03 April, 2015

Fiqh Nikah (5) [Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Khitbah (Melamar), Bagian Yang Boleh Dilihat Oleh Pelamar, Jika Akad Nikah Tidak Jadi Setelah Melamar, dll.]



بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Hal-hal yang berkaitan dengan khitbah (melamar)[1]
Islam menganjurkan agar seseorang yang hendak menikah melihat calon isterinya. Yang demikian agar seseorang mengenali pasangan hidupnya, sehingga menikah dilakukan di atas pengetahuan, dan hal ini dapat membantu melanggengkan pernikahan. Al A'masy berkata, "Setiap pernikahan yang terjadi tanpa melihat dahulu (pasangannya), maka akhirnya adalah kesedihan dan kedukaan."
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ
“Apabila salah seorang di antara kamu hendak melamar wanita. Jika ia mampu  melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia lakukan.”
Jabir berkata, “Aku pun kemudian melamar wanita dari Bani Salamah, aku bersembunyi (untuk melihatnya), sehingga aku dapat melihat beberapa hal yang mendorong untuk menikahinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Hadits ini membolehkan seseorang yang hendak melamar untuk melihat bagian yang tampak dari si wanita secara ghalib(biasa)nya, dan boleh baginya melihat tanpa sepengetahuan si wanita itu, namun tidak boleh berkhalwat (berdua-duan) dengannya.
عَنِ الْمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ : أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ ) قَالَ : لاَ ، قَالَ : ( أُنْظُرْ إِلَيْهَا ، فَاِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ia pernah melamar seorang wanita, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Ia menjawab, “Belum,” Beliau bersabda, “Lihatlah wanita itu, karena hal itu lebih dapat melanggengkan hubungan antara kamu berdua.” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi, ia menghasankannya, dan dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاً خَطَبَ امْرَأَةً مِنَ الْاَنْصَارِ ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ) ؟ قَالَ : لاَ ، قَالَ : ( فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا ، فَاِنَّ فِي أَعْيُنِ الْاَنْصَارِ شَيْئًا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seseorang yang melamar seorang wanita Anshar, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Orang itu menjawab, “Belum,”  Beliau bersabda, “Pergilah, lihatlah wanita itu, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu[2].”
Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku (hendak) melamar seorang wanita, untuk itu aku pun bersembunyi di balik pohon kurma,” lalu ada yang mengatakan kepadanya, “Apakah anda melakukan hal ini, padahal anda sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?”
Ia menjawab, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِذَا اَلْقَى اللهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلاَ بَأْسَ اَنْ يَنْظُرَ اِلَيْهَا
“Apabila Allah menanamkan dalam hati seseorang keinginan melamar seorang wanita, maka tidak mengapa melihatnya terlebih dahulu.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)
Bagian yang boleh dilihat
Menurut jumhur ulama, yang boleh dilihat adalah wajah dan telapak telapak tangan; karena wajah menunjukkan kecantikannya dan tangan menunjukkan kesuburannya. Namun menurut Dawud Azh Zhahiri, boleh melihat semua badannya. Menurut Al Auzaa’iy yang boleh dilihat adalah bagian-bagian dagingnya.
Akan tetapi hadits-hadits yang datang tidak menentukan bagian mana yang boleh dilihat, bahkan memutlakkan untuk melihat bagian yang jika dilihat tercapai maksud dan tujuan, wallahu a’lam.
Jika setelah melihat wanita itu kemudian ia tidak tertarik, maka hendaknya ia diam dan tidak berkata apa-apa agar si wanita tidak tersinggung, dan mungkin saja orang lain tertarik.
Hal di atas berkaitan dengan cantik dan tidaknya, adapun yang berkaitan dengan akhlaknya, maka ia bisa bertanya kepada orang yang biasa bergaul atau bertetangga dengannya. Jika ada seseorang yang mengetahui lebih jelas tentang wanita itu dimintai penjelasannya, maka wajib baginya menjelaskan apa adanya baik atau buruk akhlaknya dsb. Dan hal ini tidak termasuk ghiibah.
Wanita melihat laki-laki
Sebagaimana laki-laki boleh melihat wanita yang hendak dilamar, wanita pun sama boleh melihat laki-laki yang melamar. Umar berkata, “Janganlah kalian menikahkan puteri kalian dengan laki-laki jelek, karena mereka suka sebagaimana yang disukai laki-laki.”
Bahaya berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang dilamar
Haram hukumnya berdua-duaan dengan wanita yang dilamar, karena wanita tersebut masih belum halal sampai dilangsungkannya akad nikah. Namun jika ada mahramnya boleh berkhalwat, karena tidak mungkinnya terjadi maksiat di hadapannya.
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا ، فَاِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah berdua-duaan dengan wanita tanpa mahramnya, karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Daari ‘Amir bin Rabii’ah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَاِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ إِلاَّ لِمَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad)
Bahaya meremehkan masalah khalwat (berdua-duaan)
Syaikh Sayyid Saabiq berkata, “Banyak orang-orang yang meremehkan masalah ini, sampai ia membolehkan puterinya atau kerabatnya untuk bergaul bersama laki-laki yang melamarnya dan berduaan tanpa pengawasan. Puterinya pergi bersama laki-laki yang meminangnya ke mana laki-laki itu suka tanpa dipantau. Akibatnya wanita tersebut ada yang kehilangan kehormatannya, ‘iffah dan kemuliannya, bahkan terkadang pernikahan tidak jadi di samping gagalnya pernikahan dengannya. Ada juga yang terbalik, sebagian orang yang kolot tidak memberikan kesempatan kepada pelamar untuk melihat puterinya ketika dilamar, mereka menekan pelamar agar ridha menerimanya dan melakukan ‘akad terhadapnya tanpa perlu melihatnya, demikian juga puterinya tidak melihat laki-laki yang melamarnya kecuali pada malam pengantin. Bahkan terkadang melihatnya juga tiba-tiba tanpa ditentukan, akibatnya terjadi pertengkaran dan perselisihan yang tidak diduga-duga sebelumnya. Ada juga orang yang merasa cukup dengan melihat foto, padahal foto itu secara kenyataan tidak menunjukkan sesuatu yang membuat hati tenteram, dan tidak menjamin sama persis dengan keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, yang terbaik adalah yang dibawa oleh Islam, di sana hak masing-masing pasangan diperhatikan dengan bolehnya masing-masing melihat yang lain, dan dengan menghindari khlawat untuk menjaga kemuliaan dan memelihara kehormatan.”
Tidak jadi melamar dan pengaruhnya
Khitbah (melamar) adalah pendahuluan sebelum akad nikah. Setelah itu biasanya disiapkan mahar (mas kawin) penuh atau sebagiannya, juga disiapkan hadiah dan hibah (pemberian) untuk memperkuat hubungan dan ikatan. Terkadang pelamar atau yang dilamar bisa saja tidak jadi atau kedua-duanya sama-sama tidak jadi, lalu bolehkah hal itu? Dan apakah barang yang telah diberikan kepada wanita yang dilamar harus dikembalikan atau tidak?
Jawab: Perlu diketahui, bahwa khitbah hanyalah semata-mata perjanjian untuk menikah, bukan akad yang mesti terlaksana, tidak jadi melanjutkan pernikahan adalah hak masing-masing yang mengikat perjanjian. Syara’ tidaklah menetapkan hukuman atau kaffarat jika perjanjian itu dibatalkan, meskipun hal itu termasuk akhlak tercela, dan menyebut sifat itu yakni ”ingkar janji” sebagai sifat orang-orang munafik, kecuali jika di sana ada darurat dan desakan yang menghendaki untuk tidak dilanjutkan atau tidak dipenuhi janji itu.
Disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَاِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ وَاِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga; apabila bicara berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya mengkhianati.”
Dalam Tadzkiratul Huffaazh disebutkan, bahwa ketika Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma hendak wafat, ia berkata, “Lihatlah si fulan –maksudnya seorang laki-laki dari Quraisy-, sesungguhnya saya pernah berkata kepadanya perkataan yang mirip dengan janji dalam hal puteriku, aku tidak ingin menghadap Allah dengan membawa sepertiga nifak. Aku pun menjadikan kalian saksi bahwa aku menikahkan dia dengannya.”
Oleh karena itu, mahar yang telah diberikan pelamar berhak diambil pelamar, karena ia menyerahkan untuk tujuan menikahinya. Jika pernikahan tidak jadi, maka mahar kembali kepada pemberinya (pelamar). Sedangkan hadiah, maka ia masuk ke dalam hibah, sedangkan hibah tidak boleh ditarik kembali jika sebagai pemberian semata tidak ada niat untuk diganti. Di samping itu, orang yang diberi hibah pada saat menerimanya, barang tersebut menjadi miliknya, ia berhak menggunakannya. Jika yang memberinya menarik kembali, maka sama saja menarik barang milik orang yang diberi itu tanpa keridhaan, ini jelas batil secara syara’ dan ‘akal[3].
Berbeda jika pemberi memberikan hibah agar diberi ganti dan dibalas, lalu ternyata yang diberi tidak membalas, maka pemberi berhak menarik hibahnya. Sehingga jika pelamar memberikan hibah kepada pihak yang dilamar agar diganti, lalu ternyata pernikahan tidak jadi, maka pelamar berhak menarik kembali pemberiannya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً ، أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيْهَا ، إِلاَّ الْوَالِدُ فِيْمَا يُعْطِيْ وَلَدَهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang memberikan suatu pemberian atau suatu hibah lalu menarik lagi, kecuali pemberian ayah kepada anaknya.” (HR. Para pemilik kitab sunan, dan dishahihkan oleh Al Albani)
اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang yang menarik kembali muntahnya.” (HR. Para pemilik kitab sunan, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Cara menggabung hadits-hadits di atas adalah seperti yang disebutkan dalam I’laamul Muwaqqi’iin sbb.:
“Pemberi yang tidak halal menarik kembali pemberiannya adalah pemberi yang memberikan dengan tujuan semata-mata memberi, tidak agar diganti (pemberiannya), sedangkan pemberian yang berhak ditarik adalah pemberian dengan tujuan agar diganti (dibalas pemberiannya), jika ternyata yang diberi tidak melakukannya. Demikianlah sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diberlakukan semuanya, sebagiannya tidak bertentangan dengan yang lain.”
Pendapat para fuqaha (ahli fiqh)
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, bahwa yang diberikan pelamar kepada wanita yang dilamarnya berhak ditarik jika barang tersebut belum berubah. Oleh karena itu, gelang, cincin, jam dan sebagainya dikembalikan kepada pelamar jika masih ada. Namun jika tidak tetap seperti sebelumnya –yakni berubah- seperti karena hilang, terjual, berubah menjadi bertambah atau berupa makanan ternyata sudah dimakan atau berupa kain ternyata sudah dibuat pakaian, maka pelamar tidak berhak menarik pemberian atau hadiah itu dan tidak berhak meminta ganti terhadapnya.
Madzhab Hanafi ini dipakai oleh Mahkamah Syar’i (Pengadilan agama) Tingkat I Thantha yang menetapkan beberapa ketetapan berikut pada tanggal 13 Juli 1933 M:
1.     Yang diberikan pelamar kepada wanita yang dilamar, yang bukan untuk akad, maka dianggap hadiah.
2.     Hadiah seperti hibah, secara hukum maupun makna.
3.     Hibah adalah akad kepemilikan, yang menjadi milik penerima ketika menerimanya. Bagi yang menerima berhak menggunakan barang tersebut baik dengan menjual, membeli dsb. Dan tindakannya ini diberlakukan.
4.     Hilangnya barang atau rusaknya menghendaki untuk tidak boleh menarik kembali barang itu.
5.     Pemberi berhak meminta dikembalikan barang yang diberikan jika masih utuh.
Namun menurut ulama madzhab Maliki bahwa dalam hal ini ada perincian, yakni sebab tidak jadi melanjutkan akad nikah itu dari pihak siapa; laki-laki atau wanita. Jika dari pihak laki-laki, maka tidak berhak menarik kembali hadiah yang diberikan, namun jika dari pihak wanita, maka laki-laki berhak menarik kembali hadiahnya baik masih utuh maupun tidak utuh. Jika tidak utuh, diganti kecuali jika ‘urufnya (kebiasaan yang berlaku) tidak demikian atau sebelumnya telah membuat syarat, maka sesuai ‘uruf atau syarat tersebut.
Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i, bahwa hadiah itu tetap dikembalikan baik masih utuh atau tidak, jika masih utuh dikembalikan barangnya, namun jika sudah tidak utuh, maka diganti dengan yang senilainya.
Di antara pendapat-pendapat di atas, kami lebih memilih pendapat yang diterangkan oleh Ibnul Qayyim di atas dalam I’laamul Muwaqqi’innya. Wallahu a’lam.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), dll.


[1] Khitbah artinya permintaan untuk menikahi wanita dengan sarana yang sudah dikenal di masyarakat. Jika sudah terjadi kecocokan maka hal ini berarti tinggal menentukan kapan akad nikah dilangsungkan, dan si wanita masih tetap ajnabiy (bukan mahram) sampai dilakukan ‘akad nikah, bagi laki-laki lain tidak boleh melamar wanita itu karena sudah dilamarnya.
[2] Ada yang mengatakan bahwa mata orang-orang Anshar itu kecil (sipit), dan ada yang mengatakan bahwa pandangan mereka lemah mudah mengalirkan air mata.
[3] Lihat I’laamul Muwaqqi’iin Juz. 2 hal. 50

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE