Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Nasehat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasehat. Tampilkan semua postingan

 



🎙 Berkata Al 'Allaamah Al Mufassir Abdurrahman bin Nashir As Sa'dy rahimahullaah : 


"فمن ترك شيئاً لله تهواه نفسه عوضه الله خيرا منه في الدنيا والآخرة، فمن ترك معاصي الله ونفسه تشتهيها، عوضه الله إيماناً في قلبه ، وسعة، وانشراحا ، وبركة في رزقه، وصحة في بدنه مع ما له من ثواب الله الذي لا  يقدر على وصفه،والله المستعان. 


"Barang siapa yang meninggalkan karena Allah sesuatu yang hatinya sangat menginginkannya maka Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya di dunia dan akhirat, maka barang siapa yang meninggalkan kemaksiatan kepada Allah padahal hatinya sangat menginginkannya, Allah akan menggantinya dengan keimanan dalam hatinya, keluasan hati, kelapangan, keberkahan dalam rezkinya dan kesehatan pada badannya di sertai pahala dari Allah yang tidak bisa di gambarkan, dan Allahlah tempat memohon pertolongan". 


📔 القواعد الفقهية ص 146


Di terjemahkan oleh :

✍ Abu Sufyan Al Makassary.



PESAN SALAF... 🍀

🎙 Berkata Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbaly  :

إخواني اجتنبوا الذنوب التي تحرم العبد مغفرة مولاه الغفار في مواسم الرحمة والتوبة والإستغفار .

"Wahai saudaraku, jauhilah dosa-dosa yang akan mengharamkan seorang hamba untuk mendapatkan ampunan Tuannya yang Maha Pengampun di musim-musim rahmat, taubat dan istighfar".

📓 |[ لطائف المعارف (١٤٠/١) ]|

Di terjemahkan oleh
Abu Sufyan Al Makassary..

Al-Ustâdz Abu Ubaidah, Muhammad Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir As-Sidawi
Jika orang tidak mengerti, maka emas yang berharga akan dianggap sebagai tembaga biasa.
Dulu, banyak orang memusuhi Islam karena tidak mengerti keindahan Islam. Namun tatkala sebagian mereka mengetahuinya, sejurus kemudian dia akan memeluk Islam.
Banyak orang sekarang alergi dengan dakwah sunnah yang mulia ini karena penyakit "tidak mengerti". Andai saja mereka mengerti, maka dengan izin Allah mereka akan menerima dan membelanya.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha pernah berkata, ”Sesungguhnya telah sampai kepada para ulama India dan Yaman berita-berita tentang Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Lalu mereka membahas, memeriksa, dan meneliti sebagaimana perintah Alloh, hingga jelaslah bagi mereka bahwa para pencelanya adalah pembohong yang tidak amanah.” (Muqaddimah Syiyanatul Insan hal. 29-30)
Maka kepada para pendengki dakwah ini, bersikap adillah kalian dan periksalah berita yang sampai kepada kalian, niscaya kalian akan segera sadar bahwa kalian dibutakan dengan kedustaan dan tuduhan!
Dan kepada saudaraku seperjuangan, bersemangatlah untuk menebarkan keindahan dakwah ini, bersemangatlah untuk menggandeng tangan mereka menuju dakwah ini, serta jangan lupa berdoalah kepada Allah agar mereka meraih hidayah Allah.
Bismillah


Oleh :
Ustadz Abdussalam Busyro, حفظه الله تعالى

Firman اَللّهُ سبحانه وتعالى :
“Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka. (Shad: 82-83)
Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitab Al Bada’iul Fawaaid: “Sesungguhnya setan mengajak manusia kepada enam perkara, ia baru melangkah kepada perkara kedua bila perkara pertama tidak berhasil dilakukannya.
Langkah2 setan dalam menggoda manusia:
1. Mengajaknya berbuat syirik dan kekufuran. Jika hal ini berhasil dilakukannya berarti setan telah menang dan tidak sibuk lagi dengannya.
2. Jika tidak berhasil, setan akan mengajaknya berbuat bid’ah. Jika sudah terjerumus ke dalamnya maka setan akan membuat bid’ah itu indah dimatanya hingga ia rela dan setanpun membuatnya puas dgn bid’ah itu.
3. Jika tidak berhasil juga, setan akan menjerumuskannya ke dalam dosa-dosa besar.
4. Jika tidak berhasil, setan akan menjerumuskannya ke dalam dosa-dosa kecil.
5. Jika ternyata tidak berhasil juga setan akan menyibukkannya dengan perkara-perkara mubah hinggai ia lupa beribadah.
6. Jika tidak mempan juga, setan akan membuainya dengan perkara-perkara kurang penting hingga ia abaikan perkara-perkara terpenting.
7. Jika gagal juga maka setan akan melakukan tipu daya terakhir, yaitu mengerahkan bala tentaranya dari jenis manusia untuk menyerang orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya.
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa dikalangan manusia ada juga yang berperan sebagai setan, firman Allah Subhana Wata’ala:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin.
(Al-An’am: 112).
Oleh sebab itu banyak kita temui setan-setan jenis manusia, ada yang menyeru kepada kekufuran, syirik, mengajak orang berbuat dosa baik dosa besar maupun dosa kecil, atau mengajak kepada perbuatan-perbuatan yang melalaikan.
*****
AMALAN ISTIMEWA DI HARI JUM'AT



Berikut ini beberapa amalan istimewa di hari Jum'at:
1. Membaca surat al-Kahfi pada malam Jum'at. Bila tidak sempat membacanya di malam hari boleh membacanya disiang hari. (HR. Ad-Darimi, An-Nasa'i, Al Hakim)
2. Membaca surat As-Sajdah dan surat Al-Insan secara sempurna pada dua rakaat shalat Shubuh (HR. Bukhari dan Muslim dan yang lainnya)
3. Memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. (HR. Abu Dawud)
4. Laki-laki wajib melaksanakan shalat Jum'at. (Lihat: Syarh al-Mumti': 5/7-24)
5. Dianjurkan mandi besar (HR. Muslim)
6. Memakai wewangian, bersiwak atau menggosok gigi, serta mengenakan pakaian yang paling baik. (HR. Ahmad)
7. Berangkat lebih awal menuju masjid. (HR. Muttafaqun 'alaih)
8. Saat menunggu kedatangan khotib/imam, dianjurkan untuk menyibukkan diri dengan shalat, shalawat, dzikir maupun membaca Al-Qur'an.
9. Dianjurkan mendekat kearah khatib untuk mendengarkan khutbah. (HR. Abu Dawud)
10. Dianjurkan juga menghadapkan wajah ke arah khotib saat khutbah sedang berlangsung. (HR. Abdurrazzaq dan Al-Baihaqi)
11. Wajib mendengarkan khutbah dengan seksama. Bagi siapa yang sibuk sendiri dengan bermain kerikil atau berbicara pada saat khutbah sedang berlangsung, maka jum'atnya sia-sia. (Muttafaqun 'Alaih)
12. Saat masuk masjid disunnahkan mengerjakan shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum duduk mendengarkan khutbah. Hal ini berlaku sekalipun khutbah sedang berlangsung. (HR. Muslim)
13. Setelah menunaikan sholat jum'at disunnahkan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat atau empat rakaat dengan dua kali salam. (HR.Muslim)
14. Berdoa di penghujung hari Jum'at. (Muttafaqun 'Alaih)
Demikian Semoga bermanfaat.
by ustadz Aan Chandra Thalib

Bismillah Assalamu Alaikum
        Setiap muslim harus menyadari bahwa saat ini ia berada di sebuah tempat yang di dalamnya di letakkan ranjau-ranjau ujian yang tidak sedikit, tempat tersebut tak lain adalah dunia. Dunia adalah tempat untuk menguji siapa yang ada di dalamnya, terkadang ujian itu datang dengan gaung yang sangat menggoda dan mempesona, dan terkadang ia datang dengan wujud rupa yang sangat menyeramkan. Ujian yang Allah letakkan terkadang berupa kenikmatan, terkadang juga berupa kesusahan dan kepedihan, dan manusia mau tidak mau, suka atau tidak suka harus berjuang untuk melewati dan melawan semua itu.

      Oleh karena itu di butuhkan suatu manhaj ( metode ) yang bisa mengantar seseorang dengan izin Allah meraih kesuksesan dalam mengarungi ganasnya gelombang fitnah di dunia ini, untuk kemudian merasakan kenikmatan haqiqi  nan abadi yang nikmatnya belum pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di dalam benak manusia.

1. Mengenal hakikat dunia.

      Dunia adalah tempat persinggahan sesaat, setiap orang akan beranjak meninggalkannya menuju negeri keabadian. Di dunia ini terkandung beragam kenikmatan, tetapi kenikmatannya bersifat sesaat sama seperti dunia tempat di di letakkannya nimat-nikmat itu. Namun aneh bin ajaib, tidak sedikit manusia yang terpedaya dengan kenikmatan itu, bahkan siapapun yang telah terpanah dengan pesonanya, ia akan lupa sehingga meyakini seakan-akan tidak ada lagi negeri selain di dunia ini saja, tidak ada lagi kenikmatan selain di sini. Dan karena itulah dunia di sifatkan sebagai kenikmatan yang menipu dan ia memang banyak menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman :

($tBur äo4qu‹ysø9$# !$u‹÷R‘$!$# žwÎ) ßì»tFtB Í‘rãäóø9$# ÇËÉÈ

Artinya : “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. ( QS Al Hadid : 20 )

      Sadarilah..! bahwa kenikmatan dunia yang nampaknya begitu menakjubkan ini, ternyata tidak ada nilainya jika di bandingkan dengan kenikmatan surga kecuali saaaangat sedikit. Bandingannya adalah ibarat seseorang yang mencelupkan telunjuknya ke dalam lautan yang luas, sisa air yang membasahi jarinya adalah ibarat kadar kenikmatan dunia, sementara laut yang sangat luas itu adalah ibarat kenikmatan akhirat. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ - وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ - فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Artinya : “Demi Allah, tidaklah dunia itu dengan akhirat kecuali seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ini ( Yahya mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ) ke dalam laut maka lihatlah apa yang kembali ( air yang melekat )”. ( HR Muslim no 7376 )

      Saudaraku…! Sebodoh-bodohnya manusia, tidak akan mau mengutamakan yang sedikit lagi tidak berkwalitas dan membiarkan yang banyak lagi berkwalitas.

      Dengarkanlah perbincangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya berikut ini, yaitu ketika beliau berjalan di pasar dan menemukan bangkai seekor kambing yang cacat telinganya, kemudian beliau memegang telinga kambing itu seraya bersabda kepada para sahabatnya :

« أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ ». فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَىْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ « أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ». قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ « فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ »

Artinya : “Siapa di antara kalian yang suka membeli  kambing ini menjadi menjadi miliknya seharga satu dirham?”. Para sahabat menjawab : “Kami tidak suka kalau itu menjadi milik kami dengan sesuatu apapun dan apa yang bisa kami perbuat dengannya”. Rasulullah kembali bertanya : “Apakah kalian suka kalau ini menjadi milik kalian?”. Para sahabat menjawab : “Demi Allah, kalaupun seandainya ia masih hidup, maka ia memiliki aib, lalu bagaimana lagi kalau ia telah mati”. Rasulullah bersabda : “Demi Allah, dunia itu lebih hina di sisi Allah dari kambing ini atas kalian”. ( HR Muslim no 7607 )

        Maka apa yang anda inginkan wahai pemuja dunia..! dengan dunia yang demikian rendah, hina lagi menjijikkan itu. Pandailah dalam menyikapi dunia ini !, kenalilah ia sebelum anda meminangnya lebih jauh.

2. Bersikap Zuhud

      Setelah memahami hakikat dunia yang sebenarnya, maka tidak ada jalan keselamatan kecuali mengambil manhaj zuhud yang benar di dunia ini, yaitu seperti yang telah di katakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di dunia untuk kehidupan akhirat”, baik berupa perkataan, perbuatan, angan-anagan dan selainnya. Dengan demikian, seorang yang zuhud adalah yang berusaha menjauh dari perkara sia-sia, kehidupan mereka di dunia ibarat orang asing yang di rundung rindu untuk segera kembali ke kampung halamannya yang tak lain adalah negeri akhirat, sehingga kesibukannya hanya terfokus pada satu titik, yaitu menyiapkan bekal yang akan mencukupinya berupa keta’atan dan amal sholeh agar tiba dengan selamat di negeri tujuannya itu. Atau bahkan seperti seorang yang melakukan perjalanan pulang menuju negerinya, di mana dunia ini hanya seperti persinggahan sesaat saja untuk memulihkan tenaga karena perjalanan yang melelahkan, kemudian beranjak pergi meninggalkannya, sehingga ia tidak sempat untuk berfikir yang banyak di tempat persinggahan tersebut. 

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Artinya : “Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau adalah orang asing, atau bahkan seakan-akan engkau adalah orang yang  melakukan perjalanan”. ( HR Bukhary no 6416 )

         Zuhud tidak berarti mentalak tiga dunia ini, tidak sedikitpun !. Akan tetapi seorang zuhud hanya mengambil dari dunia sekedar apa yang bisa membantunya  dalam melakukan keta’atan kepada Rabbnya. Jika dunia hendak merusak akhiratnya, maka ia akan mengorbankan dunia tanpa ada rasa berat dan sesal secuil pun demi keutuhan dan kemashlahatan akhiratnya. Mereka tidak rela mengorbankan akhiratnya hanya karena sesuatu yang nilainya sedikit lagi hina dari dunia ini. Seperti yang telah di nasehatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :

مَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ أَضَرَّ بِالدُّنْيَا، وَمَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا أَضَرَّ بِالآخِرَةِ، يَا قَوْمُ! فَأَضِرُّوا بِالفَانِي لِلْبَاقِي

Artinya : “Barang siapa yang menginginkan akhirat, dia akan mengorbankan dunia, dan barang siapa yang menginginkan dunia, dia akan mengorbankan akhirat. Wahai kaum ! korbankanlah( kenikmatan )  yang sementara ( dunia ) untuk ( kenikmatan ) yang kekal abadi ( akhirat )”. ( lihat Siyar A’lam Annubala 1/441 )

       Walau demikian, seorang zuhud juga bukanlah orang yang suka menyusahkan saudaranya  dan bukan orang yang suka gemar meminta-meminta untuk mencukupi kebutuhannya demi mempertahankan kezuhudannya. Tetapi ia adalah orang yang sangat pandai menjaga muru’ahnya dan sangat malu kepada Tuhannya untuk memperlihatkan kebutuhannya kepada orang lain sekalipun ia sangat membutuhkan. Lebih dari itu  seorang zuhud pantang “melirik” kepada harta kekayaan milik orang lain apalagi mengharapkannya, karena takut jangan sampai hati mereka yang terselimuti cinta kepada Allah terkoyak oleh tajamnya belati dunia.

       Seorang zuhud tidaklah berbahagia ketika mendapatkan dunia sebagaimana mereka tidak bersedih ketika kehilangannya. Karena seorang zuhud tidak menyimpan dunia ini di hatinya, dunia ini hanya tertahan dan berhenti di genggaman tangannya sehingga ketika dunia ini datang kepadanya dalam jumlah yang berapapun banyaknya, tidak terbetik sedikitpun kesenangan dalam hatinya, bahkan terkadang mereka sedih, takut dan khawatir jangan sampai apa yang di dapatkannya itu merupakan balasan amalan shalihnya yang di percepat oleh Allah di dunia ini, yang berarti ia akan kehilangan balasan di akhirat yang lebih banyak dan lebih baik.  

       Demikian sebaliknya, ketika ia kehilangan dari dunia ini berapapun banyaknyanya, tidak tergores luka kesedihan dan penyesalan dalam hatinya, karena mereka yakin bahwa dunia dan kenikmatannya adalah sesuatu fana lagi menipu.

       Al Junaid rahimahullah berkata :

الزُّهْدُ فِي قَوْلِهِ تَعَالىَ  }لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلىَ مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوْا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ{ فَالزَّاهِدُ لاَ يَفْرَحُ مِنَ الدُّنْيَا بِمَوْجُوْدٍ وَلاَ يَأْسَفُ مِنْهَا عَلىَ مَفْقُوْدٍ.

Artinya : “Zuhud ada dalam firman Allah : “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.( 57:23 ). Maka orang yang zuhud itu tidak bergembira dengan dunia karena keberadaannya ( mendapatkannya ), dan tidak bersedih atas kehilangannya”.( Madarijus Salikin 2/10 )

3. Menyadari tujuan keberadaan di dunia

       Sesungguhnya keberadaan manusia di dunia memiliki tujuan dan hikmah yang sangat mulia, yaitu mewujudkan penghambaan dan peribadatan kepada Penciptanya dengan senantiasa tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS Adz Dzariyaat : 56 )

Berkata Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah : “Yaitu sesungguhnya Aku menciptakan mereka untuk Aku perintah beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku butuh kepada mereka”. ( Lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/425 )

Berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas : “Yaitu kecuali agar mereka tunduk dengan beribadah kepada-Ku suka atau tidak”. ( Lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/425 )

      Ibadah yang di maksud tidak terbatas pada ibadah-ibadah khusus saja seperti sholat, puasa, zikir dan semisalnya, namun termasuk juga di dalamnya ibadah-ibadah umum seperti akhlaq kepada sesama makhluq. Dan penghambaan itu tidak akan di terima hingga memenuhi dua rukun atau syarat yang telah di sebutkan oleh Allah dalam firmannya berikut ini :

`yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u‘ ö@yJ÷èu‹ù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç„ ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u‘ #J‰tnr& ÇÊÊÉÈ

Artinya : “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". ( QS : Al Kahfi : 110 )  

        Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa barang siapa yang ingin bertemu Allah dan mendapatkan balasan dan pahalanya yang sholeh, hendaknya melakukan amal yang sholeh yang berarti amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, dan tidak mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya yang berarti amalan yang di kerjakan itu hanya mengharap wajah Allah semata yang tidak ada sekutu baginya. Dua hal tersebut adalah rukun di terimanya suatu amalan, yaitu ikhlas kepada Allah dan benar sesuai dengan syari’at ( tuntunan ) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. ( Lihat tafsir Ibnu Katsir 5/205 )

      Adapun ketika manusia enggan beribadah kepada Rabbnya, berpaling dan membangkang dari-Nya, berarti telah menyalahi tujuan keberadaannya di dunia, dan tidak ada balasan yang layak bagi mereka kecuali kehinaan di dunia dan akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o„ ô`tã ’ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzô‰u‹y™ tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina”. ( QS : Al Mukmin : 60 )

       Maka sadarilah tujuan anda wahai sekalian manusia, ingatlah bahwa kematian selalu mengintai anda di setiap waktu, jika masanya telah tiba maka tidak akan di tunda setengah detikpun. Dan mungkin saja jika anda selalu santai, lalai dan lupa dari tujuan itu, pada saat kematian menjemput, anda dalam keadaan yang paling buruk karena keberpalingan anda dari-Nya.

4. Mempelajari dan memahami Agama Islam

      Karena seseorang tidak akan mampu merealisasikan tiga poin sebelumnya tanpa Ilmu dan pemahaman yang benar, maka sebelum semua itu, seseorang perlu mempelajari dan memahami agama Allah Ta’ala. Oleh karena itulah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya : “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”. ( HR Abu Ya’la dalam musnadnya no 2837 )

     Dan sumber yang paling murni untuk memahami dan mempelajari agama Allah adalah Al qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘laihi wa sallam yang shahih. Keduanya adalah sumber ilmu bahkan keduanya merupakan hakikat dari ilmu itu sendiri, yang ketika seseorang benar-benar berpegang dengan keduanya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjaminnya baginya akan terhindar dari kesesatan dan penyimpangan agama. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّى قَدْ خَلَّفْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْتُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِى

Artinya : “Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apa yang kalian tidak akan tersesat setelah keduanya selama kalian memegang dengan keduannya atau beramal dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku”. ( HR Al Baihaqy dalam S. Al Kubra no 20834 )

     Dan hal yang sangat penting juga untuk di ketahui adalah bahwa Al qur’an dan hadits yang shahih tersebut jangan sampai di pahami berdasarkan akal semata,  hawa nafsu dan perasaan, akan tetapi hendaknya memahami keduanya berdasarkan pemahaman para salaful ummah, yaitu para sahabat, tabi'in dan para imam yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga akhir zaman. Karena para sahabat adalah orang yang paling memahami al qur’an dan hadits-hadits dibandingkan dengan orang yang datang setelah mereka. Dan untuk lebih mudahnya adalah merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah ( penjelasan ) hadits dari para ulama mu’tabar yang di kenal kesungguhannya dalam mengikuti pemahaman para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim. Wallahu A’lam.



Di tulis oleh

Al Faqir Ilaa 'Afwi Rabbihi

Abu Sufyan Al Atsary 





    







 

Subhanalloh…segar sekali udara siang hari ini, badanku tidak terasa gerah! Kenapa ya?? Padahal matahari bersinar terang, menyinari permukaan bumi…
Tahukah adik-adik apa sebabnya? Penyebabnya adalah karena ada udara yang bergerak yang biasa disebut angin. Angin yang berhembus menerpa tubuh kita membuat tubuh kita segar dan tidak terasa gerah.

Tahukah adik-adik, bahwa angin adalah makhluk Alloh yang mempunyai manfaat yang banyak bagi manusia, lho!
Apa saja sih manfaat angin bagi manusia? Baiklah, kakak akan menjelaskan beberapa manfaat angin. Simak baik-baik ya! Adik-adik tahu nelayan kan? Yaitu orang yang pekerjaannya setiap hari mencari ikan di laut dengan menggunakan perahu. Nah, nelayan kalau mencari ikan di laut mereka memanfaatkan angin untuk menggerakkan perahunya, sehingga bisa sampai di laut dan juga bisa pulang ke rumahnya setelah mendapatkan ikan.
Selain bermanfaat bagi nelayan, angin juga bermanfaat buat petani lho, yaitu membantu petani mengairi sawah mereka. Kok bisa ya… bagaimana caranya? Caranya: angin membantu menggerakkan kincir angin yang dibuat petani untuk mengambil air dari dalam sumur. Bila kincir angin itu bergerak maka air dari dalam sumur akan naik ke permukaan kemudian air dialirkan ke sawah.
Ada lagi manfaat angin yang sangat menakjubkan. Ingin tahu tidak? Pasti penasaran. Coba adik-adik perhatikan awan-awan di langit. Awan-awan itu berjalan. Tahukah adik-adik, siapa yang menjalankan awan-awan tersebut? Tentu Alloh. Nah, Alloh  mengutus angin untuk membawa awan-awan itu ke suatu tempat yang dikehendaki Alloh untuk diturunkan hujan di tempat tersebut. Nah itulah adik-adik, beberapa manfaat angin!
Untuk Orang Tua dan Para Pendidik:
1. Ajaklah anak belajar berpikir dengan mengenalkan dan memperhatikan sesuatu yang berada di sekelilingnya. Beri penjelasan kepada mereka manfaatnya bagi manusia. Hal ini akan menumbuhkan rasa kepekaan terhadap lingkungannya dan rasa ingin tahu terhadap sesuatu yang baru bagi mereka.

2. Ajarkan dan pahamkan kepada anak bahwa Alloh  menciptakan sesuatu pasti mengandung hikmah bagi manusia dan tanamkan pada diri anak untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang telah diberikan Alloh.

Jikalau kita diperintah untuk berlindung, tentunya apa yang akan datang itu adalah sebuah masalah yang besar, yang dapat mencelakakanmu, mencelakakan jiwamu. Sebagaimana perintah untuk berlindung dari Godaan Syeithan La’natulloh ‘alaihi, ini dikarenakan syeithan adalah musuh yang nyata bagi kita, yang dapat mencelakakan Aqidah kita yang paling berharga.

Selain itu, tidak kita pungkiri juga bahwa ada hal-hal lain yang mungkin sebagian kita menganggap remeh, atau bahkan merasa selamat dari keburukan dan kejelekan yang tanpa kita sadari hal tersebut telah ada dalam diri kita.
Oleh karenanya, maka Tauladan kita Rosullullah senantiasa berlindung dari empat hal yang oleh sebahagian kita dianggap remeh.
عَبدُ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ عِلْمٍ لَا ينفع
Abdullah bin Umar berkata, Bahwa Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam berkata (berdo’a):
“Ya Alloh, sesungguhnya hamba berlindung dari Hati yang tidak Khusu’/Tenang, dari Doa yang tidak didengarkan/dikabulkan, dari jiwa yang rakus/tama’, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat.” [HR At Tirmidzi dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami' No. 1297]

Ikwany sekalian, aku nasihatkan kepadamu dan kepada diriku, agar senantiasa memohon perlidungan kepada Alloh Ta’ala dari empat macam kejelekan tersebut.

Penulis : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Sejarah bergantinya zaman dari zaman jahiliah ke zaman Islam adalah sejarah bergantinya masa perpecahan dan permusuhan kepada masa persatuan dan persaudaraan. Era jahiliah adalah masa perpecahan dan pertikaian. Masyarakat jahiliah adalah masyarakat liar yang tidak terpimpin. Tanpa aturan, tanpa kepemimpinan. Siapa yang kuat dia yang menang.

Mereka terkotak-kotak dalam berbagai suku dan kabilah, yang masing-masing merasa lebih kuat dan lebih hebat dari yang lainnya. Mereka dikuasai oleh sifat ashabiyah (fanatisme) golongan. Mereka akan membela golongannya masing-masing, benar ataupun salah. Oleh karena itu, pertikaian tidak dapat dihindarkan. Peperangan terus berlangsung hingga berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus-ratus tahun lebih. Seperti perang Da’is wal Ghabra yang disebabkan hanya karena masalah sepele, pertikaian dalam pacuan kuda. Namun akibat pertikaian tersebut menimbulkan peperangan yang berlangsung 40 tahun lebih. Mereka turun-temurun mewariskan dendam dan hutang darah, sehingga anak cucu mereka lahir dan dibesarkan dalam keadaan memusuhi serta membenci musuh nenek moyangnya, padahal mereka tidak tahu-menahu apa sebabnya.

Demikian pula peperangan dan pertikaian yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj yang berlangsung lama. Sehingga manusia ketika itu mengatakan mustahil mereka akan berdamai selama-lamanya. Namun anggapan mereka keliru. Bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal itu semuanya mudah dan Allah Maha Kuasa untuk berbuat apapun sekehendak-Nya. Ternyata setelah Allah mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurunkan Kitab-Nya dan mereka masuk Islam, hati-hati mereka luluh dan dapat bersatu padu dalam agama Islam ini. Maka, datanglah zaman yang berbeda. Zaman persaudaraan, keteraturan, ketentraman, dan perdamaian.

Dengan demikian, di samping mereka mendapatkan kenikmatan Islam yaitu kenikmatan berupa selamatnya mereka dari adzab Allah, mereka juga mendapatkan kenikmatan di dunia ini berupa kenikmatan ukhuwah dan persaudaraan. Allah Subhanahu wa Ta’ala ingatkan dua kenikmatan besar ini dalam ayat-Nya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hati kalian. Lalu karena nikmat Allah jadilah kalian sebagai orang-orang yang bersaudara. Dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)

Kenikmatan besar ini tidak bisa dibeli dengan harta dunia. Tidak bisa pula diupayakan dengan cara apapun, kecuali dengan cara yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kenikmatan ini berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak mungkin kita mengupayakannya kecuali dengan mencari jalan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kalian membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kalian tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 63)
Oleh karena itu, ketika kaum muslimin meninggalkan agamanya dan keluar dari jalannya, berkuranglah kenikmatan ukhuwah tersebut berbanding lurus dengan jauhnya mereka dari jalan Islam. Semakin jauh mereka meninggalkan agama Allah, semakin besar pula perpecahan yang terjadi di tengah mereka. Untuk itu, upaya mengajak kaum muslimin untuk kembali kepada tauhid dan ajaran Sunnah Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk merajut kembali persatuan umat Islam. Tidak ada jalan lain untuk merajut kembali kenikmatan ukhuwah kecuali dengan menebarkan dakwah ini, tanpa ta’ashshub (fanatik) terhadap siapapun. Tanpa ada tarikan hawa nafsu, maupun kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan.

Upaya-upaya menyatukan umat Islam dengan mematikan amar ma’ruf nahi mungkar, tidak boleh saling salah-menyalahkan, adalah upaya mengekalkan dan membiarkan perpecahan. Begitu juga upaya yayasan-yayasan pemberi dana bantuan untuk menjinakkan hati-hati manusia dan menyatukannya dalam satu barisan, dalam keadaan akidah mereka berbeda-beda, adalah kebodohan dan melupakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan pada ayat di atas:

لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ
“Walaupun kalian membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kalian tidak dapat mempersatukan hati mereka.”
Apalagi upaya untuk meleburkan semua pemahaman atau sinkretisme agama. Semua upaya itu sama ujungnya, mematikan amar ma’ruf nahi mungkar dan membiarkan perpecahan.
Oleh karena itu, para ulama mengatakan:

الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An’am: 153)

Kita lanjutkan sejarah persatuan dan perpecahan.
Zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan zaman persatuan, zaman ukhuwah, zaman rahmat, dan terus berlangsung seperti itu. Hingga muncul kelompok-kelompok sempalan, kaum Syi’ah Rafidhah dan kaum Khawarij. Kaum Syi’ah Rafidhah keluar dari ajaran Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ajaran ghuluw, menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan mengkafirkan sahabat-sahabat yang lain. Sedangkan Khawarij adalah kaum reaksioner, pemberontak, yang mengkafir-kafirkan kaum muslimin dengan sebab dosa-dosa besar. Robeklah tirai persatuan dan ukhuwah yang telah dirajut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terjadilah pertumpahan darah dan peperangan sesama kaum muslimin. Kenikmatan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan berangsur-angsur sirna.

Demikianlah sunnatullah. Jika suatu kenikmatan tidak disyukuri maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabutnya kembali.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb kalian memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7)
Karena sebagian besar atau kebanyakan kita melupakan kenikmatan yang besar ini dan mengabaikan penyebab datangnya kenikmatan ini, maka jangan salahkan siapapun ketika terjadi perpecahan dan pertikaian kembali di antara kita. Jangan salahkan kecuali diri kita sendiri. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengubah satu kenikmatan yang telah diberikan pada suatu kaum kecuali ketika mereka sendiri yang menyebabkan tercabutnya kenikmatan itu.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 53)
Tidak ada cara lain kecuali merajut kembali ukhuwah Islam dengan benang-benang tauhid dan sunnah. Tata kembali bangunan ukhuwah yang telah rusak dengan pondasi iman dan ketakwaan. Ajaklah seluruh kaum muslimin untuk bersatu di dalamnya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan kembali kenikmatan yang pernah diberikan kepada salafus shalih.
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=496
Al-Mawaddah Vol.58
Kita sebagai masyarakat Indonesia telah hampir terbiasa dengan dampak krisis yang melanda negeri tercinta ini semenjak kurang lebih 15 tahun yang lalu. Memang, utang adalah sebuah jerat yang sangat mematikan. Bahkan karena jerat utang manusia bisa kalap dan melakukan apa saja demi untuk terbebas dari jeratnya. Maka dari itu, kita juga sering mendengar dan menyaksikan berbagai berita pembunuhan, perampokan dan yang semisalnya yang dilatarbelakangi oleh utang.
Anehnya, seakan tidak banyak yang menyadari akan bahaya dari jerat utang tersebut. Bahkan yang nampak malah kebalikannya. Justru utang telah menjadi sebuah kebutuhan dan sebuah gaya hidup. Alih-alih untuk bisa hidup cerdas tanpa gangguan utang, kebanyakan masyarakat kita malah menggantungkan dirinya kepada utang dalam hal yang tidak benar-benar diperlukan. Mungkin ada di antara saudara kita berutang untuk memperbesar usahanya. Maka ia masih punya harapan untuk melunasi utangnya dari usaha yang ia kelola. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat kita nampaknya senang berutang dalam hal yang bersifat konsumtif (untuk dikonsumsi saja). Apalagi sekarang tidak banyak utang yang tidak mempunyai bunga alias riba. Tentu saja cekikan utang semakin diperparah dengan cekikan riba.
Tapi  apa mau dikata. Memang semua keadaan sekarang sudah terbalik. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja berlindung setiap saat dari himpitan utang, juga para sahabat beliau berlindung darinya. Eh, kita malah bersantai hidup bersandarkan utang.
Jika keadaan ini terus dibiarkan, bukan suatu hal yang mustahil bila anak keturunan kita benar-benar menjadikan utang sebagai gaya hidup yang utama untuk menghadapi kebutuhan harian mereka. Sehingga dengan hal itu mereka akan senantiasa menjadi bangsa yang terjajah dan terjerat tanpa disadari. Allahul musta’an. Semoga Allah segera membebaskan diri, keluarga dan bangsa kita dari jerat utang. Amin.

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ. الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ. وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ 
 
Allah berfirman, yang artinya, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Qs. Al-Muthaffifin: 1-3)

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Muthaffifin adalah orang yang meminta hak mereka secara utuh namun mengurangi hak orang lain. Artinya, mereka mengumpulkan dua sifat, yaitu 'syuhh' dan bakhil. Syuhhadalah menuntut hak secara penuh tanpa ada tawar-menawar, sedangkan bakhil adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, yang dalam hal ini adalah menyempurnakan takaran dan timbangan.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE