بسم
الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan
hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Doa setelah akad berlangsung
Dianjurkan mendoakan kedua
mempelai dengan doa yang ma’tsur (disebutkan dalam riwayat) berikut:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ
الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ، قَالَ: «بَارَكَ اللَّهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ،
وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ»
Dari Abu Hurairah: Bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mengucapkan selamat dan doa jika ada
orang yang menikah, Beliau mengucapkan, “Baarakallahu….(artinya: “Semoga
Allah memberkahi untukmu, atasmu dan menghimpun kamu berdua dalam kebaikan”). (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: " تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَأَتَتْنِي أُمِّي فَأَدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي
البَيْتِ، فَقُلْنَ: عَلَى الخَيْرِ وَالبَرَكَةِ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ "
Dari Aisyah ia berkata:
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menikahiku, lalu ibuku datang dan
memasukkanku ke dalam rumah. Tiba-tiba di rumah ada sekumpulan wanita Anshar.
Mereka pun berkata, “Alal khair…(artinya, “Engkau berada di atas kebaikan dan keberkahan.
Engkau berada di atas kebaikan yang besar"). (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah)
عَنِ الْحَسَنِ،
قَالَ: تَزَوَّجَ عَقِيلُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، امْرَأَةً مِنْ بَنِي جَثْمٍ، فَقِيلَ
لَهُ: بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ، قَالَ: قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ، وَبَارَكَ لَكُمْ»
Dari Al Hasan ia berkata:
‘Aqil bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menikah dengan wanita Bani Jatsm, lalu dikatakan
kepadanya, “Bir rifaa’ wal baniin” (artinya: Semoga menyatu dan banyak anak), maka
‘Aqil berkata: “Katakanlah sebagaimana yang dikatakan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, “Baraakallahu fiiukum…(artinya: “Semoga Allah memberikan
berkah padamu dan atasmu). (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al
Albani)
Mengumumkan pernikahan
Syara’ menganggap baik
mengumumkan pernikahan agar tidak masuk ke dalam nikah sir yang terlarang,
serta menampakkan kegembiraan terhadap yang Allah halalkan berupa yang
baik-baik. Di samping itu, pernikahan adalah perkara yang patut disiarkan agar
semua orang tahu, yang umum maupun yang khusus, yang dekat maupun yang jauh. Demikian
juga mendorong orang yang masih bujang agar segera menikah, sehingga nikah
banyak disukai orang. Tentunya mengumumkan pernikahan itu sesuai ‘uruf (kebiasaan)
yang berlaku dengan syarat tidak dibarengi dengan yang dilarang syara’ seperti
sambil meminum khamr (arak), bercampur baurnya laki-laki dan wanita dsb.
Dan seseorang bisa
mengadakan ‘akad nikah di masjid, karena di masjid banyak orang berkumpul, di
samping itu lebih mudah tersiar.
عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَصْلُ
مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ»
Dari Muhammad bin Hathib
ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pemisah antara
yang halal dengan yang haram adalah rebana dan suara dalam pernikahan.” (HR. Nasa'i,
dan dihasankan oleh Al Albani)
Nyanyian dalam pernikahan
Dibolehkan bagi wanita
menabuh rebana di tengah kaum wanita serta membawakan puisi-puisi mubah yang
tidak menyebutkan kecantikan wanita dan hal-hal maksiat lainnya, berdasarkan
hadits di atas.
Dalil lain dibolehkannya
nyanyian pada saat pernikahan untuk menyegarkan jiwa adalah hadits-hadits
berikut:
عَنْ عَامِرِ
بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ، وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ،
فِي عُرْسٍ، وَإِذَا جَوَارٍ يُغَنِّينَ، فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ؟
فَقَالَ: اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ، قَدْ «رُخِّصَ
لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ»
Dari ‘Amir bin Sa’ad
radhiyallahu 'anhu ia berkata: Aku masuk menemui Qurazhah bin Ka’ab dan Abu
Mas’ud Al Anshari dalam acara pernikahan. Tiba-tiba di sana ada jariyah
(gadis-gadis kecil) bernyanyi, lalu aku berkata, “Bukankah kamu berdua para sahabat
Rasulullah, dan termasuk yang hadir dalam perang Badar, mengapa hal ini
dilakukan di hadapan kamu?” Keduanya berkata, “Duduklah jika kamu mau, lalu dengarkanlah
bersama kami, dan jika kamu mau pergi, maka pergilah. Sungguh, telah dibolehkan
untuk kami permainan sia-sia dalam acara pernikahan.” (HR. Nasa’i, Hakim dan ia
menshahihkannya, dan dihasankan oleh Al Albani)
Aisyah radhiyallahu 'anha
pernah menyerahkan Al Faari’ah binti As’ad dan berjalan bersamanya ketika
hendak menyerahkan kepada suaminya Nubaith bin Jabir Al Anshaariy. Lalu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ
اللَّهْوُ»
“Wahai Aisyah! Apakah kamu memiliki
permainan, karena orang-orang Anshar suka permainan.” (HR. Bukhari, Ahmad dan
lain-lain)
Dan dalam sebagian riwayat
hadits ini Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kamu membawa
bersamanya seorang jariyah yang memainkan rebana dan bernyanyi?” Aisyah
berkata: “Apa yang ia ucapkan wahai Rasulullah?" Beliau mengatakan, “Yaitu
ucapan:
kami datang, kami datang
maka berilah penghormatan,
niscaya kami beri penghormatan
kalau sekiranya tidak ada
emas merah, tentu ia tidak melepaskan kampungmu
dan kalau sekiranya tidak
ada gandum Samraa’ tentu puterimu tidak gemuk.
عَنِ الرُّبَيِّعِ
بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وَجُوَيْرِيَاتٌ
يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ، حَتَّى
قَالَتْ جَارِيَةٌ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ»
Dari Rubayyi’ bintu
Mu’awwidz, ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang pada
pernikahanku di pagi hari, lalu Beliau duduk di atas kasurku. Ketika itu
gadis-gadis kecil memainkan rebana dan menyebut-nyebut (keberanian) orang tua
mereka yang terbunuh pada perang Badar. Lalu ada salah satu gadis kecil yang berkata,
“Dan di tengah-tengah kita ada Nabi yang mengetahui esok hari.” Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah berkata-kata seperti ini,
dan katakanlah kata-kata yang sewajarnya kamu katakan.” (HR. Bukhari, Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Menyampaikan wasiat (pesan) untuk sang istri
Anjuran menyampaikan wasiat (pesan) untuk
sang istri
Anas berkata, “Para
sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menyerahkan wanita
kepada suaminya, mereka menyuruh si wanita untuk melayani suami dan
memperhatikan haknya.”
Wasiat bapak kepada puterinya ketika
pernikahan
Abdullah bin Ja’far bin
Abi Thalib mewasiatkan kepada puterinya dengan kata-kata, “Hindarilah sifat
cemburu, karena ia adalah kunci talak. Hindarilah banyak mencela, karena akibatnya
kebencian. Pakailah celak, karena ia perhiasan yang paling indah dan wewangian
yang paling wangi adalah air (mandi).”
Wasiat suami kepada istrinya
Abud Darda’ pernah berkata
kepada istrinya, “Jika kamu melihatku marah, maka terimalah dengan rela. Jika
aku melihatmu marah kepadaku, maka aku rela. Jika tidak demikian, kita tidak
bisa berteman.”
Wasiat ibu kepada puterinya
‘Amr bin Hijr raja Kindah
pernah meminang Ummu Iyas binti ‘Auf bin Mihlam Asy Syaibaniy. Saat tiba
penyerahan pengantin. Ibu Ummu Iyas yaitu Umamah binti Al harits menasehati
secara sembunyi, menerangkan asas-asas kehidupan rumah tangga dan kewajibannya
terhadap suami. Ibunya berkata, “Wahai puteriku, sesungguhnya wasiat (nasehat)
kalau ditinggalkan karena kelebihan adab, tentu aku tinggalkan untukmu. Akan
tetapi wasiat adalah pengingat orang yang lalai dan pembantu orang yang
berakal. Kalau sekiranya ada wanita yang merasa tidak perlu dengan suami karena
sudah cukup kedua orang tuanya dan butuhnya orang tua kepada puterinya, tentu kamu
menjadi wanita yang paling tidak butuh lelaki. Akan tetapi wanita diciptakan
untuk lelaki, dan karena mereka diciptakan lelaki. Wahai puteriku! Sesungguhnya
kamu jika meninggalkan udara tempat kamu keluar darinya, kamu tinggalkan sarang
yang awalnya kamu masuk menuju sarang yang tidak kamu kenal, kawan yang belum
dekat, orang itu pun menjadi pengawas dan raja terhadapmu karena kepemilikannya.
Maka jadilah kamu budak, niscaya ia akan menjadi budak juga bagimu. Jagalah
untuknya sepuluh hal, niscaya ia akan memiliki simpanan untukmu:
Pertama dan kedua adalah
tunduk dengan sikap qanaah, mendengar dan menaati.
Ketiga dan keempat
adalah telitilah tempat jatuh penglihatan dan penciumannya, jangan sampai
matanya jatuh melihatmu dalam keadaan buruk, dan janganlah ia mencium wangi selain
wangin yang sedap.
Kelima dan keenamnya
adalah perhatikanlah waktu tidur dan makannya, jika sangat lapar dapat membuat
suasananya panas dan jika kurang tidur dapat membuatnya marah.
Ketujuh dan kedelapan
adalah menjaga hartanya, memperhatikan pembantunya dan anak-anaknya, dan
penopang dalam masalah harta adalah perkiraan yang tepat, sedangkan dalam hal
anak adalah mengurus sebaik-baiknya.
Kesembilan dan kesupuluh
adalah jangan mendurhakai perintahnya, jangan menyebarkan rahasianya. Karena
ketika kamu menyalahi perintahnya dadanya panas, dan jika kamu sebarkan
rahasianya bisa-bisa ia mengkhianatimu. Dan jauhilah bergembira di hadapannya di
saat ia sedih atau sedih di hadapannya ketika ia senang.”
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), dll.