Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan

(Petunjuk Untuk Para Pejuang Khilafah)
Oleh : Abu Salma bin Rosyid

Dakwah para Rasul adalah dakwah tauhid yaitu menyeru manusia untuk beribadah seikhlas-ikhlasnya kepada Allah Azza Wa Jalla tanpa menyekutukan sedikitpun kepada ilah yang lain. Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan tentang perkara ini.
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:”Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (Al-Anbiya’:25)
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. (An-Nahl:36)
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan yang haq (berhak disembah) bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).(Al A’raf :59)
Yang demikian ini karena Allah Azza Wa Jalla menciptakan makhluk tidak lain kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Allah Azza Wa Jalla berfirman, Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.(Adz-Dzariyat;56)
Diibadahi adalah hak Allah Azza Wa Jalla, sedangkan beribadah adalah kepada-Nya tanpa syirik sedikitpun adalah kewajiban hamba, dengan kewajiban ini seorang hamba akan mendapatkan hak atas Allah Azza Wa Jalla yaitu tidak mendapatkan siksa sedikitpun (tidak dimasukkan ke neraka).
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Muadz bin Jabal. ”Tahukan engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya, dan apakah hak hamba atas Allah? Selanjutnya Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) bersabda, ”Hak Allah yang harus ditunaikan hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun; sedang hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun”. (HR. Bukhari)
Itulah pelajaran terpenting bagi setiap maunisa (yang iman maupun yang kafir) yaitu diperintahkan beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla tanpa syirik sekecil apapun, karena kesyirikan akan menghapus amalan-amalan.
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.(Az-Zumar:65-67)
Berfirman pula Allah Azza Wa Jalla:
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.(Al-An’am:88)
Beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla tanpa kesyirikan adalah dengan cara mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu menjadi orang yang beragama islam.
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran;85)
Islam yang harus diikuti adalah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu yang terpenting adalah rukun Islam dan rukun Iman. Hal ini tergambar melalui hadits jibril yang sangat panjang.
Dari Umar berkata: Ketika disuatu hari kami duduk-duduk bersama Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) muncullah seorang laki-laki berpakaian putih bersih, berambut hitam kelam, tidak tampak padanya bekas-bekas bepergian jauh, dan tak ada seorangpun dari kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk mendekat kepada Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), dengan menempelkan lututnya pada lutut Beliau, kemudian ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Beliau. Ia berkata, ”Wahai Muhammad, beritahu aku tentang islam.”
”Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Berislam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah bila kamu mampu melaksanaknnya”.
Orang itu berkata, ”Engkau benar”. Kami heran kepadanya, ia itu bertanya lalu membenarkannya.
Orang itu berkata lagi, ”Beritahu aku tentang iman”.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, ” Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar yang baik maupun yang buruk”.
Orang itu berkata, Engkau benar”. ……(HR. Muslim)
Begitulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya tentang islam dan iman, dengan hadits dan yang semakna para ‘ulama menjelaskan pokok-pokok islam, pokok-pokok iman dan mengawali dakwahnya, menyeru kepada manusia untuk berislam.
Lebih rinci lagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita urutan-urutan dakwah, seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika mengutus Muadz ke negeri Yaman, Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepadanya, : Sesungguhnya Engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahlil Kitab, maka hendaklah yang pertama, serulah mereka untuk bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah. Dalam riwayat yang lain agar mereka mentauhidkan Allah. Maka apabila mereka telah mentaati engkau dalam perkara ini, ajarkan pada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara ini, ajarkanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka Shodaqoh (Zakat) yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang miskin di antara mereka. Jika mereka telah mentaatimu dalam perkara ini berhati-hatilah dengan harta-harta mereka yang mulia dan takutlah kamu dari doa orang-orang yang terdholimi karena tidak ada batas doa mereka (orang yang terdholimi itu) dengan Allah. (HR. Bukhari Muslim, dinukil oleh Asy-Syaih Muhammad abdul Wahhab dalam kitab Tauhidnya)
Demikian manhaj Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan juga manhaj orang-orang shaleh yang terdahulu dari kalangan ‘ulama. Oleh karena itulah Asy-Syaih Ibnu Wahhab mencantumkan hadits di atas dalam kitab Tauhidnya dengan judul Bab berdakwah kepada Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah (Azza Wa Jalla)
Demikian juga ‘ulama-’ulama masa kini Asy-Syaih Ibnu Baz membuat kitab kecil yang sangat bermanfaat bagi kaum muslimin Durusul Muhimmah li Ammatil Ummah (Pelajaran Penting Bagi Seluruh Kaum Muslimin). Dengan buku tersebut beliau mengajarkan kepada kaum muslimin tentang rukun-rukun islam dan rukun-rukun iman, karena memang inilah pokok-pokok islam.
Tidak ketinggalan ‘ulama-’ulama lain menjelaskan perkara tersebut, tidak bosan, diulang-ulang karena pentingnya. As-Syaih Ahmad bin Yahya bin Muhammad An-Najmi menjelaskan tentang manhaj para Rasul dalam berdakwah, bahwa mereka mengawali dengan tiga hal yang kesemuanya adalah asas akidah :
1. Tauhid, Memberikan penghambaan diri kepada Allah Azza Wa Jalla yang Esa, tidak untuk selain-Nya dari tuhan-tuhan buatan manusia lalu mempersembahkan penghinaan dan penghambaan diri baginya disertai keyakinan bahwa ia dapat memberikan kemanfaatan, kemudharatan, memberi, menahan, memuliakan dan menghinakan.
2. Hari Kembali : Iman pada Hari Akhir dan semua kejadian yang ada di dalamnya; perhitungan, balasan, surga, neraka, ragam ni’mat surga, serta bermacam-macam adzab neraka.
3. Iman pada risalah-risalah langit: Para rasul ialah mediator yang menghubungkan makhluk dengan Allah Azza Wa Jalla dan penunjuk jalan-Nya, bukan apa yang diwariskan oleh nenek moyang, adat istiadat dan keyakinan masyarakat. (Mengenal tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin : 98, Cahaya Tauhid Press)
Dakwah seperti ini bukan berarti mengesampingkan mengajarkan amalan-amalan islam yang lain, akan tetapi ini adalah tahapan terpenting yang harus diutamakan untuk diserukan kepada sekalian manusia, ini adalah batas-batas manusia disebut sebagai orang islam atau orang kafir.
Adapun amalan-amalan lain merupakan amalan yang menjadikan kesempurnaan islam dan iman seseorang hamba, bukan suatu syarat bagi seseorang dianggap muslim atau kafir. Maka siapa saja yang mengucapkan La Ilaha Illallah dan mengerjakan shalat serta rukun-rukun islam yang lain dihukumi sebagai orang muslim dan diharamkan darahnya kecuali dengan hak-hak islam.
Dari ibnu ‘Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Sesembahan yang haq kecuali Allah (Azza Wa Jalla), dan bahwa Muhammad itu utusan Allah (Azza Wa Jalla), mendirikan shalat, menunaikan zakat. Bila mereka melakukan hal-hal itu, telah terjaga darah dan hartanya dariku, kecuali dengan hak-hak Islam. Dan hisabnya ada pada Allah Azza Wa Jalla. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dakwah seperti ini menjadikan persaudaraannya di atas islam dan iman yaitu di atas kaliamat tauhid. Allah Azza Wa Jalla berfirman:Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (al-Hujuraat: 10)
Inilah dakwah persatuan dan persaudaraan di atas kalimat tauhid, maka dimana tempatnya, dimana jamannya, dimana negaranya, asalkan mereka muslim dialah saudara, berhak mendapatkan hak-hak islam seperti didoakan, diberi salam, diziarahi, diberi shodaqoh, diberi zakat, diberi nasehat dan hak-hak islam yang masih banyak.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendholiminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan mendholiminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat. (HR. Bukhari Muslim)
Inilah makna persatuan, rahmat untuk sekalian ‘alam, tidak dibatasi teritorial, Amir-amir jama’ah hizbiyah ataupun penguasa-penguasa suatu negeri. Asal muslim adalah saudara. Berhak atas hak-hak Islam. Sehingga kita saksikan saat ini, kaum muslimin dapat melaksanakan haji bersama, saling memberi bantuan antar negara, saling mendoa serta berbagai wujud persatuan dan persaudaraan yang lain. Ini adalah sebagian nikmat dari nikmat Allah Azza Wa Jalla yang telah diberikan kepada hamba-hambanya dan kita semua harus terus berupaya mewujudkan pada diri masing-masing.
Maka untuk mewujudkan persatuan dan persaudaraan yang hakiki, tidak boleh tidak kita harus mengikuti Nabi-Nya dalam segala hal. Asy-Syaih Ahmad Najmi berkata setelah menukil ayat-ayat al-quran yang banyak, Beliau (Asy-Syaih Ahmad Najmi) menganjak kaum muslimin untuk mencontoh Nabi dalam dakwahnya , ibadah, muamalah, akhlak, pakaian, makan, minum, tidur, bangun, mencari harta, mengembangkannya, menginfaqkannya dan segala hal. Sedang dakwah mengajak menuju Allah Azza Wa Jalla itulah urusan paling prioritas dan teragung dalam dien ini, maka wajib atas kita untuk meneladani Beliau memulai, kita meletakkan dasar seperti peletakkan Beliau, serta kita memprioritaskan sendi yang Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam prioritaskan, sebagaimana juga para nabi seluruhnya yang telah diutus kepada suatu umat telah memprioritaskan sendi ini dalam mengajak ummatnya menuju Allah Azza Wa Jalla yaitu : Memerintahkan untuk bertauhid dan memperingatkan dari syirik.
Allah Azza Wa Jalla berfirman,
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.(An-Nahl:36) (Mengenal tokoh-Tokoh Ikhwanul Muslimin : 133)
Namun Allah Azza Wa Jalla sedang menguji kaum muslimin, persatuan kaum muslimin terkoyak, bermula penjajahan dunia barat atas negeri-negeri Islam, muncullah dakwah yang mengatasnamakan persatuan kaum muslimin yang pada hakikatnya memecah belah ummat dari kebenaran. Muncullah dakwah yangmemprioritaskan kepada khilafah. Sungguh dakwah ini tidaklah salah bahkan merupakan bagian dari dakwah kepada As-Sunnah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan mereka mendakwahkan khilafah ini seolah-olah melebihi dakwah tauhid. Tidak terdengar mereka memerangi tauhid bahkan mereka tampak membiarkan kesyirikan dimana-mana. Mereka bersungguh-sungguh untuk persatuan tetapi meremehkan dalam perkara kesyirikan.
Semaraknya dakwah khilafah ini muncul pula di negeri kita Indonesia dengan model dakwah jama’ah. Dengan label persatuan kaum muslimin diwajibkan berbai’at kepada amir kelompoknya. Mereka membuat kaidah baru persatuan kaum muslimin dibangun diatas bai’at. Mereka mensyaratkan persyatuan kaum muslimin di atas satu Imam. Dengan persyaratan bid’ah ini menjadikan mereka terkotak dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Menurut mereka yang masuk ke dalam jamaahnya adalah saudara dan yang tidak mau masuk ke jamaahnya adalah bukan saudara, bahkan musuh, mungkin juga ucapan musyrik ataupun kafir akan sampai kepada saudaranya yang tidak mau mengakui kepemimpinan kelompoknya.
Maka dengan keyakinan seperti ini mereka berkeyakinan bahwa dakwah kepada khilafah adalah sangat urger dan fundamental, yang semua ini dapat menimbulkan keyakinan bahwa persaudaraan dan persatuan harus dibangun diatas satu imam. Pada gilirannya nanti kafir atau islamnya seseorang dilegitimasi di atas bai’at dan tidak bai’atnya seseorang terhadap imamnya. Naudzubillahi min dzalik. Hal ini sangat mungkin muncul di dalam hati orang-orang jahil (bodoh). Tampaklah dengan jelas, dakwah persatuan mereka yaitu dakwah persatuan bid’ah. Yang mana persatuan menurut Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya di bangun di atas Tauhid (rukun islam) akan tetapi dakwah hizbiyah ini di bangun di atas bai’at.
Bahaya Dakwah Hizbiyah
Untuk melihat bahaya yang sangat mengerikan tentang dakwah hizbiyah marilah kita ikuti penjelasan As-Syaih Ahmad An-Najmi, semoga Allah Azza Wa Jallamenambahi Ilmu dan menjaganya. Syaih Ahmad berkata, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Al-Fatawa : Tidak pantas bagi seorang guru untuk memecah belah manusia dan melakukan sesuatu yang dapat menyusupkan permusuhan dan kebencian dalam barisan mereka, bahkan harus menjadi saudara yang saling bantu dalam kebajikan dan takwa, sebagaiman firman Allah Azza Wa Jalla,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolo9ng dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al-Maidah:2)
Tidak benar seseorang dari mereka mengambil sumpah dari seseorang untuk menyepakati semua yang dia kehendaki, berwala’ kepada siapa yang memberi wala’ kepadanya dan memusuhi siapa saja yang memusuhinya. Bahkan, barang siapa yang melakukan hal ini, maka dia serupa dengan jengiskhan cs. orang-orang yang menjadikan siapa saja yang sepakat dengannya sebagai sahabat karib dan menjadikan siapa yang menyelisihinya sebagai musuh besar.
Namun, kewajiban mereka dan para pengikutnya adalah berpegang pada sumpah yang telah mereka berikan kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa mereka akan menaati Allah Azza Wa Jalla dan RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam, mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, serta menjaga hak-hak guru sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza Wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kalau ada guru mana saja yang terdholimi maka hendaklah tiap muslim membelanya, bila sebaliknya…guru itu yang mendholimin maka tiap muslim tidak boleh membantunya di dalam kedholiman itu bahkan menahannya, sebagaimana yang telah tsabit dalam hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Bantulah saudaramu baik dia dholim atau terdholimi”. Maka ada yang bertanya, “Bagaimana saya membantu yang dholim?’ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Engkau menahannya dari kedholimannya, maka itulah bantuanmu untuknya”.
Kalau terjadi sengketa antara guru dengan guru, murid dengan murid atau guru dengan murid, maka tidak boleh seorang membela salah satunya sampai mengetahui yang benar. Jangan membelanya dengan kejahilan dan hawa nafsu, akan tetapi lihatlah permasalahnnya, hingga jika telah tampak jelas kebenaran baginya, maka dia membela yang benar menghadapi yang salah, sama halnya fihak yang benar itu adalah sahabatnya atau shabat pihak lain serta sama halnya yang bersalah itu sahabatnya atau sahabat pihak lain. Dengan begitu, maka niat adalah beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla saja, ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan. Allah Azza Wa Jallaberfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. (An-Nisa’:135)
Kemudian Ibnu Taimiyah menegaskan berikutnya; Apabila mereka berkumpul untuk menaati Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta membantu dalam kebajikan dan taqwa, maka tidak akan ada kebersamaan seseorang dengan yang lainnya di dalam segala hal kecuali kebersamaan itu adalah di dalam menaati Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam….Mereka tidak akan bersama seorangpun di dalam bermaksiat kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan mereka akan saling membantu di dalam kejujuran, kebajikan, amar ma’ruf, nahi mungkar, membela yang terdholimin, serta semua urusan yang di sukai Allah Azza Wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ….Mereka tidak akan saling membantu di atas kedholiman, tidak untuk ta’ashshub Jahiliyyah, tidak untuk mengikuti hawa nafsu yang kosong dari hidayah Allah Azza Wa Jalla, tidak untuk berpecah belah, tidak pula untuk ikhtilaf[1].
Kemudian Syaih Ahmad berkata : Itulah potongan kalimat dari Sang Pena Agung tokoh pendidikan yang profesional Alim Muhaqqiq yang sangat dalam ilmunya tentang : As-Sunnah dan apa yang berlawanan dengan As-As-Sunnah, juga tentang bid’ah, apa yang mendekatinya dan perkara-perkara yang menyeret masuk ke dalamnya.
Pikirkanlah baik-baik perkataan beliau , maka akan engkau dapati padanya peringatan dari hizbiyah dan kelompok-kelompok, sebab padanya ada perpecahan dan pengkotakan yang menyebabkan timbul saling benci dan sengketa.
Kemudian Syaih Ahmad melanjutkan dengan menjelaskan, keburukan hizbiyah dengan meringkat penjelasan Syaih Bakar bin Abdullah Abu Zaid[2], yaitu :
1. Hizbiyah adalah bid’ah mungkar berdasarkan larangan yang terdapat dalam al-Qur’anul Karim, As-Sunnah Muthahharah dan perkataan Salaf .
2. Allah dan Rasul-Nya telah mencela hizbiyah, demikian juga salaf umat ini yang telah mengenal Islam dengan pengenalan yang hakiki telah mencelanya, sebab ia adalah tindakan melanggar persatuan umat Islam, umat yang telah diperintahkan oleh Allah Azza Wa Jalla untuk menjadi umat yang satu, Allah berfirman :
“Sesungguhnya (agana tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku”.(Al-Mukminun:52)
3. Orang-orang yang berintima’ kepada hizbiyah menjadikan partai atau golongan sebagai poros wala’, bara’ cinta dan permusuhan. Hal ini penetangan, memerangi Allah dan Rasul-Nya dimana Allah telah menjadikan sebagai poros wala’ dan bara’ ialah iman pada allah dan Rasulullah. Allah berfirman :
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.(Al-Mujadilah:22)
4. Konsekwensi mutlak dari hizbiyah, adalah mengambil ahli bid’ah sebagai pemimpin-pemimpin yang diambil seluruh ucapannya, diikuti semua perbuatannya, serta menjadikan mereka sebagai panutan dan teladan. Juga ucapan, kaedah dan pendapatnya harus diterima bagitu saja walaupun menyelisihi kebenaran, itulah kebinasaan, demi Allah !!
5. Hizbiyah memiliki prinsip menerima pendapat-pendapat kelompok, menyebarkannya, serta menjadikan ketetapan pasti yang tidak lagi menerima kritik dan diskusi. Pendiri-pendiri mereka tidak pantas untuk dikritik dan disalahkan oleh pandangan para pengikut dengan demikian mereka telah menjadikan para pendiri tersebut sebagau tuhan-tuhan dan peletak syareat maka tepatlah jika ayat ini menimpa mereka:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(At-Taubah:31)
6. Termasuk kemudharatan hizbiyah: Apabila hizbiyah merupakan sebab perpecahan sedang perpecahan adalah awal kehancuran kesatuan dan persatuan umat, maka banyaknya hizbiyah adalah sebab banyaknya manhaj pemikiran, berbilangnya manhaj pemikiran merupakan sebab berbenturan antar hizbi dan hal itu adalah sebab kekalahan yang diderita oleh kaum muslimin. Apakah mungkin satu umat yang tubuhnya sendiri terpecah-belah kemudian tegak di hadapan musuh ??
7. Diantara kemudharatan hizbiyah : penunaian syi’ar ibadah yang diperintahkan oleh syareat, berubah dari kewajiban penghambaan diri kepada Allah menjadi kewajiban hizbi, sehingga iapun mengotori keikhlasan andai tidak menghancurkannya, akhirnya yang diperhatikan dalam penuaian ibadah hanya ridha hizbinya bukan ridha Allah.
8. Kalau pemimpin hizbi memerintah untuk antusias mengerjakan suatu amalan mustahab (sunnah) dan menekankannya, maka para pengikut akan semangat hingga mereka merubahnya menjadi suatu kewajiban, maka jadilah yang mustahab itu wajib bagi anggota hizbi. Dengan demikian mereka telah memberikan hukum yang berbeda dengan ketetapan syareat yang diletakkan oleh Allah dan Rasul-Nya
9. Termasuk keburukan hizbiyah : perpecahan. Kadang suatu hizbi terpecah lagi menjadi dua atau beberapa hizbi, sebagaimana dikatakan bahwa kuman itu berkembang biak. (sampai di sini ucapan Syaikh Ahmad An-Najmi)
Mengahiri pembahasan dalam bab ini, sekali lagi saya utarakan bahwa persatuan menurut dakwah tauhid adalah persatuan di atas rukun Islam dan rukun Iman, secara spesifik Allah Azza Wa Jalla memberi pedoman yaitu mereka yang mendirikan sholat dan membayar zakat adalah saudara seagama. Maka siapa saja orang mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan dan membayar zakat dialah saudara seagama, haram darahnya dan masih mendapat hak-hak islam seperti didoakan, dinasehati dan hak-hak islam yang lain.
Maka tujuan dakwah ini adalah mengajak manusia mentauhidkan Allah Azza Wa Jalla yaitu mengajak manusia beridah kepada Allah Azza Wa Jalla saja tanpa kesyirikan dan mengajak manusia beribadah dengan syariat yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Inilah dakwah kepada Al-Jamaah Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri.
Hingga untuk menjadi Al-Jama’ah tidak boleh tidak kita harus mengamalkan Islam ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya dalam segala perkara, baik dalam tauhidnya, dakwahnya, ibadahnya, muamalahnya dan yang lainnya, termasuk juga dalam mensikapi perpecahan umat dan mensikapi penguasanya. Itulah Al-Jama’ah.
Demikian juga ucapan para ‘ulama Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir jama’ah adalah kebenaran dan pengikutnya. (Ust.Abu Muhammad Dzulqornain :An-Nasihah Online, dalam artikel Siapakah Ahlussunnah wal jamaah)
Tampaklah bahwa yang namanya Al-Jama’ah itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya dari kalangan tabiin, tabiut-tabiin, dan seluruh ahli hadits dari dulu hingga hari kiamat. Dan semua mereka telah sepakat wajibnya taat pada penguasa muslim dalam perkara ma’ruf , dilarang memberontak selagi mereka masih menegakkan shalat.
Oleh karena itu janganlah mengaku sebagai Al-Jama’ah tetapi berusahalah menjadi Al-Jama’ah dengan meniti jalan-jalan mereka yang telah tertulis di dalam Al-Qur’an, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab para ‘ulama yang lain. Semoga Allah Azza Wa Jalla mudahkan kita beramal seperti mereka dan mengggolongkan kita semua dengan mereka. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

[1] Majmu’ Al-Fatawa XXVIII/15-17

Oleh : Abu Salma Mohamad Fachrurozi Ibnu Rosyid

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin Washsholatu wassalamu ‘ala Nabiyina Muhammadin Wa ‘ala aalihi Washohbihi ajma’in. Amma ba’du.
Mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin sama halnya dia baik atau jahat serta siapa saja yang memegang jabatan khalifah lalu orang-orang berkumpul (tunduk) dibawah kekuasaannya dan ridha kepadanya, atau siapa yang mengambil alih kekuasaan atas kaum muslimin dengan pedang sehingga dia menjadi khalifah dan disebut amirul mukminin.
Alenia di atas adalah salah satu prinsip dari prinsip – prinsip ahlussunnah (salafy / salafi) yang kami nukilkan dari Ushul As-Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Yang menyelisihi Ahlus Sunnah / Salafiyun dalam perkara ini adalah Khawarij, Mu’tazilah, Murjiah dan Syiah dimana wajib bagi umat untuk tunduk kepada imam sekalipun tidak berlaku adil. Hal ini tentunya terkait dalam hal ma’ruf. Adapun jika imam yang dhalim ini memerintahkan kemaksiatan atau kejahatan maka tidak ada ketaatan kepadanya dalam kemaksiatan dan kejahatan ini, namun dengan tanpa melepaskan ketaatan dalam hal ma’ruf, dan terus menasehatinya jika memungkinkan, mendoakannya dan berusaha untuk memperbaiki tanpa membuat kekacauan atau menimbulkan fitnah .
Kelompok-kelompok yang menyelisihi Ahlus Sunnah tersebut di atas tidak mau taat kepada pemerintah disebabkan mereka tidak mengakui terhadap pemimpin kaum muslimin yang ada dalam hal ini pemerintah, pemimpin -pemimpin yang telah ada di negeri-negeri muslim saat ini bukanlah pemimpin mereka yang harus ditaati. Mereka semua beralasan dengan alasan yang sumbernya sama, yaitu alasan yang dimunculkan pertamakali oleh Khawarij bahwa para Penguasa tersebut tidak berhukum dengan hukum Allah.
Pada masa akhir ini muncul alasan yang sebenarnya tidak berbeda, yaitu para penguasa yang ada tidak menggunakan sistem khilafah atau tidak menggunakan sunnah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan para Khulafaur Rosyidin. Sehingga tidak perlu ditaati.
Lebih dari itu tidak jarang dari mereka (hizbiyyun) menuduh jelek terhadap ulama-ulama ahlussunnah, di antara tuduhan-tuduhan itu adalah :
1. Ulama Ahlus sunnah adalah agen yahudi dikarenakan ulama ahlus sunnah menganjurkan untuk taat pada penguasanya.
2. Ulama Ahlus sunnah adalah ulama kerajaan yang memberi fatwa sesuai kehendak raja / penguasa
3. Ulama ahlus sunnah tidak komitmen terhadap dakwah khilafah.
Masih banyak tuduhan-tuduhn jelak terhadap ulama – ulama ahlussunnah, namun tempat ini bukan untuk membahas hal tersebut sehigga kami mencukupkan tiga tuduhan tersebut di atas.
Berangkat dari pemahaman yang salah terhadap kleberadaan penguasa, ditambah jauhnya mereka dari ulama ahlus sunnah, kita saksikan bermuncullah kelompok-kelompok di kalangan kaum muslimin, masing-masing dari mereka mengangkat pemimpin untuk ditaati, mereka dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi memisahkan diri dari Jama’ah Muslimin dan Imamnya, yang notabene mereka berada di dalam kekuasaan pemerintah kaum muslimin yang ada. Yang lebih memprihatinkan lagi, dari semua kelompok tersebut menyatakan diri bahwa kelompok yang paling benar di antara kelompok yang ada adalah kelompok mereka. Sehingga masing-masing mereka menyeru kepada seluruh kaum muslimin untuk bersatu, dan yang dimaksud bersatu menurut mereka adalah bersatu masuk dan berbaiat kepada imam mereka.
Diantara kelompok-kelompok tersebut adalah :
1. Ikhwanul Muslimin di Mesir
2. NII Karto Suwiryo dan penerus-penerusnya.
3. Hizbu Tahrir
4. Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
5. LDII, merupakan sempalan dari Jama’ah Muslimin (Hizbullah).
6. dll
Pada kesempatan ini kami akan menjelaskan sedikit tentang keberadaan Jama’ah Muslimin (Hizbullah) mengingat kami pernah masuk kedalam jama’ahnya. Jama’ah Muslimin (Hizbullah) menganggap bahwa pemerintah yang ada sekarang di dunia Islam bukan merupakan ulil amri / imam / pemimpin kaum muslimin karena tidak berbentuk khilafah dan jama’ah. Sehingga bagi mereka wajib berjama’ah dengan mengangkat seorang imam dan setiap kaum muslimin wajib berbaiat kepada Imam mereka, barang siapa dari kaum muslimin yang tidak berbaiat kepada Imam mereka kemudian mati maka orang tersebut mati dalam keadaan jahiliyyah. Lebih dari itu hadits-hadits yang mengandung kalimat Al-Jama’ah mereka tafsirkan bahwa yang dimaksud Al-Jama’ah adalah kelompok mereka dan imam mereka. Jadi menurut Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Al-Jama’ah adalah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) .
Tidak berbeda dengan Jama’ah Muslimin (Hizbullah), LDII juga demikian. Saya meyakini bahwa menurut LDII yang di maksud Al-Jama’ah dalam banyak hadits adalah mereka dan Imamnya, sehingga kaum muslimin yang tidak berbaiat kepada imamnya kemudian mati maka matinya dalam keadaan jahiliyyah.
Dengan faham seperti ini dapat kita ketahui bahwa dakwah mereka (Jama’ah Muslimin LDII dan yang setipe) adalah mengajak seluruh kaum muslimin untuk masuk dan berbaiat kepada Imam Mereka. Harta, jiwa, waktu dan seluruhnya yang dapat dikorbankan digunakan untuk mendakwahi kaum muslimin berbaiat kepada imam mereka, walaupun dapat kita saksikan sebagian dari mereka, anak-anak mereka, anggota jama’ah mereka dalam perkara-perkara tertentu jauh dari nilai-nailai islam dan luput dari dakwah, sedangkan orang-orang yang diluar mereka yang terkadang sudah lebih baik dalam beberapa sisi didakwahi untuk berbaiat agar matinya tidak mati jahiliyyah.
Sederhananya, bahwa selamat dan tidak selamatnya seseorang di dunia dan di akherat kelak adalah yang pertama-tama adalah baiat dan tidak baiatnya seseorang kepada imam mereka. Sehingga kunci utama untuk selamat di dunia dan masuk Jannah bagi mereka adalah berbaiat kepada Imam mereka. Sungguh memprihatinkan kondisi mereka.
Padahal dalam banyak haditsnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam menganjurkan untuk berdakwah kepada tauhid (mengesakan Allah dalam hal Rubbubiyah, Uluhiyyah dan asma wa sifat). Demikian juga para ulama telah sepakat bahwa di antara hal yang paling penting untuk diketahui dan di amalkan oleh seorang muslim adalah rukun islam dan rukun iman. Sedangkan berbaiat tidak ada satu ulamapun yang memasukkannya ke dalam rukun islam maupun rukun iman.
Dalam rangka berpartisipasi dalam dakwah sekaligus wujud kongkrit taubat saya terhadap faham-faham tersebut di atas yang menyimpang terhadap dakwah alus sunnah, kami nukilkan penjelasan salah satu ulama dari ulama ulama ahlus sunnah yang ada. Sebagaimana alenia berikut.
Penjelasan secara detail tentang prinsip Ahlussunnah / Salafy /Salafi
disadur dari Buku Bingkisan Ilmu dari Yaman
untuk Muslimin Indonesia oleh Asy-Syaikh Abdullah bin Mar’i hafidzahullahu
Mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin sama halnya dia baik atau jahat serta siapa saja yang memegang jabatan khalifah lalu orang-orang berkumpul (tunduk) dibawah kekuasaannya dan ridha kepadanya, atau siapa yang mengambil alih kekuasaan atas kaum muslimin dengan pedang sehingga dia menjadi khalifah dan disebut amirul mukminin.
Termasuk prinsip Ahlussunnah adalah menaati para pemimpin kaum mukminin , sebagaimana dalam firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’ : 59)
Ulil amri adalah ulama dan Umara’.
Assunnah banyak menyebutlkan hadits tentang ini, diantaranya hadits ubadah bin Ash shamit radhiallahu anhu dalam shahihain yang berkata : ”kami berbaiat kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat ketika sendiri atau di depan orang banyak, saat lapang ataupun sempit dan saat dilakukan monopoli harta terhadap kami, serta agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali kalau kami melihat padanya kekufuran yang jelas yang kami mempunyai bukti yang nyata tentangnya.”
Hadits lainnya; hadits Ummu Salamah radhiallahu anha , hadits Hudzaifah radhiallahu anhu, hadits Walid bin Hujur radhiallahu anhu (semuanya dalam riwayat Muslim) dan hadits – hadits lainnya dari banyak sahabat radhiallahu anhum yang semakna dengan ini.
Sama halnya dia baik atau jahat
Sebab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah mengabarkan dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu anha bahwa :
“Akan ada banyak pemimpin di akhir zaman yang kalian mengetahui kesalahan mereka dan kalian tidak membenarkannya”,
Dalam hadits Hudzaifah radhiallahu anhu :
“Akan ada setelahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dengan hidayahku, tidak mengikuti keteladanan Sunnahku, serta akan berdiri disamping mereka orang-orang yang hati mereka ialah hati setan yang berada dalam jasmani berbentuk rupa manusia”. Hudzaifah bertanya : “Kalau saya menemui hal itu apa yang saya perbuat wahai Rasulullah ?! Rasulullah bersabda : “Engkau mendengar dan taat sekalipun punggungmu dicambuk dan diambil hartamu. Dengar dan taatlah!!”
Ini merupakan perintah yang sangat jelas dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam untuk menaati pemerintah sekalipun mereka adalah orang yang jahat atau fasik, selama mereka masih muslim.
Demikian ini menjadi prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah, sebab kaum Khawarij dahulu maupun sekarang telah menyelisihi dan menyangka tidak mungkin ketaatan pada pemerintah dilakukan ketika mereka fasik. Sementara, kenyataan syari’at tidak seperti yang mereka mustahilkan, dalil-dalil memerintahkan untuk tetap taat sekalipun ditemui kefasikan mereka.
Diantara hikmah kewajiban ini ialah menjaga keamanan masyarakat muslim, dicapai berbagai kemaslahatan dan ibadah kepada Allah dapat ditunaikan. Dalam keadaan aman, orang-orang akan sanggup melaksanakan berbagai kewajiban Dien, terjaga harta, harga diri dan jiwa.
Sebaliknya tindakan memberontak akan mengakibatkan banyak keburukan; dirampasnya harta, dilanggarnya kehormatan, dialirkannya darah, ketakutan, kewajiban Dien dijalankan secara tidak stabil dan berbagai keburukan lainnya.
Oleh sebab itu, Ahlussunnah sangat detail dalam persoalan ini untuk membantah Khawarij.
siapa saja yang memegang jabatan khalifah lalu orang-orang berkumpul (tunduk) dibawah kekuasaannya dan ridha kepadanya, atau siapa yang mengambil alih kekuasaan atas kaum muslimin dengan pedang sehingga dia menjadi khalifah dan disebut amirul mukminin.
Yakni sekalipun dia mengambil kekuasaan dengan cara yang tidak benar, asal dia telah duduk di kursi kekuasaan, sekalipun dia zhalim itu adalah untuk dirinya sendiri, maka tidak boleh memberontak terhadapnya agar darah tidak tertumpahkan dan tidak trjadi berbagai keburukan lainnya.
Demi menjauhkan dari segala keburukan inilah, maka para ulama memerintahkan untuk mendengar dan taat dalam kitab-kitab akidah mereka.
Bahkan segala tindakan yang menyebakan terjadinya provokasi penentangan terhadap pemerintah adalah dilarang, misalnya; menghujat dan membuka aib pemerintah di hadapan khalayak di atas mimbar.
Banyak orang tidak menyadari akibat buruk ini, sehingga semua itu menimbulkan kebencian masyarakat kepada pemerintah lalu pemerintahpun membenci para da’i dan khatib yang pada akhirnya menimbulkan keburukan pada masyarakat.
Oleh sebab itulah salaf melarang umat dari hal ini, sebagaiman dalam hadits Usamah bin Zaid radhiallahu anhuma dalam shahih Muslim : ‘Ubaidah bin Khiyar Rahimahullah berkata kepada Usamah radhiallahu anhuma : “Tidaklah engkau mau menasehati ‘Utman!” (Dia maksudkan dalam perkara had atas Al Walid), maka Usamah menjawab : “Apakah saya harus melakukannya di depan umum ?! Demi Allah saya telah menasehatinya, akan tetapi saya tidak melakukannya di hadapan kalian, serta saya tidak mau menjadi orang pertama yang membuka kpintu keburukan.”
Dengan ucapan itu maksud Usamah radhiallahu anhum memberi nasehat di depan khalayak ramai akan menyebabkan orang-orang berani menentang pemerintah dan berakibat buruk trhadap masyarakat. Maka kaum muslimin diminta untuk menjaga kehormatan pemerintah, bukan bertujuan untuk mencari kedudukan atau pendekatan diri kepada pemerintah, tetapi untuk merealisasikan Dienullah sebab terkandung di dalamnya ketaatan pada Allah dan kemaslahatan. Kaidah fiqih umum menetapkan : “Menolak keburukan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
Provokasi inilah sebab terjadinya berbagai dampak negatif dan keburukan terhadap masyarakat, serta Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah memperingatkan darinya.
Tatkala terjadi perselisihan antara Mu’awiyah dengan sahabat lainnya, Mu’awiyah radhiallahu anhu keluar ke suatu tempat bernama Ghabadah, maka orang-orang Iraq menemuinya lantas berkata : “Baiatlah kami, dengan begitu akan ikut bersamamu orang-orang dalam jumlah yang banyak”. Maksud mereka agar Mu’awiyah mau memimpin pemberontakan, tapi Mu’awiyah berkata kepada mereka : “bertaqwalah kepada Allah, sebab sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah bersabda ………….(beliau menyebutkan tentang perintah taat dan bahwa siapa saja yang suka mencari ketergelinciran-ketrgelinciran penguasa, maka Allah murka kepadanya sampai dia bertaubat, sedang Allah tidak akan menerima taubatnya sampai dia memperbaiki apa yang telah dirusaknya. Sampai di sini ucapan Asy-Syaikh Abdullah bin Mar’i hafidzahullahu
Demikianlah prinsip Ahlussunnah, mereka menerima dan taat kepada pemerintah dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Sehingga kita saksikan dalam sejarah tidak pernah mereka mengajak keluar ketaatan kepada penguasanaya.
Dapat diketahui dari sejarah bahwa bentuk pemerintah kaum muslimin berubah-ubah, mulai dari masa Kenabian, Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah dan Kerajaan-kerajaan. Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Hudzaifah :
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad, 4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 5)
Salafush shalih, ahlussunnah (salafy / salafi) senantiasa taat, menasehati umat untuk menerima dan taat kepada pemerintah kaum muslimin seperti apa bentuknya (khilafah / kerajaan / Republk) asal mereka (penguasa tersebut) masih muslim dan salafush shalih, ahlussunnah (salafy / Salafi) tidak mensyaratkan penguasa tersebut adalah orang shalih.
Sehingga semua para ulama ahlussunnah (salafush shalih) tidak pernah mengajak umat untuk berbaiat kepada orang di luar kekuasaan, tidak pernah mengajak umat untuk berbaiat pada dirinya agar termasuk sebagai Al-Jama’ah sementara mereka telah dipimpin oleh seorang muslimn di dalam sebuah negeri. Sungguh ajakan semacam itu merupakan penentangan besar terhadap perintah-perintah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Prinsip ahlussunnah seperti di atas bukan berarti ahlus sunnah tidak komitmen terhadap dakwah khilafah. Bukan berarti pula membiarkan negeri – negeri kaum muslimin berhukum dengan hukum buatan manusia. Tidak-tidak sama sekali. Kebalikan dari itu ulama ahlus sunnah adalah kelompok yang sangat kecil dari kaum muslimin yang paling komitmen terhadap syariat Allah dan Rasulnya. Mereka berusaha dengan jiwa dan harta mereka waktu bahkan hidupnya dikorbankan untuk meneliti hadits-hadits, memisahkan hadits-hadits dhoif, palsu dengan yang shahih. Justru merekalah para ulama ahlus sunnah yang paling mengerti terhadap hadits-hadit Rasulullah baik dari segi derajat hadits maupun maksud-maksud yang terkandung di dalamnya sehingga mereka terus berdakwah menasehati kaum muslimin untuk mendengar dan taat kepada Penguasanya.
Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mengerti hadits sama sekali (baik dari segi derajatnya maupun penjelasan-penjelasan dari ulama-ulama salaf), didorong oleh semangat dan takut mati jahiliyyah dengan berdalil dengan sebuah hadits mereka berani menuduh jelek terhadap para ulama ahlussunnah. Dan tidak sedikit dari mereka yang berani memutuskan hubungan saudara dengan keluarganya dikarenakan kepengen menjadi bagian dari al Jama’ah. Kita berlindung kepada Allah dari pemahaman demikian ini.
Dari penjelasan di atas menjadi jelaslah kesalahan-kesalahan kelompok-kelompok tersebut di atas, mereka telah keluar dari manhaj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam, manhaj para shiddiqin dan salafush shalih. Semoga Allah memberi petunjuk kepada mereka dan mengokohkan iman dan ketaqwaan kita kepadanya di atas petunjuk ini. Amin ya Robbal ‘Alamin.
Dakwah dan amar mafur nahi mungkar sangat membutuhkan kesabaran yang tinggi dari pelakunya. Karena masalah ini sangatlah sensitif sekali dicampuri oleh unsur pribadi, membela diri, jika seandainya niat itu tidak diikhlaskan kepada Allah. Akan tetapi syeitan sangat pintar untuk menyesatkan umat manusia, dan menyerumuskan mereka kepada api neraka. Syeitan tidak hanya menyesatkan orang di jalan maksiat dan nafsu syahwat, akan tetapi di jalan kebenaranpun syeitan bisa menyesatkan orang yang ingin melakukan kebenaran dengan mencampuri niatnya dengan unsur hawa nafsu. Sehingga orang yang pertama niatnya lillah bisa berubah menjadi riya, atau untuk mendapatkan kepentingan pribadi, atau agar dipuji dan disanjung, agar menjadi ternama atau dikatakan pahlawan, dll, sehingga orang tadi menjadi jauh dari kebenaran, jika seandainya tidak segera menyadari diri. Orang yang terbebas dan terjaga dalam masalah ini hanyalah orang yang dijaga Allah. Dalam tulisan ini, pengirim mencantumkan perkataan syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang seakan-akan beliau memberikan nasehat kepada kita untuk mengobati fenomena yang ada. Semoganasehat beliau ini bisa kita jalankan untuk kesenambungan dakwah yang mulai ini
Amar makruf nahi mungkar merupakan salah satu ciri khas agama yang hanif ini, karena dengan amar makruf nahi mungkar inilah umat ini bisa lurus jalannya, tanpa menegakkan amar makruf nahi mungkar bisa menyebabkan kemurkaan Allah taala, sebagaimana yang telah menimpa sebagian Bani Israil yang telah kafir. Tentu amar makruf nahi mungkar itu harus punya ketentuan, dan etika, yang perlu diperhatikan, sebab kalau tidak demikian pelaksanaannya akan bisa mengacaukan suasana, bukannya kemungkaran itu hilang atau kemaslahan timbul, akan tetapi yang timbul adalah kerusakan dan kemudaratan yang lebih banyak.
Masih banyak di antara kita yang mempertanyakan apa itu “Salafi”, dan mengapa harus Salafi… ?. Sebagian kaum muslimin malahan menilai bahwa kata-kata “Salafi” menunjukkan sikap fanatik, bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta’assub terhadap kelompok tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah ; mereka mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam Islam. 

Benarkah persangkaan tersebut...! Dibawah ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya’ban 1414H

MUQADIMAH
Masih banyak di antara kita yang mempertanyakan apa itu “Salafi”, dan mengapa harus Salafi… ?. Sebagian kaum muslimin malahan menilai bahwa kata-kata “Salafi” menunjukkan sikap fanatik, bahkan lebih jauh lagi dikatakan sebagai sikap ta’assub terhadap kelompok tertentu serta mengecilkan orang lain, dan yang lebih parah lagi adalah ; mereka mengatakan bahwa Salafi merupakan istilah baru dalam Islam. Benarkah persangkaan tersebut...! Dibawah ini kami nukilkan jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah di majalah Al-Ashalah edisi 9/Th.II/15 Sya’ban 1414H

MENGAPA HARUS SALAFI ..?
Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, adalah sebagai berikut : “Mengapa perlu menamakan diri dengan Salafiyah, apakah itu termasuk akwah Hizbiyyah, golongan, madzhab atau kelompok baru dalam Islam ..?”
Jawaban beliau adalah sebagai berikut : Sesungguhnya kata “As-Salaf” sudah lazim dalam terminologi bahasa Arab maupun syariat Islam. Adapun yang menjadi bahasan kita kali ini adalah aspek syari’atnya. Dalam riwayat yang shahih, ketika menjelang wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sayidah Fatimah radyillahu ‘anha : “Artinya : Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sebaik-baik “As-Salaf” bagimu adalah aku”.

Dalam kenyataannya di kalangan para ulama sering menggunakan istilah “As-Salaf”. Satu contoh penggunaan “As-Salaf” yang biasa mereka pakai dalam bentuk syair untuk menumpas bid’ah : “Dan setiap kebaikan itu terdapat dalam mengikuti orang-orang Salaf”. “Dan setiap kejelekan itu terdapat dalam perkara baru yang diada-adakan orang Khalaf”.
 
Namun ada sebagian orang yang mengaku berilmu, mengingkari nisbat (penyandaran diri) pada istillah SALAF karena mereka menyangka bahwa hal tersebut tidak ada asalnya. Mereka berkata : “Seorang muslim tidak boleh mengatakan “saya seorang salafi”. Secara tidak langsung mereka beranggapan bahwa seorang muslim tidak boleh mengikuti Salafus Shalih baik dalam hal aqidah, ibadah ataupun ahlaq”. Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran mereka ini, (kalau begitu maksudnya) membawa konsekwensi untuk berlepas diri dari Islam yang benar yang dipegang para Salafus Shalih yang dipimpin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Artinya : Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim). Maka tidak boleh seorang muslim berlepas diri (bara’) dari penyandaran kepada Salafus Shalih. Sedangkan kalau seorang muslim melepaskan diri dari penyandaran apapun selain Salafus Shalih, tidak akan mungkin seorang ahli ilmupun menisbatkannya kepada kekafiran atau kefasikan. Orang yang mengingkari istilah ini, bukankah dia juga menyandarkan diri pada suatu madzhab, baik secara akidah atau fikih ..?. Bisa jadi ia seorang Asy’ari, Maturidi, Ahli Hadits, Hanafi, Syafi’i, Maliki atau Hambali semata yang masih masuk dalam sebutan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Padahal orang-orang yang bersandar kepada madzhab Asy’ari dan pengikut madzhab yang empat adalah bersandar kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum. Walau ada juga ulama di kalangan mereka yang benar. Mengapa penisbatan-penisbatan kepada pribadi-pribadi yang tidak maksum ini tidak diingkari ..?
Adapun orang yang berintisab kepada Salafus Shalih, dia menyandarkan diri kepada ISHMAH (kemaksuman/terjaga dari kesalahan) secara umum. Rasul telah mendiskripsikan tanda-tanda Firqah Najiah yaitu komitmennya dalam memegang sunnah Nabi dan para sahabatnya. Dengan demikian siapa yang berpegang dengan manhaj Salafus Shalih maka yakinlah dia berada atas petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla. Salafiyah merupakan predikat yang akan memuliakan dan memudahkan jalan menuju “Firqah Najiyah”. Dan hal itu tidak akan didapatkan bagi orang yang menisbatkan kepada nisbat apapun selainnya. Sebab nisbat kepada selain Salafiyah tidak akan terlepas dari dua perkara :
- Pertama, menisbatkan diri kepada pribadi yang tidak maksum.
- Kedua, menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti manhaj pribadi yang tidak maksum.

Jadi tidak terjaga dari kesalahan, dan ini berbeda dengan ISHMAH para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh terhadap sunnahnya dan sunnah para sahabat setelahnya. 

Kita tetap terus dan senantiasa menyerukan agar pemahaman kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah selaras dengan manhaj para sahabat, sehingga tetap dalam naungan ISHMAH (terjaga dari kesalahan) dan tidak melenceng maupun menyimpang dengan pemahaman tertentu yang tanpa pondasi dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

MENGAPA SANDARAN TERHADAP AL-KITAB DAN AS-SUNNAH BELUM CUKUP?

Sebabnya kembali kepada dua hal, yaitu hubungannya dengan dalil syar’i dan fenomena Jama’ah Islamiyah yang ada.
A. Berkenan dengan sebab pertama. Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk menta’ati hal lain disamping Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana dalam firman Allah : “Artinya : Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kalian”. (An-Nisaa : 59). Jika ada Waliyul Amri yang dibaiat kaum Muslimin maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. Walau terkadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu : “Artinya : Tidak ada ketaatan kepada mahluk di dalam bemaksiat kepada Al-Khalik”. (Lihat As-Shahihah No. 179). “Artinya : Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannan dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nisaa : 115). Allah Maha Tinggi dan jauh dari main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABIILIL MU’MINIIN (Jalan kaum mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa’at yang besar. Ayat itu membuktikan adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba’ kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya. Sesungguhnya Dakwah Salafiyah benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan mencabik-cabiknya. Allah berfirman : “Artinya : Dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar”. (At-Taubah : 119). Siapa saja yang memisahkan antara Al-Kitab dan As-Sunnah dengan As-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar selama-lamanya.

B. Adapun berkenan dengan sebab kedua. Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah disinggung ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits. Diantaranya hadits tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Rasul mendeskripsikannya sebagai : “Dia (golongan itu) adalah yang berada di atas pijakanku dan para sahabatku hari ini”. Hadits ini senada dengan ayat yang menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat : “Artinya : Pegangilah sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku”. Jadi di sana ada dua sunnah yang harus di ikuti : sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Menjadi keharusan atas kita -generasi mutaakhirin- untuk merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata “Kami mandiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa petunjuk “Salafus As-Shalih”.

Demikian juga kita harus memiliki nama yang membedakan antara yang haq dan batil di jaman ini. Belum cukup kalau kita hanya mengucapkan :”Saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam. Sebab semua firqah juga mengaku demikian baik Syiah, Ibadhiyyah (salah satu firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lain. Apa yang membedakan kita dengan mereka ..? Kalau kita berkata : Saya seorang muslim yang memegangi Al-Kitab dan As-Sunnah. ini juga belum memadai. Karena firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba’ terhadap keduanya. 

Tidak syak lagi, nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan : “Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta bermanhaj Salaf”, atau disingkat “Saya Salafi”. Kita harus yakin, bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah saja, tanpa manhaj Salaf yang berperan sebagai penjelas dalam masalah metode pemahaman, pemikiran, ilmu, amal, dakwah, dan jihad, belumlah cukup. Kita paham para sahabat tidak berta’ashub terhadap madzhab atau individu tertentu. Tidak ada dari mereka yang disebut-sebut sebagai Bakri, Umari, Utsmani atau Alawi (pengikut Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Bahkan bila seorang di antara mereka bisa bertanya kepada Abu Bakar, Umar atau Abu Hurairah maka bertanyalah ia. Sebab mereka meyakini bahwa tidak boleh memurnikan ittiba’ kecuali kepada satu orang saja yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak berkata dengan kemauan nafsunya, ucapannya tiada lain wahyu yang diwahyukan. 

Taruhlah misalnya kita terima bantahan para pengkritik itu, yaitu kita hanya menyebut diri sebagai muslimin saja tanpa penyandaran kepada manhaj Salaf ; padahal manhaj Salaf merupakan nisbat yang mulia dan benar. Lalu apakah mereka (pengkritik) akan terbebas dari penamaan diri dengan nama-nama golongan madzhab atau nama-nama tarekat mereka .? Padahal sebutan itu tidak syar’i dan salah ..!?.

Allah adalah Dzat Maha pemberi petunjuk menuju jalan lurus. Wallahu al-Musta’in. Demikianlah jawaban kami. Istilah Salaf bukan menunjukkan sikap fanatik atau ta’assub pada kelompok tertentu, tetapi menunjukkan pada komitmennya untuk mengikuti Manhaj Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wallahu Waliyyut-Taufiq.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE