بسم
الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Hal-hal yang berkaitan dengan khitbah (melamar)[1]
Islam menganjurkan agar seseorang yang hendak
menikah melihat calon isterinya. Yang demikian agar seseorang mengenali
pasangan hidupnya, sehingga menikah dilakukan di atas pengetahuan, dan hal ini
dapat membantu melanggengkan pernikahan. Al A'masy berkata, "Setiap
pernikahan yang terjadi tanpa melihat dahulu (pasangannya), maka akhirnya
adalah kesedihan dan kedukaan."
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ
أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ
“Apabila salah seorang di antara kamu hendak melamar wanita. Jika
ia mampu melihat sesuatu yang
mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia lakukan.”
Jabir berkata, “Aku pun kemudian melamar wanita
dari Bani Salamah, aku bersembunyi (untuk melihatnya), sehingga aku dapat
melihat beberapa hal yang mendorong untuk menikahinya.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Hadits ini membolehkan seseorang yang hendak
melamar untuk melihat bagian yang tampak dari si wanita secara ghalib(biasa)nya,
dan boleh baginya melihat tanpa sepengetahuan si wanita itu, namun tidak boleh
berkhalwat (berdua-duan) dengannya.
عَنِ الْمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ : أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً
، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنَظَرْتَ
إِلَيْهَا ؟ ) قَالَ : لاَ ، قَالَ : ( أُنْظُرْ إِلَيْهَا ، فَاِنَّهُ أَحْرَى
أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ia pernah
melamar seorang wanita, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Ia menjawab, “Belum,” Beliau
bersabda, “Lihatlah wanita itu, karena hal itu lebih dapat melanggengkan hubungan
antara kamu berdua.” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi, ia menghasankannya,
dan dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاً
خَطَبَ امْرَأَةً مِنَ الْاَنْصَارِ ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ) ؟ قَالَ : لاَ ، قَالَ : (
فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا ، فَاِنَّ فِي أَعْيُنِ الْاَنْصَارِ شَيْئًا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada
seseorang yang melamar seorang wanita Anshar, lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Orang itu
menjawab, “Belum,” Beliau bersabda,
“Pergilah, lihatlah wanita itu, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu[2].”
Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku (hendak)
melamar seorang wanita, untuk itu aku pun bersembunyi di balik pohon kurma,” lalu
ada yang mengatakan kepadanya, “Apakah anda melakukan hal ini, padahal anda
sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?”
Ia menjawab, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِذَا اَلْقَى اللهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ
فَلاَ بَأْسَ اَنْ يَنْظُرَ اِلَيْهَا
“Apabila Allah menanamkan dalam hati seseorang keinginan melamar
seorang wanita, maka tidak mengapa melihatnya terlebih dahulu.” (HR. Ibnu Majah
dan dishahihkan oleh Al Albani)
Bagian yang boleh dilihat
Menurut jumhur ulama, yang boleh dilihat adalah
wajah dan telapak telapak tangan; karena wajah menunjukkan kecantikannya dan
tangan menunjukkan kesuburannya. Namun menurut Dawud Azh Zhahiri, boleh melihat
semua badannya. Menurut Al Auzaa’iy yang boleh dilihat adalah bagian-bagian
dagingnya.
Akan tetapi hadits-hadits yang datang tidak
menentukan bagian mana yang boleh dilihat, bahkan memutlakkan untuk melihat
bagian yang jika dilihat tercapai maksud dan tujuan, wallahu a’lam.
Jika setelah melihat wanita itu kemudian ia
tidak tertarik, maka hendaknya ia diam dan tidak berkata apa-apa agar si wanita
tidak tersinggung, dan mungkin saja orang lain tertarik.
Hal di atas berkaitan dengan cantik dan
tidaknya, adapun yang berkaitan dengan akhlaknya, maka ia bisa bertanya kepada
orang yang biasa bergaul atau bertetangga dengannya. Jika ada seseorang yang
mengetahui lebih jelas tentang wanita itu dimintai penjelasannya, maka wajib
baginya menjelaskan apa adanya baik atau buruk akhlaknya dsb. Dan hal ini tidak
termasuk ghiibah.
Wanita melihat laki-laki
Sebagaimana laki-laki boleh melihat wanita yang
hendak dilamar, wanita pun sama boleh melihat laki-laki yang melamar. Umar
berkata, “Janganlah kalian menikahkan puteri kalian dengan laki-laki jelek,
karena mereka suka sebagaimana yang disukai laki-laki.”
Bahaya berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang dilamar
Haram hukumnya berdua-duaan dengan wanita yang
dilamar, karena wanita tersebut masih belum halal sampai dilangsungkannya akad
nikah. Namun jika ada mahramnya boleh berkhalwat, karena tidak mungkinnya
terjadi maksiat di hadapannya.
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلاَ
يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا ، فَاِنَّ
ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka
janganlah berdua-duaan dengan wanita tanpa mahramnya, karena yang ketiganya
adalah setan.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan lighairih oleh Pentahqiq Musnad
Ahmad cet. Ar Risalah)
Daari ‘Amir bin Rabii’ah radhiyallahu 'anhu ia
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ،
فَاِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ إِلاَّ لِمَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang
wanita yang tidak halal baginya, karena yang ketiganya adalah setan.” (HR.
Ahmad, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad)
Bahaya meremehkan masalah khalwat (berdua-duaan)
Syaikh
Sayyid Saabiq berkata, “Banyak orang-orang yang meremehkan masalah ini, sampai
ia membolehkan puterinya atau kerabatnya untuk bergaul bersama laki-laki yang
melamarnya dan berduaan tanpa pengawasan. Puterinya pergi bersama laki-laki
yang meminangnya ke mana laki-laki itu suka tanpa dipantau. Akibatnya wanita
tersebut ada yang kehilangan kehormatannya, ‘iffah dan kemuliannya, bahkan
terkadang pernikahan tidak jadi di samping gagalnya pernikahan dengannya. Ada
juga yang terbalik, sebagian orang yang kolot tidak memberikan kesempatan
kepada pelamar untuk melihat puterinya ketika dilamar, mereka menekan pelamar
agar ridha menerimanya dan melakukan ‘akad terhadapnya tanpa perlu melihatnya,
demikian juga puterinya tidak melihat laki-laki yang melamarnya kecuali pada
malam pengantin. Bahkan terkadang melihatnya juga tiba-tiba tanpa ditentukan,
akibatnya terjadi pertengkaran dan perselisihan yang tidak diduga-duga
sebelumnya. Ada juga orang yang merasa cukup dengan melihat foto, padahal foto
itu secara kenyataan tidak menunjukkan sesuatu yang membuat hati tenteram, dan
tidak menjamin sama persis dengan keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, yang
terbaik adalah yang dibawa oleh Islam, di sana hak masing-masing pasangan
diperhatikan dengan bolehnya masing-masing melihat yang lain, dan dengan
menghindari khlawat untuk menjaga kemuliaan dan memelihara kehormatan.”
Tidak jadi melamar dan pengaruhnya
Khitbah (melamar) adalah pendahuluan sebelum
akad nikah. Setelah itu biasanya disiapkan mahar (mas kawin) penuh atau
sebagiannya, juga disiapkan hadiah dan hibah (pemberian) untuk memperkuat
hubungan dan ikatan. Terkadang pelamar atau yang dilamar bisa saja tidak jadi
atau kedua-duanya sama-sama tidak jadi, lalu bolehkah hal itu? Dan apakah barang
yang telah diberikan kepada wanita yang dilamar harus dikembalikan atau tidak?
Jawab: Perlu diketahui, bahwa khitbah hanyalah
semata-mata perjanjian untuk menikah, bukan akad yang mesti terlaksana, tidak
jadi melanjutkan pernikahan adalah hak masing-masing yang mengikat perjanjian.
Syara’ tidaklah menetapkan hukuman atau kaffarat jika perjanjian itu
dibatalkan, meskipun hal itu termasuk akhlak tercela, dan menyebut sifat itu
yakni ”ingkar janji” sebagai sifat orang-orang munafik, kecuali jika di sana ada
darurat dan desakan yang menghendaki untuk tidak dilanjutkan atau tidak
dipenuhi janji itu.
Disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَاِذَا
وَعَدَ اَخْلَفَ وَاِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga; apabila bicara berdusta, apabila
berjanji mengingkari dan apabila dipercaya mengkhianati.”
Dalam Tadzkiratul Huffaazh disebutkan,
bahwa ketika Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma hendak wafat, ia berkata,
“Lihatlah si fulan –maksudnya seorang laki-laki dari Quraisy-, sesungguhnya
saya pernah berkata kepadanya perkataan yang mirip dengan janji dalam hal
puteriku, aku tidak ingin menghadap Allah dengan membawa sepertiga nifak. Aku
pun menjadikan kalian saksi bahwa aku menikahkan dia dengannya.”
Oleh karena itu, mahar yang telah diberikan
pelamar berhak diambil pelamar, karena ia menyerahkan untuk tujuan menikahinya.
Jika pernikahan tidak jadi, maka mahar kembali kepada pemberinya (pelamar).
Sedangkan hadiah, maka ia masuk ke dalam hibah, sedangkan hibah tidak boleh
ditarik kembali jika sebagai pemberian semata tidak ada niat untuk diganti. Di
samping itu, orang yang diberi hibah pada saat menerimanya, barang tersebut
menjadi miliknya, ia berhak menggunakannya. Jika yang memberinya menarik
kembali, maka sama saja menarik barang milik orang yang diberi itu tanpa
keridhaan, ini jelas batil secara syara’ dan ‘akal[3].
Berbeda jika pemberi memberikan hibah agar
diberi ganti dan dibalas, lalu ternyata yang diberi tidak membalas, maka
pemberi berhak menarik hibahnya. Sehingga jika pelamar memberikan hibah kepada
pihak yang dilamar agar diganti, lalu ternyata pernikahan tidak jadi, maka
pelamar berhak menarik kembali pemberiannya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil
berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً ،
أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيْهَا ، إِلاَّ الْوَالِدُ فِيْمَا يُعْطِيْ
وَلَدَهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang
yang memberikan suatu pemberian atau suatu hibah lalu menarik lagi, kecuali
pemberian ayah kepada anaknya.” (HR. Para pemilik kitab sunan, dan dishahihkan
oleh Al Albani)
اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang yang menarik
kembali muntahnya.” (HR. Para pemilik kitab sunan, dan dishahihkan oleh Al
Albani)
Cara menggabung hadits-hadits di atas adalah
seperti yang disebutkan dalam I’laamul Muwaqqi’iin sbb.:
“Pemberi yang tidak halal menarik kembali
pemberiannya adalah pemberi yang memberikan dengan tujuan semata-mata memberi,
tidak agar diganti (pemberiannya), sedangkan pemberian yang berhak ditarik
adalah pemberian dengan tujuan agar diganti (dibalas pemberiannya), jika
ternyata yang diberi tidak melakukannya. Demikianlah sunnah-sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam diberlakukan semuanya, sebagiannya tidak
bertentangan dengan yang lain.”
Pendapat para fuqaha (ahli fiqh)
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa yang
diberikan pelamar kepada wanita yang dilamarnya berhak ditarik jika barang
tersebut belum berubah. Oleh karena itu, gelang, cincin, jam dan sebagainya dikembalikan
kepada pelamar jika masih ada. Namun jika tidak tetap seperti sebelumnya –yakni
berubah- seperti karena hilang, terjual, berubah menjadi bertambah atau berupa
makanan ternyata sudah dimakan atau berupa kain ternyata sudah dibuat pakaian,
maka pelamar tidak berhak menarik pemberian atau hadiah itu dan tidak berhak
meminta ganti terhadapnya.
Madzhab Hanafi ini dipakai oleh Mahkamah Syar’i
(Pengadilan agama) Tingkat I Thantha yang menetapkan beberapa ketetapan berikut
pada tanggal 13 Juli 1933 M:
1.
Yang
diberikan pelamar kepada wanita yang dilamar, yang bukan untuk akad, maka
dianggap hadiah.
2.
Hadiah
seperti hibah, secara hukum maupun makna.
3.
Hibah
adalah akad kepemilikan, yang menjadi milik penerima ketika menerimanya. Bagi
yang menerima berhak menggunakan barang tersebut baik dengan menjual, membeli
dsb. Dan tindakannya ini diberlakukan.
4.
Hilangnya
barang atau rusaknya menghendaki untuk tidak boleh menarik kembali barang itu.
5.
Pemberi
berhak meminta dikembalikan barang yang diberikan jika masih utuh.
Namun menurut ulama madzhab Maliki
bahwa dalam hal ini ada perincian, yakni sebab tidak jadi melanjutkan akad
nikah itu dari pihak siapa; laki-laki atau wanita. Jika dari pihak laki-laki,
maka tidak berhak menarik kembali hadiah yang diberikan, namun jika dari pihak
wanita, maka laki-laki berhak menarik kembali hadiahnya baik masih utuh maupun
tidak utuh. Jika tidak utuh, diganti kecuali jika ‘urufnya (kebiasaan yang
berlaku) tidak demikian atau sebelumnya telah membuat syarat, maka sesuai ‘uruf
atau syarat tersebut.
Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i,
bahwa hadiah itu tetap dikembalikan baik masih utuh atau tidak, jika masih utuh
dikembalikan barangnya, namun jika sudah tidak utuh, maka diganti dengan yang
senilainya.
Di
antara pendapat-pendapat di atas, kami lebih memilih pendapat yang diterangkan
oleh Ibnul Qayyim di atas dalam I’laamul Muwaqqi’innya. Wallahu a’lam.
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al
Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), dll.
[1] Khitbah artinya permintaan untuk menikahi wanita dengan
sarana yang sudah dikenal di masyarakat. Jika sudah terjadi kecocokan maka hal ini
berarti tinggal menentukan kapan akad nikah dilangsungkan, dan si wanita masih
tetap ajnabiy (bukan mahram) sampai dilakukan ‘akad nikah, bagi laki-laki lain
tidak boleh melamar wanita itu karena sudah dilamarnya.
[2] Ada yang mengatakan bahwa mata orang-orang Anshar itu kecil
(sipit), dan ada yang mengatakan bahwa pandangan mereka lemah mudah mengalirkan
air mata.
[3] Lihat I’laamul Muwaqqi’iin Juz. 2 hal. 50