08 September, 2015

Ilmu : Sendi-Sendi Hikmah

Oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qathani
Kita semua sepakat bahwa sebuah gedung yang tinggi (misalnya masjid Is-Tiqlal di Jakarta) pasti memerlukan banyak ahli ilmu teknik bangunan yang mereka benar-benar ahli (Insiyur Teknik Sipil dan Arsitektur) alias berilmu dalam bidangnya dan berpengalaman agar gedung itu berdiri dengan kuat,kokoh dan awet. Juga seseorang yang mengobati penyakit haruslah berpendidikan kesehatan (dokter mis.) Namun ketika orang-orang ditanya bagaimankah membangun umat Islam ini ? Maka mayoritas orang tidak terlalu memikirkan bagaimana kapasitas da'i pembangun umat ini apakah mereka berilmu tentang dien/agamanya yang akan dida'wakan atau tidak ? Dan ini adalah musibah Innalillahi wa innalillahi rojiun..
Ilmu merupakan sandi terpenting dari hikmah. Sebab itu, Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu sebelum berkata dan beramal. Firman Allah :
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu." (Muhammad :19).
Imam Bukhari rahimahullah membicarakan masalah ini dalam bab khusus, yakni bab "Ilmu sebelum berkata dan beramal".
Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal, yaitu berilmu lalu beramal, atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita lihat dari susunan ayat diatas, yaitu :
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah melainkan Allah..."
Ayat ini menunjukkan perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah ini diikuti perintah beramal, yaitu :
'...Dan mohonlah ampunan bagi dosamu..."
Dari taat tersebut dapat diketahui bahwa urutan ilmu mendahului urutan amal. Ilmu merupakan syarat keabsahan perkataan dan perbuatan. Shahihnya amal karena shahihnya ilmu. Disamping, itu ilmu merupakan tempat tegaknya dalil.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disampaikan Rasul atau bisa juga ilmu yang bukan dari Rasul, yaitu ilmu-ilmu yang diluar masalah diniyah, misalnya beberapa segi ilmu kedokteran, pertanian dan perdagangan.
Seorang da'i tidak dikatakan bijaksana, kecuali bila ia memahami ilmu syar'i. Jika dari awal hingga akhir perjalanan dakwahnya ia tidak melalui jalur ilmu ini, ia akan kehilangan jalan petunjuk  dan keberuntungan. Inilah konsensus orang arif. Tidak diragukan lagi bahwa  pembenci ilmu adalah penyamun dan pelaku perbuatan iblis dan pengawalnya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang terpuji, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an dan As Sunnah, ilmu yang diwariskan para nabi. Rasulullah bersabda :
"Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham dan dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya, ia sangat beruntung." (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Ibnu Taimiyah membagi ilmu yang bermanfaat, menjadi tiga bahagian, yaitu :
Pertama, ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan lain-lain, seperti yang disebutkan adalah Al-Qur'an surat Al Ikhlas.
Kedua, ilmu tentang persoalan-persoalan masa lalu yang dikabarkan Allah; persoalan-persoalan masa kini, dan persoalan-persoalan masa mendatang, seperti yang dikabarkan dalam Al-Qur'an, yaitu ayat-ayat tentang kisah-kisah, janji-janji, ancaman, surga, neraka, dam sebagainya.
Ketiga, ilmu tentang perintah Allah yang berhubungan dengan hati dan anggota badan, seperti iman kepada Allah melalui pengenalan hati serta amaliah anggota badan. Pemahaman ini bersumber pada pengetahuan dasar-dasar iman dan kaidah-kaidah islam. Berawal dari pemahaman ini, tersusunlah pemahaman tentang ketetapan perbuatan-perbuatan lahiriah, sebagaimana dapat dijumpai dalam kitab-kitab fiqh yang dimaksudkan untuk mengetahui hukum-hukum perbuatan lahir. Hukum-hukum tersebut merupakan dari ilmu dinniyah.
Banyak orang yang masih keliru memahami masalah ilmu. Mereka memahami Al-Qur'an dan As Sunnah hanya sebatas verbalitas semata, dan tidak memahami hakekat yang terkandung didalamnya. Betapa banyak orang yang hafal ayat Al- Qur'an, namun tidak memahami isinya. Perbuatan seperti ini tentu saja bukan termasuk perbuatan orang-orang beriman, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Perumpamaan orang yang beriman membaca Al Qur'an seperti jeruk sitrun yang baunya wangi dan rasanya manis. Perumpamaan orang beriman yang tidak membaca Al-Qur'an seperti kurma yang tidak berbau dan rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur'an seperti sekuntum bunga yang baunya wangi, tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur'an seperti labu yang tidak berbau dan rasanya pahit." (HR Bukhari dan Muslim)
Seorang mukmin yang tidak hafal huruf-huruf dan surat-surat Al Qur'an lebih baik dari pada seorang tidak beriman atau munafik yang menghafal Al Qur'an. Namun seorang mukmin yang berpengetahuan dan bijak-yaitu mukmin yang dikaruniai ilmu dan iman-jauh lebih baik dari pada mukmin yang tidak berilmu.
Ilmu yang sempurna adalah ilmu yang diendapkan dalam hati, kemudian diamalkan. Inilah yang juga disebut ilmu bermanfaat, yang nerupakan sandi terpenting dari hikmah. Ilmu ini akan memberikan kebaikan kepada pemiliknya, sedangkan ilmu tanpa amal akan menghujat pemiliknya pada hari kiamat. Oleh karena itu, Allah memperingatkan  kaum beriman yang hanya bisa berbicara tetapi tidak melakukan apa-apa. Firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan." (Ash Shaf: 2 - 3)
Allah juga memperingatkan kita agar tidak meyembunyikan ilmu. Kita diperintahkan untuk menyampaikan ilmu yang merupakan karunia Allah itu sebatas kemampuan kita. Allah tidak memaksakan seseorang kecuali dalam batas kemampuannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan, berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati." (Al Baqarah:159)
Meskipun ayat diatas ditujukan kepada Ahli Kitab, hukumnya berlaku umum bagi setiap orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan dan petunjuk-petunjuk kebenaran yang diturunkan Allah. Dengan demikian, jelaslah jalan menunju surga dan jalan menuju neraka. Orang yang rugi adalah orang yang menyembunyikan sesuatu yang diturunkan Allah dan menipu hamba-hamba-Nya. Ia akan dilaknat Allah dan semua makhluk-Nya, karena dia telah menipu makhluk, merusak dien/agama, dan menjauhkan diri dari rahmat Allah. Sebaliknya, orang yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada manusia, akan dimintakan ampun oleh setiap makhluk, termasuk ikan-ikan dan burung-burung, karena dia telah berbuat untuk kemaslahatan makhluk, menegakkan dien, dan mendekatkan makhluk kepada Allah.
Masih dalam kaitan ini , Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam  bersabda :
"Orang yang ditanya tentang ilmu, lalu menyembunyikannya (merahasiakannya), maka kelak pada hari kiamat pada mulutnya akan dipasang kendali dari api neraka." (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Demikianlah, sebuah ilmu dikatakan bermanfaat jika disertai amal. Sehubungan dengan ini, Sufyan bin Uyainah berkomentar,"manusia paling bodoh adalah yang membiarkan kebodohannya, manusia paling pandai adalah yang mengandalkan ilmunya, sedangkan manusi paling utama adalah yang takut kepada Allah."
Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan:
"Wahai orang-orang berilmu, amalkan ilmu kalian, karena orang yang mengamalkan ilmunya atau orang yang perbuatannya sesuai dengan ilmunya, dialah mukmin sejati."
Abu Darda berkata :
"Tidaklah kamu menjadi orang yang berfatwa sebelum kamu berilmu, dan tidaklah kamu indah dengan berilmu, sebelum kamu beramalkannya."
Simak pula perkataan seorang penyair:
"Jika ilmu tidak kau amalkan, ia akan menjadi bukti atasmu.
Dan kamu beralasan jika kamu tidak mengetahuinya.
Kalau kamu memperoleh ilmu
Sesungguhnya, setiap perkataan seseorang akan dibenarkan olah perbuatannya."
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa ilmu tidak akan menjadi bagian dari sendi-sendi hikmah kecuali jika disertai amal. Setiap ilmu yang dipelajari sahabat nabi atau generasi salafus shaleh selalu disertai amal. Karena itu, segala perkataan, perbuatan, dan gerak-gerik mereka senantiasa penuh hikmah. Dalam hal ini Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak ada iri kecuali terhadap dua oang, yakni: orang yang dikaruniai harta lalu disalurkannya pada jalan yang hak dan orang yang diberi hikmah (ilmu) lalu dia amalkan dan ajarkan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi pernah mendoakan Abdullah  bin Abbas r.a. agar ia diberi hikmah da pemahaman dalam agama. Doa beliau. "Ya Allah, ajarilah ia hikmah." Dalam lafazh lain, "Ya Allah ajarilah ia Al Kitab." Atau "Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam agama." (HR. Bukhari).

Cara-cara Memperoleh Ilmu
Banyak cara untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat. Namun yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Seorang hamba hendaknya meminta ilmu yang bermanfaat kepada Rabb-nya. Allah telah memerintahkan kepada Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam  agar minta ditambahkan ilmu kepada-Nya. Allah berfirman:
"...Dan katakanlah,'Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu." (Thaha:114)
salah satu doa beliau adalah:"Ya Allah, berilah manfaat ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku. Ajarkanlah aku sesuatu yang bermanfaat bagiku, dan tambahkanlah aku ilmu."
2. Bersungguh-sungguh dan berkeinginan keras dalam mencari ilmu, serta dengan mengharap ridha Allah. Terlebih dalam menuntut ilmu Al Kitab dan As Sunnah.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah data kepada Abu Hurairah, dan berkata, "aku ingin belajar ilmu dan aku khawatir akan menyia-nyiakannya." Abu Hurairah menjawab, "cukuplah jika engkau tidak menyia-nyiakannya."
Ketika ditanya tentang bagaimana cara memperoleh ilmu, sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa cara memperoleh ilmu adalah dengan kemauan keras, senang mendengar dan mencarinya, mengajarkan kepada yang tidak tahu, dan belajar kepada yang tahu. Jika hal itu telah dilakukan, berarti kita telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dan memelihara sesuatu yang telah kita ketahui. Dalam kaitan ini, Imam Syafi'i mengatakan. "Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama."
3. Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. Hal ini merupakan faktor terpenting untuk memperoleh ilmu. Allah berfirman:
"...Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Al Baqarah: 282).
"Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan/pembeda..." (Al Anfal: 29)
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi ilmu, sehingga ia akan mampu membedakan yang hak dan yang bathil.
Abdullah bin Abbas berasumsi bahwa seseorang melupakan ilmu karena dosa yang dilakukannya. Dalam kaitan ini, Umar bin Abdul Aziz mengatakan, "Seorang hakim hendaknya mempunyai lima sifat, yaitu: faham, sabar, tidak maksiat, tegas dan menyadari tanggung jawab ilmu."
Imam Syafi'i pernah mengeluh kepada Waki' (guru) tentang kesulitannya dalam menghafal. Kemudian dikata kepada imam Syafi'i bahwa ilmu merupakan cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat."

4. Tidak sombong dan tidak malu dalam mencari ilmu. Aisyah pernah mengatakan,"Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu bertanya tentang agama."
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Ummu Sulaiman pernah bertanya kepada Rasulullah,"Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu kepada yang hak, apakah wanita wajib mandi jika mimpi?" Nabi menjawab, "Ya, jika melihat air."
Seorang Mujahid mengatakan,"Orang pemalu dan sombong tidak akan mendapat ilmu."
5. Ikhlas dalam mencari ilmu. Rasulullah bersabda:
"Barang siapa belajar suatu ilmu yang terkait dengan maksud karena Allah, tetapi dipelajari untuk tujuan keuntungan dunia, maka dia tidak akan mencium harumnya surga pada hari kiamat." (HR. Abu Daud dan Ibnu Maja)
6. Mengamalkan ilmu. Telah dibahas sebelumnya bahwa ilmu tidak menjadi hikmah, kecuali jika diamalkan dengan ikhlas dan berkesinambungan.
------------------
Disarikan dari Dakwah islam Dakwah bijak-oleh Said bin Ali bin Wahif Al Qahthani- Penerjemah Masykur Hakim dan Ubaidillah  GIP 1994 hal. 32-39

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE