Latest Products

Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Jika ditanyakan: Bagaimana (penjelasan mengenai) Allah menghendaki suatu perkara, dan dalam waktu yang sama Dia tidak meridhainya dan tidak menyukainya? Bagaimana mengompromikan antara kehendak-Nya kepada hal tersebut dan kebencian-Nya?

Jawabannya: Apa yang dikehendaki itu ada dua macam: apa yang memang dikehendaki dan apa yang dikehendaki untuk selainnya. Apa yang memang dikehendaki, maka itulah yang dituju lagi dicintai, dan di dalamnya mengandung kebaikan. Inilah yang dimaksud dengan iraadatul ghaayah wal maqaashid (tujuan yang dikehendaki). Sedangkan apa yang dikehendaki untuk selainnya, adakalanya bukan tujuan yang dikehendaki-Nya dan tidak ada kemaslahatan di dalamnya, apabila melihat dzatnya -meskipun sebagai sarana menuju tujuan dan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini adalah tidak disukai oleh-Nya dari segi dzatnya, tetapi dikehendaki dari segi qadha'-Nya dan dihubungkannya kepada kehendak-Nya. Maka berhimpunlah dua perkara: kebencian-Nya dan kehendak-Nya, dan keduanya tidak saling bertentangan. Jadi, Dia tidak menyukai dari satu segi tapi menyukainya dari segi lainnya.

Ini adalah perkara yang sudah dimaklumi oleh manusia. (Contohnya) obat yang tidak disukai, baik rasa maupun baunya, jika manusia mengetahui bahwa di balik obat itu terletak kesembuhan-nya (dengan izin Allah), maka ia membencinya dari satu segi dan menyukainya dari segi yang lain. Jadi, ia tidak menyukainya dari segi kepahitan yang dirasakannya, namun ia menyukainya dari segi bahwa obat itu akan membawanya kepada apa yang disukainya (kesehatan).

Seperti itu juga mengenai anggota tubuh yang digerogoti penya-kit, jika ia tahu bahwa dengan mengamputasinya akan menyelamatkan tubuhnya. Juga seperti menempuh jarak yang berat, jika diketahui bahwa hal itu akan mengantarkan kepada apa yang dikehendakinya dan disukainya. Dan juga seperti orang yang melintasi gurun pasir yang tandus dan sunyi untuk menuju Baitul ‘Atiq (Baitullah/ Ka’bah).

Dari sini jelas bagi kita bahwa sesuatu itu apabila di dalamnya berhimpun dua perkara: dibenci dari satu sisi dan disukai dari sisi lainnya, maka keduanya tidak saling menafikan. Ini adalah dalam urusan makhluk, lalu bagaimana halnya dengan al-Khaliq Yang tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu yang tersembunyi dan Yang mempunyai hikmah yang mendalam? Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai sesuatu, dan itu tidak kontradiksi dengan kehendak-Nya kepadanya, karena adanya tujuan yang lain, dan karena hal itu menjadi sebab menuju perkara yang disukai.

Saya tunjukkan kepadamu sebagian contoh atas hal itu:

CONTOH PERTAMA : PENCIPTAAN IBLIS DAN HIKMAH DARI PENCIPTAAN TERSEBUT.
Allah Azza wa Jalla menciptakan iblis yang merupakan materi perusak yang melakukan segala kerusakan di muka bumi ini, dalam agama, keyakinan, syahwat, dan syubhat. Ia adalah penyebab kesengsaraan para hamba dan perbuatan mereka yang dibenci oleh Allah Azza wa Jalla. Kendati itu semua, ia adalah sarana menuju berbagai perkara yang dicintai dan berbagai hikmah yang besar.

Sebelum membicarakan tentang hikmah-hikmah tersebut kami perlu mengingatkan tentang perkara yang penting. Yaitu, bukan suatu keharusan bagi orang yang menetapkan alasan perbuatan-perbuatan Allah dengan adanya berbagai hikmah dan kemaslahatan, mengetahui alasan semua perbuatan dan perintah-Nya. Bahkan, dia harus meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla tidak memperlihatkan kepada makhluk-Nya semua hikmah-Nya, tetapi memberitahukan kepada mereka apa yang dikehendaki-Nya, dan apa yang disembunyikan dari mereka lebih banyak dari apa yang mereka ketahui. Oleh karena itu, setiap muslim wajib meyakini bahwa perbuatan-perbuatan Allah dan perintah-perintah-Nya tidak kosong dari berbagai hikmah yang agung yang mencengangkan akal, meskipun tidak diketahui secara terperinci, karena ketidakadaan ilmu tentang sesuatu bukanlah sebagai dalil atas ketidakadaannya. Kedokteran –misalnya- dan operasi bedah, tidaklah diketahui kecuali oleh orang-orang khusus. Demikian pula arsitektur dan selainnya. Ketidakadaan ilmu pada selain mereka tentang perkara tersebut bukanlah menunjukkan atas ketidakadaannya.

Jika keterangan ini sudah memuaskan, maka saya tunjukkan kepada Anda tentang sebagian hikmah yang dikumpulkan para ulama, mengenai hikmah dari penciptaan iblis:

1. Agar tampak kepada para hamba kekuasaan Rabb Ta’ala dalam menciptakan hal-hal yang berlawanan.
Dia menciptakan zat ini -iblis- yang merupakan dzat yang paling buruk dan penyebab segala keburukan, tapi Dia menciptakan -sebagai lawannya- Jibril, yang merupakan dzat yang paling mulia, paling suci, dan merupakan materi segala kebajikan. Mahasuci Allah yang menciptakan ini dan itu. Demikian pula kekuasaan-Nya tampak dalam penciptaan malam dan siang, panas dan dingin, air dan api, penyakit dan obat, kematian dan kehidupan, serta baik dan buruk. Sebab, sesuatu itu akan nampak keindahannya dengan lawannya. Dan ini adalah bukti paling kuat atas kesempurnaan kekuasaan, keperkasaan, dan kekuasaan-Nya. Dia menciptakan hal-hal yang berlawanan ini, mempertentangkan sebagiannya dengan yang lainnya, menguasakan sebagiannya atas sebagian yang lain, serta menjadikannya sebagai tempat tindakan, pengaturan, dan hikmah-Nya. Kekosongan wujud dari sebagiannya secara umum adalah dapat meniadakan hikmah, kesempurnaan tindakan, dan pengaturan kerajaan-Nya.

2. Agar Allah menyempurnakan tingkatan-tingkatan ‘ubudiyyah bagi para kekasih-Nya.
Yaitu dengan memerangi iblis dan bala tentaranya, membuatnya murka dengan cara mentaati Allah, memohon perlindungan kepada Allah darinya, dan berlindung kepada Allah untuk melindungi mereka darinya dan dari tipu dayanya. Akibat dari hal itu mereka mendapatkan berbagai kemaslahatan duniawi dan ukhrawi yang tidak akan diperoleh dengan tanpa hal itu.

Kemudian cinta, taubat, tawakkal, sabar, ridha dan sejenisnya adalah jenis-jenis ibadah yang paling dicintai Allah. Semua ini hanya dapat terealisir dengan jihad, mengorbankan jiwa, dan lebih men-cintai Allah Azza wa Jalla atas segala sesuatu selain-Nya. Maka penciptaan iblis adalah menjadi sebab adanya perkara-perkara ini.

3. Mendapatkan ujian.
Diciptakannya iblis adalah untuk menjadi ujian bagi manusia, agar dengannya menjadi jelas yang buruk dari yang baik.

4. Menunjukkan berbagai pengaruh Asma Allah Subhanahu wa Ta’ala, konsekuensi, dan keterkaitannya.
Di antara nama-Nya adalah ar-Raafi’ (Yang meninggikan derajat), al-Khaafidh (Yang merendahkan derajat), al-Mu’izz (Yang memuliakan), al-Mudzill (Yang menghinakan), al-Hakam (Yang Mahabijaksana), dan al-‘Adl (Yang Mahaadil).

Nama-nama ini memerlukan kaitan-kaitan yang di dalamnya hukum-hukumnya akan nampak. Dengan demikian, penciptaan iblis adalah faktor untuk menampakkan berbagai pengaruh nama-nama ini. Seandainya makhluk seluruhnya patuh dan beriman, niscaya berbagai pengaruh nama-nama ini tidak akan nampak.

5. Mengeluarkan apa yang terdapat dalam tabiat manusia berupa kebaikan dan keburukan.
Tabiat manusia itu mencakup kebaikan dan keburukan, dan hal itu tersembunyi di dalamnya seperti api dalam sekam. Allah menciptakan syaitan untuk mengeluarkan apa yang terdapat dalam tabiat pelaku keburukan, berupa potensi untuk berbuat, dan para Rasul diutus untuk mengeluarkan apa yang ada dalam tabiat pelaku kebaikan berupa potensi untuk berbuat. Kemudian Hakim Yang paling bijaksana (Allah) mengeluarkan apa yang terdapat dalam diri mereka, berupa kebaikan yang tersembunyi di dalamnya, agar pengaruh-pengaruh-Nya tampak padanya, dan mengeluarkan apa yang ada dalam diri mereka berupa keburukan, agar pengaruh-pengaruh dan hikmah-Nya tampak pada kedua golongan itu, dan juga hikmah-Nya terlaksana pada keduanya, serta nampaklah apa yang telah diketahui-Nya sebelumnya, yang selaras dengan ilmu-Nya yang terdahulu.

6. Menampakkan banyak tanda-tanda kekuasaan Allah dan keajaiban ciptaan-Nya.
Disebabkan kekafiran dan kejahatan dari jiwa-jiwa yang kafir serta zhalim, muncul banyak sekali tanda-tanda kekuasaan dan berbagai keajaiban, seperti badai, angin, kebinasaan kaum Tsamud dan Luth, berubahnya api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim (Alaihssallam), berbagai mukjizat yang ditampakkan Allah lewat tangan Nabi Musa (Alaihisallam), dan tanda-tanda kekuasaan lainnya. Seandainya bukan karena takdir kekafiran kaum kafir dan pengingkaran orang-orang yang ingkar, niscaya tanda-tanda kekuasaan yang luar biasa, yang dibicarakan oleh manusia, generasi demi ge-nerasi hingga akhir masa ini tidak pernah muncul.

Adapun, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menangguhkan iblis hingga hari Kia-mat, maka hal itu bukan penghormatan untuknya, tetapi penghinaan untuknya, agar dosanya bertambah, sehingga hukumannya semakin berat dan adzabnya berlipat ganda. Di samping itu, Allah menjadikannya sebagai ujian untuk memilah yang buruk dari yang baik -sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya- selama masih ada makhluk hingga hari Kiamat, maka hal ini menuntut terhadap keberadaannya, selagi manusia masih ada. Wallahu a’lam.

CONTOH KEDUA ; DICIPTAKANNYA MUSIBAH DAN KEPEDIHAN SERTA HIKMAH DARI HAL ITU
Demikian pula diciptakannya kepedihan dan musibah yang berisikan berbagai hikmah yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla, yaitu hikmah-hikmah yang berisikan karunia, keadilan, dan rahmat-Nya. Di antara hikmah-hikmah tersebut:

1. Melahirkan ‘ubudiyyah (ibadah) pada saat kesulitan, yaitu berupa kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

"…Dan Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan." [Al-Anbiyaa'/21: 35]

Terhadap ujian (dari Allah) yang berupa kegembiraan dan kebaikan, maka harus disikapi dengan syukur, sedangkan terhadap ujian berupa kesusahan dan keburukan, haruslah disikapi kesabaran.

Semua ini tidak terjadi, kecuali bila Allah membalikkan keadaan atas para hamba, sehingga terlihatlah kejujuran pengabdian kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ. إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Menakjubkan urusan orang yang beriman itu, sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi pada seorang pun kecuali pada orang yang beriman. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka hal itu adalah baik baginya, dan jika ia mendapatkan kesusahan, ia bersabar, maka hal itu pun adalah baik baginya.”[2]

2. Kebersihan hati dan terbebas dari sifat-sifat yang buruk.
Sebab, sehat itu adakalanya mendorong kepada keburukan, kesombongan, dan kagum dengan diri sendiri, karena seseorang merasa giat, kuat, tentram keadaannya, dan hidupnya menyenang-kan.

Jika dibatasi dengan ujian dan sakit, maka jiwanya menangis, hatinya menjadi lembut, dan bersih dari noda-noda akhlak yang tercela serta sifat-sifat yang buruk, seperti sombong, congkak, ‘ujub (kagum dengan diri sendiri), dengki, dan sifat lainnya. Sebagai gantinya ialah ketundukan kepada Allah, menangis di hadapan-Nya, tawadhu’ (rendah hati) kepada manusia, dan tidak congkak terhadap mereka.

Al-Munbaji rahimahullah berkata, “Orang yang tertimpa musibah hendaknya mengetahui bahwa seandainya tidak ada ujian dunia dan berbagai musibahnya, niscaya manusia tertimpa penyakit sombong, ‘ujub, congkak, dan keras hati, yang merupakan sebab kebinasaannya, segera maupun tertunda. Di antara rahmat sebaik-baik Dzat Yang Maha Penyayang ialah, Dia memberikan kepadanya -kadangkala- berbagai macam obat berupa musibah, yang akan menjadi pelindung baginya dari penyakit-penyakit ini, memelihara kebenaran ibadahnya, serta mengenyahkan berbagai unsur yang merusak, hina, dan membinasakan. Mahasuci Allah yang memberi rahmat dengan ujian-Nya (berupa bencana), dan menguji dengan berbagai kenikmatan-Nya. Sebagaimana dikatakan:

Adakalanya Allah memberi nikmat dengan bencana, meskipun besar
dan Allah pun menguji pula sebagian kaum lainnya dengan ber-bagai kenikmatan

Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengobati hamba-hamba-Nya dengan obat berupa ujian dan cobaan, niscaya mereka melampaui batas, lalim, angkuh, congkak di muka bumi, dan membuat kerusakan. Karena di antara kebusukan jiwa, jika telah mendapatkan kekuasaan (memerintah dan melarang), kesehatan, peluang, dan bebas mengatakan apa saja tanpa ada penghalang syar’i yang menghalanginya, maka ia merajalela dan berjalan di muka bumi dengan membawa kerusakan, meskipun mereka mengetahui apa yang dialami orang-orang sebelum mereka, maka apa jadinya seandainya mereka -dengan perbuatannya itu- dibiarkan?

Tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, Dia meminumkan obat cobaan dan ujian menurut kadar keadaannya, yang akan mengeluarkan penyakit-penyakit berbahaya darinya. Sehingga ketika Dia telah membersihkan dan menjernihkannya, maka Dia menempatkannya pada derajat dunia yang paling mulia, yaitu beribadah kepada-Nya, dan menaikkan pada pahala akhirat yang tertinggi, yaitu melihat-Nya.[3]

3. Menguatkan orang yang beriman.
Sebab, musibah itu berisi latihan untuk orang mukmin, ujian bagi kesabarannya, dan menguatkan keimanannya.

4. Menyaksikan kekuasaan rububiyyah dan ketundukan ‘ubu-diyyah.
Karena seseorang tidak bisa lari dari Allah dan qadha'-Nya serta dari hikmah-Nya yang berlaku dan ujian-Nya. Kita adalah hamba Allah, Dia memperlakukan kita sebagaimana yang disukai dan dikehendaki-Nya, dan kita kembali kepada-Nya dalam segala urusan kita. Kepada-Nya tempat kembali, Yang mengumpulkan kita untuk kebangkitan kita.

5. Meraih keikhlasan dalam berdo’a dan kejujuran dalam bertaubat.
Sebab, musibah itu membuat manusia dapat merasakan kelemahan dan kefakiran dirinya dihadapan Rabb-nya. Kemudian hal itu mendorongnya kepada keikhlasan dalam berdo’a kepada-Nya, ketundukan yang sangat dan kebutuhan kepada-Nya serta jujur dalam bertaubat dan kembali kepada-Nya.

Seandainya bukan karena musibah-musibah ini, niscaya ia tidak pernah terlihat di depan pintu perlindungan dan kehinaan. Allah Azza wa Jalla mengetahui kelalaian manusia kepada-Nya, lalu Dia menguji mereka melalui nikmat-nikmat tersebut dengan berbagai gangguan yang mendorong mereka untuk menuju pintu-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya. Jadi, ini adalah kenikmatan yang terbungkus ujian. Sedangkan ujian yang murni ialah apa-apa yang melalaikanmu dari Rabb-mu.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Apa yang tidak disukai hamba adalah lebih baik baginya daripada apa yang disukainya. Karena apa yang tidak disukainya mendorongnya untuk berdo’a, sedangkan apa yang disukainya akan melenakannya.”[4]

6. Menyadarkan orang yang diuji dari kelalaiannya.
Betapa banyak orang yang diuji dengan hilangnya kesehatan, mendapatkan taubat yang menyelamatkan. Betapa banyak orang yang diuji dengan kehilangan hartanya, bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah dengan keadaannya yang lebih baik. Betapa banyak orang yang lalai terhadap dirinya serta berpaling dari Rabb-nya, lalu mendapatkan ujian dari Rabb-nya, maka hal itu membangunkannya dari tidurnya, menyadarkannya dari kelalaiannya, dan memotifasinya untuk memperbaharui ke-adaannya bersama Rabb-nya.

7. Mengetahui nilai kesehatan.
Karena sesuatu itu tidak diketahui kecuali dengan lawannya, lalu dengan hal itu akan diperoleh rasa syukur yang menyebabkan bertambahnya kenikmatan, karena apa yang dikaruniakan Allah berupa kesehatan itu lebih sempurna, lebih menyenangkan, lebih banyak, dan lebih besar ketimbang ujian dan sakit yang dideritanya. Kemudian diperolehnya kesehatan dan kenikmatan, setelah kepedihan dan kesusahan itu adalah lebih besar nilainya bagi manusia.

8. Di antara kepedihan itu kadangkala ada yang menjadi faktor kesehatan.
Adakalanya seseorang tertimpa suatu penyakit dan ternyata itu menjadi sebab kesembuhan dari penyakit lainnya. Adakalanya seseorang mendapat suatu penyakit lalu ia pergi untuk mengobatinya, maka tersingkaplah bahwa ternyata dirinya mempunyai penyakit kronis yang tidak tersingkap, kecuali karena sebab penyakit yang datang tiba-tiba ini. Abu ath-Thayyib al-Mutanabbi berkata:
Mungkin kecacatanmu itu terpuji akibatnya
dan mungkin badan menjadi sehat dengan adanya penyakit

9. Diperolehnya belas kasih kepada orang-orang yang tertimpa musibah.
Orang yang diuji dengan suatu hal, ia akan mendapati dalam dirinya rasa belas kasih kepada orang-orang yang tertimpa musibah. Belas kasih ini menyebabkan belas kasih Allah dan karunia yang banyak. Sebab barangsiapa yang berbelas kasih kepada siapa yang berada di muka bumi ini, maka yang berada di langit (Allah dan para Malaikat) akan menyayanginya pula.

10. Memperoleh shalawat (keberkahan yang sempurna), rahmat, dan hidayah dari Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [Al-Baqarah/2: 155-157]

11. Memperoleh pahala, dicatatnya amal-amal kebaikan, dan dihapusnya kesalahan-kesalahan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ شَيْئٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ، حَتَّى الشَّوْكَةِ تُصِيْبُهُ، إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ.

“Tidak ada sesuatu pun yang menimpa seorang mukmin, meskipun duri yang menusuknya, melainkan Allah mencatat baginya satu kebajikan karenanya atau menghapuskan satu kesalahan darinya karenanya.”[6]

Sebagian Salaf berkata, “Seandainya bukan karena musibah-musibah dunia, niscaya kita datang pada hari Kiamat dalam keadaan bangkrut yang hakiki.”[7]

Bahkan pahala tidak hanya dikhususkan untuk orang yang mendapatkan ujian semata, tetapi juga didapat oleh selainnya. Seorang dokter muslim ketika mengobati orang yang sakit dan diniatkan untuk mencari pahala, maka dituliskan pahala untuknya, dengan seizin Allah. Sebab, barangsiapa yang meringankan dari orang yang beriman suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan meringankan darinya suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari Kiamat.

Demikian pula orang yang mengunjungi orang yang sedang sakit, maka dituliskan pahala baginya, juga bagi orang yang mera-watnya.

12. Mengetahui tentang hinanya dunia.
Musibah terkecil yang menimpa manusia akan menjernihkan dirinya, memantapkan hidupnya, dan dapat membuatnya lupa akan kelezatan dunia. Orang yang pintar tidak akan tertipu dengan kenikmatan dunia, akan tetapi dia akan menjadikan dunia sebagai ladang bagi akhirat.

13. Pilihan Allah untuk hamba adalah lebih baik daripada pili-han hamba untuk dirinya.
Ini merupakan rahasia yang mengagumkan, yang sebaiknya hamba memahaminya. Hal itu karena Allah Azza wa Jalla adalah sebaik-baik Penyayang dan Hakim Yang paling bijaksana, Dia lebih tahu berbagai kemaslahatan hamba-hamba-Nya, dan lebih sayang kepada mereka dibandingkan diri mereka dan kedua orang tua mereka.

Jika datang kepada mereka sesuatu yang tidak mereka sukai, maka itu lebih baik bagi mereka dibandingkan bila tidak datang kepada mereka, sebagai bentuk perhatian dari-Nya, kebaikan, dan kasih sayang kepada mereka.

Seandainya mereka memungkinkan memilih untuk diri mereka, niscaya mereka tidak mampu melakukan hal-hal yang bermaslahat bagi mereka. Tetapi Allah Azza wa Jalla yang mengatur urusan mereka sesuai dengan ilmu, keadilan, hikmah, dan rahmat-Nya, baik mereka suka maupun tidak suka.

14. Manusia tidak mengetahui akibat urusannya.
Mungkin ia mencari sesuatu yang tidak terpuji akibatnya, dan mungkin ia tidak menyukai sesuatu yang bermanfaat baginya. Allah Azza wa Jalla lebih tahu tentang akibat suatu urusan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Qadha'-Nya bagi hamba yang beriman adalah karunia, meskipun dalam bentuk halangan, dan merupakan suatu kenikmatan, meskipun dalam bentuk ujian, serta ujian-Nya adalah keselamatan, meskipun dalam bentuk bencana.

Tetapi karena kebodohan hamba dan kezhalimannya, ia tidak menganggapnya sebagai anugerah, kenikmatan, dan keselamatan, kecuali apa yang dapat dinikmatinya dengan segera dan sesuai dengan tabiatnya.

Seandainya ia dikaruniai pengetahuan yang banyak, niscaya ia menilai halangan sebagai kenikmatan, dan bencana sebagai rahmat, serta ia merasakan ujian jauh lebih lezat dibandingkan dengan lezatnya keselamatan, merasakan kefakiran jauh lebih lezat dibandingkan kekayaan, dan dalam keadaan sedikit ia jauh lebih bersyukur dibandingkan dalam keadaan banyak.”[8]

15. Masuk dalam kelompok orang-orang yang dicintai Allah Azza wa Jalla.
Orang-orang beriman yang mendapatkan ujian akan masuk dalam rombongan orang-orang yang dicintai lagi dimuliakan dengan kecintaan Rabb semesta alam. Jika Dia mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. Disebutkan dalam as-Sunnah (hadits), yang mengisyaratkan bahwa ujian itu bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ عِظَـمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَـمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ.

“Sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha, maka dia mendapatkan keridhaan, dan barangsiapa yang marah (tidak ridha), maka dia mendapatkan kemurkaan.”[9]

16. Sesuatu yang tidak disukai adakalanya mendatangkan se-suatu yang dicintai, begitu pula sebaliknya.
Jika pengetahuan hamba tentang Rabb-nya benar, maka ia mengetahui secara yakin bahwa hal-hal yang tidak disukai yang menimpanya dan berbagai ujian yang datang kepadanya itu berisikan berbagai kemaslahatan dan kemanfaatan yang tidak terhitung oleh ilmunya dan tidak diketahui semuanya oleh pikirannya.

Bahkan kemaslahatan hamba pada apa yang tidak disukainya lebih besar ketimbang pada apa yang disukainya, sebab kemaslahatan jiwa pada umumnya terletak dalam hal-hal yang tidak disukainya, sebagaimana halnya kemudharatannya dan sebab-sebab kehancurannya pada umumnya terletak dalam hal-hal yang disukainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"…Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. [An-Nisaa': 19]

Dia juga berfirman:

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [Al-Baqarah/2: 216]

Jika hamba mengetahui bahwa perkara yang tidak disukai adakalanya mendatangkan hal yang dicintai, dan perkara yang dicintai adakalanya mendatangkan hal yang tidak disukai. Maka ia tidak merasa aman karena kesusahan bisa datang kepadanya dari sisi kesenangan, dan ia pun tidak berputus asa, karena kegembiraan bisa datang kepadanya dari sisi kesusahan.[10]

Dan hikmah-hikmah lainnya yang mungkin diketahui ataupun tidak diketahui manusia.

Dari sini, nampak jelas kepada kita bahwa tidak ada kontradiksi antara kehendak Allah kepada suatu perkara dengan kebencian-Nya kepadanya, karena Dia memiliki berbagai hikmah yang besar dan agung.

“Banyak manusia -bahkan kebanyakan mereka- yang berusaha menyingkap hikmah-hikmah Allah dalam segala sesuatu, tetapi hal tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka, bahkan mungkin merugikan mereka. Dia berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu… ." [Al-Maa-idah: 101]

Masalah ini, yaitu masalah tujuan perbuatan-perbuatan Allah dan akhir dari hikmah (kebijaksanaan)-Nya adalah masalah yang besar, bahkan mungkin merupakan masalah ketuhanan yang paling agung.”

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, “Pernyataan yang adil mengenai qadar ialah, hendaklah Anda mengetahui bahwa Allah itu Mahaadil. Tidak boleh bertanya, ‘Bagaimana Dia menciptakan?’ Bagaimana Dia menakdirkan? Bagaimana Dia memberi? Dan bagaimana Dia menghalangi? Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kekuasaan-Nya, tidak ada dalam kerajaan-Nya, yaitu langit dan bumi, melainkan apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada hutang bagi seorang pun atas-Nya, dan tidak ada hak bagi seorang pun sebelum-Nya. Jika Dia memberi, maka hal itu adalah dengan anugerah dan jika meng-halangi, maka hal itu adalah dengan keadilan.”[12]

Dengan ini menjadi jelas bagi kita tentang berkumpulnya dua perkara dalam hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu: kehendak-Nya kepada sesuatu disertai kebencian-Nya kepadanya, dan tidak ada kontradiksi dalam hal itu.

Demikianlah (pembahasan kita ini), dan akan ada tambahan penjelasan mengenai masalah ini dalam pembahasan berikutnya, ketika membicarakan tentang hikmah diciptakan dan ditakdirkannya kemaksiatan.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat perincian hal itu dalam Syifaa-ul-‘Aliil, hal. 364-412 dan 445-460. Lihat pula, Thariiqul Hijraatain, hal. 181-183, al-Fawaa-id, hal. 136-140, Muqaddimah Miftaah Daaris Sa’aadah, hal. 3 dan sesudahnya dari muqaddimah tersebut, Madaarijus Saalikiin, (I/264-269 dan II/190-198), Syarh al-‘Aqiidah at-Thahaa-wiyyah, hal. 252-256, al-Hikmah wat Ta’liil fii Af’aalillaah, hal. 205-210, dan Lawwaami’ul Anwaaril Bahiyyah, (I/339-343).
[2]. HR. Muslim, (no. 2999), dari hadits Shuhaib.
[3]. Tasliyah Ahlil Mashaa-ib, hal. 25.
[4]. Al-Faraj Ba’da asy-Syiddah, Ibnu Abi Dunya, hal. 22.
[5]. Diiwaan al-Mutanabbi, (III/86).
[6]. HR. Muslim, (no. 2572).
[7]. Bardul Akbaad, hal. 46.
[8]. Madaarijus Saalikiin, (II/215-216).
[9]. HR. At-Tirmidzi, (no. 2396) dan Ibnu Majah, (no. 4031), dari hadits Anas z, dihasankan oleh at-Tirmidzi juga al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi, (II/286).
[10]. Lihat perincian pembicaraan tentang hikmah-hikmah musibah dalam Shaidul Khaathir, Ibnul Jauzi, hal. 91-95, 213-215, dan 327-328, al-Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 137-139, 178-179, dan 200-202, dan Bardul Akbaad, hal. 37-39.
[11]. Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/39), dan lihat dari buku yang sama, (I/46), Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/81), dan Ighaatsatul Lahfaan, Ibnul Qayyim, (II/187-195).
[12]. Al-Ikhtilaaf fil Lafzh, hal. 35, dan lihat, al-Inaabah ‘an Syari’atul Firqaah an-Naajiyah, Ibnu Baththah, (I/390
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri di antara kalian dan saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak” (Qs: al-Hadid: 20).
Saat melewati sebuah pasar, Rasulullah SAW dan para sahabatnya menemukan bangkai seekor anak kambing yang kecil telinganya. Beliau memegang telinga bangkai itu lalu mengangkatnya. Sambil menoleh beliau bertanya: “Siapakah diantara kalian yang mau membayar bangkai ini seharga satu dirham?” Dengan wajah heran para sahabat menjawab: “Bagi kami ia tidak ada nilainya sedikitpun. Apa yang dapat kami lakukan terhadap bangkai yang hina itu?” Beliau menambahkan lagi: “Bagaimana kalau bangkai ini diberikan (cuma-cuma) pada kalian?” Serentak mereka menimpali: “Demi Allah, seandainya-pun masih hidup kami tidak bakal tertarik. Ia adalah hewan cacat karena telinganya kecil, apalagi dengan kondisi sekarang yang telah menjadi bangkai?!, sudah tentu kami lebih tidak tertarik lagi”. Sambil tersenyum Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, sungguh dunia di sisi Allah jauh lebih hina ketimbang bangkai anak kambing ini”. (HR. Bukhari).
Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Andai dunia ini sepadan dengan sayap seekor nyamuk di sisi Allah, maka orang-orang kafir tidak bakal mendapat minum walau seteguk air”. (HR. Imam al-Tirmidzi, shahih).
Inilah hakekat dunia sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengajak kita sadar. Jangan sampai gemerlap dan tipu dayanya menjadikan kita budak. Atau bahkan hamba baginya. Sebab, penghambaan terhadap dunia merupakan sumber segala kerusakan. Lihatlah kefajiran yang banyak dibuat anak Adam, dahulu hingga kini, hampir seluruhnya disebabkan cinta dunia.
Nah, dalam menyikapi kehidupan dunia serta tujuan akhirat yang dituju anak adam terbagi menjadi dua:
Golongan pertama: Mereka yang mengingkari kehidupan akhirat setelah alam dunia ini berakhir. Tentang mereka, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan”. (Qs: Yunus : 7).
Golongan kedua: Mereka yang meyakini adanya hari pembalasan pasca kehidupan dunia.Golongan ini mengakui para Rasul serta membenarkan risalahnya. Kendati kondisi mereka bertingkat, seperti disinggung dalam firman-Nya: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (Qs: Fathir : 32). Penjabaran adalah sebagai berikut:
Pertama: Zalimun linafsihi. Yakni, orang yang menzalimi diri sendiri. Dalam kehidupan ini mereka banyak terjebak dalam perkara-perkara haram. Sebab bagi mereka, dunia adalah segalanya. Wala’-nya pun sepenuhnya diserahkan pada dunia. Makanya, mereka dikatakan menzalimi diri sendiri. Karena sikap mereka itu sedikitpun tidak memberi mudharat bagi Allah Ta’ala. Akan tetapi, akibat dari perbuatan mereka itu kembali pada diri sendiri. Mereka itulah ahli ahwa’ dan ahlu syahwat. Gerak hidup mereka kebanyakan didominasi kepentingan hawa nafsu dan pemuasan syahwat hewani.
Kedua: Muqtashid. Yaitu golongan pertengahan. Mereka menikmati kehidupan dunia dari arah yang dibolehkan, disamping melaksanakan seluruh kewajiban yang dibebankan syari’at.
Golongan ini tidak tercela. Hanya saja derajat mereka di sisi Allah Ta’ala tidaklah istimewa. Diriwayatkan, Umar bin al-Khattab ra berkata: “Seandainya bukan karena takut derajatku di surga akan berkurang, sudah pasti aku akan mendahului kalian dalam hal kehidupan dunia. Saya mendengar Allah Ta’ala mencela suatu kaum melalui firman-Nya: “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya”. (Qs: al-Ahqaf : 20).
Ketiga: Sabiqun Bi al-Khairaat. Yaitu, orang-orang yang bersegera mengerjakan amal-amal kebajikan. Mereka paham hakikat kehidupan dunia ini. Mengerti maksud dan tujuan mengapa mereka diciptakan. Hingga akhirnya mengarahkan mereka mengubah segala gerak dalam hidup sebagai amal dan ibadah kepada Allah Ta’ala.
Disamping itu, mereka sadar, bahwa Allah Ta’ala menempatkan segenap hambaNya di bumi untuk menjalani ujian. Hal ini, agar kelihatan siapa yang paling baik amalnya. Paling zuhud terhadap dunia. Dan paling cinta pada negeri akhirat. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Qs: al-Kahfi : 7).
Mereka merasa cukup mengambil dunia sekedar bekal menghadapi perjalanan panjang. Karena dunia, menurut mereka, adalah terminal mengisi segala perbekalan yang dibutuhkan. Olehnya, Allah Ta’ala mengingatkan kita akan hal itu: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. (Qs: al-Baqarah : 97).
Rasulullah SAW bersabda: “Apa urusanku dengan dunia ini?!, tidaklah aku di dunia melainkan ibarat pejalan kaki yang berlindung di bawah naungan sebatang pohon, istirahat, lalu pergi meninggalkannya”. (HR. Imam al-Tirmidzi, shahih).
Artinya, kampung sebenarnya bagi hamba adalah kampung akhirat. keluarga hakiki baginya adalah keluarga di akhirat. Dan Harta kekayaan sebenarnya adalah harta di akhirat. Merugilah orang-orang yang tega menjual akhiratnya demi mengais secuil kesenangan dunia yang fana.
Makanya, tanamkan niat taqwa dalam seluruh aktifitas hidup. Hal mana agar setiap perbuatan kita di muka bumi bernilai pahala di sisi-Nya. Sebab demikianlah maksud keberadaan kita di dunia. Ibadah, dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Mu’adz bin Jabal ra berkata: “Aku mengharapkan pahala dari tidurku, sebagaimana mengharapkan pada waktu terjagaku (shalat malam). Walllahu a’lam. [] 

Sumber Disini : http://www.belajarislam.com/menyikapi-dunia/

حديث أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ أخرجه البخاري في: 11 كتاب الجمعة: 8 باب السواك يوم الجمعة
142.               Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Andaikan aku tidak kuatir memberatkan pada ummatku (atau pada orang orang) pasti aku perintahkan (wajibkan) atas mereka bersiwak (gosok gigi) tiap akan shalat. (Bukhari, Muslim).
حديث أَبِي مُوسى قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدْتُهُ يَسْتَنُّ بِسِوَاكٍ بِيَدِهِ، يَقُولُ: أُعْ أُعْ وَالسِّوَاكُ فِي فِيهِ كَأَنَّهُ يَتَهَوَّعُ أخرجه البخاري في: 4 كتاب الوضوء: 73 باب السواك
143.               Abu Musa radhiyallahu anhu berkata: Saya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka aku dapatkannya sedang bersiwak dengan kayu arak yang ada di tangannya sampai berkata: Uk, uk, (seakan-akan akan tumpah), sedang kayu siwak masih di tangannya seakan akan tumpah. (Bukhari, Muslim).
حديث حُذَيْفَةَ قَالَ كَانَ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوص فَاهُ بِالسِّوَاكِ أخرجه البخاري في: 4 كتاب الوضوء: 73 باب السواك
144.               Hudzaifah radhiyallahu anhu berkata: Biasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bangun tengah malam langsung menggosok giginya dengan siwak (gosok gigi). (Bukhari, Muslim).
I. Muqoddimah
Rangkaian ibadah-ibadah Ramadhaniyat diakhiri dengan "Idul Fithri". 'Id secara etimologis berarti 'kembali'. dan Fithri berarti 'berbuka' atau fitroh. Sedangkan  secara istilah, 'Idul Fithri  ialah kembali berbuka (makan minum) setelah berpuasa atau kembali kepada fithroh setelah melalui masa training dan pembersihan (tathhir) selama bulan Ramadhan.
II. Hukum dan disyariatkannya 'Idul Fithri
Hari  Raya 'Idul Fithri disyariatkan pertama kali pada tahun awal Hijriyah. Seperti dilapor- kan oleh Anas: Adalah mereka (penduduk Madinah) memiliki dua hari raya, hari dimana mereka bermain dan bergembira, sampai Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Rasulullah SAW bertanya: Apakah tujuan dan arti dua hari ini ? Mereka menjawab; pada zaman jahiliyah dulu kami  bermain pada dua hari raya ini. Rasulullah SAW  berkata :
Sesungguhnya Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan hari Raya yang lebih baik, yakni hari raya "'Idul Fithri" dan hari raya "'Idul Adhha" (HR. Nasa'i - Ibnu Hibban).

Hukum shalat 'idul fithri adalah sunnah muakadah, yaitu sunnah yang sangat dipelihara dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Dalil yang menunjukkan atas disyariatkannya shalat 'Idul Fithri, antara lain:

a. Al-Qur'an surat al Kautsar ayat 2. 
b. Hadits; Hadits mutawatir bahwa Rasulullah SAW shalat 'Idul Fithri yang pertama pada tahun ke-dua   hijriyah, sebagaimana dilaporkan oleh Ibnu Abbas (HR. Bu- khori-Muslim). 
c. Ijma' Ulama', Para ulama dan kaum muslimin telah berijma' tetap disyariatkannya shalat 'Idul Fithri.

III. Waktu shalat 'Idul Fithri
Para ulama sependapat bahwa waktu shalat 'idul fithri  dimulai sejak terbit matahari 1 Syawwal hingga sebelum zawal (dzuhur), seperti waktu shalat dhuha. (HR.Ahmad). Di- sunnahkan agar menyegerakan  shalat 'Idul Adhha dan mengakhirkan sedikit shalat 'Idul Fithri. (HR. Syafi'i). Hikmahnya untuk shalat 'idul adhha agar waktu menyembelih hewan qurban lebih panjang. Sedang untuk 'idul fithri agar waktu menyalurkan zakat lebih luas.

IV. Tempat Shalat 'Idul Fithri
Para ulama sepakat bahwa tempat shalat 'idul fithri untuk Makkah, yang afdlol dilaksana- kan di masjid Al Haram. Dan untuk luar Makkah, ada dua pendapat:

Jumhur ulama' (kebanyakan ulama') melihat bahwa yang afdlol dilaksanakan ditanah lapang (bukan masjid), kecuali dalam keadaan dorurot atau ada udzur syar'i seperti hujan, maka dilaksanakan di masjid, seperti yang dilaporkan Abu Hurairah (HR. Abu Daud dan Al Hakim).
Asy-Syafi'iyah, melihat bahwa pelaksanaan shalat 'Idul Fithri lebih afdlol di masjid, sebab masjid adalah tempat yang paling mulia. Kecuali apabila masjidnya sempit, maka yang afdlol di tanah lapang kalau ada, sebagaimana dicontohkan oleh Rasu- lullah SAW. (HR. Bukhori - Muslim).
Konklusinya, tanah lapang (kalau ada), masjid bahkan musholla (kalau tidak ada tanah la- pang atau tidak ada masjid, atau ada tetapi  menyulitkan), dapat ditempati untuk shalat 'idul fithri.

Dengan tetap menjaga prinsip ukhuwwah, dan menyadari bahwa kita berada dalam sua- sana hari raya 'idul fithri, masalah ini tidak perlu dibesarkan, yang menjadi masalah adalah kalau tidak shalat 'idul fithri.

V. Tata Cara Shalat ' Idul Fithri
Shalat 'Idul Fithri terdiri dari dua rakaat. Syarat dan rukun shalat 'id mengikuti syarat dan rukun shalat wajib. Setelah takbiratul ikhram dan sebelum membaca al Fatihah pada ra- kaat pertama, disunnahkan membaca takbir sebanyak tujuh kali takbir. Dan pada rekaat ke-dua lima kali takbir, tidak termasuk takbir ketika bangkit dari sujud (rakaat pertama) ke rakaat ke-dua (takbirotul qiyam), dengan mengangkat ke-dua tangan setiap takbir, sebagaimana dilaporkan Amar bin Syuaib (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud dan Daru- quthni). Dan diantara takbir membaca :

Shalat 'Idul Fithri dilakukan sebelum khutbah 'Idul Fithri, sebagaimana dilaporkan oleh Ibnu Umar " Adalah Rasulullah SAW , Abu Bakar, Umar, Utsman melaksanakan shalat Idul Fithri sebelum khutbah 'Idul Fithri " (HR. Bukhori-Muslim). Riwayat yang sama juga dilaporkan oleh Abu Said.

VI. Khutbah 'Idul Fithri
Pelaksanaan khutbah 'Idul Fithri yaitu setelah shalat 'Id seperti dilaporkan oleh Ibnu Umar dan Abu Said (HR. Bukhori-Muslim). Hukum khutbah 'Idul Fithri dan mendengarkannya adalah sunnat, seperti yang dilaporkan oleh Abdullah bin As Said (HR. An Nasa'i, Abu Daud dan Ibnu Majah). Dan yang paling afdlol mengikuti seluruh rangkaian shalat/khutbah 'Idul Fithri dari awal sampai akhir.  Dan seperti pada shalat jum'at, khutbah 'Idul Fithri terdiri dari dua khutbah.

VII. Hal-hal yang disunnahkan  pada Waktu Hari Raya

Mengisi  malam 'Idul Fithri dengan ibadah dan taqorrub kepada Allah, seperti dzkir, shalat, qiroatul Qur'an, tasbih, istighfar dan sebagainya. Dan yang lebih afdlol, menghidupkan malam 'Id semalam suntuk, seperti dilaporkan ubadah bin Shamit (HR. Ath Thobari dan Daru Quthni), tentunya kalau kuat,tanpa mengorbankan ibadah-ibadah wajib seperti, shalat isya' dan shalat subuh, tepat pada waktunya dengan berjama'ah. Menghindari mengisi malam-malam 'Idul Fithri dengan acara hura-hura, takbiran sambil menabuh beduk yang justru mengganggu (tidak khusyuk), memutar kaset takbiran sementara orangnya tidur dan lain-lain, yang bertentangan dengan sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW .
Menghidupkan sunnah takbiran semenjak terbenam matahari akhir Ramadhan hingga berangkat ke tempat shalat 'id sampai kemudian shalat 'id dilaksanakan dengan lafal, al:
"Allaahu Akbar (3x), La Ilaaha Illallaahu Wallaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillahil Hamdu".
Mandi (HR. Ibnu Majah), memakai wangi-wangian (parfum) (HR. Baihaqi), bersiwak (menggosok gigi),memakai sebaik-baik pakaian.
Bersegera (berpagi-pagi) menuju tempat shalat 'Idul fithri, dengan tenang, dan pe- nuh ketulusan. Dan lebih afdlol kalau berjalan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, seperti dilaporkan oleh Ali bin Abi Tholib (HR. Tirmidzi).
Makan (sarapan) sebelum berangkat shalat 'Idul Fithri, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. (HR. Bukhori)
Membayar zakat fitrah sebelum berangkat shalat 'Idul Fithri (batas akhir  pembaya- ran zakat fitrah). Sekalipun zakat fitrah boleh saja dibayar beberapa hari sebelum 'Idul Fithri. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni, al Hakim)
Bergembira dan menggembirakan sesama muslim dan lebih mempererat tali ukhuwah diantara kaum muslimin .
Disunnahkan juga agar jalan ketika pergi dan jalan ketika pulang tidak sama. Se- perti yang dipraktekkan  Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dilaporkan Jabir (HR. Bukhori).
VIII. 'Idul Fithri bagi kaum wanita dan anak-anak
Sebagaimana halnya kamu pria, kaum wanita dan anak-anak pun disunnatkan menghadiri shalat 'Idul Fithri. Begitu pula halnya orang-orang tua, gadis-gadis perawan, wanita-wa- nita haidh dan nifas. Seperti dilaporkan oleh Ummu Athiyah (HR. Bukhori - Muslim).

Adalah Rasulullah SAW keluar bersama istri-istri dan putri-putrinya untuk melaksanakan shalat 'Idul Fithri dan mendengarkan khuthbah (HR. Ibnu Majah & Baihaqi dan Ibnu Ab- bas). Adapun untuk wanita haidh dan nifas, cukup mendengarkan khuthbah, tidak ikut shalat.

IX. Adzan dan Qomat
Tidak disyari'atkan adzan dan qomat pada waktu shalat 'Idul Fithri dan 'Idul Adha, seperti dilaporkan Ibnu Abbas dan Jabir (HR. Bukhori dan Muslim)

X. Shalat Qobliyah dan Ba'diyah
Tidak ada satu riwayat-pun yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan shahabatnya mengerjakan shalat sunnat qobliyah dan ba'diyah pada waktu shalat 'Idul Fithri. (HR. Ja- ma'ah dari Ibnu Abbas), kecuali kalau shalat 'Idul Fithri dilaksanakan di masjid, maka te- tap disunnatkan shalat tahiyyat al masjid.

XI. Bergembira pada Hari Raya 'Idul Fithri
Umat Islam disunnatkan agar bergembira dan menggembirakan orang lain pada hari raya 'Idul Fithri. Dengan memakai pakaian yang terbaik, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmatNya, makan minum yang halal dan tidak isrof (berlebihan), saling ber- jabat tangan (kecuali antara pria dan wanita yang bukan muhrim), saling menziarohi, sa- ling memberi  (mengirim) ucapan selamat (berma'af ma'afan), dan saling bertukar hadiah dalam batas-batas yang wajar. Hal ini menunjukkan hikmah ajaran Islam yang selalu menjaga keseimbangan (tawazun).

Namun demikian sifat berlebih-lebihan dalam berbagai hal tetap tidak dibenarkan oleh Islam, sekalipun pada hari raya 'Idul Fithri. Hadits riwayat An Nasa'i di muka menunjukkan adanya alternatif yang diberikan Rasulullah SAW dalam sabdanya: "Allah telah menggan- tikan dua hari raya jahiliyah. Hal ini mengisyaratkan bahwa 'Idul Fithri harus jauh dari nilai-nilai jahiliyah dan harus berfungsi sebagai rasa  syukur kepada Allah, dan penegasan kembalinya kita kepada fithrah.

XII. Pasca Ramadhan
Umat Islam hendaknya berupaya  melestarikan nilai-nilai dan amaliyah-amaliyah Rama- dhan yang  telah dibina selama sebulan penuh, diantaranya dengan melaksanakan puasa sunnah selama  6 hari pada bulan Syawwal.

XIII. Penutup.
Demikian panduan praktis ini, semoga hikmah dan tujuan 'Idul Fithri sebagai hari kembali- nya hamba-hamba Allah kepada fitrahnya, dapat kita raih. Amin.




Tuntunan Lailatul Qadar
Tips Pasti Berjumpa Malam Lailatul Qadar
Aku Jumpa Lailatul Qadar
Kembara Mencari Lailatul Qadar
Muhasabah Ramadhan


Kapankah terjadinya Lailat al Qodr
Sesuai dengan firman Allah pada awal surat Al Qodr, serta pada ayat 185 surat Al Baqoroh, dan hadits Rasulullah SAW.  Maka para ulama' bersepakat bahwa " Lailat al qodr" terjadi pada malam bulan Ramadhan. Bahkan seperti diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Abu Dzar, dan Abu Hurairah, lailat al qodr bukannya sekali terjadi pada masa Rasulullah SAW saja, malainkan ia terus berlangsung pada setiap bulan Ramadhan untuk mashlahat umat Muhammad, sampai terjadinya hari qiyamat. 




Bagaimana dengan kita...?

bila kematian merenggut hidup kita
sementara kita masih merajut dosa
merenda maksiat

Bagaimana dengan kita...?
jika malaikat maut menjemput dengan paksa
sementara kita sedang di gairah
bersama pasangan selingkuh kita

Bagaimana dengan kita...?
kalau saja ajal datang tanpa kompromi
sementara kita sedang sakauw
dengan segenggam putauw

Bagaimana dengan kita...?
jika kematian membuyarkan semua harapan
sementara kita masih berjalan
dalam kegelapan tanpa arah

Bagaimana dengan kita...?
kalau ajal menghentikan kenikmatan hidup
sementara kita masih mengumbar kesombongan
dan masih alergi dengan kebenaran

Bagaimana dengan kita...?
ketika Allah mengambil nyawa kita
sementara kita tak pernah mengingat-Nya
bahkan terbiasa menantang-Nya

Bagaimana dengan kita...?
saat jasad ditinggal ruh
padahal kita masih betah menjahit kedengkian
sangat bernafsu menyebar hasad

Bagaimana dengan kita...?
ketika badan tanpa nyawa menuju ke liang kubur
padahal kita masih membenci kebenaran
bahkan bernafsu membungkam penyerunya

Bagaimana dengan kita...?
saat sang malakul maut mencabut nyawa
sementara bekal tak pernah kita miliki
hanya dosa yang menggunung

Bagaimana dengan kita...?
saat keranda jenasah kita
diusung diiringi tangisan keluarga
sementara yang kita miliki hanya segunung dosa

Apa bekal kita...?
haruskah menderita dalam kehidupan abadi?

Naudzubillahi min dzalik.




Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara? Kalau aku (Rasulullah Saw), aku berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya. (1) Jika perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang terdahulu. (2) Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali. (3) Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan dan kezaliman penguasa. (4) Jika penguasa-penguasa mereka melaksanakan hukum yang bukan dari Allah maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka untuk memerintah dan merampas harta kekayaan mereka. (5) Jika mereka menyia-nyiakan Kitabullah dan sunah Nabi maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Aku beritahukan yang terbesar dari dosa-dosa besar. (Rasulullah Saw mengulangnya hingga tiga kali). Pertama, mempersekutukan Allah. Kedua, durhaka terhadap orang tua, dan ketiga, bersaksi palsu atau berucap palsu. (Ketika itu beliau sedang berbaring kemudian duduk dan mengulangi ucapannya tiga kali, sedang kami mengharap beliau berhenti mengucapkannya). (Mutafaq’alaih)

Ada empat kelompok orang yang pada pagi dan petang hari dimurkai Allah. Para sahabat lalu bertanya, “Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau lalu menjawab, “Laki-laki yang menyerupai perempuan, perempuan yang menyerupai laki-laki, orang yang menyetubuhi hewan, dan orang-orang yang homoseks. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

Ada tiga jenis orang yang diharamkan Allah masuk surga, yaitu pemabuk berat, pendurhaka terhadap kedua orang tua, dan orang yang merelakan kejahatan berlaku dalam keluarganya (artinya, merelakan isteri atau anak perempuannya berbuat serong atau zina). (HR. An-Nasaa’i dan Ahmad)


Alhamdulillahi Robbil’aalamiin… marilah kita bersyukur atas nikmat berkesempatan untuk memulai menuntut ilmu agama. Semoga ini akan memperbaiki hidup kita, sesuai sabda Nabi: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Allah menggerakkan ia belajar ilmu agama sampai pandai.” (HR Bukhari).

Sebelumnya saya pernah membahas tentang keutamaan ilmu
, dan kali ini juga saya akan bahas bagaimana pentingnya menuntut ilmu Agama tersebut.

Beberapa hikmah menuntut ilmu (agama) lainnya adalah:

1. Berada di jalan Allah
“Barang siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu, berarti dia berada di jalan Allah hingga pulang” (HR Turmudzi)

2. Mendapatkan pahala yang mengalir terus menerus
“Jika anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecualai 3 hal, yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”(HR Muslim)

3. Agar tidak terlaknat
“Dunia dan seisinya terlaknat, kecuali yang memanfaatkannya demi kepentingan dzikrullah dan yang serupa dengan itu, para ulama dan orang-orang yang menuntut ilmu” (HR Turmudzi)

4. Ditinggikan derajatnya
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Mujadilah: 11).

5. Dimudahkan jalan menuju surga
“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu agama, pasti Allah membuat mudah baginya jalan menuju surga” (HR Muslim)

Kemuliaan ilmu atas harta
Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.

Ilmu itu menjaga yang empunya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.

Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa atas ilmu.

Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedang ilmu justru bertambah dengan diajarkan.

Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah dengan dengan hartanya, sedang ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para pemiliknya.

Harta bisa didapatkan oleh siapa saja baik orang beriman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedang ilmu yang bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.

Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan dirinya dan kemuliaannya.

Sedangkan harta, ia tidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya, malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta dan menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti kesempurnaannya dan keinginannya kepada harta adalah ketidaksempurnaannya dirinya.

Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar semua ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar semua kesalahan.

Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada Allah dengan ilmunya dan akhlaknya, sedang orang kaya itu mengajak manusia ke neraka dengan harta dan sikapnya.

Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan menggunakannya untuk memenuhi kebutuhannya syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedang kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus rohani yang mirip dengan kelezatan para malaikat dan kegembiraan mereka. Antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat perbedaan yang mencolok.


Karena itu, dengan menuntut ilmu semoga kita menjadi orang baik, tetap berada di jalan Allah, memiliki pahala yang terus mengalir meskipun sepeninggal kita, tidak terlaknat, ditinggikan derajatnya dan dimudahkan Allah menuju surga. Mudah-mudahan kita semua dimudahkan Allah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat sehingga dapat terbentuk masyarakat yang adil, makmur dan Islami. Amiiin


“Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’” (QS. Thaha: 114).

“Barang siapa menempuh suatu jalan dengan tujuan mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Selain itu, malaikat akan meletakkan sayapnya bagi orang yang mencari ilmu sebagai keridaan atas tindakannya. Sesungguhnya yang ada di langit dan bumi, bahkan ikan-ikan di laut, akan memohonkan ampunan bagi orang yang menuntut ilmu. Keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan atas planet yang lain. Para ulama adalah pewaris manusia. Dan, para nabi tiada mewariskan dinar atau dirham, melainkan ilmu. Maka, barang siapa mengambilnya, berarti ia telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Ahmad) 

Artikel Ramadhan Terbaik :


FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE