Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Tazkiyatun Nafs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tazkiyatun Nafs. Tampilkan semua postingan
Bismillah


Hikmah di balik dosa dan bertaubat yang jarang manusia mengetahuinya.
Berkata Imam Ibnul Qayyim رحمه الله :
“Seandainya taubat bukan merupakan sesuatu yang paling Dia cintai, tentu Dia tidak akan menguji hamba-Nya yang paling mulia dengan dosa.
Karena kecintaan-Nya terhadap taubat hamba-Nya lah maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan sesuatu yang paling dicintai-Nya yaitu taubat.
Dan sebagai tambahan atas kecintaan-Nya terhadap hamba-Nya karena sesungguhnya orang-orang yang bertaubat akan mendapatkan kecintaan khusus di sisi-Nya.”
[Madarijus Salikin : 1/306]
قال الإمام ابن القيم رحمه الله :
"ولو لم تكن التوبة أحب الأشياء إليه لما ابتلى بالذنب أكرم الخلق عليه ، فلمحبته لتوبة عبده ابتلاه بالذنب الذي يوجب وقوع محبوبه من التوبة ، وزيادة محبته لعبده ، فإن للتائبين عنده محبة خاصة“
(مدارج السالكين: ١\٣٠٦ )
🌴

Faidah Penyejuk Hati...
💡

〰〰〰〰〰〰〰〰〰

🚩Kokohlah di saat 'berdiri' di hadapan sang-Khāliq
📜Berkata Al-Imām Ibnul Qayyim rahimahullāh:
" للْعَبد بَين يَدي الله موقفان :
موقف بَين يَدَيْهِ فِي الصَّلَاة ، 
وموقف بَين يَدَيْهِ يَوْم لِقَائِه ،

فَمن قَامَ بِحَق الْموقف الأول هوّن عَلَيْهِ الْموقف الآخر ، وَمن استهان بِهَذَا الْموقف وَلم يوفّه حقّه شدّد عَلَيْهِ ذَلِك الْموقف. "
Terjemah:
---------

"Seorang hamba itu baginya ada dua peristiwa 'berdiri' di hadapan Allāh:
Pertama:
Berdiri di hadapan Allāh tatkala Shalat.

Kedua:
Berdiri di hadapan Allāh kelak pada hari kiamat.

Maka, barangsiapa yang benar-benar mewujudkan dengan sebenarnya 'berdiri' yang pertama, akan mudah baginya 'berdiri' yang kedua.
Dan, barangsiapa yang meremehkan 'berdiri' yang pertama ini, tidaklah pula memenuhi haknya dengan sebenarnya, maka akan sulitlah baginya pada 'berdiri' yang ke dua tersebut".
📜Sumber:
[Al-Fawāid: 200]
Ikhlas adalah pensucian niat dari seluruh noda dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Ikhlas adalah pengesaan Allah Ta'ala dalam niat dan ketaatan. Ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dan senantiasa memperhatikan al Khaliq. Ikhlas adalah pensucian amal dari perhatian makhluk.

Sedangkan Mukhlis adalah orang yang ketika keluar untuk berbuat amalah tidak memperhatikan hati manusia, sebab baiknya hati itu bersama Allah Ta'ala. Mukhlis adalah orang yang menutupi kebajikannya sebagaimana dia menutupi kejelekannya.

Adapun Riya' adalah lawan dari ikhlas, yaitu menampakkan ibadah dengan niat mencari pandangan manusia, sehingga pelakuknya akan dipuji dan ida mengharapkan pujian dan pengagungan dan takut kehilangan hal itu.

Kedudukan Ikhlas

Sesunggunya dasar utama di dalam dien al Islamadalah terwujudnya keikhlasan kepada Allah dalam setiap ibadah, karena keikhlasan itu merupakan syarat mutlak diterimanya amal shalih (-yaitu amal yang sesuai dengan sunnah-). Oleh karena itu Allah Ta'ala memerintahkan kepada kita agar senantiasa berbuat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Allah berfirman'

    Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya (Al Bayyinah: 5).

    Seandainya mereka berbuat syirik, niscaya lenyaplah dari mereka amalah yang telah mereka kerjakan (Al An'am : 88).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga menyinggung hal ini dalam sabda-sabda beliau:

    Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Allah Ta'ala berfirman, Aku tidak butuh sekutu-sekutu, barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan, dia menyekutukan bersama-Ku dengan selain Aku di dalam amalan itu, (maka) Aku tinggalkan dia dan sekutunya. (HSR Muslim)

    Dari Ab Umamah radhiyallahu 'anhu ia berkata, Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya, Apakah pendapatmu tentang seseorang yang berperang mengharapkan pahala dan pujian manusia, apa yang akan dia dapatkan? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Dia tidak mendapatkan apa-apa. Maka dia mengulangi pertanyaan itu tiga kali. Kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali karena ikhlas untuk-Nya dan mencari wajah-Nya (HR Ab Dawud, Nasa-i dengan sanad yang baik)

Ikhlas juga merupakan syarat terjauhnya hamba Alah dari godaan setan, sebagaimana firman Allah,

    Kecuali hamba-hamba-Mu yang berbuat ikhlas (Shad:83)

    Telah diriwayatkan bahwa seorang yang shalih pernah berkata pada dirinya sendiri, "Wahai jiwaku berbuat ikhlaslah niscaya kamu akan terbebas (dari godaan setan -pen) (Tazkiyatun Nufus, hal 14).

Ikhlas juga merupakan kunci dakwah para Rasul, sebagai firman Allah:

    Katakanlah, ini adalah jalanku, aku dan orang yang mengikutiku mengajak manusia kepada Allah dengan penjelasan yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang yang musyrik (Yusuf : 108).

Sebab-sebab terjadinya Riya'

Tidaklah suatu akibat kecuali ada sebabnya, demikian pula riya' tidak terjadi kecuali ada sebab-sebabnya. Adapun sebab-sebab riya' adalah sebagai berikut:

1. Lemah iman

Iman adalah keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Iman akan kuat karena melakukan ketaatan dan iman akan lemah jika melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu ketaatan tidak akan terlaksana kecuali karena kuat iman sebagaimana pula maksiat itu tidak akan terlaksana kecuali karena lemahnya iman.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

    "Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia sedang berzina sedang dia seorang mukmin, dan tidaklah mencuri seorang pencuri ketika dia sedang mencuri sedang dia mukmin (HSR Bukhari)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa perbuatan zina dan mencuri dilakukan oleh manusia karena lemah imannya.

2. Kebodohan

Ilmu adalah sumber dari segala kebaikan dan kebodohan adalah sumber dari segala kejelekan, karena tidaklah manusia menjalankan ketaatan kecuali karena dia berilmu dan tidaklah manusia menjalankan maksiat kecuali karena dia bodoh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Segala maksiat itu bersumber pada kebodohan, dan seandainya manusia mengetahui ilmu yang bermanfaat niscaya ia tidak melakukan maksiat." Selanjutnya beliau berkata ketika menafsirkan ayat Allah Ta'ala:

    Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah ulama (Al Fathir: 28).

"Setiap orang takut kepada Allah dan taat kepada-Nya serta tidak memaksiatinya maka dia itu alim/berilmu."

Riya termasuk maksiat kepada Allah, oleh karena itu orang yang berbuat riya' adalah orang yang bodoh.

Adapun bahaya riya' sebagai berikut:

1. Hati Tidak Tenang

Orang yang melakukan amal karena riya' hati tidak pernah tenang, karena hatinya senantiasa terbawa oleh orang-orang yang dihadapinya. Manakala orang yang dihadapinya memujinya dia senang, dan bila tidak memujinya dia susah, hingga hatinya selalu terombang-ambing oleh manusia yang dihadapinya. Allah berfirman:

    "Allah akan menghinakan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka."(Al-Baqarah:15)

2. Terhapus Amalan Yang TerkenaRiya' Dan Mendapat Siksa

Syaikh Abdul Azis Abdul Latif berkata (dalam Al-Ikhlas dan Syirik kecil hal 7): "Sesungguhnya menjalankan ketaatan/ibadah tanpa dilandasi keikhlasan kepada Allah, tidak akan berpahala, bahkan pelakunya akan dicampakkan ke dalam siksa yang pedih. Meskipun ketaatan itu termasuk amalan yang besar seprti berinfaq dalam menegakkan kebaikan, memerangi orang-orang kafir, menuntut ilmu syar'i, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

"Sesungguhnya manusia pertama kali yang akan diputuskan hukum padanya adalah seorang yang mati syahid, maka orang itu dihadapkan. Allah menampakkan nikmatNya kepadanya, diapun mengakuinya. Allah berkata padanya, 'Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-nikmat itu?'. Dia menjawab, 'aku berperang karena Engkau hingga aku mati syahid'. Allah berfirman, 'kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar disebut pemberani, dan (engkau) telah disebut (pemberani). Kemudian orang itu diperintahkan untuk diseret pada wajahnya hingga dilempar ke neraka. Dan seorang yang belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an. Maka orang itu dihadapkan. Allah menampakkan nikmatNya kepadanya, diapun mengakuinya. Allah berkata padanya, 'Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-nikmat itu? dia menjawab, 'aku belajar ilmu dan aku mengajarkannya, serta aku membaca Al-qur'an untukMu'. Allah berfirman, 'Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar agar disebut qari' (ahli membaca Al-Qur'an), dan (engkau) telah disebut'. Kemudian orang itu diperintahkan untuk diseret pada wajahnya hingga dilempar ke neraka. Dan orang yang diluaskan hartanya oleh Allah. Maka orang itu dihadapkan. Allah menampakkan nikmatNya kepadanya, diapun mengakuinya. Allah berkata padanya, 'Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-nikmat itu? dia menjawab: 'Tidaklah aku tinggalkan satu jalanpun yang Engkau suka diinfaqkan padanya kecuali aku berinfaq padanya karenaMu. Allah berfirman, 'Kamu dusta, akan tetapi kamu lakukan itu agar kamu disebut dermawan dan (kamu) telah disebut'. kemudian orang itu diperintahkan agar diseret pada wajahnya dan dilempar ke neraka. (HR. Muslim)

Dan Allah berfirman:

Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai shalatnya, yaitu orang-orang yang riya'.(al-Ma'un:4-6)

Contoh-contoh Riya' Yang Tersembunyi

1. Berkata Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya'nya: "Dan yanglebih tersembunyi dari itu adalah seorang menyembunyikan ketaatannya dengan maksud tidak menginginkan pamer dan tidak senang kalau diketahui ketaatannya itu. Akan tetapi bersama dengan itu ia suka jika manusia bertemu dengannya mereka mendahului salam. bermanis muka dengannya, menghargainya, memujinya, membantu segala urusannya, memberikan kemudahan dalam berjual beli, memberikan tempat duduk untuknya. Maka jika semuanya itu tidak dia dapati terasa beratlah hatinya untuk menjalankan ketaatanitu lagi". (al-Ihya' 3/305/306).

2. Menjadikan ikhlas sebagai wasilah untuk mendapat keuntungan dunia.

Berkata Ibnu Taimiyah memperingatkan penyakit yang tersebut: 'Telah diceritakan bahwa hadits yang (berbunyi) "Barangsiapa yang berbuat ikhlas karena Allah selama 40 hari akan terpancar sumber hikah dari hatinya lewat lisannya" telah sampai kepada Abu Hamid, lalu dia berkata: "Aku telah berbuat ikhlas selama 40 hari dan belum terpancar sesuatupun. Maka aku tanyakan hal itu pada orang alim. Dia berkata padaku: 'Sesungguhnya kamu berbuat ikhlas untuk mendapatkan hikmah dan kamu tidak berbuat ikhlas karena Allah".

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata: "Karena manusia itu terkadang tujuannya mencari hasil atau mencari pujian manusia dan sebagainya, padahal semua itu akan didapat dengan ikhlas karena Allah dan mencari wajahNya. Oleh karena itu apabila dia berniat untuk mendapatkan itu semua dengan wasilah ikhlas, hal itu adalah terbalik, sebab yang dijadikan tujuan malah selain Allah,padahal seharusnya Allah-lah yang dijadikan tujuan dan bukan dijadikan wasilah". (ad-Dar'u 6/66-67).

Berkata as-Syatibi:"Seharusnya orang yang melakukan amal itu tahu bahwa hasil itu bukan menjadi tujuan. Apabila dia memusatkan perhatiannya pada mengerjakan amalan dan menjauhkan perhatian dari hasilnya itu, dia akan lebih dekat kepada keikhlasan. Berbeda kepada orang yang memusatkan perhatiannya kepada hasil dan mengejarnya, maka perhatiannya kepada Allah menjadi terbagi. Dan jadilah perhatiannya kepada Rabbnya itu sebagai wasilah untuk mencapai hasil, maka tidak ragu lagi bahwa dia itu menjadikan ikhlas sebagai wasilah dalam mencapai hasil". (A-'Muwafaqat I/219/220)

3. Berkata Ibnu Rajab, "Dan ermasuk penyakit riya' yang tersembunyi adalah bahwa seseorang terkadang merendahkan dirinya, dihadapan manusia, mengharap dengan itu agar manusia melihat bahwa dirinya adalah seorang tawadhu', sehingga terangkat kedudukannya di sisi mereka dan mendapat pujian dari mereka. Sesungguhnya salafus shalih telah memperingatkan hal ini. Berkata Mutharif bin Abdullah bin Syikhir, 'Cukuplah seorang dikatakan berbangga diri (ujub/riya') jika dia merendahkan diri di hadapan manusia untukmendapatkan harga diri, padahal di sisi Allah adalah hina'. (Syarah Hadits Ma dzi'bani ja'i'ani, hal 46)

4. Meninggalkan Amal karena takut Riya'

Dan yangpaling aku(penulis) takuti adalah bentuk ini. Yakni sebagian manusia telah meninggalkan berbuat baik karena takut riya', hingga akhirnya perbuatan taat/ibadah selalu ditunda karena takut riya'. Maka tidak ragu lagi bahwa ini kesalahan yang besar dan bahayanya tidak kalah dengan riya' atau sum'ah.

Fudlail bin Iyyadl berkata menjelaskan tentang penyimpangan ini, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya' dan beramal karena manusia adalah syirik, sedangkan ikhlas, mudah-mudahan Allah menjagamu dari keduanya".

Berkata Ibnu Taimiyah, 'Barangsiapa yang akan melakukan amalan yang disyari'atakan misalnya shalat dluha, shalat malam dan lain sebagainya, maka hendaklah ia tetap saja melakukan dan tidak perlu menundanya karena berada di antara manusia, karena Allah tahu dari hatinya bahwa ia melakukan hal itu benar-benar karena Allah dan menjauhkan diri dengan sungguh-sungguh dari riya'yang merusak keikhlasan. Dan barangsiapa meninggalkan perkara yang disyari'atkan dnegan alasan bahwa kemungkinan ia akan melakukan dengan riya' maka hal itu tertolah dengan beberapa hujjah:

a. Karena kerusakan orang yang meinggalkan amalan yang disyari'atkan itu lebih besar daripada orang yang menjalankan amalan karena riya'.

b. Karena amalan yang ditingglkan itu hanyalah apa yang diingkari oleh syari'at (amalan yang buruk) apalagi Rasulullah tidak diutus membuka hati manusia dan tidak diutus untuk membedah perut-perut mereka.

c. Karena hal itu akan dijadikan senjata oleh musuh-musuh untuk menteror oeang Islam yang ingin menjalankan sunnah dengan dikatakan:, ah orang itu sok alim, sok suci,, ah orang ini riya' dan lain-lainnya.

d. Sehingga akibatnya orang yang taat akan meninggalkan perintah-perintah yang disyari'atkan karena takut dibilang ini dan itu, hingga akhirnya hilanglah kebaikan dimata manusia. (al-Fatawa 23/174-175).

Obat Penyakit Riya'

Nabi bersabda: Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali dengan obatnya. (HR. Bukhari).

Adapun obat penyakit riya' antara lain:

1. Hendaklah seorang mengilmui denganyakin bahwa dirinya adalah sekedar hamba Allah sedangkan hamba itu tidak berhak menuntut pemberian atau balasan, sebab ia beramalitu karena tuntutan peribadahan saja.

2. Hendaklah seorang hamba di dalam beribadah kepada Allah dengan penuh cinta kepadaNya, memohon pahalaNya dan takut dari kemurkaanNya.

3. Senantiasa instropeksi terhadap amalan,apakah itu dilakukan dengan ikhlas atau riya'

4.Selalu beristighfar kepada Allah dan berlindung dari riya'

5. Memperbanyak ibadah sunnah yang terjauh dari pandangan manusia seperti shalat malam, shadawah siriyyah, menangis karena takut kepada Allah danlain-lain.

6. Mengenali riya' dan timbulnya riya' hingga bisa mewaspadai datangnya.

7. Senantiasa memperhatikan akibat riya' baik di dunia maupun di akhirat. Selalu berdo'a kepada Allah agar ditetapkan hatinya di atas ketaatan kepadaNya.

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, balikkan hati kami di atas ketaatanMu.

Pentingnya Niat

Niat bukianlah ucapan sesorang dengan lisannya: "Nawaitu" akat tetapi niat adalah bangkitnya hati untuk melakukan suatu amalan.

Telah shahih dari Ibnu Umar bahwasanya dia mendengar seorang yang ketika melakukan ihram barkata, "Ya Allah sesungguhnya aku berniat melakukan haji dan umrah." Maka Ibnu Umar berkata kepadanya, "Apakah engkau memberitahukan kepada manusia? Bukankah Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu?" Karena nita itu tujuan hati dan tidak wajib dilafalkan dalam ibadah apapun.

Niat mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjalankan ibadah, karena baik buruknya suatu amalan bergantung pada niatnya.

Niat bisa menjadikan amalan kecil menjadi besar, dan sebaliknya niat bisa membuat amalah besar menjadi kecil. Dari Yahya bin Katsir berkata, "Pelajarilah niat, karena sesungguhnya niat itu lebih sampai daripada amal".

Dinukil dari tulisan Muhammad Abu Hamdan pada Majalah As Sunnah Edisi 08/IV/1421-2000
Sudah menjadi keharusan seorang Muslim manakala Rasulullah saw memerintahkan suatu perkara atau melarang suatu perkara untuk bersikap sami'na wa atha'na (patuh dan taat). Lebih dari itu ia akan memaksa dirinya agar bisa mencontoh segala apa yang menjadi perilaku Rasulullah saw. Apalagi perkara itu merupakan perintah wajib yang harus dijalankan dan larangan haram yang harus ditinggalkan.
Ia selalu ingat firman Allah:
"Dan apa-apa yang Rasul perintahkan lakukalah dan apa-apa yang ia larang, maka tinggalkanlah". (al-Hasyr:7)
Dan juga firman Allah:
"Sungguh pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik bagimu".
Dan salah satu teladan yang baik pada diri Rasulullah saw adalah adab beliau ketika makan.
Seringkali kita jumpai pada kaum muslimin cara-cara makan yang tidak sesuai dengan etika yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, mungkin karena ilmu belum sampai kepada mereka atau karena malas danmungkin juga karena enggan untuk melakukannya. Untuk golongan yang pertama mungkin perlu diluruskan dengan cara yang hikmah yakni dengan menjelaskan dalil-dalil yang shahih tentang bagaimana cara makan Rasulullah saw, sehingga mereka dapat mengetahui untuk kemudian diamalkan. Untuk golongan kedua, di samping perlu dijelaskan dalil-dalil yang shahih juga perlu diberi peringatan yang baik serta dijelaskan kepadanya ancaman-ancaman Allah, agar mereka takut dengan ancaman itu. Agar mereka mau menjalankan sunnah Rasulullah saw. Sedangkan untuk golongan yang ketiga kita dakwahi dengan cara golongan yang pertama dan kedua perlu dipatahkan alasan-alasan mereka meninggalkan sunnah, sehingga mereka yakin bahwa alasan mereka itu ternyata salah dan lemah bagaikan rumah laba-laba. Dan akhirnya mau menjalankan cara-cara yang diajarkan oleh Rasul.
Adapun adab-adab makan yang seringkali dilupakan oleh ummat Islam adalah sebagai berikut:

1. Makan Berjama'ah
Berkumpul menghadapi hidangan dan makan secara berjama'ah adalah suatu yang dianjurkan bagi kaum Muslimin di samping akan mendapatkan keutamaan berdasarkan hadits sebagai berikut:
"Berjama'ahlah dalam menyantap hidanganmu dan sebut nama allah padanya, niscaya akan mengandung berkah bagimu". (Silsilah hadits-hadits Shahih No.664).
Hadits ini dikabarkan oleh Rasulullah saw berkenaan dengan seseorang yang datang kepadanya dan berkata: Wahai Rasulullah, kami ini setiap makan tidak pernah kenyang. Maka Rasulullah saw berkata: 'Pasti masing-masing kamu makan sendiri-sendiri. Dia menjawab: Benar ya Rasulullah. Rasulullah berkata, "Berjama'ahlah dalam menyantap makananmu'.
Hadits di atas memerintahkan kepada kita agar setiap kali makan supaya berkumpul melingkar pada stu nampan makanan dan tidak makan sendiri-sendiri, sebab makan sendiri-sendiri itu di samping akan membuat masing-masing orang yang makan itu tidak akan kenyang(seperti kata shahabat di atas) juga tidak mendapatkan berkah/kecukupan. Karena kecukupan itu akan diperoleh dengan makan bersama, meskipun jumlah peserta hidangan bertambah sebagaimana kata Nabi saw:
"Makanlah berjama'ah dan janganbercerai berai,sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang".
"Sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk tiga atau empat orang danmakanan empat orang cukup untuk lima atau enam orang". (Silsilah Hadits Shahih no.1686).
Di samping akan memberikan kecukupan, makan berjama'ah adalah cara makan yang dicintai Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits yang berderajat hasan bahwa Rasulullah bersabda:
"Makanan yang dicintai Allah adalah makanan yang di atasnya banyak tangan-tangan (banyak yang memakannya)". (Silsilah hadits-hadits shahih No, 895).
2. Makan Dengan Menggunakan Shahfah /Qash'ah(Nampan) Dan di Atas Hamparan

Qash'ah adalah piring besar untuk makan sepuluh orang sedangkan Shahfah adalah piring besar untuk makan lima orang (Syama'il Muhammadiyah bab Cara Makan Nabi saw).
Adapun Sukurrajah adalah piring kecil yang biasa dipakai untuk memberi makan anak kecil (Fathul Bari 9/532).
Makan berjama'ah di atas hamparan dengan menggunakan shahfah adalah salah satu sunngah nabi saw yang harus diikuti, sedangkan makan di atas meja dengan menggunakan Sukurrajah adalah cara makan yang harus dihindari. Anas bin Malik berkata:
"Nabi saw tidak makan di atas meja makan dan tidak pula menggunakan Sukurrajah". (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Syamail, Shahih Bukhari no. 5386 dalam kitab Fathul bari 9/532).
Ibnu Hajar berkata:"Guru kami berkata dalam (Syarah at-timidzi):
Sukurrajah itu tidak digunakan karena mereka (Rasulullah dan para shahabat) tidak pernah menggunakannya, sebab kebiasaan mereka makan bersama-sama (dengan Shahfah) atau karena makan dengan menggunakan sukurrajah itu menajdikan mereka tidak merasa kenyang". (al-Fath 9/532)

3. Mengambil Suapan Yang Jatuh
Nabi saw berkata:
"Apabila salah seorang dari kamu makan, kemudian suapannya jatuh dari tangannya, hendaklah ia membersihkan apa yang kotor darinya lalu memakannya, danjanganlah ia membiarkannya untuk (dimakan) setan". (Silsilah hadits-hsdits Shahih no.1404)
Hadits ini mengajarkan kepada kita agar tidakmenyia-nyiakan makanan yakni dengan tidak membiarkan makananyang jatuh untuk dimakan setan.

4. Menjilati Makanan dan Shahfah
"Dan janganlah ia mengusap tangannya dengan mindil/serbet hendaklah ia menjilati tangannya, karena seseorang itu tidak mengetahui pada makannannya yang mana yang mengandung berkah untuknya,s esungguhnya setan itu selalu mengintai utnuk merampas harta manusia dari segala penjuru hingga di tempat makannya. Dan janganlah ia mengangkat shahfahnya hingga menjilatinya dengan tangan, karena sesungguhnya pada akhir makanan itu mengandung berkah". (Silsilah hadits-hadits shahih n0.1404)
Hadits ini memerintahkan kepada kita agar selalu menjilati tangan (yakni memasukkan jari-jari ke mulut untuk membersihkanmakanan yang melekat padanya) dan juga memerintahkan kepda kita agar menjilati shahfah (yakni menjilati sisa makanan pada shahfah denganmenggunakan jari-jari tangan dan bukan menjilat shahfahnya).
Berkata Imam Nawawi, tentang makna kalimat:
Pada makanannya yang mana yang diberkahi
Ia berkata: Sesungguhnya makanan yang dihidangkan untuk manusia itu mengandung berkah, sedang dia tidak mengetahui apakah berkah itu pada makananyang ia makan atau pada sisa makanan yang melekat di tangannya atau pada sisa makanan di dalam shahfah atau pada suapan yang jatuh. untuk itu hendaklah ini menjaga semua itu agar selalu mendapatkan berkah. (Fathul Bari 9/578).

5. Mengusap Makanan dengan Mindil
Mindil adalah kain yang dipakai untuk mengusap tangan selesai makan dan bukan kain yang dipakai untuk mengusap badan selesai mandi. (Fathul Bari 5/577)
Nabi saw bersabda:
Janganlah mengusap tangannya dengan mindil hingga menjilati tangannya...
Hadits ini mengisyaratkan kepada kita agar setiap selesai menjilati tangan agar mengusapnya dengan serbet, bukan dengan selainnya seperti handuk atau tissue (kertas tipis).
Ibnu Hajar berkata: 'Hadits di atas berisi larangan bagi orang yang mempunyai serbet tapi tidak mengusap tangan dengannya dan juga berisi larangan terhadap orang yang menggunakan selainnya'. (Fathul Bari 9/557).

6. Berkumur-kumur Setelah Makan
Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami, Sufyan telahmenceritakan kepada kami: 'Aku telah mendengar Yahya bin Said dari Busyair bin Yasar dari Suwaid bin Nu'man berkata: 'Kami keluar bersama Rasulullah saw ke Khaibar. Tatkala kami sampai di Shahba, Nabi saw mengundang makan, dan tidak dihidangkan makanan kecuali gandum, maka kami makan (bersama). Kemudian beliau berdiri untuk menjalankan shalat, maka beliau berkumur-kumur, dan kami pun berkumur-kumur. (Diriwayatkan bukhari No. 5445 dalam al-Fath 9/576).
Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita agar setiap selesai makan hendaklah selalu berkumur-kumur, karena berkumur-kumur itu bisa membersihkan sisa-sisa makanan yang masih melekat pada mulut, sehingga mulut akan selalu bersih dan sehat.

7. Peringatan Syaikh Muhammad Nasruddin Al-Albani (terhadap ummat Islam yang meninggalkan adab makan Islam)

Syaikh berkata(mengomentari hadits no. 1404 di dalam Silsilah Hadits Shahih):
"Dan termasuk suatu hal yang sangat disayangkan dan secara khusus mereka yang suka meniru adat orang-orang Barat dan taklid pada budaya Eropah,yang telah membuat setan dengan tipu dayanya berhasil mengambil harta-harta mereka tanpa susah payah bahkan dengan kerelaan mereka sendiri. Dan hal itu tidaklah terjadi secuali karena kebodohan mreka terhadap Sunnah atau karena sebagaian mereka mremehkannya. Bagaimana tidak? Bukankah kamu lihat mreka di atas meja makan,yakni setiap orang dari mereka makan sendiri-sendiri pada piring khusus bukan karena terpaksa- dan tidak mau bergabung dengan teman yang di sebelahnya- meskipun melanggar hadits:
"berjama'ahlah kamu dalam menyantap makanan". (Silsilah Hadits Shahih no 664).
Demikian pula bila suapan dari salah seorang mereka jatuh, dia tidak mau mengambil untuk menghilangkan kotoran darinya kemudian memakannya. Karena ada sebagian orang yang dianggap alim dan ahli filsafat melarang mereka dari yang demikian itu, dengan sangkaan makanan yang jatuh tu telah tercampur denganpenyakit, meskipun mereka menyelisihi hadits:
"Kemudian hendaklah ia buang yang meragukannya, dan hendaklah dimakannya. Janganlah meninggalkan itu untuk setan.

Kemudian mereka tidak mau menjilati tangan-tangan mereka, bahkan kebanyakan mereka menyangka, bahwa yang demikian itu akan mengurangi kenikmatan dan etika makan. Untuk itu mereka menyediakan serbet/sapu tangan. Maka hampir-hampir tidak pernah salah seorang dari mereka yang mendapati sesuatupun dari bau di jari-jarinya, bahkan di kedua bibirnya, kecuali segera mengusapnya dengan tissue itu.

Adapun menjilati shahfah yakni menjilati sisa-sisa makanan padanya dengan jari-jari tangan, maka mereka menyangka cara-cara seperti itu hina, bahkan menganggap bathil dan rakus terhadap pelakunya. Tidaklah mengherankan kalau hal itu terjadi pada orang-orang yang belum mengetahui di atas, tetapi alangkah mengherankan dan disayangkan orang-orang yang telah mengilmuinya tapi mereka meremehkannya.

Kemudian kamu jumpai mereka semuanya mengadu tentang hilangnya berkah pada gaji dan rizki mereka walaupun gaji mereka bertambah banyak. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui bahwa sebab hilangnya berkah itu karena berpaling dari mengikuti sunnah Nabi dan karena taklid terhadap aturan-aturan dari musuh-musuh dalam segala aspek kehidupan. Oleh karenaitu, Sunnah Nabi itu pasti membawa manfaat wahai ummat Islam!

"Wahai orang-orang yang beriman sambutlah Allah dan RasulNya. Apabila menyeru kalian, sebab Dia (Allah) yang menghidupkankalian. Dan ketahuilah bahwa Allah yang memalingkan seseorang dari hatinya dan kepadaNya-lah akan dikumpulkan". (al-Anfal:24)

(Dikutip dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/IV/1421-2000).
Gembira adalah kebalikan dari sedih, ia termasuk rintangan jiwa. Hanya gembira dengan Allah yang menjadikan hati mampu memperoleh hakikat kehidupan. Seorang hamba akan merasa gembira jika sudah mendapatkan cinta Allah, dan cinta Allah akan bisa diraih dengan ma'rifatullah (mengenal Allah). Cinta Allah ini akan menyingkap mendung kegalauan, kegundahan, kesedihan dan duka cita dari hati seorang hamba,
Allah berfirman:       

"Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah itu mereka gembira. "(Yunus: 58).
Kegembiraaan dengan karunia dan rahmat Allah itu mengikuti kegembiraan dengan Allah Ta'ala. Orang mukmin berbahagia dengan Rabbnya melebihi semua bentuk kegembiraan yang ada. Sesungguhnya hati jika mendapatkan nikmatnya kebahagiaan seperti di atas, ia akan terpancar dalam guratan wajahnya.
Demikianlah dengan gamblang Ibnu Qayyim membeberkan kepada kita metode terbaik untuk mentarbiyah perasaan cinta, hingga perasan ini mampu mengendalikan semua instink yang menurut beliau disebut penghalang-penghalang jiwa, yang akhirnya semua instink tersebut bergerak dan menghadap kepada apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta'ala.

Menurut  beliau, termasuk wasilah yang mampu menghantarkan hati meraih kebahagiaan dan kegembiraan, dan akan melapangkan dada adalah ihsan (perbuatan baik). Beliau berkata, "Ihsan akan membahagiakan hati dan melapangkan dada, mendatangkan nikmat dan mengusir bencana. Sebaliknya meninggalkan ihsan akan mendatangkan kesedihan, kegundahan dan kesempitan dalam hati. Beliau berkata, "Sebaliknya, meninggalkan ihsan akan mengakibatkan kesempitan dan kegundahan hati serta akan menghalangi sampainya nikmat ke dalamnya."

Sedangkan yang dimaksud dengan ihsan adalah memenuhi hak badan dan mendermakan harta kepada yang memerlukan. Yang demikian itu beliau jelaskan ketika sedang mengupas tentang hakikat pengecut dan bakhil, beliau berkata, "Pengecut adalah meninggalkan ihsan terhadap badan, sedang bakhil ialah meninggalkan ihsan terhadap harta." Sesungguhnya pengecut dan bakhil adalah dua hal yang selalu bergandengan. Adapun ihsan pengertiannya adalah, "Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu".
Segala puji hanya milik Allah semata, dam sholawat dan salam atas nabi kita Muhammad dan atas keluarganya dan para sahabanya, dan selanjutnya :

Sesungguhnya kaum muslimin dewasa ini telah ditimpa oleh cobaan yang besar. Musibah-musibah telah mengepung mereka dari segala penjuru. Kebanyakan kaum muslimin pun telah terjerumus di dalammya. Kemungkaran di mana-mana dan manusia pun telah terang-terangan berbuat maksiat tanpa ada rasa takut dan malu. Sebabnya adalah : sikap remeh terhadap agama Allah dan tidak adanya pengagungan terhadap hukum dan ajaran-Nya serta lalainya kebanyakan dari orang-orang yang sholeh untuk menegakkan syari'at Allah dan amar makruf dan nahi mungkar. Sesungguhnya tiada solusi bagi kaum muslimin dari bencana dan musibah ini kecuali dengan taubat yang benar kepada Allah Ta'ala dan mengagungi segala perintah dan larangannya. Mencegah tangan-tangan yang jahil dan memberikan sanksi kepada mereka.

Sesungguhnya musibah yang terbesar yang tampak pada dewasa ini adalah apa yang dilakukan oleh para pedagang kerusakan dan agen-agen kekejian serta penyebar kemungkaran di kalangan kaum mukminin : dengan menerbitkan majalah-majalah keji yang menentang Allah dan Rasul-Nya pada perintah dan larangan-Nya. Majalah-majalah ini mencantumkan di selang halaman-halamannya gambar-gambar telajang dan wajah-wajah yang menggoda yang membangkitkan nafsu syahwat, dan mengajak kepada kerusakkan. Telah dibuktikan dengan penelitian yang dalam bahwa majalah-majalah ini mencakup metode-metode yang banyak dalam mengiklankan kejahatan dan maksiat serta membangkitkan nafsu syhwat dan pelampiasannya pada apa-apa yang yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Seperti yang tercantum dibawah ini :
  1. Gambar-gambar seksi di cover majalah dan di dalamnya.
  2. Wanita-wanita dengan seluruh perhiasaannya yang mengoda dan menggairahkan.
  3. Ucapan-ucapan yang kotor, untaian puisi dan kalimat yang jauh dari etika malu dan kemuliaan yang menghancurkan akhlak dan merusak umat.
  4. Cerita-cerita roman yang keji, dan berita-berita artis dan aktor, penari laki-laki dan wanita dari kalangan orang-orang yang suka berbuat maksiat.
  5. Dalam majalah-majalah ini terdapat seruan yang terang-terangan untuk mempertontonkan kecantikan kepada orang lain, bersolek dan bercampurbaurnya antara laki-laki dan wanita serta pengoyakkan hijab.
  6. Pameran busana-busana seksi yang menutup tapi hakikatnya telanjang kepada kaum wanita mukminin untuk mengajak mereka kepada telanjang dan buka-bukaan serta menyerupai para pelacur dan pelaku maksiat.
  7. Dalam majalah ini terdapat rangkulan, pelukan dan ciuman antara laki-laki dan wanita.
  8. Di dalam majalah-majalah ini terdapat perkataan-perkataan yang bergejolak yang membangkitkan nafsu seksual yang mati pada jiwa para pemuda dan pemudi, sehingga mendorong mereka dengan segala kekuatan untuk menempuh jalan kesesatan, melenceng dan jatuh di dalam perzinahan, perbuatan dosa, pacaran dan cinta yang menggebu-gebu.
Entah berapa majalah-majalah yang beracun ini disenangi oleh para pemuda dan pemudi, sehingga mereka binasa karenanya dan keluar dari batas-batas kefitrahan dan agama.

Dan sungguh majalah ini telah merubah hukum-hukum agama dan dasar-dasar kefitrahan yang lurus pada pemikiran kebanyakan manusia disebabkan oleh tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran yang disebarkannya.

Kebanyakan manusia telah berani melakukan maksiat, dosa-dosa besar (zina), dan melampaui hukum-hukum Allah disebabkan oleh kecenderungan kepada majalah-majalah ini dan pengusaannya terhadap akal dan pemikiran mereka.

Walhasil : sesungguhnya majalah-majalah ini pokok dasarnya adalah perdagangan terhadap tubuh wanita yang dibantu oleh syeitan dengan segala faktor yang memikat dan segala sarana yang menggoda dengan tujuan menyebarkan ajaran ibahiyah (menghalalkan seluruh yang haram), merobek-robek kehormatan, dan merusak para wanita kaum mukminin, dan merubah masyarakat islami menjadi perkumpulan binatang (kumpul kebo) yang tidak mengenal ma'ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, dan tidak menegakkan syari'at Allah yang suci sedikitpun, bahkan kepala pun tidak diangkat terhadap ajaran ini. 

Seperti kondisi kebanyakan masyarakat, bahkan perkaranya sampai kepada bersenang-senang dua jenis insan (laki-laki dan wanita) dengan cara telanjang bulat, yang mereka namakan " kota telanjang ", semoga Allah melindungi kita dari fitrah yang terbalik dan keterjerumusan di dalam apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Inilah … dan berdasarkan kepada yang telah disebutkan di atas, tentang realita majalah-majalah ini dan dampak-dampaknya serta tujuannya yang keji dan karena banyaknya berita yang datang ke meja Lembaga ini dari kalangan orang-orang yang mempunyai ghairah (kecemburuan) terhadap agama dari kalangan ulama dan penuntut ilmu serta seluruh kaum muslimin tentang bersebarnya penayangan majalah-majalah ini di toko-toko buku dan supermarkat serta tempat-tempat perdagangan, maka sesungguhnya Lembaga Tetap Kajian Ilmiyah dan Fatwa melihat sebagai berikut.
Pertama : Diharamkan menerbitkan majalah-majalah hina seperti ini baik majalah-majalah umum atau khusus dengan pakaian-pakaian wanita. Barang siapa yang melakukan itu, maka dia mendapatkan bagian dari perkataan Allah Ta'ala. :
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat." (surat An Nur : 19).
Kedua : Diharamkan untuk bekerja di instansi majalah-majalah ini dari segi manapun, baik tugasnya di administrasi atau redaksi atau percetakkan atau distributor. Karena perbuatan itu termasuk ke dalam menolong dalam perbuatan dosa dan kebatilan serta kerusakan. Allah Ta'ala berfirman :
Artinya : "Dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya".(Al Maidah : 2).
Ketiga : Diharamkan mengiklankan majalah-majalah ini dan memasarkannya dengan sarana apapun, karena hal itu merupakan indikasi-indikasi terhadap kejahatan dan dakwah kepadanya. Sungguh telah tetap dari Rasulullah r bahwa beliau bersabda : " Barang siap yang mengajak kepada kesesatan maka mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dasonya dari dosa-dosa orang yang mengikutinya itu sedikitpun " ( H.R. Muslim di kitabnya Shohih Muslim).

Keempat : Diharamkan menjual majalah-majalah ini dan penghasilan yang didapatkan dari majalah ini adalah penghasilan yang haram. Barang siapa yang pernah melakukan hal ini maka haruslah dia bertaubat kepada Allah Ta'ala dan keluar dari penghasilan yang keji ini.

Kelima : Diharamkan kepada kaum muslimin untuk membeli majalah-majalah ini dan menyimpannya disebabkan karena di dalamnya terdapat dosa dan kemungkaran. Sebagaimana membeli majalah itu adalah memperkuat pelarisan majalah-majalah ini dan mengangkat inkam mereka dan mensuport mereka untuk memproduksi dan memasarkannya. Seorang muslim wajib waspada terhadap keluarganya baik laki-laki atau wanita untuk mendapatkan majalah-majalah ini demi menjaga mereka dari bencana ini dan terpengaruh dengannya. Seorang muslim harus mengetahui sesungguhnya dia adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya pada hari kiamat.

Keenam : Seorang muslim wajib memejamkan matanya dari melihat majalah-majalah yang merusak itu demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya r dan demi menjauhi bencana dan tempat-tempatnya. Kepada seseorang janganlah mendakwakan terhadap dirinya terjaga dari dosa sungguh Rasulullah memberitahukan bahwa "Sesungguhnya syeitan itu mengalir di tubuh anak adam seperti mengalirnya darah". Imam Ahmad -rahimahullah- berkata : " Entah berapakah suatu pandangan yang menimbulkan bencana di hati orang yang melihat itu". Maka barang siapa yang tergantung dengan apa yang terdapat di dalam majalah-majalah itu dari gambar-gambar dan yang lainnya telah merusak hatinya dan kehidupannya serta memalingkannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Karena, baiknya hati dan kehidupannya hanya disebabkan oleh ketergantungan dengan Allah dan mengibadatinya, lezatnya bermunajah kepadanya dan ikhlas serta penuhnya kecintaannya kepada Allah.

Ketujuh : Barang siapa yang dipilih Allah menjadi pemimpin di negeri Islam manapun wajib memberikan nasehat kepada kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari kerusakan dan pelakunya dan menjauhkan mereka dari segala yang membahayakan mereka di dalam agama dan dunia mereka. Di antaranya melarang majalah-majalah yang merusak ini untuk disebar dan jual-belikan. Dan menahan kerusakannya deri mereka.tindakan ini merupakan menolong Allah dan agama-Nya. Dan merupakan sebab kemenangan dan keberhasilan dan menguasai bumi sebagaimana firman Allah :
Artinya : "Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Seusngguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (Al Hajj : 40-41).
Dan segala puji bagi Allah Robb semesta alam dan sholawat dan salam atas nabi kita Muhammad dan keluarganya dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

Dari Nadhar bin Ismail yang berkata: Saya pernah mendengar Umar bin Dzar 1) berkata:
"Kamu sekalian telah cukup mengerti tentang kematian, maka kamu menunggu-nunggu kedatangannya siang dan malam:

Mungkin kamu mangkat sebagai seorang yang sangat dicintai oleh keluarganya, dihormati oleh kerabatnya, dan dipatuhi oleh masyarakatnya, dipindahkan ke liang yang kering dan batu-batu cadas yang bisu.  Tidak ada seorangpun dari keluarga yang bisa memberikan bantal, kecuali hanya menempatkannya di tengah kerumunan binatang serangga.  Adapun bantal pada saat itu berupa amal perbuatannya.

Atau mungkin kamu mangkat sebagai orang yang malang dan terasing.  Di dunia, ia telah  ditimpa banyak kesedihan, usaha yang dilakukan sudah berkepanjangan, badan telah kepayahan, lantas kematian tiba-tiba menjemput sebelum ia meraih keinginannya.

Atau mungkin kamu adalah seorang anak yang masih disusui, orang yang sakit, atau orang yang tergadai dan tergila-gila dengan kejahatan.  Mereka semua diundi dengan anak panah kematian.
Tidak adakah pelajaran yang bisa dipetik dari perkataan para juru nasihat?!
Sungguh, seringkali saya berkata: "Maha Suci Allah Jalla Jalaluhu.  Dia telah memberi tempo kepada kamu sehingga seakan-akan menjadikan kamu lalai."  Kemudian saya kembali melihat kepemaafan dan kekuasaan-Nya, lantas berkata: "Tidak, tetapi Dia mengakhirkan kita sampai pada batas ajal kita, sampai pada hari di mana mata menjadi terbelalak dan hati menjadi kering."
"Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong." (Ibrahim:43)
"Ya Rabbi, Engkau  telah memberikan peringatan, maka hujjah-Mu telah tegak atas hamba-hamba-Mu.
Kemudian ia membaca:
"Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zhalim: "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit."" (Ibrahim:44)
Kemudian ia berkata:
"Wahai pelaku kezhaliman!  Sesungguhnya kamu sedang berada dalam masa penangguhan yang kamu minta itu, maka manfaatkanlah sebelum akhir masa itu tiba dan bersegeralah sebelum berlalu.  Batas akhir penangguhan adalah ketika kamu menemui ajal, saat sang maut datang.  Ketika itu  tidak berguna lagi penyesalan.
Anak Adam ibarat papan yang dipasang sebagai sasaran dari panah kematian.  Siapa yang dipanah dengan anak panah-anak panahnya, tidak akan meleset.  Dan bila kematian itu telah menginginkan seseorang, maka tidak akan menimpa yang lain.
Ketahuilah, sesungguhnya kebaikan yang paling besar adalah kebaikan di akhirat yang abadi dan tidak berakhir, yang kekal dan tidak fana, yang terus berlanjut dan tak kenal putus.
Hamba-hamba yang dimuliakan bertempat tinggal di sisi Allah Ta'ala di tengah segala hal yang menyenangkan diri dan menyejukkan pandangan.  Mereka saling mengunjungi, bertemu, dan bernostalgia tentang hari-hari mereka hidup di dunia.

Tentramlah kehidupan merka.  Mereka telah memperoleh apa yang mereka inginkan dan meraih apa yang mereka cari, karena keinginan mereka adalah berjumpa dengan majikan Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi Anugerah. 2)

---------------
Catatan kaki:
1) Dia adalah Umar bin Dzar biun Abdillah bin Zaraqah Al-Hamdani Al-Murhabi, seorang tabi'it tabi'in yang tsiqah, wafat pada tahun 135 H.  Riwayat hidupnya ada dalam "Tahdzibut Tahdzib" (VII:144), "Hilyatul Auliya" (V:108) dan lain-lain
2) Dikeluarkan oleh Abu Nu'aim dalam 'Al-Hilyah' (V:115-116)
 
Diketik ulang dari: "Wasiat Para Salaf" Salim bin 'Ied Al Hilali, Penerjemah: Hawin Murtadho. Penerbit: At-Tibyan, Solo.  Cetakan kedua: Juli 2000 M, hal.111-114
Di dalam Ash Shahihain disebutkan dari Abu Haurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,

"Barangsiapa mengucapkan, 'Laa ilaha illallah wahdahu laa syarikalahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu, wa huwa 'ala kulli sya'in qadir' seratus kali dalam sehari, maka dia mendapat pahala seperti pahala membebaskan sepuluh budak perempuan, ditetapkan baginya seratus kebaikan, dihapuskan dirinya seratus keburukan dan hal itu menjadi perlindungan dari syetan pada hari itu hingga petang hari, dan tidak ada seseorang yang membawa sesuatu yang lebih baik daripada apa yang dibawa orang itu, kecuali orang yang melakukannya lebih banyak lagi.  

Barangsiapa mengucapkan, 'Subhanallah wa bihamdihi' seratus kali dalam sehari, maka dihapuskan darinya kesalahan-kesalahannya, sekalipun kesalahan-kesalahan itu seperti buih lautan." (Ditakhrij Al Bukhary dan Muslim)
Dinukil dari: "Kalimat Thayyibah Kumpulan Dzikir dan Doa", Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penyunting: Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilaly.  Penerjemah: Kathur Suhardi, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Cetakan II: April 1999, hal.70-71
Dari Abu Hurairah Radhiyalla 'Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam  bersabda:
"Barangsiapa yang mengucapkan pada pagi dan petang hari: 'Subhanallah wa bihamdihi' seratus kali, maka seseorang tidak akan datang pada hari kiamat dengan membawa sesuatu yang lebih utama dari apa yang dibawanya, malainkan seseorang yang berkata seperti yang diucapkankannya itu atau lebih banyak lagi."  (Diriwayatkan Muslim)
dinukil dari:  "Amalan Ringan Berpahala Besar", Muhammad Khair Yusuf.  Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, cetakan kelima, Januari 2001, hal.39
Hati itu bisa hidup dan bisa mati.  Sehubungan dengan itu, hati dapat dikelompokkan menjadi:
1. hati yang sehat
2. hati yang mati
3. hati yang sakit
Hati yang sehat adalah hati yang selamat.   Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa membawanya tidak akan selamat.  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." (QS Asy-Syu'ara: 88-89)
Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran.  Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya.  Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Ini saja tidak dirasa cukup.  Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan.  Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan.  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancang (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah!  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al Hujurat:1)
Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya.  Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya.  Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala .  Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala .  Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu.   Ia menghamba kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala .  Jika ia mencinta, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu.  

 Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya.  Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya.  Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi.  Ia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat, tetapi ia berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak menyambutnya.  Bahkan ia mengikuti setiap setan yang sesat.  Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta selain kepada kebatilan. 1  Bergaul dengan orang yang hatinya mati ini adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis dengan mereka adalah bencana.

Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit.  Ia akan mengikuti unsur yang kuat.  Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang pula cenderung kepada 'penyakit'.  Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang merupakan sumber kehidupannya.  Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad 2 , kibr 3, dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya.  Ia ada diantara dua penyeru; penyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rsul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi.  Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat, paling akrab.

Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu', tawadlu', lembut dan selalu berjaga.  Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati,  Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.

Catatan kaki:
1. Disebutkan dalam sebuah hadits, "Cintamu kepada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu,"  Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Adab XIV/38 secara marfu'dan oleh Imam Ahmad dalam Musnad V /194 secara marfu', juga VI/450 secara mauquf.  Semuanya dari Abu Darda'.  Abu Dawud tidak mengomentari hadits ini.  Namun sebagian ulama menghasankannya, dan sebagian yang lain mendlaif-kannya.

2. Hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya.
3. Kibr atau sombong adalah menganggap remeh orang lain.  Rasulullah bersabda, Kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." HR. Muslim II/89
---------
Diketik ulang dari: "Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf", Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali.Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi'i. Editor: Abu Fatiah Al Adnani . Penerbit: Pustaka Arafah, Solo. Cetakan Pertama: Februari 2001/Dzul Qa'dah 1421 H, hal.22-24

Dari Mukhawwal diriwayatkan bahwa ia berkata:  "Bahim Al Ajali pernah datang kepada saya suatu hari dan berkata:  "Apakah engkau mengenal seseorang  di antara tetanggamu atau saudaramu yang engkau sukai, yang berkeinginan melaksanakan haji untuk dapat menemaniku?"  Aku menjawab: "Ada."  Aku segera menemui seorang lelaki yang shalih dan baik akhlaknya, lalu keduanya kupertemukan. 

Merekapun bersepakat untuk pergi haji bersama.  Kemudian Bahim pulang menemui istrinya.  Beberapa saat kemudian (sebelum pergi), si lelaki menemuiku dan berkata:  "Wahai saudaraku!  Betapa senangnya aku jika kamu menjauhkan sahabatmu itu dariku!  Hendaknya ia mencari teman seperjalanan yang lain saja."  Aku bertanya: "Mengapa demikian? Sungguh aku tidak melihat orang yang setara  dengannya di kota Kuffah ini dalam kebagusan akhlak dan perangainya.  

Aku pernah berlayar bersamanya, dan yang kulihat darinya hanyalah kebaikan."  Lelaki itu menjawab: "Celakalah kamu, setahuku, ia ini orang yang banyak menangis, hampir tak pernah berhenti tangisnya.  Hal itu akan menyusahkan kami sepanjang perjalanan."  Aku menanggapi:  "Engkaulah yang celaka, terkadang tangisan itu datang tidak lain hanyalah dari mengingat Allah.  Yakni, hati seseorang itu melembut, sehingga ia mengais.  Bukankah kadangkala engkau juga menangis?"  Lelaki itu menjawab:  "Memang benar.  Tetapi kudengar, terkadang ia mengais kelewatan sekali."  Aku berkata:  "Temanilah dirinya.  Semoga kamu bisa mengambil manfaat darinya."  Ia berkata:  "Aku akan sholat istikharah terlebih dahulu!"

Tepat pada hari keberangkatan mereka berdua, onta telah didatangkan dan dipersiapkan.  Tiba-tiba Bahim duduk di bawah pohon sambil meletakkan tangannya di bawah janggutnya dan air matapun menetes di kedua belah pipinya, lalu turun membasahi ke janggutnya, dan akhirnya menetes membasahi dadanya, sampai-sampai  -demi Allah- kulihat air matanya membasahi bumi."

Lelaki itu berkata: "Lihatlah, belum apa-apa sahabatmu itu sudah menangis.  Orang seperti itu tak pantas menjadi temanku." :"Temani saja dirinya." Pintaku: "Barangkali dia teringat keluarganya dan kala ia berpisah dengan mereka, sehingga ia bersedih."  Namun ternyata Bahim mendengar pembicaraan kami dan menanggapi: "Bukan begitu persoalannya.  Aku semata-mata hanya teringat dengan perjalanan ke akhirat."  Mukhawwal melanjutkan: "Maka suara beliaupun melengking karena tangisan."

Ia melanjutkan:  "Temanku berkomentar: "Demi Allah, janganlah ini menjadi awal permusuhan dan kebencian dirimu terhadapku.  Tak ada hubungan antara aku dengan Bahim.  Hanya saja, ada baiknya engkau mempertemukan antara Bahim dengan Dawud Ath-Tha-i dan Sallaam Abul Ahwash 1 agar mereka saling membuat yang lainnya menangis hingga mereka puas, atau meninggal dunia bersama-sama."

Lelaki itu terus berkata: "Aku terus saja menemaninya dan berkata dalam hati: "Susah nian, mudah-mudahan ini menjadi perjalananku yang terbaik."  Perawi menyebutkan: "Lelaki itu orang yang menyukai perjalanan panjang untuk berhaji, lelaki yang shalih, namun di samping itu ia juga pedagang kaya raya yang rajin bekerja; bukan orang yang mudah bersedih dan menangis."  Perawi menyebutkan: "Lelaki itu berkata: "Sekali inilah hal itu terjadi pada diriku, dan udah-mudahan bermanfaat."

Mukhawwal menyebutkan:  "Bahim tidak mengetahui sedikitpun tentang hal itu.  Kalau ia mengetahui sedikit saja, niscaya ia tak pergi bersama lelaki itu."
Mukhawwal melanjutkan: "Maka merekapun berangkat berdua hingga melaksanakan haji dan pulang kembali.  Masing-masing dari kedunya begitu akrab sampai-sampai tidak menyadari bahwa mereka memiliki saudara lain selain sahabat yang menemainya.  Setelah tiba, aku mengucapkan salam kepada lelaki tetanggaku itu.  Ia pun berkata: "Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas saranmu kepadaku.  Tak kusangka, bahwa diantara manusia sekarang ini ada juga yang seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.  Demi Allah, ia membiayai kebutuhanku, sementara ia orang miskin, aku justru orang kaya.  

Beliau sudi melayani diriku, padahal beliau sudah tua dan lemah sedangkan aku masih muda dan kuat.  Beliau juga memasak untukku, padahal beliau bershaum sementara aku tidak."  Mukhawwal bertanya: "Bagaimana soal tangisan panjangnya yang tidak engkau sukai?"  Lelaki itu menjawab: "Akhirnya aku terbiasa dengan tangisan itu.  Demi Allah, hatiku merasa senang, sampai-sampai akupun turut menangis bersamanya, sehingga orang-orang yang bersama kami merasa terganggu.  Namun kemudian -demi Allah-, merek pun akhirnya terbiasa.  mereka juga turut menangis, bila kami berdua menangis.  Sebagian mereka bertanya kepada sebagian yang lain: "Keapa mereka lebih mudah menangis daripada kita, padahal jalan hidup kita dan mereka sama?"  Merekapun akhirnya menangis, sebagaimana kami juga menangis."

Mukhawwal melanjutkan: "Kemudian aku keluar dari rumah lelaki itu untuk menemui Bahim.  Aku bertanya kepadanya setelah terlebih dahulu memberi salam: "Bagaiamana tentang teman perjalananmu?"  Beliau menjawab: "Sungguh, ia teman yang terbaik.  Ia banyak berdzikir, banyak membaca dan mempelajari Al Qur'an, mudah menangis dan mudah memaafkan kesalahan orang lain.  Semoga Allah memeberimu pahala kebaikan atas saranmu." 2
------------
Catatan kaki:
1. [Dalam "Shifatush Shafwah" disebutkan: Sallaam bin Al-Ahwash.  Ynag betul adalah Sallaam Abul Ahwash.  Lihat "At-Taqrieb" biografi no.2703.  Namanya adalah Sallam bin Sualaim Al-Hanafi Al-Kufi, wafat tahun 179 H]
2. ["Shifatush Shafwah" III:179-182 ]

diketik ulang dari: "Panduan Akhlak Salaf", Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Baha-uddien 'Aqiel. Penerjemah: Abu Umar Basyir AL-Medani. Editor: Abu Ihsan. Penerbit: At-Tibyan, Solo. Cetakan Pertama, September 2000, hal.19-21

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE