Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Tanya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya. Tampilkan semua postingan
pertanyaan:
Ustad, menurut ustad hadits dloif itu boleh diamalkan nggak?

Jawab:
Para ulama berbeda pendapat apakah boleh mengamalkan hadits dloif dalam fadlilah amal atau tidak?
Sebagian ulama berpendapat boleh, bahkan imam Nawawi mengklaim adanya ijma'. Namun klaim tersebut tidak benar karena perselisihan dalam masalah ini masyhur.

Alasan mereka adalah kehati hatian, karena perawi yang lemah terkadang benar dalam periwayatannya.

Namun al hafidz ibnu Hajar dalam kitab tabyiinul ajab berpendapat bahwa pendapat yang membolehkan harus diberikan tiga syarat:
1. Tidak boleh sangat lemah.
2. Tidak boleh diyakini kesunnahannya.
3. Tidak boleh dimasyhurkan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dloif tidak boleh diamalkan.
Alasannya bahwa hadits dloif memberi keraguan di hati. sedangkan Nabi memerintahkan kita untuk meninggalkan sesuatu yang meragukan.
dan ini adalah pendapat imam Bukhari dan Muslim.
Inilah pendapat yang kuat. Karena hadits yang dlof hanya menghasilkan dzon yang lemah, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:yang artinya :

Jauhi olehmu dzonn, karena dzonn adalah sedusta dusta perkataan. (HR Bukhari).
Soal :Apa syarat-syarat diterimanya amal itu?
Jawab:
Syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah ada tiga macam:
1. Beriman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih bagi mereka surga Firdaus menjadi tempat tinggalnya." (Al-Kahfi: 107)
Dan Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Katakan aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah." (HR.Muslim)
2. Ikhlas, yaitu beramal karena Allah dan tidak ingin dilihat orang atau didengar.Allah berfirman:a
"Beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan pada-Nya." (az-Zumar:2)
3. Sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.Firman Allah:
"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (al-Hasyr: 7)
Dan Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak. (HR.Muslim)
Pertanyaan:
Assalamu alaikum,
Ana mau minta tolong sama Ustadz,karena anak ana sudah berusia 7 tahun dan rencananya dalam bulan ini akan dikhitan, dan pertanyaan ana bagaimana tata cara menurut sunnah dalam khitanan?

Dan bagaimana hukumnya apabila diadakan acara seperti kebiasaan yang berlaku dimasyarakat saat ini yaitu mengundang tetangga untuk menghadiri acara itu?,apakah ini terkena dalil menyembelih bukan atas nama Alloh?.
Mohon jawaban secepatnya dari Ustadz.

Jazakallo khoir,
Wassalamu alaikum.

Batam, 08 September 2002
Pertanyaan:
Saya masih kuliah semester 4,kedokteran dan sudah berhasrat untuk menikah, tapi yang jadi masalah kuliah saya masih lama dan kemungkinan untuk mencari nafkah belum ada bayangan.
Dan saya sudah merasa wajib untuk nikah.bagaimana solusinya?

Semarang, 19 Agustus 2002

Pertanyaan:
Saya masih kuliah semester 4,kedokteran dan sudah berhasrat untuk menikah, tapi yang jadi masalah kuliah saya masih lama dan kemungkinan untuk mencari nafkah belum ada bayangan.
Dan saya sudah merasa wajib untuk nikah.bagaimana solusinya?

Semarang, 19 Agustus 2002

-------------------------------------------------------
Oleh : Abu & Ummu Hisyam al-Kadiri
Dan adapun terhadap nikmat-nikmat dari Robb-mu, maka ceritakanlah.
(QS. adh-Dhuha [93]: 11)

*******
Sebagai seorang hamba yang amat fakir dan sangat membutuhkan pertolongan-Nya kami takut tertimpa riya’, ujub atau bangga diri. Akan tetapi, sebagai hamba yang senantiasa diberi curahan nikmat oleh Alloh , limpahan rezeki-Nya, petunjuk dan hidayah-Nya, pertolongan dan belas kasih-Nya; maka kami akan ceritakan salah satu nikmat tersebut.
Impian yang indah adalah sebuah kenikmatan, lebih-lebih jika impian itu menjadi kenyataan. Sekitar empat tahun silam kami bercita-cita untuk tholabul ilmi (menuntut ilmu agama) dengan lebih intensif, yaitu dengan ‘mondok’ di sebuah pesantren. Sebenarnya jauh sebelumnya keinginan itu sudah ada, sebab kami menyadari betapa bodohnya diri ini terhadap dienulloh (agama Alloh) yang agung ini.
Kami (ana dan juga istri) dilahirkan bukan dari lingkungan yang agamis apalagi salafi. Masa muda kami habis untuk mempelajari pelajaran yang sekarang kurang kami rasakan manfaatnya, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Namun alhamdulillah, segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam, Alloh berkehendak untuk memberi hidayah kepada kami. Kami mengenal salafi ketika kami sudah memiliki dua anak. Kami ikuti kajian salaf dari masjid ke masjid dan membaca buku-buku bernuansa Islami. Betapa kami telah menemukan keagungan dan keindahan Islam yang sempurna ini, dan kami merasa semakin bodoh dan fakir dalam ilmu dien ini. Terbayang dalam pikiran seandainya masa muda bisa kembali, kan ku pelajari semua ilmu dien ini.
Tapi, tiada yang perlu disesali. Ilmu bukanlah hak kaum muda saja, kami terus berusaha tholabul ilmi semampunya sambil mengurus keluarga. Impian untuk bisa intensif belajar agama seperti ketika mempelajari pelajaran umum di bangku sekolah dulu tidak bisa terhapus dalam benak ini. Tapi apa hendak di kata, anak sudah empat, dengan bekerja pagi-sore saja penghasilan pas-pasan untuk biaya pendidikan anak-anak. Bagaimana lagi jika mondok???
Do’a. Ya, do’a. Itulah senjata paling handal seorang muslim. Kami meminta kepada Dzat yang Mahakaya dan Maha Berkehendak. Setelah itu alhamdulillah, Alloh ilhamkan kepada kami sebuah ide bagus untuk merealisasikan impian kami itu. Apa gerangan?
Syirkah (persekutuan/kerjasama antara pemodal dengan pengelola). Kami mengajak dua orang semanhaj yang bercita-cita sama untuk membangun sebuah bisnis atau syirkah, yang nantinya bila sudah dapat dipetik hasilnya akan kami gunakan untuk membiayai secara bergantian salah satu keluarga di antara kami untuk mondok sekeluarga dengan biaya sepenuhnya oleh perusahaan tersebut.
Kenapa kami memilih cara ini? Dengan syirkah kita akan lebih selamat dan hati-hati, tidak sembarangan dalam memakai uang karena bukan milik pribadi. Selain itu, memungkinkan bagi kita untuk saling bergantian dalam mengelola usaha maupun dalam tholabul ilmi nantinya. Di sisi lain, kita akan dapat lebih sabar dan ulet dalam menjalankan usaha terutama saat-saat krisis di awal-awal usaha. Kita tanggung bersama suka dan duka.
Tekad semakin bulat. Dengan modal yang amat kecil kami bertiga merakit bisnis. Mengingat kami masih awam dalam dunia usaha, maka kami beli buku-buku dan majalah-majalah bisnis untuk bekal awal. Selain itu, kami juga sering mendatangi pengusaha-pengusaha yang sukses untuk berkonsultasi.
Awalnya bisnis kami mengalami kebangkrutan, kemudian dengan pertolongan-Nya, Alloh ilhamkan kepada kami sebuah bisnis kecil tetapi berpotensi besar untuk berkembang dan keuntungannya cukup besar.
Bulan berganti bulan, alhamdulillah bisnis kami berkembang pelan tapi pasti. Menginjak tahun ketiga (2007), setelah dihitung-hitung, ternyata laba bulanan perusahaan sudah cukup untuk membiayai satu keluarga untuk tholabul ilmi walaupun dengan standar hidup sederhana. Kami bicarakan rencana kami untuk mondok dengan anak-anak, awalnya mereka ragu karena khawatir pendidikannya tidak bisa berlanjut karena Abahnya (Bapaknya) mondok, tidak bekerja. Kami yakinkan bahwa Alloh Mahakaya, mampu memberi rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Alhamdulillah, mereka bisa menerima dan mau bersiap-siap untuk hidup lebih sederhana, bahkan sempat menghadiahkan untuk kami buku kecil yang berjudul ‘Perjalanan Ulama dalam Menuntut Ilmu’ karya Abu Anas Majid al-Bankani, buku yang sangat berkesan bagi kami waktu itu dan semakin membuat bulat tekad kami untuk segera memulai rihlah (menempuh jalan) untuk tholabul ilmi.
Akhirnya kami pun berangkat sekeluarga, meninggalkan kampung halaman. Rumah idaman yang telah kami bangun untuk sementara kami tinggalkan, menuju pondok pesantren al-Furqon, Gresik. Kami mulai dengan mengikuti dauroh (Kajian Khusus) Bahasa Arab tahun 2007, padahal anak kami yang kedua telah mengikuti dauroh yang sama pada tahun 2006 dengan kelas/tingkatan yang sama pula.
Awalnya terasa agak aneh juga. Kami duduk sebangku dengan anak-anak yang usianya di bawah 20 tahunan, seusia dengan anak kami. Tapi masya Alloh, rasa nikmat mendapat ilmu dien tidak bisa kami lukiskan, bahkan membuat kami merasa benar-benar ‘seperti muda’. Kesulitan fisik yang ada, yaitu adaptasi dengan tempat tinggal yang baru, rumah yang lebih kecil, perabot yang lebih sederhana, pola hidup yang lebih sederhana dan kondisi air yang kurang bersahabat dengan kulit anak dan istri, seperti tidak terasa karena saking besarnya kenikmatan yang Alloh berikan itu.
Subhanalloh, sungguh kenikmatan menuntut ilmu agama di usia tua ini sulit kami gambarkan. Ibarat orang yang sudah lama menunggu datangnya kekasih, lalu tibalah saat perjumpaan. Hari-hari indah penuh makna kami jalani. Taman-taman bunga dari majelis ilmu kami singgahi.
Tambahnya ilmu pengetahuan dienulloh yang murni ini, kenikmatannya tiada tara, belum pernah kami merasakan kenikmatan seperti ini sebelumnya, tidak seperti makanan yang jika kita makan setiap hari akan bosan, tidak pula seperti baju baru yang jika kita pakai setiap hari akan lusuh. Sungguh, kami katakan, “Seseorang tidak akan dapat merasakan cita-rasa lezatnya agama yang suci ini dengan tanpa mengambilnya dari sumber-sumber aslinya yang berbahasa Arab”.
Kini, alhamdulillah anak dan istri juga ‘nyantri’ semua, tholabul ilmi syar’i. Dan kami ingin tetap dalam jalan tholabul ilmi hingga maut menjemput, insya Alloh. Dan insya Alloh tahun ajaran baru mendatang salah satu rekan syirkah kami sekeluarga akan menyusul kami, karena alhamdulillah usaha kami kini sudah cukup untuk membiayai dua keluarga. Dan semoga rekan kami yang ketiga juga bisa segera menyusul.
Segala puji bagi-Mu, ya… Alloh, atas segala nikmat-Mu yang tak kan mampu kami hitung. Semoga Alloh juga akan memberikan kesempatan kepada Anda, para pembaca al-Mawaddah, untuk dapat menuntut ilmu syar’i dengan washilah (perantara) bisnis syirkah Anda bersama rekan seiman. Amin.
SOAL:
Assalamu’alaikum. Apakah boleh seorang janda tanpa anak memilih calon suaminya sendiri? Dan apakah boleh ia menikah dengan berwali hakim (ayahnya masih hidup) apabila orang tua tidak setuju dengan calon suaminya?
(Ummu V, Bumi Alloh, 085249xxxxxx)

JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.
Janda berhak memilih pasangan hidupnya bila pilihannya baik menurut agama Islam. Tapi bila pilihannya tidak baik menurut syari’at Islam, orang tua atau wali berhak melarangnya. Begitu pula orang tua tidak boleh memaksa putrinya yang janda menikah dengan pilihannya, apabila putri jandanya itu tidak menyenanginya.
Dari Khonsa’ binti Khidam al-Anshori berkata: Bahwa ayahnya menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disenanginya sementara dia janda, lalu dia datang kepada Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membatalkan pernikahannya. (HR. al-Bukhori 7/23)
Meskipun janda punya hak pilih, dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali yang sah. Dari Abu Huroiroh Radhiyallaahu ‘anhuRosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita yang lain, tidak boleh pula menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya wanita pezina ialah yang menikahkan dirinya sendiri.” (Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Ibnu Majah 1/317)
Jika seorang janda menyenangi laki-laki yang menurutnya agamanya baik tapi orang tua tidak setuju, maka hendaknya dimusyawarahkan dengan keluarganya atau mengadukan perkaranya kepada wali hakim untuk segera diselesaikan. Wallohu a’lam.
Pengasuh : al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, ana mau tanya. Apakah berdosa bila seorang istri menolak ajakan suami berjima’ karena sedang capai dan mengantuk, karena suami terlalu sering mengajak berjima’ sehingga memforsir tenaga istri? Mohon nasihat Ustadz. Syukron.
(Fulanah, Bumi Alloh, 08564754xxxx)

JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh. Ukhti! suami yang selalu mengajak istrinya untuk berhubungan menunjukkan bahwa dia sayang kepadanya. Kebutuhan suami terhadap istri memang sangat besar sehingga hendaknya ukhti menyadari hal itu, apalagi wanita yang usianya masih muda setiap bulannya ada waktu haid, dan juga setelah melahirkan butuh ‘cuti’ dari suaminya selama kurang lebih 40 hari karena suami dilarang menggaulinya. Belum lagi bila istri sakit atau ada udzur lain, dan juga suami yang sering keluar rumah karena mencari nafkah dan sebab-sebab yang lainnya. Jika ukhti menolak permintaannya karena capai atau mengantuk, sedangkan suami hanya punya satu istri, maka kesalahan ada di pihak istri, karena suami tidak boleh melampiaskan kesenangannya kecuali kepada istri atau budaknya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 6.

(6). إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Selanjutnya bagaimana seharusnya istri bila diajak oleh suaminya. Perhatikan hadits di bawah ini.

Dari Tholqu bin Ali Rosululloh bersabda:
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul maka hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387, dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohihut-Targhib: 2/199)

Dari Abu Huroiroh Rosululloh bersabda:
“Tidak halal bagi wanita berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhori: 16/199)
Dari Abu Huroiroh Rosululloh bersabda:

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, maka malaikat melaknatnya sampai waktu Shubuh.” (HR. Bukhori: 11/14)

Apabila seseorang datang untuk sholat, dan ia mendapati imam sedang ruku’ lantas ia ruku’ bersama imam, dan tidak membaca fatihah, apakah sholatnya sah. Karena saya mendengar bahwasanya tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca fatihah?



السؤال : إذا جاء الرجل للصلاة ووجد الإمام راكعًا وركع معه ولم يقرأ الفاتحة فما صحة هذه الصلاة . لأني سمعت بأنه لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب ؟


الجواب : من جاء والإمام في الركوع فإنه يكبر تكبيرة الإحرام وهو واقف ، ثم يكبر للركوع ويركع مع الإمام ويكون مدركًا للركعة ولا تلزمه قراءة الفاتحة في هذه الحالة ، لأنها فات محلها وصلاته صحيحة ؛ لأن محل قراءة الفاتحة هو القيام وقد فات ، فإذا أدرك الإمام راكعًا وركع معه فإنه يكون مدركًا للركعة وصلاته صحيحة إن شاء الله ، والدليل على ذلك أن أبا بكرة رضي الله عنه جاء والنبي صلى الله عليه وسلم في الركوع فدخل معه في الركوع ، ولم يأمره النبي صلى الله عليه وسلم بقضاء تلك الركعة بل قال : زادك الله حرصًا ولا تعد لأنه كان لما أقبل إلى الصف أسرع وكبر قبل أن يصل إلى الصف ثم دخل في الصف ، فالنبي صلى الله عليه وسلم نهاه عن السرعة .

فإذا جاء والإمام راكع فليأت بطمأنينة وهدوء كما قال النبي صلى الله عليه وسلم : إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم بالسكينة والوقار ولا تسرعوا ، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا وفي رواية واقض ما سبقك فالذي أنكره عليه إنما هو السرعة فقط ولم يأمره بإعادة الركعة التي أدركها معه ، فدل على أن من أدرك الإمام في الركوع وركع معه فإنه يكون مدركًا للركعة ، وهذا الذي سمعته من بعض الناس قول مرجوح لبعض العلماء والصحيح ما ذكرناه والله أعلم .

وأيضًا قوله : لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب فهذا للإمام والمنفرد ، أما المأموم فينصت لقراءة إمامه إذا جهر لقوله تعالى : وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ فالمأموم يقرأ الفاتحة في سكتات إمامه ، أما إذا جهر الإمام فإنه يجب على المأمومين الإنصات والاستماع للقرآن ؛ لأن قراءة الإمام قراءة للجميع .


المصدر : الموقع الرسمي لفضيلة الشيخ الفوزان


Soal :

Apabila seseorang datang untuk sholat, dan ia mendapati imam sedag ruku’ lantas ia ruku bersama imam, dan tidak membaca fatihah, apakah shoalatnya sah. Karena saya mendengar bahwasanya tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca fatihah?


Jawab :

Siapa saja yang datang (untuk sholat) sementara imam dalam keadaan ruku’ maka ia harus bertakbiratul ihram dalam keadaan tegak berdiri, kemudian ia bertakbir untuk ruku’ dan ia ruku’ bersama imam. Maka ia telah mendapatkan satu rakaat dan tidak wajib baginya membaca fatihah dalam keadaan ini, karena ia telah kehilangan tempat/waktu untuk membaca fatihah, Dan shalatnya pun Sah. Karena tempat membaca fatihah adalah dalam keadaan berdiri, dan dalam keadaan seperti ini ia tidak mendapatinya. Maka bila ia mendapati imam ruku kemudian ia ruku bersama imam, maka sungguh ia telah mendapati satu rakaat dan shalatnya sah, Insya Allah. Dan dalilnya adalah, Bahwa Abu Bakrah radhiallohu ‘anhu datang untuk sholat sementara Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam sedang ruku, maka iapun ruku, dan Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam tidak menyuruhnya mengulangi rakaatnya itu, akan tetapi Beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

زادك الله حرصًا ولا تعد

“Semoga Alloh menambahkan semangatmu dan janganlah engkau ulangi lagi.” [HR. Abu Daud dan lain-lain dalam Ash-shohihah Al-Albany][1]

Karena ia (ruku) tidak didalam shaf karena terburu-buru dan bertakbir sebelum berada dalam shaf kemudian baru ia masuk kedalam shaf, maka nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam melarangnya dari tergesa-gesa.


Maka apabila datang seseorang sementara imam dalam keadaan ruku, hendaklah ia datang dengan tenang dan santai sebagaimana sabda Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam,


إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم بالسكينة والوقار ولا تسرعوا ، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا وفي رواية واقض ما سبقك


“Apabila kalian mendengar Iqamah maka berjalanlah untuk sholat dengan tenang dan biasa/santai dan janganlah kalian tergesa-gesa, Maka apa yang kalian dapati, kerjakanlah dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.” dalam riwayat lain “kerjakanlah apa yang tertinggal”


Maka inilah hadits larangan tergesa-gesa, dan ia tidak memerintahkan untuk mengulangi rakaat yang ia dapati bersama imam. Maka ini menunjukkan bahwa barangsiapa mendapati imam dalam keadaan ruku’ dan seseorang ruku beserta imam, maka sungguh ia mendapati satu rakaat. Dan yang kamu (tanyakan) dengar dari pendapat sebagian manusia itu adalah pendapat yang Marjuh (lemah) diantara sebagian ulama, dan yang shohih (kuat) adalah apa yang telah aku sebutkan. Wallohu A’lam.


Dan Sabdanya (Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam); “Tidak ada sholat bagi siapa yang tidak membaca fatihah”, maka ini adalah ditujukan bagi Imam dan Munfarid (orang yang sholat sendiri). Adapun bagi makmum maka hendaklah ia diam untuk mendengar bacaan imamnya apabila ia menjiharkan bacaannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan bila dibacakan AlQuran maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang dirahmati.” Maka makmum hanya boleh membaca fatihah dalam saktah (tempat-tempat berhenti) imamnya. Adapun jika imam menjaharkan (menyaringkan bacaannya) maka wajib bagi seluruh makmum untuk diam dan mendengar bacaan alquran, karena bacaan imam adalah bacaan untuk seluruh makmum.


Sumber : Website Resmi Fadhilatus Syeikh Alfauzan.

[1] Dari hadits Abu Bakrah. bahwa Abu Bakrah datang, namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah ruku’. Lalu Abu Bakrah pun ruku’ sebelum mencapai shaf dan berjalan menuju shaf. Ketika beliau Rasul telah menyelesaikan shalatnya. beliau bertanya: “Siapa di antara kalian yang ruku’ sebelum mencapai shaf lalu berjalan menuju shaf?” Abu Bakrah menjawab: “Saya wahai Rasul.”, Beliau pun bersabda:

٢٣٠ - زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدَّ

“Semoga Allah menamhahkan semangat tinggi padamu. Dan jangan kamu ulangi.”
Syeikh AbdulAziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullohu ta’ala- ditanya tentang hadits yang berbunyi,
لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

“Tidak ada sholat bagi tetangga masjid kecuali ia sholat di masjid”

Apakah ini termasuk hadits shohih atau perkataan ma’tsur (atsar sahabat)? Sementara kalimat tersebut sangat tegas (memberatkan), padahal agama ini adalah agama yang mudah dan tidak sulit/memberatkan. Apa pendapat syeikh dalam masalah ini?
Jawab Syeikh,

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

Lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ad-Daruquthniy, Al-Hakim, At-Thabraniy dan Ad-Dailamiy yang kesemuanya dengan sanad yang dhoif/lemah yang disandarkan kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam. Bahkan Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolaniy berkata :

ليس له إسناد ثابت وإن اشتهر بين الناس

“Hadits tersebut tidak memiliki sanad yang tsabit, walaupun hadits ini masyhur dikalangan manusia”

Para Ahli Ilmu sepakat menilai bahwa hadits tersebut dhoif. Dan jika dikerjakan sholat itu dirumah maka sholatnya sah, dan makna hadits tersebut adalah tidak “sempurna” sholat bagi tetangga masjid kecuali dimasjid.
Sungguh telah banyak hadits-hadits shohih yang menjelaskan sahnya sholat sendiri akan tetapi ia berdosa jika tanpa udzur syar’I meninggalkan sholat berjamaah dimasjid. Karena sholat berjamaah bersama kaum muslimin adalah wajib sebagaimana hadits yang lain seperti sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam,

من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر

“Barang siapa mendengar panggilan (adzan) namun tidak memenuhinya, maka tidak ada sholat baginya kecuali ada udzur.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya bab Sholat (551), Ibnu Majah dalam sunannya bab Masjid dan Jama’ah (793), Ad-Daruquthniy, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, sanadnya sesuai syarat Muslim.

Juga sebagaimana sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam kepada seorang yang buta, yang memohon idzin kepada nabi untuk sholat dirumahnya karena ketiadaan orang yang mau menuntunya kemasjid. Rasululloh bersabda, “Apakah engkau mendengar adzan?” maka orang itu menjawab, “ya”, lantas nabi mengatakan, “maka wajib (menghadiri panggilan adzan).” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab Masjid dan tempat sholat (653), dan An-Nasa’i dalam sunannya bab Imamah (850).
Aku berwudhu sementara aku lupa membaca basmalah, dan aku mengingatnya setelah membasuh kedua tangan. Dan setiap kali aku ingat bahwa aku lupa membaca basmalah, maka aku mengulangnya kembali dari awal, bagaimana hukum permasalahan ini?


Jawab : Jumhur ulama telah berpendapat tentang shah-nya wudhu tanpa membaca basmallah. Dan telah berpendapat sebagian ulama bahwa wajib hukumnya membaca basmallah jika ia mengetahuinya dan mengingatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

لا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه

“Tidak ada wudhu bagi siapa yang tidak membaca nama Alloh / Basmallah saat itu.”

Akan tetapi, meninggalkan membaca basmallah karena lupa atau ketidaktahuan maka wudhu’nya shah, dan tidak diwajibkan mengulangi wudhu’nya tersebut walaupun kami berpendapat tentang wajibnya membaca basmallah ketika hendak wudhu’. Hal ini dikarenakan udzur yang ada, berupa ketidaktahuan dan kelupaan.

Dan hujjah dalam masalah ini adalah firman Alloh Ta’ala

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah. [QS. Albaqarah : 286]

Dan telah shohih dari Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bahwa

أن الله سبحانه قد استجاب هذا الدعاء

Sesungguhnya Alloh Subhanahu telah mengabulkan do’a ini.

Dan dengan demikian, bahwa jika kamu lupa membaca basmalah pada awal berwudhu’, kemudian dipertengahan wudhu’mu, maka hendaklah kamu membaca basmalah saat itu. Dan tidak wajib kamu mengulangi wudhu’mu dari awal. Karena saat itu kamu mendapat keudzuran, yakni karena lupa. waffaqallohul jami’.


Dijawab oleh Asy-Syeikh AbdulAziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullohu-

Sumber : http://binbaz.org.sa/mat/2213

SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, apa batasan seorang istri boleh mengajukan khulu’ (gugatan cerai)? Bagaimana apabila istri ditinggal suami tanpa diberi nafkah?
(Abu M, Gresik, 085852xxxxxx)
JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.
Khulu’ adalah talak yang diucapkan suami kepada istri atas permintaannya, disertai pembayaran dari pihak istri.
Khulu’ bisa diajukan oleh istri bila istri membenci suaminya, baik karena hubungan keduanya tidak harmonis, akhlak suami jelek, istri takut berdosa dengan meninggalkan haknya, istri membenci perangai suami karena meninggalkan perintah agama, seperti suami meninggalkan sholat, tidak menjaga harga diri, atau karena sebab-sebab syar’i lainnya. Dalam keadaan seperti ini, suami disunnahkan menerima pengajuan khulu’ dari istrinya. Bahkan istri wajib meminta pisah dari suami bila memang suami tidak mau dinasihati. (Mukhtashor al-Fiqhil Islami 1/1034)
Adapun masalah yang dialami penanya di sini bukanlah khulu’, tetapi suatu keadaan istri yang ditinggal pergi oleh suaminya tanpa nafkah dan tanpa kabar. Dalam keadaan seperti ini, istri hendaknya segera pergi dengan mahromnya ke Departemen Pengadilan Agama setempat untuk mendapat penjelasan dan keputusan yang jelas pula. Sebab dialah yang berhak memutuskan sebagai ganti suami dalam keadaan seperti ini. Wallohu a’lam.
[ Oleh: Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron ]

SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, bolehkah seorang suami meninggalkan istrinya untuk bekerja selama dua tahun ke luar negeri? Bagaimana dengan hadits tentang seorang wanita yang mengeluh kepada Rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalam ketika ditinggal jihad oleh suaminya? Jika hal ini dibolehkan, bagaimana tentang hak anak-anaknya yang membutuhkan pendidikan dari ayahnya? Ana bingung, manakah yang kuat dalilnya, Ustadz? Syukron.

(Abu Zaky, Karawang, +628138361xxxx)
JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.
Menurut asal, ketika seseorang telah menikah ia wajib menafkahi istrinya baik lahir maupun batin dan wajib mendidik istri dan anak-anaknya dengan pendidikan yang baik, dalilnya:
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. an-Nisa’ [4]: 19)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Alloh kepadanya. (QS. at-Tholaq [65]: 7)
Adapun tentang suami yang meninggalkan istrinya untuk bekerja selama dua tahun di luar negeri maka dilihat dulu duduk masalahnya; apabila istrinya ditinggal dalam keadaan aman, seperti tinggal di rumah mertuanya atau bersama ibunya di rumah, di sisi lain (dalam keadaan darurat) suami harus mencarikan nafkah untuk istri dan anaknya, maka boleh. Sebab dia meninggalkan istri untuk perkara yang wajib, mencari nafkah. Adapun dalil tentang larangan meninggalkan keluarga lebih dari 4 bulan, yaitu firman Alloh Shubhanahu wa Ta’ala:
Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak menggauli istrinya) diberi tangguh hingga empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqoroh [2]: 226)
adalah dalil yang berhubungan dengan orang yang sengaja bersumpah untuk tidak menggauli istrinya. Jadi, tidak tepat bila dalil tersebut digunakan untuk masalah di atas.
Ada orang yang bertanya kepada Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : ‘Al-Qur’an memberi batasan waktu bahwa suami boleh meninggalkan istrinya selama empat bulan. Akan tetapi saya punya ikatan kerja, tidak ada libur bagiku kecuali setelah satu tahun, bahkan terkadang lebih dari itu sesuai dengan tugas yang ada, bagaimana hukumnya?’
Beliau menjawab: “Pertama, perkataan penanya bahwa al-Qur’an memberi batasan waktu kepada suami bahwa ia tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan adalah (perkataan yang) salah. Tak ada satu pun ayat yang menerangkan demikian. Tetapi al-Qur’an membolehkan kepada suami yang bersumpah untuk tidak menggauli (menyetubuhi) istrinya dengan batas waktu maksimal 4 bulan, berdasarkan surat al-Baqoroh ayat 226 [baca ayat di atas].
Adapun tentang suami yang meninggalkan istrinya (maka dilihat dulu), jika wanita itu ridho maka tidak mengapa suami meninggalkannya selama 4 bulan, 6 bulan, satu tahun, atau dua tahun, dengan syarat istrinya aman di negeri yang ia tinggalkan dan ridho atas kepergiannya mencari rezeki. Adapun apabila istri yang ditinggalkan tidak merasa aman maka tidak boleh suami pergi dalam keadaan istrinya tidak aman. Dan apabila istri yang ditinggalkan itu dalam keadaan aman namun tidak ridho ditinggal lebih dari 4 atau 6 bulan sesuai keputusan hakim di negerinya, maka suami tidak boleh meninggalkannya tapi hendaknya menggauli istrinya dengan baik.” (Majmu’ Durus wa Fatawa al-Harom al-Makki, Ibnu Utsaimin 3/270)
Adapun maksud hadits di atas adalah karena wanita itu merasa kesepian ditinggal oleh suaminya dan membutuhkan kasih sayangnya, maka Rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalam menyuruhnya pulang. Wallohu a’lam.
Adapun tentang pendidikan anak, maka hendaknya istri mendidik anaknya dengan baik sesuai kemampuan. Sebab tatkala suami tidak ada di rumah, istrilah yang bertanggung jawab atas pendidikannya.
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita itu pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori 3/414)
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Pria mendapatkan istri-istri bidadari di Surga, lalu wanita mendapatkan apa?

Jawaban:
Para wanita akan mendapatkan pria ahli Surga, dan pria ahli Surga lebih afdhal dari pada bidadari. Pria yang paling baik ada di antara pria ahli Surga. Dengan demikian, bagian wanita di Surga bisa jadi lebih besar dan lebih banyak daripada bagian pria, dalam masalah pernikahan. Karena wanita di dunia juga (bersuami) mereka mempunyai beberapa suami di Surga. Bila wanita mempunyai 2 suami, ia diberi pilihan untuk memilih di antara keduanya, dan ia akan memilih yang paling baik dari keduanya
Pertanyaan:
Sebagai muslimah, mana yg harus saya dahulukan? nikah atau thalabul 'ilmi. masalahnya usia ana sudah 22 tahun sedang ana baru setahun mengenal salaf dan di kota ana kurang ikhwan bahkan tidak ada. karena ana sudah ingin nikah.


------------------------------------------------

Jawaban:
Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah wa ba'du :
Bagaimana tentang hukum warna pakaian muslimah. karena yg saya tahu bahwa rata2 akhwat yg ngaji di salaf memakai pakaian warna gelap seperti hitam, dongker dan cokelat. apa warna2 tersebut merupakan yg disunnahkan? terus, apa sama hukumnya memakai kaus kaki dengan kaus tangan?
**************************************
Jawaban:
Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah wa ba'du :

Sepengetahuan saya, tidak ada hadits yang menentukan warna tertentu bagi pakaian wanita, para wanita anshor lebih suka memakai warna hitam, sehingga diterangkan dalam hadits Aisyah, seakan-akan mereka seperti kepala burung gagak. Karena mereka memakai pakaian hitam.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE