Asal-usul Syiah
Syiah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan.
Sedangkan dalam istilah Syara', Syi'ah adalah suatu aliran yang timbul
sejak pemerintahan Utsman bin Affan yang dikomandoi oleh Abdullah bin
Saba', seorang Yahudi dari Yaman. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan,
lalu Abdullah bin Saba' mengintrodusir ajarannya secara terang-terangan
dan menggalang massa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan (baca:
imamah) sesudah Nabi saw sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib karena
suatu nash (teks) Nabi saw. Namun, menurut Abdullah bin Saba', Khalifah
Abu Bakar, Umar, Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut.
Keyakinan itu berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi
Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil tindakan oleh
Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian mereka melarikan
diri ke Madain.
Aliran Syi'ah pada abad pertama hijriyah belum merupakan aliran yang
solid sebagai trend yang mempunyai berbagai macam keyakinan seperti
yang berkembang pada abad ke-2 hijriyah dan abad-abad berikutnya.
Pokok-Pokok Penyimpangan Syiah pada Periode Pertama:
1. Keyakinan bahwa imam sesudah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi
Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh
merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib ra.
2. Keyakinan bahwa imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa)
3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat
akan hidup kembali sebelum hari Kiamat untuk membalas dendam kepada
lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui
rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama
dengan menuhankan Ali dan Imam.
5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang
dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba' dan akhirnya mereka
dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib karena keyakinan tersebut.
6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar
bin Khattab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80
kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut
7. Keyakinan mencaci maki para Sahabat atau sebagian Sahabat seperti
Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa' wal Firaq wal Bida' wa
Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql hal. 237)
Pada abad ke-2 hijriyah, perkembangan keyakinan Syi'ah semakin
menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan
baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir
dan dinasti Sofawiyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat
kembali dengan revolusi Khomaini dan dijadikan sebagai aliran resmi
negara Iran sejak 1979.
Pokok-Pokok Penyimpangan Syi'ah Secara Umum:
1. Pada Rukun Iman:
Syiah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada
para Malaikat, Rasul dan Qadha dan Qadar- yaitu: 1. Tauhid (keesaan
Allah), 2. Al-'Adl (keadilan Allah) 3. Nubuwwah (kenabian), 4. Imamah
(kepemimpinan Imam), 5.Ma'ad (hari kebangkitan dan pembalasan). (Lihat
'Aqa'idul Imamiyah oleh Muhammad Ridha Mudhoffar dll)
2. Pada Rukum Islam:
Syiah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu:
1.Shalat, 2.Zakat, 3.Puasa, 4.Haji, 5.Wilayah (perwalian) (lihat
Al-Khafie juz II hal 18)
3. Syi'ah meyakini bahwa Al-Qur'an sekarang ini telah dirubah, ditambahi atau dikurangi dari yang seharusnya, seperti:
wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna 'ala 'abdina FII 'ALIYYIN
fa`tu bi shuratim mim mits lih (Al-Kafie, Kitabul Hujjah: I/417)
Ada tambahan fii 'Aliyyin dari teks asli Al-Qur'an yang berbunyi:
wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna 'ala 'abdina fa`tu bi shuratim mim mits lih (Al-Baqarah:23)
Karena itu mereka meyakini bahwa: Abu Abdillah a.s (imam Syiah)
berkata: Al-Qur'an yang dibawa oleh Jibril a.s kepada Nabi Muhammad saw
adalah 17.000 ayat (Al-Kafi fil Ushul Juz II hal.634). Al-Qur'an mereka
yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab
Syi'ah Al-Kafi fil Ushul juz I hal 240-241 dan Fashlul Khithab karangan
An-Nuri Ath-Thibrisy)
4. Syi'ah meyakini bahwa para Sahabat sepeninggal Nabi saw, mereka
murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti: Al-Miqdad bin Al-Aswad,
Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII
hal.245, Al-Ushul minal Kafi juz II hal 244)
5. Syi'ah menggunakan senjata taqiyyah yaitu berbohong, dengan cara
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk
mengelabui (Al Kafi fil Ushul Juz II hal.217)
6. Syi'ah percaya kepada Ar-Raj'ah yaitu kembalinya roh-roh ke
jasadnya masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat dikala imam Ghaib
mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan
anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya.
7. Syi'ah percaya kepada Al-Bada', yakni tampak bagi Allah dalam hal
keimaman Ismail (yang telah dinobatkan keimamannya oleh ayahnya, Ja'far
As-Shadiq, tetapi kemudian meninggal disaat ayahnya masih hidup) yang
tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka, Allah boleh khilaf, tetapi Imam
mereka tetap maksum (terjaga).
8. Syiah membolehkan nikah mut'ah, yaitu nikah kontrak dengan jangka
waktu tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shadiqin Juz II hal.493). Padahal
hal itu telah diharamkan oleh Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ali
bin Abi Thalib sendiri.
Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita
dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir
dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban
memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak
menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'i):
1. Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
2. Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam
akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau
meninggal dunia
3. Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
4. Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
5. Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
6. Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada
istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
Dalil-Dali Haramnya Nikah Mut'ah
Haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab.
Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad
Al-Juhaini, ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu
perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu
kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita
tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh
saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut seperti
selimut. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam.
Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat
Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail.
Beliau bersabda, Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada
kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki
istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala
sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil
lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai
Hari Kiamat (Shahih Muslim II/1024)
Dalil hadits lainnya: Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata kepada
Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad saw melarang nikah mut'ah dan memakan
daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar (Fathul Bari IX/71)
Pendapat Para Ulama
Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
- Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H)
dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: Nikah mut'ah ini bathil
menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587
H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272)
mengatakan, Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah
mut'ah
- Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya
Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan,
hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat
mutawatir Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya
Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, Apabila seorang lelaki
menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.
- Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya
Al-Umm (V/85) mengatakan, Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua
nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku
nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan. Sementara
itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356)
mengatakan, Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada
dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila
dibatasi dengan waktu.
- Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam
kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang
bathil. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat
242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
Dan masih banyak lagi kesesatan dan penyimpangan Syi'ah. Kami
ingatkan kepada kaum muslimin agar waspada terhadap ajakan para
propagandis Syi'ah yang biasanya mereka berkedok dengan nama Wajib
mengikuti madzhab Ahlul Bait, sementara pada hakikatnya Ahlul Bait
berlepas diri dari mereka, itulah manipulasi mereka. Semoga Allah selalu
membimbing kita ke jalan yang lurus berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih. Lebih lanjut bagi yang ingin
tahu lebih banyak, silakan membaca buku kami Mengapa Kita Menolah
Syi'ah.
Rujukan:
1. Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Dirasat fil ahwa wal firaq wal Bida' wa Mauqifus Salaf minha
2. Drs. KH Dawam Anwar dkk, Mengapa Kita menolak Syi'ah
3. H. Hartono Ahmad Jaiz, Di bawah Bayang-bayang Soekarno-Soeharto
4. Abdullah bin Sa'id Al-Junaid, Perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah.
5. Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi'ah.
|