Oleh : Syeikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim ibnu Taimiyah – rahimahullah-
Dikutip dari kitab minhajul sunnah, jilid 3/64.
Diterjemahkan oleh : Muhammad Elvi Syam.
Barang siapa yang menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran (menegakkan amar maruf nahi mungkar), maka sepatutnya dia
itu :
(1) seorang yang alim (berilmu) terhadap apa yang dia suruh, berilmu terhadap apa yang dia larang;
(2) seorang yang berlemah-lembut pada apa yang dia suruh dan berlemah-lembut pada apa yang dia larang;
(3) seorang yang bijaksana pada apa yang dia suruh dan bijaksana pada apa yang dia larang.
Maka berilmu sebelum menyuruh, dan berlemah-lembut itu di waktu
menyuruh, serta bijaksana setelah menyuruh. Kalau seandainya dia tidak
seorang yang alim, tidak boleh untuk mengikuti apa yang tidak ia
ketahui. Kalau seandainya dia itu seorang yang alim, tetapi tidak
berlemah-lembut maka dia seperti dokter yang tidak mempunyai sikap
lemah-lembut, maka dia bersikap kasar terhadap pesien sehingga pasien
pun tidak menerimanya. Dan seperti seorang pendidik yang kasar, maka
anak pun tidak bisa menerimanya. Sungguh Allah Taala telah berfirman
kepada Musa dan Harun : [artinya] : Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya (kepada firaun) dengan kata-kata yang lemah-lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut .(Q.S. 20;44)
Kemudian, kalau dai itu mau menegakkan amar maruf nahi mungkar
–biasanya- maka dia mesti disakiti. Oleh karena itu dia harus sabar dan
bersikap bijaksana, sebagaimana firman Allah Taala : [artinya] : Dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)
.(Q.S.31;39).
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan nabi-Nya (Muhammad ) untuk
bersabar menghadapi siksaan kaum musyrikin di berbagai tempat di Al
Quran, padahal dia saw itu pemimpin orang-orang yang menegakkan amar
maruf nahi mungkar. Maka pertama sekali, hendaklah seseorang menjadikan
urusannya karena Allah dan tujuannya adalah mentaati Allah pada apa yang
diperintahkan Allah kepadanya. Dan mencintai kemaslahatan manusia atau
menegakkan hujjah terhadapnya. Apabila dia mengerjakan perbuatan yang
disebutkan di atas karena ingin mencari kedudukan untuk dirinya dan
golongannya serta merendahkan orang lain, maka perbuatan itu menjadi
hamiyah (fanatik golongan atau hizbiayah) yang tidak diterima Allah.
Begitu juga kalau dia mengerjakanya karena mencari sumah (reputasi /
ingin didengar orang) dan riya (disimulasi / ingin dilihat orang), maka
perbuatan itu akan menjadi sia-sia. Kemudian apabila perbuatannya itu
dibantah atau dirinya disakiti atau dikatakan terhadap dirinya bahwa dia
itu adalah orang yang salah dan tujuannya salah, maka dia mencari
pertolongan untuk memenangkan dirinya sendiri, sehingga syeitan pun
mendatanginya.
Pertama-tama perbuatannya itu adalah karena Allah, kemudian dia
dimasuki oleh hawa nafsu, dengan hawa nafsu itu dia mencari orang yang
akan menolongnya terhadap apa yang telah menyakiti dirinya.
Kadang-kadang dia bersikap melampaui batas terhadap orang yang telah
menyakitinya itu.
Demikianlah halnya orang-orang yang memiliki perkataan (pemikiran)
yang sesat, jika setiap orang dari mereka meyakini bahwa kebenaran ada
pada dirinya dan dia sajalah yang berada di atas sunnah. Maka kebanyakan
dari mereka memiliki unsur hawa nafsu dalam sikapnya itu untuk
mempertahankan wibawa atau kedudukannya dan seluruh apa yang di
nisbahkan kepada dirinya. Mereka tidak berniat, bagaimana kalimat Allah
ini menjadi tinggi, bagaimana agama ini seluruhnya hanya untuk Allah.
Akan tetapi mereka marah kepada orang yang menyelisihi mereka, meskipun
orang tersebut seorang yang mujtahid yang diberi uzur serta tidak
dimarahi Allah. Dan mereka senang (ridho) terhadap orang yang setuju
dengan mereka miskipun dia seorang yang bodoh, tujuannya jelek, tidak
mempunyai ilmu serta tidak mempunyai niat baik. Maka tindakkan ini
mengakibatkan kepada perbuatan memuji orang yang tidak dipuji Allah dan
Rasul-Nya, dan mencela orang yang tidak dicela Allah dan Rasul-Nya dan
jadilah loyalitas dan permusuhan mereka berdasarkan hawa nafsu belaka,
bukan berdasarkan agama Allah dan Rasul-Nya.!
Inilah kondisi orang-orang kafir, mereka tidak mencari kecuali hawa
nafsu mereka. Dan berkata : Ini teman kita dan itu musuh kita . Mereka
tidak akan melihat kepada loyalitas karena Allah dan Rasul-Nya dan
permusuhan karena Allah dan Rasul-Nya. Dari sinilah tumbuhnya fitnah di
antara manusia.
Allah berfirman : [artinya] : Dan perangilah mereka, supaya jangan
ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah .(Q.S. 8;39)
Apabila agama itu seluruhnya tidak dimurnikan untuk Allah, maka
timbullah fitnah. Padahal pokok agama itu adalah mencintai karena Allah,
membenci karena Allah, berloyal demi Allah, bermusuhan karena Allah,
dan beribadah hanya karena Allah. Minta pertolongan dengan Allah. Takut
kepada Allah. Harapan hanya kepada Allah, memberi karena Allah dan tidak
memberi juga karena Allah. Pokok-pokok ini hanya bisa diwujudkan dengan
cara mutabaah (mengikuti) Rasulullah yang mana suruhannya adalah
suruhan karena Allah dan larangannya adalah larangan karena Allah.
Permusuhannnya adalah permusuhan karena Allah. Ketaatannya adalah
ketaatan karena Allah…
Orang yang mengikuti hawa nafsu, akan dibutakan dan ditulikan oleh
hawa nafsu itu. Sehingga, dia tidak bisa mengingat hal-hal yang
merupakan milik Allah dan Rasul-Nya dan tidak mampu mencarinya (tidak
mampu mencari hal-hal yang merupakan milik Allah dan Rasul-Nya –pent).
Dia tidak ridho karena keridhoan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak marah
karena kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi dia ridho bila
mendapatkan sesuatu yang diridhoi oleh hawa nafsunya, dan marah bila
menemukan sesuatu yang bisa membangkitkan kemarahan hawa nafsunya.
Dalam keadaan seperti itu, dia juga mempunyai segelintir syubhah
agama !!! yaitu sesungguhnya yang dia ridhoi dan yang dia benci adalah
dikarenakan (karena membela) sunnah, dikarenakan al haq (kebenaran) dan
agama !!!. Jika ditakdirkan bahwa yang dia pegang itu adalah semata-mata
kebenaran –agama Islam– sedangkan tujuannya (niatnya) bukanlah
menjadikan agama ini seluruhnya karena Allah, dan bukan menjadikan
kalimat Allah itu menjadi tinggi, akan tetapi tujuannya (niatnya) adalah
hamiyah (taashub atau hizbiyah) terhadap dirinya dan golongannya, atau
tujuannya riya (disimulasi) supaya dia diagung-agungkan dan
disanjung-sanjung, atau dia melakukan hal tersebut supaya dikatakan
pemberani, atau karena kepentingan dunia. Maka perbuatan itu bukan
karena Allah, dan bukan pula jihad di jalan Allah.
Lalu bagaimana (jadinya), jika orang yang mendakwakan kebenaran dan
sunnah itu, sebagaiamana lawannya juga mendakwakan seperti itu; pada
dirinya ada kebenaran dan kebatilan, ada sunnah dan bidah, dan pada diri
lawannya juga ada kebenaran dan kebatilan, ada sunnah dan bidah.
Inilah keadaan orang-orang yang sesat (ahli bidah) di mana mereka
memecah belah agama mereka sendiri, sehingga mereka menjadi
berkelompok-kelompok. Sampai-sampai sebagian mereka mengkafirkan
sebagian yang lain, sebagian mereka menfasiqkan sebagian yang lain. Oleh
karena ini Allah Taala berfirman tentang mereka : [artinya] : Dan
tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada
mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah (mengibadati) Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikan itulah agama yang lurus .(Q.S.98;4-5).
|