena dia belajar? Bukankah Alloh melarang kita mengikuti jalan menuju neraka? Baca surat at-Tahrim ayat no. 6.
Dari Abu Huroiroh Radhiyallaahu ‘anhu bahwa RosulullohShallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor hewan yang melahirkan anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan hidungnya ada yang terpotong?”(Shohih Muslim 4803)
Hadits ini menerangkan bahwa kita tidak cukup bergantung pada takdir, namun kita wajib berusaha. Sebagaimana orang yang sakit, dia tidak hanya bergantung pada takdir, tapi pergi ke dokter untuk berobat. Orang tua yang menginginkan anaknya sholih pun hendaknya berusaha pula.
Imam Badruddin berkata: Kedua orang tualah yang mengajarinya beragama Yahudi atau Nasrani dan yang memalingkan dari fitrahnya sehingga dia mengikuti agama orang tuanya. (Umdatul Qori’ Syarah Bukhori 13/39)
Oleh karena itu, kami berwasiat kepada diri kami sendiri dan kepada pembaca seluruhnya, hendaknya kita berhati-hati ketika memutuskan ke mana kita akan menyekolahkan anak, mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan. Mengapa? Karena guru, teman bergaul dan pelajaran sekolah akan sangat mempengaruhi pendidikan anak. Bukankah anak yang diajari menyanyi dia pun akan menyanyi, dan yang diajari membaca al-Qur’an dia pun membaca al-Qur’an? Tentunya ini semua bila kita ingin memiliki anak yang sholih dan sholihah.
Dari Abul Abbas Abdulloh bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata: Suatu hari aku berada di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda (yang artinya):
“Wahai Anak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa patah kata: Jagalah Alloh, niscaya Dia akan senantiasa menjagamu. Bila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Alloh, dan bila engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Alloh. Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali bila sesuatu itu telah ditulis oleh Alloh bagimu. Dan jika semua umat manusia bersatu padu untuk mencelakaimu, niscaya mereka tidak dapat mencelakaimu kecuali bila sesuatu itu telah ditulis oleh Alloh bagimu. Pena telah diangkat dan catatan-catatan (amal) telah mengering.” (HR. at-Tirmidzi, hadits shohih, Silsilah ash-Shohihah 5/381)
Adapun maksud menjaga Alloh ‘Azza wa Jalla adalah dengan cara menjaga hak-Nya, yaitu menjalankan yang wajib dan sunnah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan penjagaan Alloh ‘Azza wa Jalla terhadap manusia ada dua bentuk: Alloh menjaga urusan dunianya dengan menyehatkan badannya, melapangkan rezekinya, menjaga anak dan istrinya, dan lain-lain. (Tuhfatul Ahwadzi 6/308)
Ini adalah satu contoh pendidikan anak yang dicontohkan oleh Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hendaknya ketika anak masih kecil diajari tauhid sehingga ia mengenal Robbnya.

Hubungan antara takdir dengan ikhtiar (usaha)
Mungkin kita bertanya: Bagaimana kita menghubungkan antara takdir dengan usaha? Karena ayat atau hadits tidak mungkin bertentangan satu sama lain, karena keduanya merupakan wahyu Alloh yang diturunkan kepada Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullaah berkata: Sebagian ulama berkata: “Takdir adalah rahasia Alloh ‘Azza wa Jalla kepada makhluknya. Kita tidak mungkin mengetahuinya melainkan setelah peristiwa itu terjadi, yang baik atau yang buruk.” (al-Qoulul mufid ala kitabit tauhid 2/396)
Ali bin Abu Tholib Radhiyallaahu ‘anhu berkata: Ketika kami sedang mengiring jenazah di Baqi’ Ghorqod (sebuah tempat pemakaman di Madinah), datanglah Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallammenghampiri kami. Beliau segera duduk dan kami pun ikut duduk di sekeliling beliau yang ketika itu memegang sebatang tongkat kecil. Beliau menundukkan kepalanya dan mulailah membuat goresan-goresan kecil di tanah dengan tongkatnya itu, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari kamu sekalian atau tidak ada satu jiwa pun yang hidup kecuali telah Alloh tentukan kedudukannya, di surga ataukah di neraka, serta apakah ia akan sengsara ataukah bahagia.”
Lalu seorang lelaki tiba-tiba bertanya: Wahai Rosululloh, kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada takdir kita dan meninggalkan amal-usaha? Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Barangsiapa yang telah ditentukan sebagai orang yang bahagia, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan barangsiapa yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang sengsara.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Beramallah! Karena setiap orang akan dipermudah. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang yang bahagia, maka mereka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang bahagia. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka mereka juga akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang sengsara.”
Kemudian beliau membacakan surat al-Lail ayat 5-10 berikut (yang artinya): Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Alloh dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar. (Shohih Muslim 4786)
Inilah hubungan antara takdir dan usaha. Akhirnya, semoga Alloh‘Azza wa Jalla memberi kemampuan kepada kita semuanya untuk bersungguh-sungguh dan bersabar mendidik anak menuju jalan yang diridhoi-Nya, amin.
[ Oleh: Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron ]
Dinukil dari Majalah al-Mawaddah :. Edisi 02 Tahun ke-4.: RubrikPendidikan Anak Muslim.


Setelah pernikahan diikrarkan. Setelah akad ditetapkan dan diterima, idealnya tak seorang suami atau istri pun yang mau merana hidupnya bersama pasangannya. Pernikahan adalah lembaga kecil antara suami istri yang bermuamalah bersama sehingga tumbuhlah sakinah, ketenangan, mawaddah, cinta, serta rohmah, belas kasih.
Nuansa rumah tangga yang diliputi samara ini bisa saja tiba-tiba berubah menjadi lesu bila salah satu pasutri tidak memperhatikan pasangannya. Salah satunya bisa jadi istri merana bila suami menelantarkan hak-haknya.
Di antara faktor penyebab istri merana ialah:
1. Ibadah yang berlebihan
Ibadah merupakan amal yang begitu agung nilainya, bahkan merupakan salah satu tujuan sebuah pernikahan. Namun, beribadah yang tidak pada proporsinya justru buruk akibatnya. Suami yang terlalu disibukkan oleh urusan ibadah yang berlebihan bisa menjadi pemicu terjadinya pisah ranjang. Dan kasus seperti ini bahkan telah terjadi sejak masa sebaik-baik umat ini, yaitu pada beberapa sahabat Nabi n\ rodhiallohu ‘anhum ajma’in. Sebagaimana pada beberapa riwayat berikut ini:
Suatu ketika, Aisyah s\ menyebutkan sebuah kejadian bahwa Khuwailah binti Hakim (istri Utsman bin Mazh’un) memasuki rumahnya. Dia masuk rumahnya dalam keadaan lusuh dan memendam kesedihan. Melihat keadaannya yang lusuh tersebut, maka Rosululloh n\ berkata: “Wahai Aisyah, alangkah lusuhnya Khuwailah itu. Ada apa dengannya?” Aisyah s\, istri beliau yang sangat beliau cintai tersebut mengatakan: ‘Wahai Rosululloh, suami perempuan ini senantiasa puasa di siang hari dan senantiasa sholat sepanjang malam, sehingga keadaan perempuan ini seakan-akan tidak bersuami. Oleh sebab itulah ia merasa tidak perlu berhias, bahkan membiarkan dirinya apa adanya seperti ini.’1
Riwayat lain, Salman al-Farisi a\ pernah mendatangi Abu Darda’ a\. Keduanya ialah dua orang sahabat yang telah dipersaudarakan oleh Rosululloh n\. Salman melihat Ummu Darda’ dalam keadaan lusuh, maka ia pun bertanya: “Mengapa keadaanmu lusuh seperti ini?” Ummu Darda’ mengatakan: “Sesungguhnya saudaramu itu (Abu Darda’) tidak butuh dunia (tidak tertarik pada istri). Dia senantiasa puasa di siang hari dan sholat sepanjang malam.” Kemudian datanglah Abu Darda’ seraya mempersilakan tamunya masuk dan menyuguhkan hidangan untuknya. Salman berkata kepadanya, “Silakan makan juga.” Abu Darda’ menjawab: “Aku sedang puasa.” Lalu Salaman berkata, “Aku bersumpah, demi Alloh, demi dirimu sendiri, hendaklah engkau makan juga.” Maka keduanya pun akhirnya makan.
Kemudian Salman bermalam di rumah Abu Darda’. Pada malam harinya tatkala Abu Darda’ hendak melakukan qiyamul lail (sholat malam), Salman melarangnya sambil berkata: “Sesungguhnya jasadmu memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Robbmu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Istrimu juga memiliki hak yang harus kamu tunaikan. Oleh sebab itu, puasalah di siang hari namun jangan setiap hari. Sholat malamlah tapi jangan sepanjang malam. Datangilah istrimu dan berikan hak-hak kepada setiap pemilik hak.” Dan tatkala menjelang Shubuh, Salman berkata, “Sekarang bangunlah jika kamu mau sholat.” Setelah itu keduanya bangun, mengambil wudhu serta sholat malam bersama. Kemudian keduanya keluar untuk sholat Shubuh. Lalu Abu Darda’ mendatangi Nabi n\ seraya menceritakan keadaannya tersebut. Nabi n\ pun bersabda: “Salman benar!”2

2. Bekerja yang berlebihan
Memang bekerja untuk mengais nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Namun bila bekerja dilakukan dengan cara berlebih-lebihan pun tidak baik akibatnya. Hal itu akan nampak misalnya tatkala seorang suami lebih banyak meninggalkan istrinya di rumah dengan banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Bahkan tak jarang seorang suami yang beranjak dari rumahnya pagi-pagi, lalu baru pulang ke rumahnya setelah larut malam dengan seonggok kepenatan dan beban kepayahan. Kalau sudah demikian, ia akan datang di rumah dan merasa tidak ada kebutuhan selain segera merebahkan badan di atas kasur tanpa sempat bersantai sejenak berbagi asa bersama istrinya.
Tidak semua pekerjaan dan amal-amal sholih harus dilakukan sampai lupa waktu bersama istri dan keluarga di rumah. Dan tak selamanya suami harus kerja lembur. Pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas akan lebih mudah diatur, sehingga suami harus pintar membagi waktu dan aktivitas pekerjaannya agar tidak selamanya meninggalkan istri sendirian di rumah. Apalagi harus membiarkannya tidur sendirian sementara pekerjaannya sebenarnya bisa dilakukan di lain waktu. Begitu pula apabila memang pekerjaan suami tidak tertentu saat dan tempatnya, maka tetap saja pasutri harus pandai-pandai menjaga hubungan baik di antara mereka berdua, agar taman pasutri tidak gersang dan bunga-bunganya tidak menjadi layu lalu mengering.

3. Suami tak adil dalam ta’addud (menikah lagi)
Tidak semua laki-laki mampu menikahi lebih dari seorang wanita. Dan Alloh Ta’ala pun telah memakluminya dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk tidak menikahi wanita sama sekali. Dia tetap memerintahkan agar laki-laki menikah meski hanya dengan seorang wanita saja.
Memang kenyataannya tidak semua suami yang menikah lagi bisa berbuat ma’ruf terhadap semua istrinya. Hal demikian jelas akan memadhorotkan diri suami sendiri, para istri juga rumah tangga. Adakalanya istri pertama yang merana, namun tak jarang juga istri kedua yang tertelantarkan. Padahal menikah lagi (ta’addud) bukanlah kezholiman, namun merupakan keadilan bagi suami juga bagi para istri. Sehingga dalam rumah tangga ta’addud diharamkan kezholiman. Rosululloh n\ bersabda (yamg artinya):
“Siapa yang memiliki dua istri (atau lebih) lalu ia cenderung (melebihkan) salah satunya, maka kelak ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan pundaknya miring.”3
Fenomena merananya istri mungkin dianggap oleh sebagian suami hanya sekadar hal kecil dalam sebuah rumah tangga. Padahal hal ini sangat mungkin menimbulkan problem lain yang lebih serius, yaitu pisah ranjang, tidak tidur bersama di atas satu tempat tidur. Memang problem pisah tidur ini pun terkadang hanya sesaat saja, namun tak jarang yang berujung kepada perpisahan yang begitu menelantarkan, yaitu talak. Nas’alullohal ‘afiyah.
[ Oleh: Ust. Abu Ammar al-Ghoyami ]
Dinukil dari Majalah al-Mawaddah :. Edisi 02 Tahun ke-4.: RubrikTaman Pasutri.
Hikmah ‘Huru-Hara’ Rumah Tangga
Bagi kaum beriman, pernikahan memiliki nilai multikompleks. Nuansa iman dan pengabdian menjadi motivator tersendiri yang melahirkan berbagai target dan tujuan mulia dalam mengarungi hidup berumah tangga. Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam yang memiliki nilai ‘greget’ paling dominan adalah mencari kebahagiaan.
Tentu, rumah tangga bahagia yang bergelar baiti jannati, rumahku adalah surgaku,  memiliki harga mati yang wajib kita beli:  yakni seharga iman dan kepatuhan kita kepada Allah.
Segala kaidah, petuah, rumus dan kiat-kiat yang berhulu dari olah logika manusia, tak akan bisa menghantarkan pasutri kepada kebahagiaan hakiki. Tanpa kepatuhan kepada Allah, tanpa ketaatan pada syariat yang MahaPencipta, manusia hanya akan menjadi perusak bagi dirinya sendiri, dan bagi siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk keluarga, anak, isteri atau suami.\

Bisa jadi, kerusakan itu tak terlihat. Bisa jadi orang banyak menganggap mereka sebagai sosok keluarga bahagia. Bisa jadi, seolah-olah mereka adalah keluarga yang layak diteladani dalam segala hal. Selama mereka jauh dari agama Allah, selama itu pula mereka menjadi contoh manusia yang membahayakan diri dan orang lain.
Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE