07 November, 2015

Perjuangan Penegakan Syari'ah Islamiyah Paska Proklamasi RI

Para tokoh nasional dari berbagai aliran pemikiran yang ikut mendirikan dan memproklamasikan NKRI berunding untuk menentukan bentuk negara Indonesia dalam lembaga yang bernama BPUPKI. Dan diproklamirkanlah kemerdekaan Indonesia pada tgl. 17 Agustus 1945 jam 10 pagi dengan disepakatinya Undang-Undang Dasar Negara sementara yang kemudian terkenal dengan UUD '45 dengan preambulnya menyatakan dasar negara Indonesia ialah: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya. 

Tujuh kata-kata tersebut termasuk dalam konsensus nasional para wakil berbagai komponen bangsa yang tergabung dalam tim sembilan dan konsensus tersebut terkenal dengan nama: Piagam Jakarta. Sedianya kesepakatan tersebut adalah sebagai pengakuan konstitusional terhadap hak asasi Ummat Islam yang mayoritas penduduk Indonesia dan pendiri negara kesatuan Republik Indonesia . 


Tetapi empat jam setelah proklamasi kemerdekaan RI bergeraklah upaya lobi terhadap tokoh-tokoh Islam untuk mencoret tujuh kata-kata tersebut karena adanya ancaman dari minoritas Kristen yang akan menggalang pemisahan wilayah Indonesia bagian timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia bila tujuh kata-kata tersebut tidak dicoret dari Preambul UUD ‘45. Maka dicoretlah tujuh kata-kata tersebut dan berganti dengan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sejak itu hak asasi Ummat Islam dalam menjalankan agamanya selalu diopinikan bahwa mereka tidak mempunyai status konstitusional pada struktur konstitusi NKRI. Dan negara ini pun dikesankan sebagai negara netral agama dengan sebutan: ”Bukan negara Islam”, sebagai alasan klasik untuk menolak segala tuntutan Ummat Islam untuk mendapatkan legitimasi konstitusi dalam menegakkan Syari'ah Islamiyah di bumi Indonesia ini. 

Ketika itu Ummat Islam diforsir perjuangannya menegakkan Syari'ah Islamiyah melalui dua jalur perjuangan. Yaitu: 
Pertama, jalur perjuangan kemiliteran dengan tokoh-tokohnya : Karto Suwiryo di Jawa, Daud Bereuh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi dan tokoh-tokoh lainnya dalam barisan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI / TII). 
Kedua, perjuangan di jalur demokrasi parlementer dengan tokoh-tokohnya : Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Natsir, Muhammad Room, Kasman Singodimejo, Syafruddin Prawira Negara, KH. Ahmad Syaikhu, KH. Ali Yafi dan lain-lainnya. Sementara itu pendidikan para kader-kader bangsa melalui pendidikan agama semakin lemah dan terkesan ditelantarkan karena tersibukkan oleh dua jalur perjuangan tersebut. 

Jalur perjuangan kemiliteran dapat dipatahkan oleh kalangan Islamo phobia pada tahun 1962 dengan tertangkap dan terbunuhnya Karto Suwiryo dan terbunuh pula Kahar Muzakkar pada th. 1965 serta kompromi Daud Bereuh menghentikan gerakan kemiliterannya pada th. 1962 karena janji Presiden Soekarno untuk menerapkan Syari'ah Islamiyah di Aceh khususnya. Meskipun kemudian ternyata janji politik tersebut hanyalah manuver pilitik belaka dan tidak pernah lagi dipenuhi. Adapun jalur perjuangan melalui jalur demokrasi parlementer mendapat pukulan berat ketika Presiden Soekarno memberangus perjuangan mereka dengan dekrit Presiden tgl. 5 Juli 1959 dan dimulainya masa Orde Lama (Orla) yang kiblat politiknya ke arah Komunisme. Terlebih lagi para tokoh Islam yang amat gigih memperjuangkan Islam di arena politik parlementer, membentuk perjuangan kemiliteran di Sumatra dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dan gerakan PRRI ini pun segera dapat dipatahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1961. Maka perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah mengalami masa stagnasi (kemandekan) sosial politik di sepanjang masa Orde Lama yang amat didominasi oleh kalangan Komunis.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE