30 Maret, 2015

Fiqh Nikah (3) [Memilih Calon Suami dan Menjodohkan Wanita]



بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Memilih calon suami
Seorang wali hendaknya mencarikan untuk puterinya laki-laki yang salih. Oleh karena itu, ia tidak menikahkan kecuali kepada orang yang baik agama dan akhlaknya; jika bergaul, maka ia bergaul dengan cara yang baik, dan jika melepasnya, maka ia melepasnya dengan cara yang baik.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
“Apabila datang kepada kamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya. Jika tidak kamu lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hatim Al Muzanniy, dan dinyatakan hasan lighairih oleh Syaikh Al Albani)
Seseorang pernah berkata kepada Al Hasan bin Ali, "Sesungguhnya saya mempunyai puteri, maka kepada siapakah menurutmu aku menikahkan dia?" Ia menjawab, "Nikahkanlah kepada orang yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, maka ia akan memuliakan (istrinya), dan jika ia membencinya, maka ia tidak akan menzaliminya."
Imam Al Ghazaliy berkata, "Berhati-hati terhadap haknya sangat penting sekali, karena ia menjadi budak dengan menikah yang tidak ada kesempatan keluar baginya. Sedangkan suami bebas mentalaknya kapan saja. Jika ia menikahkan puterinya dengan laki-laki yang zalim, fasik, Ahli Bid'ah, atau peminum khamr, maka sesungguhnya ia telah melukai agamanya dan siap mendapatkan kemurkaan Allah karena memutuskan tali silaturrahim dan salah memilih."
Ibnu Taimiyah berkata, "Jika seseorang terus berada di atas kefasikan, maka tidak patut dinikahkan dengannya."
Dan tidak mengapa seseorang menawarkan puterinya atau saudarinya kepada laki-laki salih, berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berikut:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِينَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السَّهْمِىِّ - وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتُوُفِّىَ بِالْمَدِينَةِ - فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ : أَتَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ حَفْصَةَ فَقَالَ : سَأَنْظُرُ فِى أَمْرِى . فَلَبِثْتُ لَيَالِىَ ثُمَّ لَقِيَنِى فَقَالَ : قَدْ بَدَا لِى أَنْ لاَ أَتَزَوَّجَ يَوْمِى هَذَا . قَالَ عُمَرُ : فَلَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ فَقُلْتُ : إِنْ شِئْتَ زَوَّجْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ . فَصَمَتَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَىَّ شَيْئاً ، وَكُنْتُ أَوْجَدَ عَلَيْهِ مِنِّى عَلَى عُثْمَانَ ، فَلَبِثْتُ لَيَالِىَ ثُمَّ خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَنْكَحْتُهَا إِيَّاهُ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ : لَعَلَّكَ وَجَدْتَ عَلَىَّ حِينَ عَرَضْتَ عَلَىَّ حَفْصَةَ فَلَمْ أَرْجِعْ إِلَيْكَ شَيْئاً . قَالَ عُمَرُ قُلْتُ : نَعَمْ . قَالَ أَبُو بَكْرٍ : فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِى أَنْ أَرْجِعَ إِلَيْكَ فِيمَا عَرَضْتَ عَلَىَّ إِلاَّ أَنِّى كُنْتُ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدْ ذَكَرَهَا ، فَلَمْ أَكُنْ لأُفْشِىَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلَوْ تَرَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَبِلْتُهَا .
“Bahwa Umar bin Al Khaththab pada saat Hafshah binti Umar menjadi janda dari Khunais bin Hudzaafah As Sahmiy –ia termasuk sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan wafat di Madinah-, Umar bin Al Khaththab berkata, “Aku datang kepada Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah kepadanya,” ia berkata, “Saya pikir-pikir dahulu,” aku pun menunggunya beberapa hari, setelah itu Utsman menemuiku dan berkata, “Sepertinya sekarang-sekarang ini saya sedang tidak hendak menikah.” Umar berkata, “Lalu aku menemui Abu Bakar Ash Shiddiq dan berkata, “Jika kamu mau, saya akan menikahkan kamu dengan Hafshah binti Umar.” Abu Bakar pun diam dan tidak memberikan jawaban, aku pun kesal kepadanya melebihi kesalku kepada Utsman, aku menunggu beberapa hari, ternyata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang melamarnya, maka aku pun menikahkannya kepada Beliau, lalu Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Mungkin kamu kesal kepadaku ketika kamu menawarkan Hafshah kepadaku, lalu aku tidak memberikan jawaban," Umar menjawab, “Ya,” Abu Bakar mengatakan, “Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk memberikan jawaban ketika kamu menawarkan, selain karena aku sudah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah membicarakannya, aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kalau seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkannya, tentu aku menerimanya.“ (HR. Bukhari dan Nasa'i)
Menjodohkan Wanita
Wanita yang akan dijodohkan itu ada tiga macam; gadis yang di bawah usia baligh, gadis remaja yang baligh dan janda. Masing-masing memiliki hukum tersendiri.
1.       Gadis yang di bawah usia baligh.
Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa ayahnya boleh mengawinkannya tanpa meminta izin anak itu, karena ia tidak memiliki hak untuk dimintai izin, berdasarkan riwayat berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهِىَ بِنْتُ سِتٍّ وَبَنَى بِهَا وَهِىَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ .
Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menikahi dirinya ketika ia berumur enam tahun[1]. Berkumpul bersamanya, ketika ia berumur sembilan tahun, dan ditinggal wafat oleh Beliau ketika ia berumur delapan belas tahun.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ayah boleh mengawinkan puterinya yang belum baligh baik kepada laki-laki dewasa maupun yang sudah tua[2].
Ibnu Qudamah mengatakan: Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama kenamaan yang kami ketahui semuanya sepakat, bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya yang belum baligh, asalkan ia menjodohkannya dengan laki-laki yang sekufu’ (setaraf dari sisi akhlak maupun kesalihannya).”
Namun sebaiknya seorang wali memperhatikan usia calon suami puterinya yakni jangan terlalu jauh perbedaan umurnya, karena hal ini dapat membantu langgengnya pernikahan dan tetapnya kemesraan antara keduanya. Disebutkan dalam riwayat, bahwa Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma pernah meminang Fathimah puteri Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau menjelaskan bahwa Fathimah masih kecil, kemudian ketika ‘Ali radhiyallahu 'anhu yang melamarnya, maka Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam menjodohkannya.
Apakah jika wanita ini baligh berhak khiyar (memilih antara melanjutkan pernikahan atau tidak)?
Jawab: Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa si wanita tidak berhak khiyar, namun yang lain berpendapat bahwa wanita berhak khiyar setelah balighnya karena adanya riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan Umamah bintu Hamzah ketika ia masih kecil dan memberikan hak khiyar kepadanya ketika baligh, wallahu a'lam.
2.       Gadis remaja yang sudah baligh
Ia tidak boleh dikawinkan kecuali atas izinnya. Tanda izinnya adalah dengan diamnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى تُسْـتَأْذَنَ" قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا ? قَالَ : " أَنْ تَسْكُتَ  
“Tidak boleh dinikahkan janda kecuali setelah diajak berembuk, dan tidak boleh seorang gadis dinikahi kecuali setelah diminta izinnya.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya?" Beliau menjawab, “Dengan diamnya.” (Muttafaq 'alaih)
Oleh karena itu, harus ada izin darinya, meskipun yang mengawinkannya adalah ayahnya.
3.       Janda
Janda tidak boleh dikawinkan kecuali atas izinnya. Tanda pemberian izinnya adalah pernyataan melalui ucapannya, berbeda dengan gadis yang cukup dengan diamnya.
Catatan:
-    Jumhur ulama berpendapat, bahwa tidak boleh bagi wali selain ayah atau kakek menikahkan wanitanya yang masih kecil. Jika terjadi maka tidak sah. Namun Abu Hanifah,  Al Auza'iy, dan jamaah dari kaum salaf berpendapat, boleh bagi semua wali dan sah, namun si wanita berhak khiyar ketika sudah baligh. Alasannya adalah riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menikahkan Umamah bintu Hamzah ketika ia masih kecil dan memberikan hak khiyar kepadanya ketika baligh.
-    Tidak sah menikahkan wanita yang masih kecil atau budak dengan orang yang mempunyai aib yang nikah bisa ditolak karena aib itu. Seharusnya walinya memperhatikan maslahat wanita. Namun jika si wali tidak mengetahui ‘aib itu, maka apabila sudah tahu, nikah itu dibatalkan (fasakh) untuk menghilangkan bahaya yang mungkin terjadi.
-    Apabila wanita yang dewasa dan berakal ridha dengan laki-laki yang terpotong kemaluannya atau yang lemah syahwat,  maka walinya tidak boleh melarangnya, karena yang punya hak digauli itu isteri bukan selainnya.
-    Apabila si wanita ridha menikah dengan laki-laki gila, berkusta atau sopak maka walinya berhak mencegahnya, karena hal itu berbahaya di mana bisa saja menurun ke anak.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Waziz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza'iriy), dll.


[1] Dalam riwayat Muslim yang lain, disebutkan ketika Aisyah berumur tujuh tahun.
[2]  Ulama madzhab Syafi'i menganjurkan agar seorang ayah atau kakek tidak menikahkan puterinya sampai ia baligh dan meminta izinnya, agar tidak menjatuhkan puterinya dalam ikatan pernikahan padahal ia tidak suka.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE