Oleh :Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimuhullah –
(diambil dari majmuk fatawa, jilid 14 hal : 479 – 483)
Alih Bahasa : Muhammad Elvi Syam. L.c.
Allah Taala yang Maha Tinggi dan Maha Besar berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiada orang
yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk . ( Q.S: 5;105 ),
Ayat ini tidak bermakna larangan atau perintah untuk meninggalkan
amar maruf (kebaikan) dan nahi mungkar (kejelekan), sebagaimana yang
terdapat dalam hadits masyhur di Kutubus Sunan, dari Abi Bakr As-Shidiq,
(Ia) berkhutbah di atas mimbar Rasulullah r dan berkata : Wahai
manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menerapkannya bukan
pada tempatnya, sungguh saya telah mendengar Rasulullah bersabda :
Artinya : Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran,
kemudian tidak merubahnya, maka hampir-hampir Allah menimpakan azab
dari-Nya kepada mereka semua. ( H.R. Ahmad di musnadnya dari Abi Bakr,
dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Al Jami , no: 1974,
juz; 1/ 398.)
Dan demikian juga dalam hadits Abi Tsalabah Al-Khusyani yang marfu ( yang sampai ke Rasulullah ) dalam menafsirkan ayat ini :
Artinya : Apabila kamu melihat kebakhilan yang ditaati, dan hawa
nafsu yang dituruti, dan setiap orang yang memiliki pendapat taajub
dengan pendapatnya, maka uruslah (sibuklah) dengan kepentingan dirimu
sendiri ( H.R. Tirmizi dari Abi Tsalabah Al Khusyani, no 3058 ).
Hadits ini ditafsirkan oleh hadits Abi Said di kitab Muslim :
Artinya : Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka
hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya , apabila
tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup,
(rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan .
(H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri.)
Dan apabila ahli fujur ( pelaku maksiat ) kuat, sehingga mereka
tidak lagi mau mendengarkan kebaikan, bahkan mereka menyakiti orang yang
melarang kemungkaran, karena mereka itu telah dikuasai oleh rasa kikir
dan hawa nafsu serta rasa sombong, maka pada keadaan seperti ini,
merubah dengan lisanpun gugur dan yang tinggal merubah dengan hati .
(assyuhhu) adalah rasa sangat ambisi yang mengakibatkan kepada
kebakhilan dan kezoliman, yaitu menolak kebaikan dan membencinya.
(alhawa al muttaba) hawa nafsu yang dituruti terwujud dalam
keinginan terhadap keburukan dan mencintainya. (al ijab bir rayi) takjub
(bangga) dengan pendapat sendiri yaitu (bangga) pada akal dan ilmu.
Maka (pada hadits di atas) Beliau r telah menyebutkan rusak tiga
kekuatan yaitu : ilmu, cinta dan benci. Sebagaimana dalam hadits lain :
Artinya : Tiga hal yang mencelakakan; rasa kikir yang ditaati, hawa
nafsu yang dituruti dan rasa takjub seseorang dengan dirinya sendiri
dan di hadapan tiga hal yang mencelakakan ini, terdapat tiga hal yang menyelamatkan :
Artinya : Rasa takut kepada Allah dalam keadaan sunyi dan
keramaian, dan sikap sederhana di waktu miskin dan kaya dan berkata
benar di waktu marah dan ridho ( H.R. Tharoni di Mujam Ausath dari Anas
dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab Shohih Al-Jami, no :
3039, juz ; 1/ 583 )
Itulah yang selalu dimohon Rasulullah r dalam doanya, seperti pada hadits lain :
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu rasa
takutan akan diri-Mu di waktu sunyi dan keramaian, dan saya memohon
kepada-Mu untuk (mampu) berkata benar di waktu marah dan ridho, dan saya
memohon kepada-Mu untuk sikap sederhana di waktu miskin dan kaya ( H.R.
Nasai dari Amar bin Yasir, no: 1304 dan dishohihkan oleh Syeikh
Al-Albani di kitab Shohih Jami no : 1301, 1/279 ).
Maka rasa takut kapada Allah, lawan dari menuruti hawa nafsu, karena
rasa takut mencegah perbuatan tersebut (menuruti hawa nafsu).
Sebagaimana firman Allah :
Artinya : Dan adapun orang yang takut akan kedudukan Robnya, dan mencegah dirinya dari hawa nafsu .( Q.S. 79 ;40 )
Sikap sederhana di waktu miskin dan kaya, lawan dari rasa ambisi yang ditaati.
Berkata benar di waktu marah dan ridho, lawan dari rasa takjub (bangga) seseorang dengan dirinya.
Apa yang dikatakan oleh As-Shiddiq sangat jelas, karena sesungguhnya
Allah berfirman : (aaikum anfusakum) artinya: pegang teguhlah dan
sibuklah dengan diri kalian. Dan termasuk dalam kemashlahatan diri,
mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, baik perintah (yang harus
dikerjakan) atau larangan (yang harus ditinggalkan). Dan berfirman :
Artinya : Orang yang sesat tidak akan membahayakanmu apabila kamu mendapat petunjuk (hidayat) ( Q.S. 5;105 ).
Hidayah itu akan terwujud, bila Allah ditaati dan kewajiban ditunaikan, baik berupa perintah atau larangan dan yang lainnya.
Di dalam ayat tersebut di atas, terdapat beberapa faidah yang agung:
Pertama : Hendaknya seorang mukmin tidak takut terhadap orang-orang
kafir dan munafik, karena mereka itu tidak akan membahayakannya, selama
dia telah mendapat petunjuk.
Kedua : Janganlah dia bersedih dan gelisah terhadap mereka, sebab
kemaksiatan mereka tidak akan membahayakannya apabila dia telah mendapat
petunjuk. Sebab bersedih terhadap apa yang tidak membahayakan merupakan
hal yang sia-sia. Kedua makna ini disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : Dan bersabarlah dan tiada kesabaranmu kecuali dengan
Allah, dan janganlah kamu bersedih terhadap mereka dan janganlah kamu
merasa sempit terhadap tipu daya yang mereka ( Q.S. 16;127 ).
Ketiga : Hendaknya seorang mukmin tidak cenderung kepada mereka dan
tidak menujukan pandangannya (tertarik) kepada apa yang mereka miliki
dari kekuasaan, harta dan syahwat, seperti firman Allah :
Artinya : Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada
kenimatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di
antara mereka (orang-orang kafir itu ) dan janganlah kamu bersedih hati
terhadap mereka . (QS;15;88).
Maka Allah melarang Nabi Muhammad r untuk bersedih terhadap mereka
dan mengharapkan apa yang mereka miliki di satu ayat , dan melarangnya
untuk bersedih serta takut kepada mereka di ayat yang lain. Karena,
kadang-kadang seseorang itu merasa sedih dan merasa takut kepada mereka,
baik disebabkan karena rasa harap atau rasa cemas.
Keempat : Janganlah melampaui batas yang telah disyariatkan terhadap
pelaku maksiat, dengan sikap berlebih-lebihan dalam membenci dan
menghina, atau melarang dan menghajr ( mengisolir ) atau menghukumi
mereka. Akan tetapi dikatakan kepada orang bersikap yang melampaui batas
terhadap mereka itu, Uruslah dirimu sendiri, orang yang sesat tidak
akan memudoratkanmu, selama kamu telah mendapat petunjuk. Sebagaimana
firman Allah :
Artinya : Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu …(Q.S: 5;8 ).
Dan firman Allah :
Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak
mencintai orang yang melampaui batas (QS:2;190)
Dan firman Allah :
Artinya : Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu) maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS:2;193).
Maka sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang melakukan amar
maruf nahi mungkar, kadang-kadang melampaui batas ketentuan-ketentuan
Allah, mungkin disebabkan kebodohan dan mungkin pula disebabkan
kezoliman. Permasalahan ini seseorang wajib tatsabbut ( selektif /
berhati-hati ) baik dalam mengingkari orang-orang kafir, munafik, fasiq
atau maksiat.
Kelima : Hendaklah dia melaksanakan amar maruf nahi mungkar dalam
batas yang disyariatkan yaitu berilmu, lemah-lembut, sabar, dan niat
yang baik serta menempuh jalan tengah (meletakkan sesuatu pada
tempatnya). Karena hal tersebut masuk di dalam firman Allah (alaikum
anfusakum) uruslah diri kamu dan di firman Allah (idza ihtadaitum) jika
kamu mendapatkan petunjuk.
Lima point ini disimpulkan dari ayat di atas, bagi siapa yang
diperintahkan untuk amar maruf dan nahi mungkar. Di dalam ayat tersebut
juga terdapat makna yang lain, yaitu; perhatian seseorang terhadap
mashlahat dirinya sendiri, dalam segi ilmu dan amal serta memalingkan
dirinya dari hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana yang dikatakan oleh
sohibus-syariah ( Rasulullah r ):
Artinya : Merupakan baiknya islam seseorang meninggalkan apa yang
tidak ia butuhkan ( H.R. Ahmad di Musnadnya dari Hasan bin Ali ,
dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di Shohih Al Jami no: 5911, juz :
2/1027 ).
Apa lagi banyaknya hal yang tidak penting, yang tidak dibutuhkan
oleh seseorang dari urusan agama orang lain dan dunianya, terutama
apabila pembicaraan tersebut karena hasad dan kedudukan (kepemimpinan).
Begitu juga dalam beramal, mungkin orang yang melaksanakannya
melampaui batas dan zolim, atau bodoh dan berbaut sia-sia. Alangkah
banyaknya amalan yang digambarkan syeitan seakan-akan dia melakukan amar
maruf dan nahi mungkar serta jihad di jalan Allah, padahal sebenarnya
perbuatan tersebut merupakan kezoliman dan tindakkan yang
berlebih-lebihan (melampaui batas).
Oleh karena itu, merenungkan ayat tersebut di dalam masalah ini,
merupakan hal yang paling bermanfaat bagi seseorang. Apabila anda
memperhatikan perselisihan yang terjadi di kalangan umat ini ; ulama,
ahli ibadah, dan penguasa serta pemimpin mereka, anda akan menemukan,
kebanyakan termasuk dalam jenis ini, yaitu: kezoliman yang disebabkan
karena takwil atau bukan takwil. Seperti orang Jahmiyah, zolim terhadap
ahli Sunnah dalam masalah sifat Allah dan Al quran ; seperti, bencana
yang menimpa Imam Ahmad dan lainnya. Seperti Rafidhoh (syiah) selalu
zolim terhadap ahli sunnah . Seperti Nashibah (orang membenci Ali) zolim
terhadap Ali dan Ahli baitnya (keluarga dan keturunannya). Seperti
Musyabbih (orang yang mengatakan sifat Allah seperti sifat makhluk)
zolim terhadap munazzih (orang yang mensucikan Allah dari sifat yang
serupa dengan sifat makhluk). Seperti sebagian Ahli sunnah kadang-kadang
zolim, mungkin terhadap sebagian mereka, dan mungkin terhadap sejenis
ahli bidah, dengan melebihi apa yang telah diperintah Allah, yaitu
tindakan yang berlebih-lebihan, yang disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : Ya Robb kami ampunilah dosa-dosa kami dan
tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami.. (Q.S. 3
: 147).
Di samping sikap melampaui batas (tindakan yang berlebih-lebihan)
ini, terdapat kelalaian yang dilakukan oleh yang lain terhadap apa yang
diperintahkan kepada mereka, dari kebenaran atau amar maruf dan nahi
mungkar dalam seluruh aspek. Alangkah baiknya apa yang dikatakan
sebagian salaf : Tidaklah Allah memerintahkan suatu urusan, kecuali
syeitan menghalanginya dengan dua perkara : -dia tidak menghiraukan
apapun dari dua perkara itu yang akan dilakukannya- ghulu
(berlebih-lebihan) dan takshir (kelalaian).
Maka orang yang membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan sama
dengan orang yang tidak membantu dalam perbuatan baik dan takwa. Orang
yang melakukan yang diperintahkan dan melebihi (apa yang diperintahkan
padahal itu) dilarang, sama dengan orang yang meninggalkan yang dilarang
dan sebagian yang diperintahkan.
Semoga Allah menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Tiada upuya dan kekuatan kecuali dengan Allah.
(diambil dari majmuk fatawa, jilid 14 hal : 479 – 483)
|