Tentu, rumah tangga bahagia yang bergelar baiti jannati, rumahku adalah surgaku, memiliki harga mati yang wajib kita beli: yakni seharga iman dan kepatuhan kita kepada Allah.
Segala kaidah, petuah, rumus dan kiat-kiat yang berhulu
dari olah logika manusia, tak akan bisa menghantarkan pasutri kepada
kebahagiaan hakiki. Tanpa kepatuhan kepada Allah, tanpa ketaatan pada
syariat yang MahaPencipta, manusia hanya akan menjadi perusak bagi
dirinya sendiri, dan bagi siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk
keluarga, anak, isteri atau suami.\
Bisa jadi, kerusakan itu tak terlihat. Bisa jadi orang
banyak menganggap mereka sebagai sosok keluarga bahagia. Bisa jadi,
seolah-olah mereka adalah keluarga yang layak diteladani dalam segala
hal. Selama mereka jauh dari agama Allah, selama itu pula mereka menjadi
contoh manusia yang membahayakan diri dan orang lain.
Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:
Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga
senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan
keinginginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak
mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan
kemarahan pasangan senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang
paling menakutkan. Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan
mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya
kepada Allah.
Padahal, Nabi Muhammad SAW bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ
بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
“Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan
hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allahpun akan
meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya. Siapa saja yang
mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah,
pasti Allahpun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru
akan membencinya[1].”
Saat mencari keridhaan orang lain dengan konsekuensi
kemurkaan Allah, maka seseorang akan menjadi budak sesamanya. Kekuatan
Allah tidak pernah mengisi hatinya, sementara kemurkaan orang lain akan
menjadi Neraka buat dirinya.
Maka, lihatlah suami yang begitu takut pada kemarahan
isteri, atau isteri yang begitu khawatir terhadap kemarahan suami, lalu
mereka melakukan apa saja demi menghindari kemarahan tersebut. Mereka
akan kehilangan kesempatan memperoleh banyak kebajikan. Seorang suami
harus bertarung menghadapi kemarahan banyak orang, termasuk atasannya
dalam pekerjaan, atau para tetangganya. Ia akan kelihatan begitu
menyebalkan di hadapan banyak orang, dan hanya mungkin menjadi hero
di hadapan isterinya saja. Dan itupun tidak akan bertahan lama. Karena
memuaskan isteri dengan segala cara, justru membuat isteri semakin
lapar tuntutan. Layaknya bayi yang tak pernah disapih. Alih-alih
mendapatkan pujian sang isteri, ia justru akan menjadi manusia paling
sengsara di dalam rumahnya sendiri.
Seorang istri yang berlaku serupa karena takut pada
kemarahan suami, akan kehilangan kesempatan menjadi wanita yang baik di
mata siapapun, bahkan akhirnya juga di mata suaminya sendiri. Ia akan
kepayahan bergaul dengan sesama wanita. Karena segalanya selalu dibatasi
kemauan suami. Ia akan sulit mengaji, memperbaiki diri, bila kebetulan
sang suami kurang menghendakinya. Bahkan di lingkungan orang-orang taat
sekalipun, isteri yang berorientasi hanya pada kenyamanan hati suami
tanpa mengindahkan syariat Allah, pasti akan terjebak pada dilema
penyembahan sesama manusia. Saat itu, segala sendi kebahagiaan rumah
tangga akan runtuh dengan sendirinya.
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,
“Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki
hubungannya dengan Allah. Karena, dengan cara itu, Allah akan
memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan
manusia dengan hal-hal yang membuat Allah murka, pasti pujian manusia
terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka[2].”
Agar beroleh kebahagiaan seutuhnya, manusia tidak boleh
menggantungkan kebahagiaannya pada kehendak sesama manusia. Bagaimana
mungkin seseorang bergantung pada kehendak suami atau isterinya, lalu
dengan itu mereka ingin bahagia, sementara suami atau isteri mereka
sendiripun tak bisa menjaminkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri?
Membiarkan diri kita memperturutkan kemauan orang lain
dengan mengorbankan kehendak Yang MahaKuasa, berarti membiarkan diri
kita dijajah sesama manusia. Orang yang dijajah, bagaimana mungkin
beroleh bahagia?
“Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman…?” (At-Taubah : 13)
Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat
Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri
kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah
Yang MahaPengasih.
Tapi, dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, suami maupun
isteri kerap terjebak pada target-target jangka pendek yang terlalu
menyibukkan pikiran, sehingga konsistensi pada nilai-nilai akhirat
menjadi terabaikan.
Hari ini, saya harus beli ini. Tanggal sekian, saya harus
sudah bisa membeli ini, memiliki itu. Tahun ke sekian pernikahan, kami
harus sudah mempu begini dan begitu.
Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami
maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu.
Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus
diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam
hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan?
Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.
“Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja,
urusannya akan Allah cerai beraikan, kemiskinan senantiasa terbayang di
pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang
telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya
tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya,
kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru
mendatanginya secara pasrah.[3]“
Pondasi ini harus kerap dikampanyekan dalam
keluarga. Suami maupun isteri harus saling ingat-mengingati soal
cita-cita akhirat ini. Setiap tingkah, prilaku, amalan, hingga ucapan
sehari-hari yang mulai mengarah untuk menjebak diri mereka ke dalam
kegilaan terhadap dunia, harus segera dimandulkan kembali. Apakah dengan
itu mereka akan menjadi pribadi yang pemalas? Tidak, sama sekali tidak.
Itu bisa terlihat, ketika suami terlalu sibuk bekerja,
sehingga lupa mengajak isteri mengaji, lupa dengan masjid, mulai semakin
jarang membaca Al-Quran…..Sang isteri wajib menegur, dan mengingatkan
suami, “Mas, mari kita kembali kepada Allah….”
Saat mulut isteri sibuk berkicau soal keinginan-keinginan
duniawi, sehingga menjadi sepi dari dzikir, sang suami harus berkata
santun, “Sayang, banyaklah bertasbih, bertakbir, bertahlil, agar iiwa
kita senantiasa ingin mengejar akhirat…”
Saat kegilaan terhadap dunia menghinggapi hati salah satu
pasutri, apalagi kedua-duanya, maka arah kehidupan rumah tangga akan
berbolak-balik. Mereka tak akan pernah merasa nyaman dalam satu kondisi.
Pikiran mereka selalu berusaha melahap kenyamanan-kenyamanan baru,
sehingga nyaris tak pernah menyukuri segala yang Allah karuniakan kepada
mereka.
Itulah sebabntya, banyak konflik rumah tangga terjadi,
karena hasrat-hasrat duniawi yang tidak terpenuhi. Ada yang isteri yang
ribut secara heboh, hanya karena uang jatah uang bulannya berkurang.
Padahal sesungguhnya, yang ia terima masih sangat berlimpah dibandingkan
kebanyakan orang.
Itulah sebabnya, banyak suami yang bekerja kesetanan
mencari tambahan rezki, karena baik dirinya maupun isterinya, sama-sama
menganggap bahwa pencapaian tertentu dalam soal kemapanan adalah
keharusan. Kegagalan adalah musibah yang tak bisa dimaafkan.
Dengan demikian, berarti kebahagiaan seseorang amatlah
bergantung pada pencapaian hasrat-hasrat duniawinya. Padahal hasrat
manusia selalu berkembang. Hari ini, batas sekian sangatlah mencukupi.
Bila itu sudah tercapai, ia akan mengejar yang lebih banyak lagi.
Hasratnya akan makin berkembang dari hari ke hari. Maka, dari mana
kebahagiaan itu akan muncul? Bagaimana pasutri bisa mengenyam
kebahagiaan itu, bila syarat pencapaiannya senantiasa berubah-ubah?
Saudara seiman. Bila sebuah rumah tangga tidak dibangun
dengan terus mengasah kecintaan terhadap akhirat, dengan saling nasihat
menasihati dalam meningkatkan ibadah, maka hasrat-hasrat duniawi akan
membelit jiwa pasutri. Bila itu terjadi, kebahagiaan hidup akan menjadi
angan-angan belaka.
Ketiga: Meningkatkan Kualitas Karakter dan Kebiasaan
Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri,
padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan
penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan
kebiasaan.
Manusia yang tidak berdinamika untuk semakin baik dari hari
kehari, pasti akan terjebak dalam kepenatan hidup. Karena ujian dan
cobaan hidup makin beragam, sementara potensi diri tidak berkembang.
Begitu juga dalam kehidupan pasutri. Di antara sekian
banyak problematika rumah tangga, sisi yang terberat adalah membina
keserasian dan harmonisasi pasutri dalam kehidupan sehari-hari.
Yang paling kerap mengganjal tujuan membina keserasian
adalah adanya perbedaan karakter antara suami dan isteri, yang
menyebabkan mereka kesulitan untuk berinteraksi secara nyaman. Perbedaan
karakter dan kebiasaan itu kadang-kadang kontradiktif, seperti
perbedaan antara manis dan pahit, dingin dan panas, sehingga kerap
terjadi ketegangan-ketegangan saat kepentingan karakternya terusik oleh
kepentingan karakter pasangannya.
Saat makan, saat menikmati udara, saat mengamati
kasus-kasus tertentu, saat menghibur diri, tentu sangat membahagiakan
pasutri. Tapi semua itu lenyap seketika, ketika masing-masing memiliki
karakter berseberangan saat menikmati semuanya. Kebersamaan yang indah
itu akhirnya justru memberi hasil sebaliknya: keributan.
Maka, setiap pasutri wajib membina karakter dan
kebiasaannya agar semakin permisif, semakin akomodatif terhadap
perbedaan karakter pasangannnya. Dan itu akan semakin mudah, bahkan
semakin memberikan kenikmatan lebih, bila mereka tulus menjalannya.
Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.
“Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang
beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada
tabiat lain yang membuatnya merasa senang[4].”
Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang
harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang
tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas
bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang
disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan
kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut.
Artinya, jangan sampai karakter yang tidak disukai pasangan
justru semakin dominan dari hari ke hari. Justru sebaliknya, karakter
yang kurang disukai itu hendaknya semakin hari semakin dikikis,
sementara karakter yang disengani oleh pasangan, semakin hari semakin
diasah. Bila keduanya melakukan hal itu, niscaya kehidupan rumah tangga
akan semakin mengembunkan keceriaan, kebahagiaan dan ketentraman, pada
kulit kehidupan keseharian.
Persoalannya, banyak pasutri yang enggan mengubah
karakter dan kebiasaan diri. Di sisi lain, mereka juga kurang berminat
untuk mengoptimalkan karakter dan kebiasaan diri yang berpotensi
membahagiakan pasangan. Kenapa? Karena banyak orang ingin menjalani
hidup ini secara mengalir begitu saja.
Padahal, tidak ada puncak kebahagiaan yang bisa dicapai
tanpa tetesan keringat. Itu artinya, kebahagiaan harus dicari dan
diusahakan. Kalau Allah telah menciptakan segala potensi itu pada diri
kita, kenapa kita tidak mengusahakannya?
Amatlah mudah untuk memahami apa yang disukai pasangan dari
diri kita, dan apa yang tidak disukai oleh pasangan dari diri kita.
Hanya persoalannya, maukah kita berusaha agar pasangan kita semakin hari
semakin banyak mendapatkan hal-hal yang paling disukainya dari diri
kita?
Keempat: Menghargai Pasangan
Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan
kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar
menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila
orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita.
Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala
kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar
menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka
kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami
segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama
sekali pasangan kita sehari-hari.
Memahami kekurangan, berarti juga menghargai kelebihan.
Semakin seorang suami atau isteri memahami kekurangan pasangannya,
semakin pula ia mampu menghargai kelebihan dan keistimewaan yang
dimiliki pasangannya.
“Wajar, kalau dia kurang pandai memasak, karena sejak kecil tidak terbiasa melakukannya. Tapi bersih-bersih, dia tetap jagonya…”
“Mungkin suamiku agak sedikit pemarah, karena dia memang
anak satu-satunya dalam keluarga. Tapi soal keromantisan, makin hari
makin luar biasa…”
Salah satu tips menghargai pasangan adalah membangun
kebiasaan untuk mempelajari kelebihannya. Artinya, suami maupun isteri,
sebaiknya melihat apa yang menjadi kelebihan pasangannya, lalu belajar
untuk bisa seperti dia. Kenapa demikian? Karena seseorang akan bisa
menghargai pekerjaan atau sesuatu, bila ia sudah mengenalinya. Bila
sudah sibuk memasak di dapur, atau membersihkan kamar mandi, seorang
suami akan mengerti betapa pekerjaan-pekerjaan isterinya itu
sesungguhnya sangatlah luar biasa.
Begitu pula, bila isteri menyempatkan diri membantu
mengerjakan sebagian pekerjaan suami. Begitu pula, bila suami maupun
isteri menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal yang menjadi kelebihan
pasangan, meski itu sebenarnya sudah lazim dikerjakan oleh isteri atau
suami sepertinya.
Selain meniru kebiasaan baik pasangan, sebaiknya suami ataupun isteri juga mengajarkan kelebihannya kepada pasangannya. Suasana take and give itu
akan indah, ketika masing-masing saling menyadari bahwa yang ia miliki
juga sudah seharusnya dimiliki oleh pasangannya. Meski dalam kenyataan
itu tidaklah mudah, dan kalaupun berhasil tidak akan sepenuhnya, namun
dengan kebiasaan itu masing-masing akan semakin mampu menghargai
pasangan. Tanpa belajar memahami pasangan, pasutri akan terus dibuat
kepayahan oleh pasangannya sendiri sepanjang hidupnya.
” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya…” (Al-Maidah : 2)
Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah
Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya
mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan
segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu
membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang
ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah,
YangMahaPerkasa.
Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,
Firman Allah yang Artinya
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila
ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)
Hanya orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada
Allah, yang mampi meminimalisir pengaruh dari karakter dasar manusia
itu. Selebihnya, dari awal hingga akhir, ia harus senantiasa
menyandarkan urusannya kepada Allah.
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh…” (Al-A’raaf : 196)
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah
sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia
(yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka
mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 173-174)
Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada
Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak
terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan
beban yang berat.
Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang
dibayangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan.
Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi
ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa.
Simak, sabda Nabi ,
لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ
تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ، إِلاَّ شَيْءٌ
أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ
“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka
aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya
hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu
yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]
Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat.
Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri,
sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan
bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan
mereka.
“Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk
mendatangkan manfaat padamu maka, mereka takkan dapat memberikan manfaat
itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu.
Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu,
maka mereka tak dapat mendatangkan mudharat kecuali sebatas mudharat
yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran
telah kering.”[6]
Pasutri harus saling ingat mengingatkan, agar bertawakal
kepada Allah, menyerahkan segala hal, urusan dan akhir perjalanan hidup
ini kepada Allah semata. Kita hanya wajib berusaha, dan Allah yang akan
menentukan segalanya.
Membiasakan diri, untuk tersenyum dalam segala kepedihan.
Membiasakan diri, untuk menolong orang lain dalam segala kesusahan.
Membiasakan diri, untuk bersyukur atas segala kesulitan.
Membiasakan diri, untuk mengerjakan sesuatu tanpa terbebani oleh apa yang akan terjadi sesudahnya.
Seorang isteri harus membiasakan diri melepas suami bekerja
dengan senyum indah, dan menyambutnya kembali sepulang kerja dengan
senyum yang tetap mengembang sentosa.
Seorang suami harus membiasakan diri memahami relung-relung terdalam dari perasaan seorang isteri. Mempelajari body language yang menjadi ciri khas wanita, sehingga lebih mampu memberi sentuhan-sentuhan bahagia kepadanya.
Suami dan isteri haruslah membiasakan diri, untuk menyadari bahwa segala yang terjadi bukanlah hak manusia untuk mengadilinya…..
[1]
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I
: 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71.
Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh
Ath-Thabrani X : 215.
[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.
[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443
[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar, “Hadits ini hasan Shahih”.