Latest Products

Tampilkan postingan dengan label ilmu syar'i. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu syar'i. Tampilkan semua postingan
Oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qathani
Kita semua sepakat bahwa sebuah gedung yang tinggi (misalnya masjid Is-Tiqlal di Jakarta) pasti memerlukan banyak ahli ilmu teknik bangunan yang mereka benar-benar ahli (Insiyur Teknik Sipil dan Arsitektur) alias berilmu dalam bidangnya dan berpengalaman agar gedung itu berdiri dengan kuat,kokoh dan awet. Juga seseorang yang mengobati penyakit haruslah berpendidikan kesehatan (dokter mis.) Namun ketika orang-orang ditanya bagaimankah membangun umat Islam ini ? Maka mayoritas orang tidak terlalu memikirkan bagaimana kapasitas da'i pembangun umat ini apakah mereka berilmu tentang dien/agamanya yang akan dida'wakan atau tidak ? Dan ini adalah musibah Innalillahi wa innalillahi rojiun..
Ilmu merupakan sandi terpenting dari hikmah. Sebab itu, Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum berkata dan beramal. Firman Allah :
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu." (Muhammad :19).
Imam Bukhari rahimahullah membicarakan masalah ini dalam bab khusus, yakni bab "Ilmu sebelum berkata dan beramal".
Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal, yaitu berilmu lalu beramal, atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita lihat dari susunan ayat diatas, yaitu :
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah melainkan Allah..."
Ayat ini menunjukkan perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah ini diikuti perintah beramal, yaitu :
'...Dan mohonlah ampunan bagi dosamu..."
Dari taat tersebut dapat diketahui bahwa urutan ilmu mendahului urutan amal. Ilmu merupakan syarat keabsahan perkataan dan perbuatan. Shahihnya amal karena shahihnya ilmu. Disamping, itu ilmu merupakan tempat tegaknya dalil.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disampaikan Rasul atau bisa juga ilmu yang bukan dari Rasul, yaitu ilmu-ilmu yang diluar masalah diniyah, misalnya beberapa segi ilmu kedokteran, pertanian dan perdagangan.
Seorang da'i tidak dikatakan bijaksana, kecuali bila ia memahami ilmu syar'i. Jika dari awal hingga akhir perjalanan dakwahnya ia tidak melalui jalur ilmu ini, ia akan kehilangan jalan petunjuk  dan keberuntungan. Inilah konsensus orang arif. Tidak diragukan lagi bahwa  pembenci ilmu adalah penyamun dan pelaku perbuatan iblis dan pengawalnya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang terpuji, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an dan As Sunnah, ilmu yang diwariskan para nabi. Rasulullah bersabda :
"Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham dan dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya, ia sangat beruntung." (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Ibnu Taimiyah membagi ilmu yang bermanfaat, menjadi tiga bahagian, yaitu :
Pertama, ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan lain-lain, seperti yang disebutkan adalah Al-Qur'an surat Al Ikhlas.
Kedua, ilmu tentang persoalan-persoalan masa lalu yang dikabarkan Allah; persoalan-persoalan masa kini, dan persoalan-persoalan masa mendatang, seperti yang dikabarkan dalam Al-Qur'an, yaitu ayat-ayat tentang kisah-kisah, janji-janji, ancaman, surga, neraka, dam sebagainya.
Ketiga, ilmu tentang perintah Allah yang berhubungan dengan hati dan anggota badan, seperti iman kepada Allah melalui pengenalan hati serta amaliah anggota badan. Pemahaman ini bersumber pada pengetahuan dasar-dasar iman dan kaidah-kaidah islam. Berawal dari pemahaman ini, tersusunlah pemahaman tentang ketetapan perbuatan-perbuatan lahiriah, sebagaimana dapat dijumpai dalam kitab-kitab fiqh yang dimaksudkan untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan lahir. Hukum-hukum tersebut merupakan dari ilmu dinniyah.
Banyak orang yang masih keliru memahami masalah ilmu. Mereka memahami Al-Qur'an dan As Sunnah hanya sebatas verbalitas semata, dan tidak memahami hakekat yang terkandung didalamnya. Betapa banyak orang yang hafal ayat Al- Qur'an, namun tidak memahami isinya. Perbuatan seperti ini tentu saja bukan termasuk perbuatan orang-orang beriman, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Perumpamaan orang yang beriman membaca Al Qur'an seperti jeruk sitrun yang baunya wangi dan rasanya manis. Perumpamaan orang beriman yang tidak membaca Al-Qur'an seperti kurma yang tidak berbau dan rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur'an seperti sekuntum bunga yang baunya wangi, tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur'an seperti labu yang tidak berbau dan rasanya pahit." (HR Bukhari dan Muslim)
Seorang mukmin yang tidak hafal huruf-huruf dan surat-surat Al Qur'an lebih baik dari pada seorang tidak beriman atau munafik yang menghafal Al Qur'an. Namun seorang mukmin yang berpengetahuan dan bijak-yaitu mukmin yang dikaruniai ilmu dan iman-jauh lebih baik dari pada mukmin yang tidak berilmu.
Ilmu yang sempurna adalah ilmu yang diendapkan dalam hati, kemudian diamalkan. Inilah yang juga disebut ilmu bermanfaat, yang nerupakan sandi terpenting dari hikmah. Ilmu ini akan memberikan kebaikan kepada pemiliknya, sedangkan ilmu tanpa amal akan menghujat pemiliknya pada hari kiamat. Oleh karena itu, Allah memperingatkan  kaum beriman yang hanya bisa berbicara tetapi tidak melakukan apa-apa. Firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan." (Ash Shaf: 2 - 3)
Allah juga memperingatkan kita agar tidak meyembunyikan ilmu. Kita diperintahkan untuk menyampaikan ilmu yang merupakan karunia Allah itu sebatas kemampuan kita. Allah tidak memaksakan seseorang kecuali dalam batas kemampuannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan, berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati." (Al Baqarah:159)
Meskipun ayat diatas ditujukan kepada Ahli Kitab, hukumnya berlaku umum bagi setiap orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan dan petunjuk-petunjuk kebenaran yang diturunkan Allah. Dengan demikian, jelaslah jalan menunju surga dan jalan menuju neraka. Orang yang rugi adalah orang yang menyembunyikan sesuatu yang diturunkan Allah dan menipu hamba-hamba-Nya. Ia akan dilaknat Allah dan semua makhluk-Nya, karena dia telah menipu makhluk, merusak dien/agama, dan menjauhkan diri dari rahmat Allah. Sebaliknya, orang yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada manusia, akan dimintakan ampun oleh setiap makhluk, termasuk ikan-ikan dan burung-burung, karena dia telah berbuat untuk kemaslahatan makhluk, menegakkan dien, dan mendekatkan makhluk kepada Allah.
Masih dalam kaitan ini , Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam  bersabda :
"Orang yang ditanya tentang ilmu, lalu menyembunyikannya (merahasiakannya), maka kelak pada hari kiamat pada mulutnya akan dipasang kendali dari api neraka." (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Demikianlah, sebuah ilmu dikatakan bermanfaat jika disertai amal. Sehubungan dengan ini, Sufyan bin Uyainah berkomentar,"manusia paling bodoh adalah yang membiarkan kebodohannya, manusia paling pandai adalah yang mengandalkan ilmunya, sedangkan manusi paling utama adalah yang takut kepada Allah."
Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan:
"Wahai orang-orang berilmu, amalkan ilmu kalian, karena orang yang mengamalkan ilmunya atau orang yang perbuatannya sesuai dengan ilmunya, dialah mukmin sejati."
Abu Darda berkata :
"Tidaklah kamu menjadi orang yang berfatwa sebelum kamu berilmu, dan tidaklah kamu indah dengan berilmu, sebelum kamu beramalkannya."
Simak pula perkataan seorang penyair:
"Jika ilmu tidak kau amalkan, ia akan menjadi bukti atasmu.
Dan kamu beralasan jika kamu tidak mengetahuinya.
Kalau kamu memperoleh ilmu
Sesungguhnya, setiap perkataan seseorang akan dibenarkan olah perbuatannya."
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa ilmu tidak akan menjadi bagian dari sendi-sendi hikmah kecuali jika disertai amal. Setiap ilmu yang dipelajari sahabat nabi atau generasi salafus shaleh selalu disertai amal. Karena itu, segala perkataan, perbuatan, dan gerak-gerik mereka senantiasa penuh hikmah. Dalam hal ini Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak ada iri kecuali terhadap dua oang, yakni: orang yang dikaruniai harta lalu disalurkannya pada jalan yang hak dan orang yang diberi hikmah (ilmu) lalu dia amalkan dan ajarkan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi pernah mendoakan Abdullah  bin Abbas r.a. agar ia diberi hikmah da pemahaman dalam agama. Doa beliau. "Ya Allah, ajarilah ia hikmah." Dalam lafazh lain, "Ya Allah ajarilah ia Al Kitab." Atau "Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam agama." (HR. Bukhari).

Cara-cara Memperoleh Ilmu
Banyak cara untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat. Namun yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Seorang hamba hendaknya meminta ilmu yang bermanfaat kepada Rabb-nya. Allah telah memerintahkan kepada Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam  agar minta ditambahkan ilmu kepada-Nya. Allah berfirman:
"...Dan katakanlah,'Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu." (Thaha:114)
salah satu doa beliau adalah:"Ya Allah, berilah manfaat ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku. Ajarkanlah aku sesuatu yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah aku ilmu."
2. Bersungguh-sungguh dan berkeinginan keras dalam mencari ilmu, serta dengan mengharap ridha Allah. Terlebih dalam menuntut ilmu Al Kitab dan As Sunnah.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah data kepada Abu Hurairah, dan berkata, "aku ingin belajar ilmu dan aku khawatir akan menyia-nyiakannya." Abu Hurairah menjawab, "cukuplah jika engkau tidak menyia-nyiakannya."
Ketika ditanya tentang bagaimana cara memperoleh ilmu, sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa cara memperoleh ilmu adalah dengan kemauan keras, senang mendengar dan mencarinya, mengajarkan kepada yang tidak tahu, dan belajar kepada yang tahu. Jika hal itu telah dilakukan, berarti kita telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dan memelihara sesuatu yang telah kita ketahui. Dalam kaitan ini, Imam Syafi'i mengatakan. "Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama."
3. Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. Hal ini merupakan faktor terpenting untuk memperoleh ilmu. Allah berfirman:
"...Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Al Baqarah: 282).
"Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan/pembeda..." (Al Anfal: 29)
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi ilmu, sehingga ia akan mampu membedakan yang hak dan yang bathil.
Abdullah bin Abbas berasumsi bahwa seseorang melupakan ilmu karena dosa yang dilakukannya. Dalam kaitan ini, Umar bin Abdul Aziz mengatakan, "Seorang hakim hendaknya mempunyai lima sifat, yaitu: faham, sabar, tidak maksiat, tegas dan menyadari tanggung jawab ilmu."
Imam Syafi'i pernah mengeluh kepada Waki' (guru) tentang kesulitannya dalam menghafal. Kemudian dikata kepada imam Syafi'i bahwa ilmu merupakan cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat."

4. Tidak sombong dan tidak malu dalam mencari ilmu. Aisyah pernah mengatakan,"Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu bertanya tentang agama."
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Ummu Sulaiman pernah bertanya kepada Rasulullah,"Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu kepada yang hak, apakah wanita wajib mandi jika mimpi?" Nabi menjawab, "Ya, jika melihat air."
Seorang Mujahid mengatakan,"Orang pemalu dan sombong tidak akan mendapat ilmu."
5. Ikhlas dalam mencari ilmu. Rasulullah bersabda:
"Barang siapa belajar suatu ilmu yang terkait dengan maksud karena Allah, tetapi dipelajari untuk tujuan keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium harumnya surga pada hari kiamat." (HR. Abu Daud dan Ibnu Maja)
6. Mengamalkan ilmu. Telah dibahas sebelumnya bahwa ilmu tidak menjadi hikmah, kecuali jika diamalkan dengan ikhlas dan berkesinambungan.
------------------
Disarikan dari Dakwah islam Dakwah bijak-oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qahthani- Penerjemah Masykur Hakim dan Ubaidillah  GIP 1994 hal. 32-39

Doktor Anas Ahmad Karzun

Kebanyakan yang menjadikan penuntut ilmu berpaling (sehingga terhalang dari ilmu) adalah permasalahan-permasalahan yang membuat dia musykilah (samar) atau kebingungan, maka ketika itu wajib baginya untuk menanyakannya kepada ulama dengan meminta bimbingan, beradab terhadap mereka, dan tawadhu' di depan mereka. Allah ta'ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui."[1]
Dan telah datang riwayat di dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas, bahwa seorang laki-laki terluka ketika safar kemudian dia mimpi basah. Maka dikatakan kepadanya: "Kami tidak mendapati keringanan untukmu." Kemudian dia mandi, lalu meninggal. Ketika dikabarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,
قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ، أَلاَ سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوْا، فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعَيِّ اَلسُّؤَالُ
"Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka (sebagai teguran yang keras kepada mereka -pent). Tidakkah mereka bertanya jika mereka tidak tahu, karena sesungguhnya obatnya al 'ay (kebodohan) adalah bertanya."[2]
Al 'Ay adalah kurangnya pemahaman.
Dari 'A`isyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata,
رَحِمَ اللهُ نِسَاءَ اْلأَنْصَارِ، لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَسْأَلْنَ عَنْ أَمْرِ دِيْنِهِنَّ
"Semoga Allah merahmati wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk menanyakan perkara agama mereka."[3]
Dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, "Tambahannya ilmu adalah dengan mencarinya, sedangkan untuk mendapatkan ilmu adalah dengan bertanya."[4]
Dikatakan kepada Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu, "Dengan apa engkau mendapatkan ilmu?" Beliau menjawab, "Dengan lisan yang sering bertanya dan hati yang cerdas."[5]
Dari Ibnu Syihab, beliau berkata, "Ilmu itu perbendaharaan-perbendaharaan, dan kunci-kuncinya adalah bertanya."[6]
Dan berkata seorang penyair,
وَلِلْعِلْمِ مُلْتَمِساً فَاسْأَلِ
إِذَا كُنْتَ فِيْ بَلَدٍ جَاهِلاً
كَمَا قِيْلَ فِي الْمَثَلِ اْلأَوَّلِ
فَإِنَّ السُّؤَالَ شِفاءُ العَيِي
Jika engkau berada di suatu daerah dalam keadaan bodoh
dan sedang mencari ilmu, maka bertanyalah.
Karena bertanya adalah obat dari kebodohan
Sebagaimana dikatakan pada permisalan yang pertama.[7]

Ta'lim Rabu, 15 Dzulhijjah 1425, di Jl. Parakan Asih no. 15 Bandung
Oleh Al Akh Abu Rasyid
Kitab Aadaabu Thaalibil 'Ilmi halaman 77-78


[1] Surat An Nahl: 43.
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di Ath Thohaaroh no. 336 dan Ibnu Majah no. 572, dan ini hadits yang hasan (lihat Jaami'ul Ushuul 7/263).
[3] Diriwayatkan oleh Al Bukhori – Kitaab Al 'Ilm – bab Al Hayaa` fil 'Ilmi – 1/41.
[4] Jaami' Bayaanil 'Ilmi 1/87.
[5] Ta'liimul Muta'allim karya Az Zarnuji halaman 106.
[6] Jaami' Bayaanil 'Ilmi 1/89.
[7] Ibid 1/88




Doktor Anas Ahmad Karzun

Ketika seorang penuntut ilmu telah mendalam dalam mencari ilmu dan telah terbuka baginya pintu-pintu ilmu, maka dia (tetap) butuh akan tambahan ilmu, berlomba-lomba dalam mencarinya, dan bersemangat dalam memperbanyak ilmu.
Sungguh Allah telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam agar berdo'a meminta tambahan ilmu. Allah berfirman:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu (yaitu ilmu syar'i)."[1]
Dan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan umatnya agar memperbanyak ilmu dan bersemangat mencari tambahan ilmu walaupun umurnya sudah tua sampai pemiliknya masuk ke jannah (maksudnya: mencari ilmu itu sampai meninggal dunia dan tempatnya seorang mu`min di akhirat adalah di jannah).
Al Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَنْ يَشْبَعَ الْمُؤْمِنُ مِنْ خَيْرٍ يَسْمَعُهُ حَتَّى يَكُوْنَ مُنْتَهَاهُ الْجَنَّةَ
"Seorang mu`min tidak akan kenyang dari kebaikan yang dia dengar sampai tempat berakhirnya adalah jannah."[2]
Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan kegairahan / keinginan dalam ilmu dan cinta padanya termasuk konsekuensi-konsekuensi iman dan termasuk di antara sifat-sifat orang-orang yang beriman. Dan beliau mengabarkan bahwa hal ini (gairah terhadap ilmu dan cinta padanya) akan tetap ada pada seorang mu`min sampai dia masuk jannah.[3]
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan beberapa atsar yang menerangkan semangat salafush shalih dalam mencari ilmu[4], di antaranya:
·          Dari Al Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, beliau berkata, "Sesungguhnya aku mencari ilmu sampai aku dimasukkan ke dalam kubur."
·          Al Hasan ditanya tentang seseorang yang berumur 80 tahun, "Apakah dia masih layak mencari ilmu?" Beliau menjawab, "Jika ia masih layak hidup (maka dia layak mencari ilmu)."
·          Dikatakan kepada Ibnu Bustham, "Betapa semangatnya engkau dalam mencari hadits." Maka beliau berkata, "Tidakkah engkau suka kalau aku termasuk ke dalam deretan keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."
Apabila keadaan hikmah itu seperti barang yang hilang dari seorang mu`min, maka wajib baginya untuk mencarinya. Dan hikmah adalah ilmu, maka jika seorang mu`min kehilangan ilmu, dia seperti keadaan orang yang kehilangan harta yang berharga. Maka jika dia menemukannya, hatinya akan mantap dan jiwanya akan bergembira.[5]
Di antara wasiat Luqman Al Hakim kepada anaknya, "Wahai anakku, duduklah bersama para ulama dan mendekatlah kepada mereka dengan kedua lututmu, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati-hati (manusia) dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang mati (kering) dengan hujan yang deras."[6]
Ketika Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu didatangi kematian, beliau berkata, "Selamat datang kematian, selamat datang tamu yang datang dengan suatu hajat. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak suka untuk tetap berada di dunia dalam rangka melintasi sungai-sungai dan menanam pepohonan. Akan tetapi aku suka tinggal di dunia untuk merasakan kepayahan di malam yang panjang, merasakan haus di bawah terik matahari pada hari yang sangat panas, dan mendekati ulama dengan kendaraan-kendaraan di dalam majlis dzikir."[7] Yakni majlis ilmu.
Berkata Sa'id bin Jubair rahimahullah, "Seseorang tetap dikatakan 'alim selama dia tetap belajar. Maka apabila dia meninggalkan belajar dan merasa cukup dengan ilmu yang ada padanya, maka dia adalah orang yang paling bodoh."[8]
Dan demikianlah, yang akan menguatkan seorang penuntut ilmu yaitu dengan menjadikan semangat yang pertama kalinya adalah mencari ilmu, meminta tambahan ilmu, selalu bersungguh-sungguh dan rajin dalam mencarinya, bersemangat untuk menghadiri majlis-majlis para ulama, dan mentelaah kitab-kitab ilmu serta menguasainya.
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, "Selayaknya seseorang untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu baik dengan cara membaca, dibacakan ataupun membacakan kepada orang lain, menelaah, memberikan catatan-catatan, membahas, mudzakarah (mempelajari dan muroja'ah / mengulang pelajaran), dan menulisnya. Dan janganlah dia merasa sombong sehingga tidak mau belajar kepada orang yang di bawahnya dari sisi umur, nasab, atau kemasyhuran. Bahkan hendaknya dia bersemangat untuk mendapatkan faidah dari orang yang memilikinya."[9]
Beliau juga berkata, "Dan termasuk di antara adab-adab seorang penuntut ilmu yang sangat ditekankan adalah hendaklah dia bersemangat dalam belajar, menekuninya di seluruh waktu-waktu yang memungkinkan baginya, dan janganlah merasa cukup dengan ilmu yang sedikit dalam keadaan dia mampu untuk mencari yang banyak, namun jangan memaksakan diri mencari apa-apa yang dia tidak mampu agar tidak menjadikan dia bosan dan menghilangkan ilmu yang telah dia dapatkan. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manusia dan keadaannya."[10]
Demikianlah yang selayaknya dimiliki oleh seorang penuntut ilmu yaitu senantiasa bersemangat dan rajin. Karena dikatakan (di dalam sebuah sya'ir): "Sesuai dengan usaha yang engkau berikan, maka engkau akan mendapatkan apa yang engkau angan-angankan."[11] Dan hendaklah dia mempunyai semangat dalam mencari ilmu, memperbanyak menelaah ilmu yang bermacam-macam, dan jangan mencukupkan dengan sebagiannya saja. Terlebih khusus jika ilmu itu punya hubungan dengan ilmu syar'i, seperti ilmu bahasa 'Arab.



Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Setelah wahyu yang turun sempat berhenti, maka ayat pertama yang turun setelah itu adalah Surat Al-Muddatstsir: 1-7, sebagaimana tercantum dalam shahih Bukhari dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan (yang artinya):
"Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit, maka aku mengangkat pandanganku. Kulihat malaikat yang datang kepadaku di gua Hira dalam keadaan duduk di atas kursi, di antara langit dan bumi. Sehingga aku jadi takut daripadanya dan bergegas pulang. Lalu aku berkata: selimuti aku, selimuti aku. Maka Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ﴿١﴾ قُمْ فَأَنْذِرْ﴿٢﴾ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ﴿٣﴾ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ﴿٤﴾ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ﴿٥﴾ وَلاَ تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ﴿٦﴾ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ ﴿المدثر: ١-٧﴾
"Wahai orang-orang yang berselimut. Bangunlah dan berilah peringatan. Dan Rabb-mu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan kejelekan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah." (Al-Muddatstsir: 1-7).
Maka setelah itu, wahyu banyak yang datang secara berturut-turut."
Syaikh Al-Mubarakfuri dalam kitab Rahiqul Makhtum mengatakan bahwa:
1) Tujuan diperintahkannya beliau untuk memberi peringatan adalah agar tidak tersisa seorang pun yang menyelisihi Allah di alam ini, kecuali sudah mendapatkan peringatan tentang akibatnya yang besar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala (adzab).
2) Tujuan dibesarkannya Allah adalah agar tidak tersisa pada seorang pun kesombongan di muka bumi ini kecuali akan hancur kekuatannya.
3) Tujuan disucikannya pakaian dan dijauhinya kejelekan adalah agar mencapai kesucian (tazkiyyah) lahir dan batin hingga menjadi teladan tinggi bagi manusia.
4) Tujuan dilarangnya memberi dengan harapan akan mendapatkan imbalan yang lebih banyak (dari manusia) adalah agar tidak menganggap perbuatan-perbuatannya sebagai sesuatu yang besar, dan akan terus berusaha menambah amalan dengan amalan berikutnya. Juga terus banyak berusaha dan berkorban kemudian lupa pada semua amalan tersebut. Dan harapannya hanya pada Allah (yakni merasa belum seberapa apa yang dia korbankan).
5) Ayat terakhir (yakni perintah untuk sabar) merupakan isyarat kepada kalian tentang apa yang akan dialaminya (dalam menjalankan tugasnya berdakwah) yaitu pertentangan, celaan, cemoohan, dll." (Dinukil secara ringkas dari kitab beliau).
Dengan demikian, turunnya Surat Al-Muddatsir ini merupakan pengangkatan beliau sebagai Rasul (utusan) Allah yang membawa tugas dakwah dan memberi peringatan. Ini senada dengan ucapan Ibnul Qayyim yang telah dinukil pada edisi yang lalu bahwa beliau diangkat sebagai Nabi dengan "Iqra" dan diangkat sebagai Rasul dengan "Al-Muddatsir".
Dengan turunnya surat ini, maka mulailah beliau berdakwah dengan dakwah seperti apa yang dilakukan oleh para Nabi sebelumnya, yaitu mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah (tauhid) dan dengan cara hanya mengikuti Rasul-Nya (ittiba'), sebagaimana Allah telah kisahkan dakwah pada Rasul, mulai rasul pertama Nuh sampai Isa alaihimus salam. Allah berfirman tentang Nuh:
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ﴿١٠٥﴾ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ نُوحٌ أَلاَ تَتَّقُونَ﴿١٠٦﴾ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ﴿١٠٧﴾ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ ﴿الشعراء: ١٠٥-١٠٨﴾
"Kaum Nuh telah mendustakan para Rasul. Ketika berkata saudara mereka Nuh, "Tidakkah kalian mau bertakwa?" Sesungguhnya aku adalah Rasul yang dapat dipercaya. Maka bertakwalah pada Allah dan taatlah kepadaku (108)." (Asy-Syu'ara`: 105-108)
Allah berfirman pula tentang Hud alaihis salam:
كَذَّبَتْ عَادٌ الْمُرْسَلِينَ﴿١٢٣﴾ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ هُودٌ أَلاَ تَتَّقُونَ﴿١٢٤﴾ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ﴿١٢٥﴾ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ ﴿الشعراء: ١٢٣-١٢٦﴾
"Kaum Ad telah mendustakan para Rasul. Ketika berkata saudara mereka Hud, "Tidakkah kalian mau bertakwa?" Sesungguhnya aku adalah utusan yang terpercaya. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku." (Asy-Syu'ara`: 123-126)
Demikianlah selanjutnya Allah menceritakan tentang dakwah para Nabi tersebut dalam Surat Asy-Syu'ara dengan kalimat yang sama. Sebagaimana dakwah Nabi Shaleh alaihis salam di ayat 141, Nabi Luth alaihis salam di ayat 160, Nabi Syu'aib di ayat 176, dan Nabi Isa alaihis salam dalam surat Az-Zukhruf ayat 63. Mereka semua mengajak kaumnya untuk bertakwa kepada Allah dan taat mengikuti Rasul-rasul utusan-Nya ("Fattaqullah wa athii'un").
Allah menganggap semua kaum yang mendustakan Nabi-Nya sebagai orang yang mendustakan seluruh para Rasul. Hal ini memang karena semua para Rasul itu misinya sama, yaitu meng-esakan Allah dalam ibadah dan memberantas kesyirikan-kesyirikan. Adapun cara beribadahnya kepada Allah adalah dengan mengikuti Rasul-Nya masing-masing.
Demikian pula dengan Rasul yang terakhir, Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah Nabi yang penuh kasih sayang dan sangat perhatian kepada umatnya. Allah telah mengutus beliau dengan misi yang sama, yaitu mengajak kepada tauhid agar seluruh manusia, bangsa Arab khususnya, beribadah hanya kepada Allah. Dan meninggalkan peribadatan kepada kuburan orang-orang shalih seperti berhala Latta, tempat-tempat keramat seperti berhala 'Uzza, dan patung-patung seperti Manat dan Hubal. Juga agar mereka meninggalkan kepercayaan kepada dukun-dukun semacam 'Amr bin Luhai yang meminta bantuan kepada jin. Cobalah simak tentang dakwah Rasulullah ini dari hadits Bukhari tentang kisah pembicaraan Abu Sufyan (di kala dia belum masuk Islam) dengan pembesar Romawi (Heraklius) dalam suatu dialog yang panjang, di antaranya:
قَالَ مَاذَا يَأْمُرُكُمْ؟ قُلْتُ: يَقُوْلُ اُعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ... ﴿رواه البخاري﴾
(Heraklius) bertanya: Apa yang dia (Rasulullah) perintahkan kepada kalian? (Abu Sufyan) menjawab: "beliau menyerukan 'beribadahlah kalian kepada Allah saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan tinggalkanlah apa-apa yang diucapkan oleh bapak-bapak kalian.' Beliau memerintahkan kepada kami untuk shalat, kejujuran, menjaga diri, dan menghubungkan silaturahmi... [HR. Bukhari]
Demikian pula makna perintah Allah (yang artinya): "dan jauhilah rujz." (Al-Muddatsir: 5). Dikatakan dalam tafsir Ibnu Katsir: "Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas: ar-rujz adalah berhala-berhala, maka jauhilah dia. Demikian pula Ikrimah, Qatadah dan Zuhri. Sedangkan Ibnu Zaid mengatakan: dia adalah patung-patung." Dengan demikian, makna ayat tersebut di atas adalah perintah untuk menjauhi dan menjauhkan kesyirikan.
Beliau pun mengajak mereka untuk beriman bahwa beliau adalah seorang Rasul (utusan) Allah dan memerintahkan mereka untuk mengikutinya serta beribadah dengan caranya. Beliau bersabda dalam masalah shalat:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي ﴿رواه البخاري﴾
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." [HR. Bukhari]
Dan tentang haji, beliau bersabda:
خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ ﴿أخرجه مسلم (١٢٦٧)﴾
"Ambillah dariku manasik haji kalian." [HR. Muslim]
Demikian pula dengan berbagai ucapan beliau lainnya yang mengajak dan memerintahkan untuk mengikutinya, sehingga Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴿الأحزاب: ٢١﴾
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Akhir dan dia banyak mengingat (Allah)." (Al-Ahzab: 21)
Demikian dakwah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti dakwah para Nabi sebelumnya yaitu mengajak kepada "tauhidullah" dan "ittiba' Rasul".
Di samping memiliki persamaan misi dalam dakwah dengan para Nabi lainnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai kelebihan yang lain dari yang lain. Beliau bersabda:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرَّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحِلَّ ِلأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً ﴿رواه البخاري ومسلم﴾
"Aku diberi lima (keutamaan) yang tidak diberikan pada seorangpun (dari kalangan Nabi) sebelumku: (1) Aku dimenangkan dengan rasa takut (pada musuh) sejarak sebulan perjalanan. (2) Dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan suci (dapat dipakai tayammum), siapa saja yang menemui waktu shalat maka hendaklah dia kerjakan shalat. (3) Dihalalkan bagiku ghanimah (rampasan perang) dan tidak dihalalkan bagi seorangpun sebelumku. (4) Aku diberi syafaat. (5) Dan dahulu, Nabi itu diutus kepada kaumnya (masing-masing) sedang aku diutus kepada manusia seluruhnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Riwayat ini menunjukkan tentang kekuasaan yang Allah berikan kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak dimiliki Nabi-nabi sebelumnya, yaitu:
1. Dimenangkannya beliau dari rasa takut pada musuhnya, walaupun jaraknya masih satu bulan perjalanan.
2. Dijadikannya bumi sebagai masjid dan suci. Sehingga, seorang musafir dari umat beliau jika menemui waktu shalat, ia dapat shalat di manapun. Dan jika tidak ada air, debu di bumi manapun bisa dipakai sebagai tayammum.
3. Dihalalkannya harta rampasan perang.
4. Diberikannya syafaat bagi beliau.
5. Bahwa dakwahnya luas sifatnya dan umum (universal) untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk kaumnya saja (Bangsa Arab). Dengan demikian, perbedaan antara dakwah beliau dengan dakwah Nabi sebelumnya adalah dakwah beliau merupakan rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin). Dengan kondisi yang demikianlah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mulai berdakwah.
Secara ringkas, perjalanan dakwah beliau adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim: "...beliau diangkat sebagai Rasul dengan "Al-Muddatsir", kemudian Allah perintahkan dia untuk memperingatkan keluarganya yang terdekat. Setelah itu, memperingatkan kaumnya (Quraisy), kemudian memperingatkan orang-orang sekitarnya dari kalangan Arab, kemudian memperingatkan bangsa Arab secara keseluruhan. Barulah kemudian memperingatkan seluruh alam. Selama beberapa tahun beliau menjalankan dakwahnya tanpa melalui perang dan tanpa memungut jizyah (upeti). Allah perintahkan beliau agar "menahan" tangannya (dari mengangkat senjata) dan bersikap sabar. Setelah itu, beliau diizinkan Allah untuk berhijrah, diikuti pula dengan perintah untuk memerangi orang-orang yang memeranginya dan "menahan" tangannya (dari mengangkat senjata) dari orang-orang yang tidak memeranginya. Setelah ini berjalan, barulah datang perintah untuk menghajar kaum musyrikin seluruhnya. Hingga agama ini semua hanyalah untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala."
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Maka dengan turunnya surat Al-Muddatsir, mulailah beliau berdakwah kepada orang yang paling dekat dengannya, yaitu istrinya (Khadijah bintu Khuwailid) dan keluarganya serta shahabat-shahabatnya yang terdekat. Beliau mengajak mereka secara perorangan (fardiyah) kepada Islam dan iman kepadanya. Maka istrinya pun beriman kepadanya, sebagai wanita pertama yang masuk Islam. Setelah itu, muncul Ali bin Abi Thalib, sebagai remaja pertama yang menyambut dakwah beliau. Di antara shahabat-shahabat beliau yang menyambut dakwahnya tanpa keraguan sedikitpun adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu. Memang demikianlah keadaan Abu Bakar sehingga ia dijuluki oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan "Ash-Shiddiq". Karena ketika dia mendengar ajakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan serta-merta dia menjawab: "ayah ibuku sebagai jaminan, sungguh engkau pemilik kejujuran, aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan engkau adalah Rasulullah." Sungguh ini suatu hal yang sangat menggembirakan karena beliau radhiallahu anhu adalah seorang bangsawan Quraisy yang kaya dan dermawan serta memiliki akhlak yang mulia, sehingga sangat dicintai orang-orang Quraisy. Maka, dengan perantaraan dakwahnya, beberapa shahabat masuk Islam seperti Utsman bin Affan, Zubair bin 'Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqas, Thalhah bin Ubaidillah, dll. Demikianlah, dakwah Islam -saat itu- menjadi tersebar di kalangan mereka dari mulut ke mulut (sirriyah).
Setelah itu, turunlah perintah shalat walaupun shalat pada waktu itu hanya diperintahkan dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat lagi pada sore hari. Ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ ﴿غافر: ٥٥﴾
"Dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu pada sore dan pagi hari." (Ghafir: 55)
Demikianlah sebagaimana yang disebutkan oleh Muqatil bin Sulaiman yang dinukil dari Rahiqul Makhtum. Di samping itu, penulis kitab tersebut juga mengutip pula ucapan dari Ibnu Hajar bahwa dia berkata: "Rasulullah mengerjakan shalat sebelum (mengalami) isra' secara qath'i (tegas), demikian pula shahabat-shahabatnya. Tetapi para ulama berselisih dalam hal apakah shalat yang diwajibkan itu shalat lima waktu ataukah tidak? Maka dikatakan bahwa kewajiban shalat pada waktu itu (hanya) sebelum matahari terbit dan sebelum terbenamnya."
Dalam kitab Rahiqul Makhtum itu pula telah ditulis suatu riwayat dari Harits bin Usamah dari jalan Ibnu Lahi'ah secara maushul (berantai) dari Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu yang bunyinya: "bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, pada awal-awal turunnya wahyu, didatangi oleh Jibril yang mengajari beliau cara berwudhu (dan shalat)." Ibnu Abbas mengatakan: "dan itu merupakan kewajiban pertama." Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya jika masuk waktu shalat, mereka pergi ke Syi'b (lembah yang terlindung dengan bukit-bukit untuk shalat, agar tersembunyi dari kaumnya). Syaikh Al-Mubarakfuri setelah menukil ucapan Ibnu Hisyam di atas, mengatakan: "Tampaknya setelah meneliti dari segala sisinya dan dari kejadian-kejadiannya bahwa dakwah pada tahapan ini walaupun sirriyah dan fardiyyah, tetap sampai pula beritanya ke telinga orang-orang Quraisy. Walaupun demikian, mereka belum menanggapi dakwah tersebut."

Pelajaran yang Bisa Diambil
1. Dari surat Iqra' dan Al-Muddatsir dapat kita ambil pelajaran bahwa seorang juru dakwah harus memiliki persiapan-persiapan sebagai berikut:
a) Membekali diri dengan ilmu
b) Membersihkan diri secara lahir dan batin; membersihkan badan dan pakaian dari kotoran serta najis; membersihkan jiwanya dari kesyirikan dan maksiat.
c) Ikhlas dalam memberikan dan mengamalkan sesuatu.
d) Sabar.
Sedangkan tugasnya adalah:
a) memberi peringatan.
b) mengagungkan Allah.
c) menjauhi dan menjauhkan segala kesyirikan dan kejelekan.
2. Bahwa seluruh dakwah para Nabi adalah tauhidullah (mengesakan Allah dalam ibadah dan menjauhi kesyirikan) dan ittiba' Rasul (beribadah dengan mengikuti sunnah Rasul).
3. Bahwa seluruh dakwah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlaku umum untuk seluruh manusia, baik Arab maupun 'Ajam (non Arab).
4. Bahwa akhlak yang baik sangat mempengaruhi berhasil tidaknya dakwah, khususnya masalah kejujuran.
5. Pentingnya shalat karena dia merupakan kewajiban yang pertama di awal-awal turunnya wahyu.
6. Bahwa dakwah bisa dilakukan secara fardiyyah dari mulut ke mulut (secara perorangan).
7. Dakwah sirriyyah dilakukan di kala ajaran Islam belum dikenal oleh seorang pun dan (dilakukan) terhadap orang-orang yang kafir. Demikian pula dilakukannya shalat secara sembunyi-sembunyi adalah terhadap orang-orang yang kafir.
8. Bahwa pada tahapan ini, orang-orang Quraisy pun sudah mengetahuinya, tetapi tidak menanggapinya sehingga ini membuktikan bahwa marhalah (tahapan) ini lebih dekat kalau dikatakan dakwah fardiyyah. Beliau menyampaikannya hanya kepada orang-orang yang dia percaya dan diduga akan menerima dakwahnya. Jadi dakwah tidak disyi'arkan secara umum.
9. Dengan demikian, jelaslah kesalahan kelompok-kelompok dakwah yang sampai menghalalkan dusta untuk merahasiakan dakwahnya, karena mayoritas manusia di sekitarnya adalah kaum muslimin. Mengapa mereka menyembunyikan ajarannya? Apakah ajarannya lain dengan kita? Atau menganggap kita semua adalah orang-orang kafir? Maka jawabnya: kalau mereka berbeda dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka mereka adalah ahli bid'ah. Wajib kaum muslimin untuk menghindari mereka. Kalau mereka menganggap kita dan (menganggap) mayoritas kaum muslimin adalah kafir, maka mereka adalah khawarij. Wajib bagi kita untuk berhati-hati terhadap mereka. Dan kalau ajarannya memang berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar, mengapa harus disembunyikan dakwah terhadap sesama kaum muslimin? Wallahu Ta'ala a'lam.

Maraji':
1. Siroh Ibnu Hisyam
2. Mukhtashar Siroh Ibnu Hisyam oleh Abdus Salam Harun
3. Siroh Shahihah oleh Dr. Akram Dhiya'ul Umari
4. Rahiqul Makhtum oleh Syaikh Al-Mubarakfuri
5. Nurul Yaqin oleh Muhammad Hudhari Bik

Akhlak yang baik dalam muamalah dengan Khaliq mencakup tiga perkara :

1. Menerima berita-Nya Dengan Cara Membenarkannya

Dengan cara tidak boleh ada keraguan dalam diri manusia dalam mempercayai berita dari Allah Ta’ala karena berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumber dari ilmu dan Dia adalah yang paling benar ucapan-Nya sebagaimana firman Allah :


وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

” Siapakah yang lebih benar ucapannya dari pada Allah ?” (An Nisa : 87).

Dan konsekwensi dari membenarkan berita dari Allah adalah hendaknya manusia  percaya kepada hal itu dan membelanya serta memperjuangkannya dengan cara tidak boleh dimasuki oleh keraguan atau menanamkan keragu-raguan tentang berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berita dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam . Apabila dia telah berakhlak seperti ini  maka pasti dia akan menolak semua syubhat yang disodorkan oleh orang-orang yang tidak suka kepada berita dari Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam , baik dari kalangan kaum muslimin yang mengada-adakan kebid’ahan dalam agama Allah maupun dari selain kaum muslimin yang melemparkan syubhat  ke dalam hati kaum muslimin. Kita beri contoh tentang hal itu. Di dalam sahih Bukhari dari hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu , bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً

“Apabila seekor lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang diantara kalian maka tenggelamkanlah kemudian buanglah lalat itu karena pada salah satu sayapnya ada penyakit sedangkan pada yang satunya lagi ada obatnya.”[1]

Ini adalah berita dari Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam  dan beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam urusan yang ghaib tidak berbicara dari hawa nafsunya kecuali sesuai apa yang diwahyukan kepadanya, karena beliau adalah manusia, dan manusia tidak mengetahui hal yang ghaib, bahkan Allah telah berfirman :

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ

” Katakanlah ! Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku mempunyai perbendaharaan ilmu Allah dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. Aku tidakl;ah mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al  An’am : 50).

Berita ini wajib bagi kita untuk menerimanya dengan akhlak yang baik. Dan akhlak yang baik terhadap berita ini adalah menerimanya dan meyakini bahwa apa yang dikatakan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam hadis ini adalah benar sekalipun banyak orang yang menentangnya. Kita mengetahui dengan ilmu yakin bahwa apa yang menyelisihi hadis yang sahih dari rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam adalah batil, karena Allah berfirman :

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ

” Maka tidak ada lagi selain kebenaran kecuali kesesatan, maka bagaimana kalian bisa dipalingkan ?” (Yunus : 32)

Contoh lain :

Tentang berita hari kiamat. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam telah mengabarkan bahwa matahari akan dekat dari manusia pada hari kiamat sejauh satu mil.[2] Baik mil waktu tempuh atau mil jarak. Jarak antara matahari dan manusia saat itu begitu dekat, sekalipun demikian manusia tidak terbakar dengan panasnya, padahal seandainya matahari di dunia sekarang dekat sejarak beberapa mil pasti dunia ini akan terbakar. Mungkin ada orang yang berkata :” Bagaimana matahari dekat dengan manusia pada hari kiamat dengan jarak seperti itu lalu manusia tetap eksis ? Bagaimana akhlak yang baik terhadap hadis ini ? Akhlak yang baik terhadap hadis ini  adalah menerima dan membenarkannya, dan tidak boleh ada keberatan dalam hati kita tentang masalah ini, rasa sumpek atau keraguan, dan hendaklah kita mengetahui bahwa apa yang diberitakan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam  tentang masalah ini adalah benar. Tidak mungkin kita menganalogikan keadaan di akhirat dengan keadaan di dunia karena adanya perbedaan yang amat besar. Kalau demikian maka seorang mukmin harus menerima berita seperti ini dengan lapang dada dan ketenangan hati  dan meluaskan pemahamannya terhadap hal ini. Ini tentang berita.

(Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu Karya Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh
Oleh Ust Abu Haidar Assundawy

[1] Dikeluarkan oleh Bukhari, kitab awal penciptaan, bab : Apabila lalat jatuh di munuman,…dst.
[2] Bagian dari hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari, kitab para nabi, bab firman Allah Ta’ala :” Sesungguhnya Kami telah mengutus Nih kepada kaumnya……”

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, minta tolong kepada-Nya, meminta ampun kepada-Nya, dan bertobat kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kita dan kesalahan amal-amal kita. Barang siapa yang telah diberi hidayah oleh Allah maka tak akan ada yang mampu menyesatkannya dan barang siapa yang telah disesatkan oleh Allah maka tak akan ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. 

Dan saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Nya yang diutus oleh Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan dari agama lainnya seluruhnya, yang diutus oleh Allah Ta’ala sebelum hari kiamat sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi, lalu dia menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasihati ummat, dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad sehingga datang keyakinan (kematian) kepadanya. Dan Allah memberi taufiq kepada orang yang dikehendaki-Nya dari kalangan hamba-hamba-Nya lalu mereka menyambut da’wahnya, dan mengambil petunjuk dengan petunjuknya. Dan Allah menghinakan, dengan sifat hikmah-Nya, orang-orang yang dikehendaki dari kalangan hamba-Nya, lalu mereka takabur tak mau mentaatinya, mendustakan semua kabar yang berasal darinya, dan menentang perintahnya, maka mereka akan kembali dengan kerugian dan kesesatan yang nyata.

Saudara-saudara sekalian, saya ingin berbicara kepada kalian tentang akhlak yang baik. Akhlak sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama adalah : Gambaran batin manusia, karena manusia punya dua bentuk gambaran : gambaran dhahir, yaitu rangkanya yang Allah telah menjadikan badan di atasnya. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa gambaran dhahir ini ada yang baik dan bagus ada  yang jelek dan buruk, dan ada pula pertengahan antara keduanya. Yang kedua adalah gambaran batin, inipun ada yang baik dan ada pula yang buruk, serta ada pula yang pertengahan antara keduanya. Inilah ungkapan tentang akhlak.

Jadi kalau demikian akhlak adalah : Gambaran batin yang manusia telah diciptakan di atasnya. Dan sebagaimana akhlak ada yang berupa tabi’at, maka diapun ada yang berupa kasab (hasil usaha). Artinya bahwa sebagaimana manusia telah diciptakan di atas akhlak yang baik dan indah, maka kadang-kadang akhlakpun bisa dicapai dengan jalan usaha dan latihan. Oleh karena itu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda kepada Al Asyajj Bin Qis :


” Sesungguhnya dalam dirimu adal dua akhlak yang dicintai oleh Allah, yaitu al hilm (kesabaran) dan al anah (kehati-hatian).” Dia bertanya :” Wahai Rasulullah, apakah kedua kahlak itu hasil usahaku ataukah Allah telah menciptakan aku di atas keduanya ?” Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam menjawab :” Bahkan Allah telah menciptakanmu di atas keduanya.”[1]

Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa akhlak yang utama bisa berupa tabi’at  bisa juga berupa hasil usaha, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa tabiat lebih baik dari pada hasil usaha, karena akhlak apabila berupa tabiat maka dia akan menjadi kakakter (pembawaan) bagi manusia tidak perlu membiasakan lagi dengan susah payah, tidak perlu membiasakan ikhtiar, akan tetapi ini adalah karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang tidak diberi hal ini artinya siapa yang tidak diberi akhlak berupa tabiat maka masih memungkinkan baginya untuk memiliki akhlak dengan cara usaha, dan hal itu bisa dicapai dengan latihan dan membiasakan sebagaimana akan kita jelaskan nanti Insya Allah.

Banyak manusia yang mempunyai pemahaman bahwa akhlak yang baik tidaklah terjadi kecuali dalam pergaulan (muamalah) dengan sesama makhluk bukan muamalah dengan Khaliq (Allah). Akan tetapi ini adalah pemahaman yang pendek karena akhlak yang baik, sebagaimana terjadi dalam muamalah dengan makhluk, juga terjadi dalam muamalah dengan Khaliq. Jadi kalau demikian materi pembahasan akhlak yang baik adalah mencakup muamalah dengan Khaliq dan juga muamalah dengan makhluk.

Lalu bagaimanakah akhlak yang baik dalam muamalah dengan Khlaiq ?

Akhlak yang baik dalam muamalah dengan Khaliq mencakup tiga perkara :

1).    Menerima semua berita dari Allah Ta’ala dengan mempercayainya (membenarkannya).

2). Menerima hukum-hukum-Nya dengan cara melaksanakan dan menerapkannya.

3).    Menerima taqdir-Nya dengan sabar dan ridha.
Oleh Ust : Abu Haidar Assundawy

(Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu Karya Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh

[1] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab iman,bab : Perintah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.
Kedudukan khusyû’ dalam ibadah, seperti ruh (jiwa) dalam tubuh manusia,[1] sehingga ibadah yang dilakukan tanpa khusyû’ adalah ibarat tubuh tanpa ruh alias mati. Oleh karena itu, Allâh Ta'âla memuji para Nabi dan Rasul dengan sifat mulia ini. Mereka adalah hamba-hamba-Nya yang memiliki keimanan sempurna dan selalu bersegera dalam kebaikan.

Allâh Ta'âla berfirman :
(QS. al-Anbiyâ`/21:90)



Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdo'a kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' (dalam beribadah). (QS. al-Anbiyâ`/21:90)



Hidup adalah suatu taqdir yang mesti dijalani, sebagaimana kematian yang merupakan taqdir yang harus diterima dan diikhlaskan. Sangat berat memang rasanya mengikhlaskan “kembalinya” orang-orang tercinta menghadap Rabb Maha Pencipta, apalagi mereka adalah orangtua yang telah mengorbankan semua yang mereka miliki demi masa depan kita, anak-anaknya. Namun, dengan bersabar dan mengikhlaskannya, tentu sangat meringankan beban musibah ini, apatah lagi jika dibarengi dengan berbagai bentuk kebaktian dan kebaikan untuk mereka berdua, sebab hal ini tidak hanya akan mengurangi beban musibah kita, namun juga bisa menyelamatkan keduanya dari azab kubur dan neraka, ataupun jika keduanya merupakan orang shalih, maka akan meninggikan derajat mereka dialam kubur atau disurga kelak.
Diantara bentuk kebaktian –setelah mereka tiada- yang banyak dilalaikan orang dizaman ini adalah banyak mendoakan keduanya. Padahal tidak ada kado terindah dan curahan asbab rahmat yang sangat mereka harapkan selain lantunan doa-doa buah hati mereka di dunia, ini lantaran doa merupakan salah satu amalan yang akan terus mengalirkan rahmat dan berkah untuk mereka di alam barzakh sebagaimana dalam hadis :
((إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة: إلا من صدقةٍ جارية، أو علمٍ يُنتفع به، أو ولدٍ صالح يدعو له))
Artinya : “Jika seorang manusia wafat, maka semua amalannya akan terputus kecuali tiga perkara ; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat (bagi oranglain), dan doa anaknya yang shalih untuknya” (HR Muslim : 1631).
Imam Nawawi berkata : “Para ulama berkata ; makna hadis ini adalah bahwa semua amalan sang mayit telah terputus dan pahalanya tidak lagi mengalir tatkala ia telah wafat, kecuali pada tiga perkara ini, karena sang mayit merupakan penyebab dari adanya (tiga perkara ini) ; yaitu sang anak merupakan hasil dari usaha (pernikahan dan tarbiyahnya), juga ilmu yang ia tinggalkan baik berupa pengajaran (dengan lisan) ataupun dalam bentuk buku (tulisan), demikian pula sedekah jariyah yang bermakna harta yang diwaqafkan (disedekahkan)…” (Al-Minhaj : 11/85)
Para ulama telah sepakat, bahwa doa untuk sang mayit –utamanya orang tua- akan sampai pada mereka, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa para ulama telah sepakat bahwa doa untuk sang mayit ,memberikan faedah buatnya dan pahalanya sampai pada mereka…”Lihat Al-Minhaj Syarah Muslim : 11/85 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah 39/256)..
Adapun orang tua yang kafir maka ia tidak boleh didoakan karena keumuman larangan islam dari mendoakan rahmat dan keselamatan orang-orang kafir yang telah wafat, sesuai firman Allah ta’ala ;
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ ١١٣
Artinya :“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (At-taubah : 113).
Doa merupakan amalan dan bentuk birr (kebaktian) terhadap orangtua yang sangat mudah dilakukan, namun manfaatnya sangatlah besar. Dengan memanjatkan doa dan istighfar untuk mereka berdua mungkin saja akan membahagiakan kehidupan mereka di alam kubur, sebab doa sang anak ; terhitung sebagai amalan orangtuanya yang belum terputus pahalanya serta sangat mustajab disisi Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadis diatas.
Dalam hadis lain HR Ibnu Majah (3660) –dengan derajat hasan- Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda ;
إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول ؛ أنى هذا ؟ , فيقال : باستغفار ولدك لك .
Artinya ; “Sesungguhnya seseorang pasti diangkat derajatnya disurga, lalu ia berkata keheranan ; Kenapa (derajat saya diangkat) ?, maka dikatakan kepadanya : “Dengan sebab istighfarnya anakmu”.
Semoga orangtua kita dan kita semua termasuk dalam golongan seperti dalam hadis ini… aamiin.
Doa khusus untuk kedua orangtua ini, telah diperintahkan oleh Allah ta’ala sendiri dalam firman-Nya ;
وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا ٢٤
Artinya : Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS Al-Isra’ ; 24)
Bahkan ia merupakan amalan para Nabi, sebagaimana yang dipanjatkan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalaam dalam QS Nuh ; 28 ;
رَّبِّ ٱغۡفِرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيۡتِيَ مُؤۡمِنٗا وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۖ وَلَا تَزِدِ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا تَبَارَۢا ٢٨
Artinya :” Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”
Sebab itu, janganlah melupakan doa untuk orangtua kita –utamanya yang telah wafat- dalam setiap ruku’, sujud dan doa-doa kita semua, semoga dengannya mereka bisa terbebaskan dari siksa Allah ta’ala dan derajat mereka ditinggikan oleh-Nya di surga-Nya.
Catatan :
Seorang muslim juga hendaknya memperbanyak doa untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat –utamanya yang telah wafat- karena faedah doa ini akan kembali pada dirinya. Sebagaimana dalam banyak ayat diantaranya ;
وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠
Artinya : ” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Hasyr ; 10)
Hal ini juga telah diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya ;
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ ١٩
Artinya :Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal” (QS Muhammad ; 19)
Salah satu keutamaan mendoakan orang-orang mukmin laki-laki ataupun perempuan adalah sebagaimana dalam hadis Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu riwayat Ath-Thabarani :
«من استغفر للمؤمنين وللمؤمنات كتب الله له بكل مؤمن ومؤمنة حسنة»
Artinya : “Barangsiapa yang memohonkan ampunan untuk orang-orang mukminin dan mukminat ,maka Allah akan menuliskan baginya satu kebaikan dari setiap mukmin dan mukminah yang didoakan”. (Dinilai hasan oleh Al-haitsami dalam Al-Majma’ : 10l2101 dan Al-Albani dalam Shahihul-jami’ : 6026)
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata ; “Kadang orang lain lebih memberikan faedah pada si mayit dari pada kerabatnya, sebagaimana dikatakan sebagian orang shalih ; Siapakah yang lebih bermanfaat dari pada sahabat yang shalih ?, Kerabatmu telah membagi-bagi harta warisanmu, sedangkan ia sendirian merasa sedih atas wafatmu sambil mendoakanmu padahal engkau sudah dalam perut bumi” (Juz Hadis ; Yatba’ul Mayit Tsalaats… (23).
Ini juga menunjukkan bahwa seharusnya seorang anak memohon kepada kerabat dan sahabat-sahabat orangtuanya, apalagi orang-orang shalih diantara mereka agar mendoakan mereka.
Oleh Maulana La Eda
(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madin)

Sumber : Kado Terindah Tuk Orangtua Yang Telah Tiada | Wahdah Islamiyah http://wahdah.or.id/kado-terindah-tuk-orangtua-yang-telah-tiada/#ixzz3DWkbT9Xt

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE