Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Ada suara mengatakan, bahwa Islam mendiskriminasikan kaum wanita. Sungguh jika muslim yang mengatakannya, maka ia wajib bertaubat lagi beristigfar, karena disengaja atau tidak, ia telah menuduh Islam berbuat tidak adil. Padahal Islam memerintahkan kita untuk berbuat adil, Allah swt berfirman (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah [5]: 8).
Sekali pun kita benci kepada seseorang, maka Allah swt melarang hal itu menjadi pemicu untuk tidak berbuat adil kepadanya.
Syekh as-Sa’di rh berkata tentang firman Allah di atas: “…..tidak sebagaimana dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keadilan, akan tetapi berlakulah adil ketika menjadi saksi bagi wali kalian walaupun kenyataannya pahit baginya, berlakulah adil ketika menjadi saksi untuk musuh kalian walaupun kenyataannya manis baginya, bahkan sekali pun dia seorang kafir atau ahli bid’ah. Karena keadilan itu adalah wajib, demikian pula menerima kebenaran yang datang darinya. Bukan karena dia yang mengatakannya, akan tetapi karena benar yang dikatakannya”.[1]
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk mendahulukan ilmu sebelum berucap dan beramal, karena setiap ucapan dan amalan ada perhitungannya. Demikianlah sehingga imam al-Bukhari mencantumkan dalam kitab shahihnya Bab ilmu terlebih dahulu sebelum berucap dan beramal.
Mudah-mudahan tulisan ini memberikan pencerahan sehingga tidak tertipu dengan indahnya perkataan walaupun sebenarnya kebusukan, perkataan mereka yang pandai bersilat lidah lagi menghiasinya dengan bunga-bunga berduri.
Kedudukan wanita dalam pandangan Jahiliyyah
Islam datang pada masa Jahiliyyah, dimana manusia berada dalam kegelapan; kebenaran seolah kebaikan, sementara kebaikan dijadikan sebagai keburukan. Patokan hidup kala itu sebatas hawa nafsu, jugataklid yang menjadikan mereka buta.
Sungguh kaum wanita, kala itu diyakini sebagai kehinaan, muram wajah seorang bapak juga ibu ketika anak yang dilahirkannya adalah wanita, sang ibu pun tidak sadar bahwa dirinya seorang wanita. Allah swt menggambarkan keadaan itu dalam al-Qur’an. Dia berfirman (yang artinya):
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58).
Juga cerita Umar pada masa jahiliyyahnya yang membunuh hidup-hidup anak putrinya, karena merasa terhinakan dengan kelahirannya.
Kaum Jahiliyyah memandang bahwa wanita seumpama harta dan binatang ternak.
Kaum Jahiliyyah menetapkan, bahwa kaum wanita tidak berhak mendapatkan hak waris, mereka berkata: “Tidak ada yang bisa mewarisi kami kecuali orang yang membawa pedang dan bisa menjaga harta kami”.
Bahkan kaum Jahiliyyah memandang, bahwa kaum wanita bisa dijadikan harta warisan, ketika istri seseorang meninggal, maka wali dari orang tersebut bisa memilikinya sebagai harta warisan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
كَانَ الرَّجُلُ إِذَا مَاتَ كَانَ أَوْلِيَاؤُهُ أَحَقَّ بِامْرَأَتِهِ مِنْ وَلِيِّ نَفْسِهَا إِنْ شَاءَ بَعْضُهُمْ زَوَّجَهَا أَوْ زَوَّجُوهَا وَإِنْ شَاءُوا لَمْ يُزَوِّجُوهَا
“Dahulu apabila seorang laki-laki meninggal, maka para walinya lebih berhak terhadap istrinya daripada wali wanita tersebut, apabila sebagian mereka berkehendak maka mereka akan menikahkannya dan apabila mereka berkehendak maka mereka tidak menikahkannya”.[2]
Demikianlah keadaan kaum Jahiliyyah ketika itu, lalu datanglah Islam membawa kemuliaan, Islam merubah paradigma yang ada dengan kemuliaan seorang wanita.
Sejarah pun membuktikan bagaimana peradaban lainnya memandang wanita, sehingga ada di antara mereka yang memperdebatan, apakah wanita tergolong manusia atau tidak?
Teriris hati ketika kita menghayati keadaan wanita yang seperti itu, padahal ialah ibu kita? Padahal ialah istri kita? Dan beribu-ribu alasan. Sehingga datanglah Islam merubah wajah wanita dan paradigma manusia. Maka pantaskah ia dituduh sebagai agama yang menyudutkan kaum wanita? tidaklah seseorang memojokan Islam dengan tuduhan seperti itu, kecuali dialah orang yang tidak mengenal sejarah, atau orang yang tidak mengetahui sejatinya kemuliaan, atau orang yang tahu tapi pura-pura tidak tahu karena kedengkian yang mendalam. Wallahu a’lam.
Kedudukan wanita dalam pandangan sekuler
Orang sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan, hanya menjadikan harta materi sebagai panduan dan tujuan, sehingga seluruhnya ditimbang dengan takaran materi dan perasaan. Termasuk hal yang berkaitan dengan wanita, mereka memandang bahwa wanita adalah bagian dari kehidupan, yang tentunya ditimbang dengan perasaan dan asas menguntungkan diri pribadi, tanpa melihat hakikat seorang wanita sebagai mahluk Allah, tanpa melihat aturan Allah yang maha tahu tentang mahlukNya. Tentunya…timbangan seperti itu pun tetap menjadikan wanita sebagai kaum terzhalimi, mereka hanya dijadikan bahan ekploitasi, pajangan, dan daya tarik agar barang dagangannya laku. Apakah ini yang disebut kemuliaan??
Sehingga, di lapangan mereka mempropagandakan wanita agar sejajar dengan kaum pria dalam segala hal, dan menganggap hal itu sebagai kemuliaan bagi kaum wanita. Sungguh sejatinya, ini penghinaan bagi mereka, penghinaan bagi kaum wanita. Karena segala sesuatu ada tempatnya, sehingga tidak mungkin kita menyamakan antara dua perkara yang pada kenyataannya berbeda.
Allah swt telah menciptakannya keduanya berbeda, maka bagaimana bisa kita menyamakannya dalam segala hal, sungguh inilah kezhaliman. Kemudian, di antara perbedaan yang sangat nampak antara keduanya, adalah tugas keduanya dalam kehidupan ini, seorang lelaki memiliki peran yang sama sekali tidak bisa digantikan oleh seorang wanita, demikian pula seorang wanita memiliki peran yang tidak bisa digantikan oleh kaum pria.
Kedudukan wanita dalam pandangan Islam
Islam mendudukan wanita secara adil pada tempatnya, ditempatkan menjadi seorang ibu yang dimuliakan, ditempatkan menjadi seorang istri yang dilindungi, ditempatkan menjadi seorang putri yang disayangi dan yang lainnya:
Rasululullah saw pernah ditanya tentang siapakah orang yang paling utama untuk diperlakukan dengan baik, maka beliau menjawab: “Ibumu”, orang itu kembali bertanya: “Siapa lagi ?”, jawab beliau: “Ibumu”, dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” jawab Rasul: “Ibumu”, beliau kembali bertanya: “Kemudian Siapa lagi?” jawab beliau: “Bapakmu”.[3]
Dalam hadits yang lain Rasulullah saw mewasiatkan kaum wanita, beliau bersabda:
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
"Terimalah nasihatku berkaitan dengan wanita secara baik, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya maka dia akan patah namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasehatilah para wanita".[4]
Al-Munawi berkata[5], ungkapan وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا , maksudnya: “Terimalah wasiatku berkaitan dengan wanita, berbuat lembutlah kepadanya dan perlakukanlah mereka dengan baik”.
Pada kesempatan lain anak wanita adalah pelindung dari api neraka, Rasulullah saw menegaskan:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang diuji sesuatu karena anak-anak perempuannya lalu ia berlaku baik terhadap mereka maka mereka akan melindunginya dari api neraka."[6]
Dan masih banyak dalil lain yang memuliakan kaum wanita.
Bagaimana memuliakan mereka ??
- Allah swt yang maha tahu tentang mahlukNya:
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam banyak perkara, tentunya juga dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Kita mesti meyakini, bahwa hanya Allah swt yang paling tahu tentang keadaan mahlukNya. Walhasil, jika kita ingin memuliakan wanita maka hendaklah kita mengikuti apa yang diajarkan olehNya.
Seorang mukmin yang ridha kepada Allah swt dan meyakini hikmah, juga kasih sayangNya, akan senantiasa menerima apa yang Allah swt tentukan, dia pun meyakini bahwa hanya Allah swt yang maha tahu tentang perkara yang paling baik untuk dirinya.
Kemudian, kewajiban kita adalah senantiasa berbaik sangka kepada Allah swt, tentang hukum dan apa saja yang ditentukanNya, demikian pula tentang aturan yang berkaitan dengan masalah wanita, bahwa semuanya diberikan untuk memberikan kemudahan kepada hambaNya, Allah swt berfirman (yang artinya):
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Secara rinci, bahasan tentang bagaimana memuliakan wanita, adalah pembicaraan khusus yang lumayan panjang, sehingga tidak mungkin dipaparkan pada kesempatan ini, maka……
- Ikuti ! jika kita ingin memberikan dan mendapatkan kemuliaan.
Antara Diskriminasi dan Diferensiasi
Sebagai penutup saya katakan:
Mesti difahami, bahwa diskriminasi adalah pembedaan antara dua bagian yang setara, tentunya ini merupakan ketidak adilan. Sementara kita tahu, bahwa secara fakta wanita tidak akan sama dengan kaum pria, maka sungguh tidak adil jika kita menyamakan kaum wanita dengan kaum pria, padahal keduanya berbeda, sehingga mesti adanya diferensiasi, yaitu pembedaan antara dua bagian yang tidak setara.
catatan kaki:
[1] Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan – cetakan Maktabah al-Ma’arif (hal: 212).
[2] Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (4579), Abu Dawud (2089) dan yang lainnya.
[3] Hadits riwayat al-Imam al-Bukhari.
[4] Muttafaq ‘alaihi.
[5] At-Taisir bi Syarhil Jami ash-Shagir – Maktabah al-Imam asy-Syafii Riyadh.
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya.