Bismillah Assalamu Alaikum
Setiap muslim harus menyadari bahwa saat ini ia berada di sebuah tempat yang di dalamnya di letakkan ranjau-ranjau ujian yang tidak sedikit, tempat tersebut tak lain adalah dunia. Dunia adalah tempat untuk menguji siapa yang ada di dalamnya, terkadang ujian itu datang dengan gaung yang sangat menggoda dan mempesona, dan terkadang ia datang dengan wujud rupa yang sangat menyeramkan. Ujian yang Allah letakkan terkadang berupa kenikmatan, terkadang juga berupa kesusahan dan kepedihan, dan manusia mau tidak mau, suka atau tidak suka harus berjuang untuk melewati dan melawan semua itu.
Oleh karena itu di butuhkan suatu manhaj ( metode ) yang bisa mengantar seseorang dengan izin Allah meraih kesuksesan dalam mengarungi ganasnya gelombang fitnah di dunia ini, untuk kemudian merasakan kenikmatan haqiqi nan abadi yang nikmatnya belum pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di dalam benak manusia.
1. Mengenal hakikat dunia.
Dunia adalah tempat persinggahan sesaat, setiap orang akan beranjak meninggalkannya menuju negeri keabadian. Di dunia ini terkandung beragam kenikmatan, tetapi kenikmatannya bersifat sesaat sama seperti dunia tempat di di letakkannya nimat-nikmat itu. Namun aneh bin ajaib, tidak sedikit manusia yang terpedaya dengan kenikmatan itu, bahkan siapapun yang telah terpanah dengan pesonanya, ia akan lupa sehingga meyakini seakan-akan tidak ada lagi negeri selain di dunia ini saja, tidak ada lagi kenikmatan selain di sini. Dan karena itulah dunia di sifatkan sebagai kenikmatan yang menipu dan ia memang banyak menipu manusia. Allah Ta’ala berfirman :
($tBur äo4qu‹ysø9$# !$u‹÷R‘$!$# žwÎ) ßì»tFtB Í‘rãäóø9$# ÇËÉÈ
Artinya : “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. ( QS Al Hadid : 20 )
Sadarilah..! bahwa kenikmatan dunia yang nampaknya begitu menakjubkan ini, ternyata tidak ada nilainya jika di bandingkan dengan kenikmatan surga kecuali saaaangat sedikit. Bandingannya adalah ibarat seseorang yang mencelupkan telunjuknya ke dalam lautan yang luas, sisa air yang membasahi jarinya adalah ibarat kadar kenikmatan dunia, sementara laut yang sangat luas itu adalah ibarat kenikmatan akhirat. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ - وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ - فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
Artinya : “Demi Allah, tidaklah dunia itu dengan akhirat kecuali seperti seseorang yang mencelupkan jarinya ini ( Yahya mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ) ke dalam laut maka lihatlah apa yang kembali ( air yang melekat )”. ( HR Muslim no 7376 )
Saudaraku…! Sebodoh-bodohnya manusia, tidak akan mau mengutamakan yang sedikit lagi tidak berkwalitas dan membiarkan yang banyak lagi berkwalitas.
Dengarkanlah perbincangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya berikut ini, yaitu ketika beliau berjalan di pasar dan menemukan bangkai seekor kambing yang cacat telinganya, kemudian beliau memegang telinga kambing itu seraya bersabda kepada para sahabatnya :
« أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ ». فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَىْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ « أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ». قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ « فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ »
Artinya : “Siapa di antara kalian yang suka membeli kambing ini menjadi menjadi miliknya seharga satu dirham?”. Para sahabat menjawab : “Kami tidak suka kalau itu menjadi milik kami dengan sesuatu apapun dan apa yang bisa kami perbuat dengannya”. Rasulullah kembali bertanya : “Apakah kalian suka kalau ini menjadi milik kalian?”. Para sahabat menjawab : “Demi Allah, kalaupun seandainya ia masih hidup, maka ia memiliki aib, lalu bagaimana lagi kalau ia telah mati”. Rasulullah bersabda : “Demi Allah, dunia itu lebih hina di sisi Allah dari kambing ini atas kalian”. ( HR Muslim no 7607 )
Maka apa yang anda inginkan wahai pemuja dunia..! dengan dunia yang demikian rendah, hina lagi menjijikkan itu. Pandailah dalam menyikapi dunia ini !, kenalilah ia sebelum anda meminangnya lebih jauh.
2. Bersikap Zuhud
Setelah memahami hakikat dunia yang sebenarnya, maka tidak ada jalan keselamatan kecuali mengambil manhaj zuhud yang benar di dunia ini, yaitu seperti yang telah di katakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di dunia untuk kehidupan akhirat”, baik berupa perkataan, perbuatan, angan-anagan dan selainnya. Dengan demikian, seorang yang zuhud adalah yang berusaha menjauh dari perkara sia-sia, kehidupan mereka di dunia ibarat orang asing yang di rundung rindu untuk segera kembali ke kampung halamannya yang tak lain adalah negeri akhirat, sehingga kesibukannya hanya terfokus pada satu titik, yaitu menyiapkan bekal yang akan mencukupinya berupa keta’atan dan amal sholeh agar tiba dengan selamat di negeri tujuannya itu. Atau bahkan seperti seorang yang melakukan perjalanan pulang menuju negerinya, di mana dunia ini hanya seperti persinggahan sesaat saja untuk memulihkan tenaga karena perjalanan yang melelahkan, kemudian beranjak pergi meninggalkannya, sehingga ia tidak sempat untuk berfikir yang banyak di tempat persinggahan tersebut.
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
Artinya : “Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau adalah orang asing, atau bahkan seakan-akan engkau adalah orang yang melakukan perjalanan”. ( HR Bukhary no 6416 )
Zuhud tidak berarti mentalak tiga dunia ini, tidak sedikitpun !. Akan tetapi seorang zuhud hanya mengambil dari dunia sekedar apa yang bisa membantunya dalam melakukan keta’atan kepada Rabbnya. Jika dunia hendak merusak akhiratnya, maka ia akan mengorbankan dunia tanpa ada rasa berat dan sesal secuil pun demi keutuhan dan kemashlahatan akhiratnya. Mereka tidak rela mengorbankan akhiratnya hanya karena sesuatu yang nilainya sedikit lagi hina dari dunia ini. Seperti yang telah di nasehatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
مَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ أَضَرَّ بِالدُّنْيَا، وَمَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا أَضَرَّ بِالآخِرَةِ، يَا قَوْمُ! فَأَضِرُّوا بِالفَانِي لِلْبَاقِي
Artinya : “Barang siapa yang menginginkan akhirat, dia akan mengorbankan dunia, dan barang siapa yang menginginkan dunia, dia akan mengorbankan akhirat. Wahai kaum ! korbankanlah( kenikmatan ) yang sementara ( dunia ) untuk ( kenikmatan ) yang kekal abadi ( akhirat )”. ( lihat Siyar A’lam Annubala 1/441 )
Walau demikian, seorang zuhud juga bukanlah orang yang suka menyusahkan saudaranya dan bukan orang yang suka gemar meminta-meminta untuk mencukupi kebutuhannya demi mempertahankan kezuhudannya. Tetapi ia adalah orang yang sangat pandai menjaga muru’ahnya dan sangat malu kepada Tuhannya untuk memperlihatkan kebutuhannya kepada orang lain sekalipun ia sangat membutuhkan. Lebih dari itu seorang zuhud pantang “melirik” kepada harta kekayaan milik orang lain apalagi mengharapkannya, karena takut jangan sampai hati mereka yang terselimuti cinta kepada Allah terkoyak oleh tajamnya belati dunia.
Seorang zuhud tidaklah berbahagia ketika mendapatkan dunia sebagaimana mereka tidak bersedih ketika kehilangannya. Karena seorang zuhud tidak menyimpan dunia ini di hatinya, dunia ini hanya tertahan dan berhenti di genggaman tangannya sehingga ketika dunia ini datang kepadanya dalam jumlah yang berapapun banyaknya, tidak terbetik sedikitpun kesenangan dalam hatinya, bahkan terkadang mereka sedih, takut dan khawatir jangan sampai apa yang di dapatkannya itu merupakan balasan amalan shalihnya yang di percepat oleh Allah di dunia ini, yang berarti ia akan kehilangan balasan di akhirat yang lebih banyak dan lebih baik.
Demikian sebaliknya, ketika ia kehilangan dari dunia ini berapapun banyaknyanya, tidak tergores luka kesedihan dan penyesalan dalam hatinya, karena mereka yakin bahwa dunia dan kenikmatannya adalah sesuatu fana lagi menipu.
Al Junaid rahimahullah berkata :
الزُّهْدُ فِي قَوْلِهِ تَعَالىَ }لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلىَ مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوْا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ{ فَالزَّاهِدُ لاَ يَفْرَحُ مِنَ الدُّنْيَا بِمَوْجُوْدٍ وَلاَ يَأْسَفُ مِنْهَا عَلىَ مَفْقُوْدٍ.
Artinya : “Zuhud ada dalam firman Allah : “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.( 57:23 ). Maka orang yang zuhud itu tidak bergembira dengan dunia karena keberadaannya ( mendapatkannya ), dan tidak bersedih atas kehilangannya”.( Madarijus Salikin 2/10 )
3. Menyadari tujuan keberadaan di dunia
Sesungguhnya keberadaan manusia di dunia memiliki tujuan dan hikmah yang sangat mulia, yaitu mewujudkan penghambaan dan peribadatan kepada Penciptanya dengan senantiasa tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS Adz Dzariyaat : 56 )
Berkata Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah : “Yaitu sesungguhnya Aku menciptakan mereka untuk Aku perintah beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku butuh kepada mereka”. ( Lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/425 )
Berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas : “Yaitu kecuali agar mereka tunduk dengan beribadah kepada-Ku suka atau tidak”. ( Lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/425 )
Ibadah yang di maksud tidak terbatas pada ibadah-ibadah khusus saja seperti sholat, puasa, zikir dan semisalnya, namun termasuk juga di dalamnya ibadah-ibadah umum seperti akhlaq kepada sesama makhluq. Dan penghambaan itu tidak akan di terima hingga memenuhi dua rukun atau syarat yang telah di sebutkan oleh Allah dalam firmannya berikut ini :
`yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u‘ ö@yJ÷èu‹ù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç„ ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u‘ #J‰tnr& ÇÊÊÉÈ
Artinya : “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". ( QS : Al Kahfi : 110 )
Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa barang siapa yang ingin bertemu Allah dan mendapatkan balasan dan pahalanya yang sholeh, hendaknya melakukan amal yang sholeh yang berarti amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, dan tidak mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya yang berarti amalan yang di kerjakan itu hanya mengharap wajah Allah semata yang tidak ada sekutu baginya. Dua hal tersebut adalah rukun di terimanya suatu amalan, yaitu ikhlas kepada Allah dan benar sesuai dengan syari’at ( tuntunan ) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. ( Lihat tafsir Ibnu Katsir 5/205 )
Adapun ketika manusia enggan beribadah kepada Rabbnya, berpaling dan membangkang dari-Nya, berarti telah menyalahi tujuan keberadaannya di dunia, dan tidak ada balasan yang layak bagi mereka kecuali kehinaan di dunia dan akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o„ ô`tã ’ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzô‰u‹y™ tL©èygy_ šúïÌÅz#yŠ ÇÏÉÈ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina”. ( QS : Al Mukmin : 60 )
Maka sadarilah tujuan anda wahai sekalian manusia, ingatlah bahwa kematian selalu mengintai anda di setiap waktu, jika masanya telah tiba maka tidak akan di tunda setengah detikpun. Dan mungkin saja jika anda selalu santai, lalai dan lupa dari tujuan itu, pada saat kematian menjemput, anda dalam keadaan yang paling buruk karena keberpalingan anda dari-Nya.
4. Mempelajari dan memahami Agama Islam
Karena seseorang tidak akan mampu merealisasikan tiga poin sebelumnya tanpa Ilmu dan pemahaman yang benar, maka sebelum semua itu, seseorang perlu mempelajari dan memahami agama Allah Ta’ala. Oleh karena itulah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya : “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”. ( HR Abu Ya’la dalam musnadnya no 2837 )
Dan sumber yang paling murni untuk memahami dan mempelajari agama Allah adalah Al qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘laihi wa sallam yang shahih. Keduanya adalah sumber ilmu bahkan keduanya merupakan hakikat dari ilmu itu sendiri, yang ketika seseorang benar-benar berpegang dengan keduanya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjaminnya baginya akan terhindar dari kesesatan dan penyimpangan agama. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنِّى قَدْ خَلَّفْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْتُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِى
Artinya : “Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apa yang kalian tidak akan tersesat setelah keduanya selama kalian memegang dengan keduannya atau beramal dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku”. ( HR Al Baihaqy dalam S. Al Kubra no 20834 )
Dan hal yang sangat penting juga untuk di ketahui adalah bahwa Al qur’an dan hadits yang shahih tersebut jangan sampai di pahami berdasarkan akal semata, hawa nafsu dan perasaan, akan tetapi hendaknya memahami keduanya berdasarkan pemahaman para salaful ummah, yaitu para sahabat, tabi'in dan para imam yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga akhir zaman. Karena para sahabat adalah orang yang paling memahami al qur’an dan hadits-hadits dibandingkan dengan orang yang datang setelah mereka. Dan untuk lebih mudahnya adalah merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah ( penjelasan ) hadits dari para ulama mu’tabar yang di kenal kesungguhannya dalam mengikuti pemahaman para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim. Wallahu A’lam.
Di tulis oleh
Al Faqir Ilaa 'Afwi Rabbihi
Abu Sufyan Al Atsary