Sebagian
orang menyangka bahwa sifat maaf dan tidak menyakiti perasaan orang
lain bukanlah suatu akhlak yang mulia, padahal kedua sifat ini merupakan
sifat termulia dan terpuji dalam islam. Sebab tidak diragukan lagi,
setiap orang yang bersifat pemaaf, pasti akan mulia dan berakhlak baik,
sehingga para salaf rahimahullah ketika mendefinisikan “husnul-khuluq /
akhlak yang baik” selalu menyertakan didalamnya sifat pemaaf ini.
Diantara mereka ; Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata ; “Akhlak yang baik itu adalah gemar memberi, berbuat baik pada oranglain, dan bersabar (memaafkan) atas kesalahan oranglain”. Juga diriwayatkan dari Ibnul-Mubarak rahimahullah ,ia berkata ;
((هو بسط الوجه وبذل المعروف وكف الأذى))
Artinya ; “Akhlak yang baik adalah menampakkan wajah ceria, berbuat baik pada oranglain, dan tidak menyakiti mereka”.2
Imam Ahmad rahimahullah juga berkata ;
((حسن الخلق أن تحتمل ما يكون من الناس))
Artinya ; “Akhlak yang baik itu adalah engkau bersabar dan memaafkan apa yang oranglain lakukan atasmu”.3
Sebagian ulama juga mendefenisikan akhlak baik ini dengan ; “menahan
amarah karena Allah, menampakkan wajah ceria kecuali pada ahli bid’ah
atau sesat, dan memaafkan orang-orang yang berbuat salah kecuali kalau
dengan tujuan mendidiknya”.
Bahkan dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu juga menunjukkan hal ini ;
«يا عقبة ألا أخبرك بأفضل أخلاق أهل الدنيا والآخرة؟ تصل من قطعك، وتعطي من حرمك، وتعفو عمن ظلمك»
Artinya
; “Wahai ‘Uqbah, maukah jika saya beritahukan padamu tentang akhlak
yang paling mulia didunia dan diakhirat kelak ? yaitu engkau menyambung
tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya, memberi orang yang
enggan memberimu, dan memaafkan orang yang menzalimi dirimu”.4
Beliau juga pernah menjelaskan ini kepada Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ;
«أبا هريرة عليك بحسن الخلق، قلت وما حسن الخلق؟ قال: تصل من قطعك وتعفو عمن ظلمك وتعطي من حرمك»
Artinya
; “Wahai Abu Hurairah, berakhlak mulialah”, Saya (Abu Hurairah) berkata
; “Bagaimanakah berakhlak mulia itu ?”, beliau bersabda ; “yaitu
menyambung tali silaturrahim terhadap orang yang memutuskannya,
memaafkan orang yang menzalimimu, dan memberi orang yang enggan
memberimu”.5
Ketika Marah : Hendaknya Menghadirkan Pahala Sifat Pemaaf Dalam Hati
Sangatlah
baik jika orang yang sedang marah menghadirkan dalam hatinya pahala
akhlak mulia, dengannya ia bisa terhibur . Hendaknya ia mengingat bahwa
akhlak mulia merupakan penyebab terbesar yang memasukkan banyak manusia
kedalam surga, serta sangat berat timbangannya diatas mizan hari kiamat
kelak, juga merupakan sebab dekatnya derajat seorang hamba dengan para
nabi disurga kelak.
Allah ta’ala berfirman ;
ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ ٱلسَّيِّئَةَۚ نَحۡنُ أَعۡلَمُ بِمَا يَصِفُونَ ٩٦
Artinya
; ” Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih
mengetahui apa yang mereka sifatkan (QS Al-Mukminun ; 96).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa ia memaknai ayat ini ” Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik” ; yaitu
hendaknya bersabar ketika marah, dan memaafkan ketika disakiti, jika
mereka melakukan hal ini, maka Allah pasti melindungi mereka serta
musuh-musuh akan tunduk pada mereka”.6
Dengan Memaafkan : Derajatmu Semakin Mulia Dan Dicintai Allah
Salah
satu faktor keengganan manusia untuk memaafkan, sabar dan menahan
amarah adalah adanya keyakinan bahwa jika ia tidak marah maka dirinya
terasa hina ,rendah dan nampak kelemahannya, padahal ini adalah godaan
syaithan yang terkutuk.
Wahai
saudaraku yang tercinta, sungguh dengan menampakkan sikap pemaaf dan
menahan amarah terhadap kesalahan dan ketergelinciran orang lain ,engkau
bahkan telah menambah kemuliaan derajat dirimu didunia dan diakhirat,
serta membuatmu semakin kuat dan berwibawa, sebab kekuatan hakiki itu
bukan berarti bisa mengalahkan oranglain, namun bisa menahan diri ketika
datangnya amarah.
Tidak
diragukan lagi ,bahwa dua sifat terpuji ini (menahan amarah dan
memaafkan) sangat dicintai oleh Allah ta’ala, sebagaimana pujian
Rasulullah terhadap seorang sahabatnya ;
«إن فيك خصلتين يحبهما الله ورسوله الحلم والأناة»
Artinya ; “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah ; Sifat menahan amarah dan sabar”.7
Memaafkan : Mendatangkan Ampunan Allah Dan Tanda Sifat Taqwa
Saudaraku,
tidakkah engkau senang jika semua dosa-dosamu diampuni oleh Allah
ta’ala dengan sebab memaafkan oranglain ? Allah telah menyerumu ;
وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ٢٢
Artinya
; ” dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang “.(QS An-Nur ; 22)
Saya
memohon kepada Allah ta’ala agar menganugrahkan sifat pemaaf ini dalam
sikap dan lisan kita. Saudaraku, ingatlah firman Allah yang menyifati
orang-orang pemaaf sebagai orang yang bertakwa ;
ٱلَّذِينَ
يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ
وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
Artinya
; “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan”. (QS Ali Imran ; 134)
Juga firman-Nya ;
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ٤٣
Artinya
; ” Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan)
yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan “.(QS Asy-Syura ; 43)
Sungguh indah ucapan sang penyair ;
وإني لأعفو عن ذنوبٍ كثيرةٍ ** وفي دونها قطع الحبيب المواصل
وأحلم عن ذي الذنب حتى كأنني** جهلت الذي يأتي ولست بجاهل
Sungguh, Aku mengampuni banyak dosa…Syaratnya tidaklah memutuskan hubungan sang sahabat…
Sungguh
Aku menahan amarah dari para pendosa.. hingga diriku seakan tidak
pernah tahu tentangnya, padahal aku sangat mengetahuinya…8
Orang
yang berakal lagi cerdas adalah yang sadar terhadap adanya kesalahan
orang lain terhadap dirinya namun ia sengaja tidak menghiraukan dan
mempermasalahkannya, sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i
rahimahullah ; “Ketahuilah
wahai saudaraku tercinta, bagaimanapun juga seorang insan pasti
mendapatkan celaan dan rasa sakit dari selainnya baik dalam bentuk
perbuatan atau ucapan, jika insan terbaik dan penghulu semua manusia
(Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam) telah disakiti dengan dua
hal ini, lalu bagaimanakah keadaan selain beliau, dikatakan dalam syair ;
ولا ترج شيئاً خالصاً نفعه** فالغيث لا يخلو من الغثاء
Jangan terlalu mengharap yang mulus-mulus
Sebab hujanpun tak kan terlepas dari buih… 9
Sikap Saling Memaafkan : Hak Sesama Muslim
Suatu
hal yang maklum bahwa diantara hak-hak sesama saudara seiman adalah
harus saling memaafkan kesalahan , dan menerima uzur dan alasannya.
Ibnul Muflih rahimahullah berkata ; “Diantara
hak muslim atas muslim lainnya adalah menutup aib-aibnya, memaafkan
kesalahannya, mengasihaninya ketika bersedih,bersikap masa bodoh
terhadap ketergelincirannya dan menerima uzurnya”.10
Hak-hak
ini adalah hubungan antara sesama muslim, lalu bagaimanakah jika kedua
muslim tersebut saling bersaudara kandung ? Sungguh lebih wajib lagi.
Al-’Allaamah Abdul’Aziz bin Baaz rahimahullah juga berkata ; “Sikap
memaafkan hukumnya adalah sunat, karena seseorang dibolehkan untuk
mengambil haknya dari orang yang menzaliminya jika ada maslahat
didalamnya”.11
Oleh Ustadz Maulana La Eda
(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madina)
(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madina)
1 .Disadur dari tulisan Syaikh Badr Al Mahmud –rahimahullah-.
2 .Ucapan beliau ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 4/363 (2005) dengan sanad hasan.
3 .Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab
4
.HR Ahmad (17468) ,dan (1789), Al-Hakim (4/161), Al-Baghawi (3443) dan
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dari hadis Uqbah bin ‘Amir
radhiyallahu’anhu . Dalam Musnad Ahmad hadis ini diriwayatkan dengan dua
sanad, salah satunya jayid (kuat), Dalam Al-Majma’ (8/188) Al-Haitsami
berkata ; “Salah satu dari dua sanad riwayat Ahmad ; semua rawinya
tsiqah”. Maksud beliau adalah jalur sanad Ibnu ‘Ayyasy dari Usaid bin
AbdurRahman dari Farwah dari Mujahid dari ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallahu’anhu. Hadis ini juga memiliki syawahid (hadis-hadis
penguat) dari hadis Ali, Ubadah ,Ka’ab bin ‘Ujrah dan selain mereka.
5
.HR Al-baihaqi dalam Asy-Syu’ab, dalam sanadnya terdapat inqitha’
/terputus antara Al-Hasan dan Abu Hurairah, Dalam Al-Ihya’ (2/1758)
Al-’Iraqi berkata ; “bahwasanya hadis ini merupakan riwayat Hasan dari
Abu Hurairah, dan Hasan belum mendengar dari beliau”. Namun hadis ‘Uqbah
sebelumnya menguatkan dan mendukung makna hadis ini, sehingga hadis ini
derajatnya menjadi hasan (lighairihi).
6
.HR Bukhari secara mu’allaq (1444) dan sanadnya disambung oleh Ibnu
jarir dalam tafsirnya (11/30544), Al-baihaqi dalam Al-Kubra (7/45) dan
dinukil oleh Ash-Suyuthi dalam Ad-Dur Al-Mantsur (7/327) dan disebutkan
juga Al-Baghawi dalam tafsirnya (4/102), dan juga Ali bin Abi Thalhah
dalam Shahifahnya (439),. Yang shahih dari atsar ini adalah bahwasanya
derajatnya mursal/terputus sanadnya dari Ibnu Abbas, karena Ali bin Abi
Thalhah tidak mendengar Ibnu Abbas. Ibnu Ad-Duhaim berkata ; “Ia belum
mendengar tafsir dari Ibnu Abbas”, Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat berkata
; “ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas namun ia belum pernah melihatnya’.
Dalam sanad ini terdapat kritikan ringan dari sebagian ahli ilmu, namun
tidak mendhoifkannya, namun atsar ini memiliki sisi dhoif lain yaitu ;
1.Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Shalih Al-Juhani, Kaatib
Al-Laits, Imam Ahma berkata ; “Dulu pada awalnya ia berpegangteguh
dengan sunnah, namun kemudian tidak diakhir umurnya, dan ia tidaklah
tsiqah”. Dulu beliau mencela dan membencinya. Imam An-Nasai juga berkata
; “ia tidak tsiqah”, Abu Ahmad Al-Hakim berkata ; “ia dzaahibul-hadits
“( maksudnya hadisnya tidak bisa diterima), Ibnu Hibban berkata ;
“Munkar sekali, ia merwayatkan dari para tsiqah hadis-hadis yang bukan
dari riwayatnya para tsiqah,”. Al-Hafidz Ibnu hajar dalam At-taqrib
(2/3399) berkata ; “Shoduq, banyak memiliki kesalahan, tsiqah pada
kitabnya namun ia memilki beberapa kelalaian”.
2.Dalam sanadnya terdapat Muawiyah bin Shalih Al-hadhrami, dalam At-Taqrib 2/6186 ; “shoduq namun memiliki beberapa kesalahan”.
7 .HR Muslim ; 126 , 1/36
8 .Al-Aadaab Asy-Syar’iyyah ; 1/311
9 .Idem.
10 .idem ; 1/305
11 .Dari Syarah beliau atas Kitab Riyadhish-Sholihin.
Sumber : Maafkanlah Saudaramu | Wahdah Islamiyah http://wahdah.or.id/maafkanlah-saudaramu/#ixzz3FeXhMLW0