05 November, 2015

Gerakan Tajdid (Pembaharuan) Di Nusantara

Ummat Islam dengan berbagai kerajaannya remuk-redam akibat perpecahan di kalangan mereka disebabkan merajalelanya bid'ah, syirik dan berbagai pelanggaran terhadap Syari'ah Islamiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kosongnya bimbingan terhadap Ummat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih adalah kondisi yang semakin memperparah keadaan. 
Sementara itu pemahaman Ummat Islam terhadap ajaran Islam telah terkontaminasi oleh berbagai ajaran khurafat (mistik) dari agama Hindu, Budha, dan animisme. Ummat Islam membutuhkan pelopor pengajaran dan pengamalan agama yang murni dan bersih dari segenap syirik, bid'ah dan segala penyimpangan yang lainnya. Maka gerakan tajdid yang merebak di Nejed dan Hejaz mulai mengimbas dalam kehidupan Ummat Islam di Nusantara ketika tentara Tauhid menguasai kota-kota suci di Hejaz, yaitu Makkah dan Madinah dan menguasai pula segenap jalur-jalur perjalanan Jama'ah Haji. 

Dengan demikian segenap prosesi pelaksanaan ibadah haji di bawah kepemimpinan para Ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Oleh sebab itulah imbas dakwah kepada Tauhid dan Sunnah menyebar ke seluruh dunia Islam termasuk ke Nusantara melalui forum pelaksanaan ibadah haji setiap tahunnya. Sehingga mulailah muncul tuntutan pembaharuan kehidupan Ummat Islam di Nusantara yang menurut catatan Prof. Dr. Hamka dimulai dari tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku Buwono IV (yang lebih terkenal dengan Sunan Bagus) di tanah Jawa ketika datangnya para guru agama dari negeri Arab yang menyebarkan ajaran Islam berdasarkan Tauhid bersih dari syirik dan Ibadah bersih dari bid'ah. Para guru agama dari Arab ini menyebar di Solo, Jogyakarta, Cirebon , Banten, Madura dan kota-kota lainnya di Jawa. Ajaran mereka ini diterima oleh kalangan Ummat Islam secara luas termasuk Raja Paku Buwono IV, karena ajaran ini sangat anti penjajahan. Maka pemerintah Kolonial menjadi resah dengan semakin luasnya penyebaran pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini sehingga Belanda mendesak Raja Paku Buwono IV agar menyerahkan orang-orang Arab itu ke pihaknya. Mulanya Sunan Bagus tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan memberi advis kepada Sunan Bagus supaya orang-orang Arab penyebar pemahaman Salaf itu diserahkan saja kepada pemerintah Kolonial Belanda. Lantaran desakan itu semakin keras kepada Raja Sunan Bagus, maka para guru agama dari tanah Arab itu ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu pun diusir kembali ke negerinya (Dari Perbendaharaan Lama, Prof. Dr. Hamka, hal. 264 – 265, penerbit Pustaka Pajias, cet. th. 1982). Sebelumnya di Aceh Raya sempat pula berkuasa seorang raja yang bergelar Sultan Iskandar Muda, yang dengan kekuasaannya menggalang para Ulama' dan Hulu Balang kerajaan untuk mengadakan pemurnian pemahaman Ummat Islam dari segenap kotoran syirik, bid'ah dan berbagai khurafat (cerita mistik) dan menegakkan pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa `aalihi wa sallam terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sultan Iskandar Muda menuliskan wasiatnya yang penuh semangat tajdid ini dalam prasastinya, yang berbunyi:
WASIAT ISKANDAR MUDA KEPADA ZURRIATNYA 
“……….dan lagi raja-raja hendaklah mengamalkan 8 perkara. Pertama hendaklah selalu ingat akan Allah dan meneguhi janji dengan sekalian Wazir-wazir dan menteri hulubalang dan sekalian pegawai dan sekalian rakyat. Kedua janganlah raja-raja menghinakan Alim Ulama dan yang ahli akal bijaksana. Ketiga, segala yang datang pada pihak musuh daripada seterunya janganlah sekali-kali raja percaya. Keempat, hendaklah raja memperbanyak alat senjata dan membeli kesangan rakyat dan wazir dan sipahi (yakni tentara), supaya jauhlah usuh raja, sebab ada yang menghalaukan dengan sayang. Kelima hendaklah raja menurun tangan, yakni murah. Hendaklah mengingat kesediaan rakyat, wazir dan alim – ulama dan sekalian sipahi dengan membalas jasanya masing-masing dengan tertib. Keenam, hendaklah raja menjalankan hukum dengan hukum Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Yaitu seperti yang telah tetap di dalam Qanun Al-Asyi Darussalam. Pertama Al-Qur'an, kedua Al-Hadits, ketiga Ijma' , keempat Qiyas, maka keluar daripada itupun empat perkara. Pertama hukum, kedua adat, ketiga qanun, keempat resam……………”
Demikian kami nukilkan sebagian wasiat yang agung dari Sultan Iskandar Muda kepada bangsa Aceh dengan segenap penghulunya. Beliau memimpin kerajaan Aceh Raya pada tahun 1603 – 1637. (Dinukil dari buku Dari Perbendaharaan Lama, Prof. Dr. Hamka, hal. 278).

Tetapi sepeninggal Sultan Iskandar Muda, tidak ada pengganti yang sekualitas beliau, sehingga menurun kembali semangat tajdid di Aceh Raya dan kemudian hancurlah keagungan kerajaan Aceh Raya oleh berbagai tipu daya Belanda.
Kemudian di tahun 1801, artinya dua belas tahun sesudah diusirnya dari tanah Jawa oleh pemerintah kolonial Belanda para penganjur kepada pemahaman Salafus Shalih dari negeri Arab itu, para penganjur kepada pemahaman Salaf datang lagi ke Nusantara. Sekarang yang datang bukan lagi orang-orang Arab, melainkan anak-anak Indonesia sendiri, yaitu anak-anak Minangkabau (Sumatra Barat) di ranah Minang, dengan datangnya dari Mekkah tiga orang penduduk negeri yang telah menunaikan ibadah haji; yaitu: Haji Miskin dari negeri Pandai Sikat (Agam), Haji Muhammad Haris Tuanku Lintau dari negeri Luhak Tanah Datar, Haji Abdurrahman Piabang dari negeri Lubuk Lima Puluh Koto. Seruan pembaharuan ketiga tokoh tersebut disambut oleh delapan tokoh agama di ranah Minang yang kemudian terkenal dengan gelar Harimau Nan Salapan; yaitu: Tuanku Nan Renceh dari negeri Kamang, Tuanku Lubuk Aur dari negeri Candung, Tuanku Berapi dari negeri Bukit Candung, Tuanku Ladang Lawas dari negeri Banuhampu, Tuanku Padang Luar, dan Tuanku Galung dari negeri Sungai Puar, juga Tuanku Biaro serta Tuanku Kapao dari negeri yang sama. Dari delapan tokoh tersebut yang paling masyhur dalam gerakan pembaharuan ini ialah Tuanku Nan Renceh yang memimpin ribuan pasukan Paderi menaklukkan puluhan negeri-negeri adat untuk ditegakkan padanya Hukum Syari'ah Islamiyah sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih. Bahkan Tuanku Nan Renceh lebih masyhur di kalangan rakyat Minang dari pada ketiga tokoh yang baru pulang dari Makkah itu. Kemudian bergabung pula dengan berbagai gerakan pembaharuan itu seorang tokoh yang juga baru pulang dari menunaikan ibadah haji di Makkah, yaitu malin (santri) yang muda belia bernama Muhammad Syahab bin Chatib Bayanuddin yang bergelar Petto Syarif dan kemudian memimpin negeri Bonjol sehingga terkenal dengan gelar Imam Bonjol.

Dengan demikian kaum adat yang menolak dan menentang gerakan Salafiyah ini semakin terpojok dan tersisihkan posisinya dari otoritas pengaturan masyarakat Minangkabau dan tersisih pula para raja yang cenderung dengan kemauan kaum adat tersebut. Sehingga mulailah muncul pikiran khianat pada mereka terhadap bangsa dan agamanya untuk dapat membalas dendam terhadap kaum Paderi yang semakin kuat posisinya di masyarakat. Mulailah diadakan perundingan kerjasama antara para Raja dan kaum adat dengan Pemerintah kolonial Belanda, sehingga kedua belah pihak bersepakat membentuk kekuatan bersama untuk menghancurkan kaum Paderi. Tentu kekuatan kolonial Belanda tidak akan mendukung kaum adat dan para raja-raja Minangkabau kecuali setelah mendapat kepastian akan menguasai ranah Minang kalau berhasil mengalahkan kaum Paderi. Maka meletuslah perang Paderi yang terkenal itu antara kekuatan kolonial Belanda yang didukung kaum adat dan para raja Minang, melawan kaum Paderi yang didukung mayoritas rakyat Minang. Perlawanan kaum Paderi terhadap kolonial Belanda demikian gigihnya sehingga perang terus berlangsung selama tiga puluh tujuh tahun terus menerus ketika pada akhirnya Belanda dapat menaklukkan kaum Paderi dengan penuh tipu muslihat dan kelicikan. Tokoh-tokoh Paderi dibunuh dan ditangkapi kemudian dibuang ke negeri-negeri pengasingan (lihat Perang Paderi Di Sumatera Barat oleh Muhamad Radjab, diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Kementerian P. P. dan K. th. 1954). Dan untuk sementara gerakan dakwah Salafiyah yang sangat anti penjajahan itu dapat dipadamkan. Perjuangan penegakan Syari'ah Islamiyah pun mengalami masa surut setelah mengalami masa kejayaan dengan gerakan Salafiyah yang bendera gerakannya dibawa oleh kaum Paderi di ranah Minang.

Di masa kekosongan kedua ini muncullah gerakan yang menamakan dirinya dengan “Kaum Muda” yang kelihatannya sangat mirip dengan gerakan Salafiyah yang pernah dilancarkan oleh kaum Paderi. Gerakan baru ini adalah imbas dari gerakan Aqlaniyah (Rasionalisme) di Mesir sebagai upaya perlawanan terhadap dakwah Salafiyah di Nejed dan Hejaz . Dan karena gerakan Aqlaniyah ini memang sengaja dibentuk oleh gerakan Zionis (Yahudi) internasional untuk membendung laju penyebaran dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dibangkitkan kembali oleh As-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, maka gerakan Mu'tazilah ekstrim ini berusaha menampilkan dirinya seolah-olah berpemahaman sama dengan pemahaman yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan menampilkan atribut-atribut agama persis seperti yang dipakai oleh gerakan dakwah Salafiyah, tetapi diberi makna masing-masing atribut agama itu sesuai dengan pemahaman Mu'tazilah. Yaitu: Anti Syirik, anti bid'ah, anti khurafat, memahami agama tidak boleh dikungkung oleh taqlid (membebek) kepada para Ulama' tetapi harus merujuk hanya kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits, kembali kepada “Salaf” dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits dengan pengertian memahami keduanya melalui upaya “ijtihad” sendiri dalam rangka kebebasan berfikir. Yang demikian ini tentu bukanlah pemahaman Salafus Shalih, tetapi Salaf dalam arti pendahulu mereka dari para pendiri gerakan Mu'tazilah seperti Washil bin Atha', Abu Ali Al-Juba'i, Ibnu Abil Hadid dan lain-lainnya. Sedangkan As-Salafus Shalih adalah pendahulu kita. Mereka adalah orang-orang shalih dari para shahabat Nabi, para Tabi'in dan Tabiit Tabi'in serta para Imam Ahlul Hadits di segala zaman. Tetapi karena atribut-atribut gerakan yang dipakai oleh kalangan Mu'tazilah itu menyerupai atribut-atribut dakwah Salafiyah, maka banyak pula orang terkecoh dengan gerakan yang dibangkitkan oleh dua tokoh yang telah berbaiat sumpah setia kepada gerakan Fremassonry Zionis Yahudi, yaitu Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Keduanya kemudian mendidik murid-muridnya yang brilian seperti Muhammad Rasyid Ridla yang menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, juga Sa'ad Zaghlul yang mempelopori perjuangan Pan-Arabisme di arena demokrasi liberal. Majalah Al-Manar diterbitkan dalam bahasa Arab, ia beredar di seluruh Dunia Islam menyebarkan pikiran-pikiran Mu'tazilah yang tentunya sangat bertentangan dengan pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Maka berdatanganlah ke Indonesia para tokoh gerakan Aqlaniyah Mu'tazilah seperti Ahmad As-Surkati dari Sudan (Afrika Barat), Abdul Aziz Ar-Rasyid dari Kuwait dan masih banyak lagi (lihat sebagai tambahan informasi kitab As-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rasyid Siiratu Hayaatihi, Dr. Ya'qub Yusuf Al-Hajii, Markaz Al-Buhuts wad Dirasaat Al-Kuwaitiyah, cet. th. 1993). Mereka berdatangan ke Jawa dan kemudian ke Sumatra dan di kedua pulau tersebut masih tersisa orang-orang yang pernah mendapat pengaruh dakwah Salafiyah.
Merekalah yang menyambut datangnya dakwah Aqlaniyah Mu'tazilah karena menyangka bahwa gerakan dakwah tersebut adalah kelanjutan dari dakwah Salafiyah. Sehingga tersamarlah dakwah Salafiyah dengan dakwah Aqlaniyah Mu'tazilah dan kemudian yang mendapat julukan sebagai gerakan tajdid adalah gerakan dakwah Aqlaniyah Mu'tazilah ini. Berbeda dengan nasib yang dialami oleh para da'i (penyeru) kepada pemahaman Salafiyah dulu yang diusir oleh pemerintah kolonial Belanda kembali ke negeri Arab, sedangkan para da'i Aqlaniyah Mu'tazilah tersebut disambut dengan penuh kehangatan oleh pemerintah kolonial Belanda dan bahkan Ahmad As-Surkati menjalin hubungan persahabatan dengan ilmuwan Belanda bernama K. Gobee yang berkedudukan sebagai Kepala Adviseur Voor Islamistische Zaken (Kantor Penasehat Ahli Pemerintah Hindia Belanda Dalam Bidang KeIslaman). Para anggota staf ahli kantor tersebut adalah Dr. G. F. Pijper dan Ch. O. Van der Plas, keduanya bersahabat baik dengan Ahmad As-Surkati dan sangat mengagumi tokoh Aqlaniah Mu'tazilah tersebut. Tokoh tersebut juga bersahabat pena (surat-menyurat) dengan tokoh orientalis Belanda Prof. Dr. Snouck Hurgronje sehingga sempat Ahmad As-Surkati berniat pergi ke Eropa untuk menemuinya. Namun niat itu diurungkan setelah mendapat kabar meninggalnya Hurgronje pada th. 1936 (lihat buku Syeikh Ahmad As-Surkati Pembaharu & Pemurni Islam Di Indonesia, Prof. Dr. Bisri Affandi MA, Pustaka Al-Kautsar, cet. I th. 1999, hal. 30 – 32). Pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sempat tersebar di kalangan kaum Muslimin Nusantara akhirnya sangat terkontaminasi oleh pemahaman Aqlaniyah Mu'tazilah dan tentunya kerancuan pemahaman terhadap dakwah Salafiyah amat akut menimpa Ummat Islam. Dengan dasar pemikiran yang rancu inilah berdiri organisasi-organisasi pergerakan “kaum muda”, yaitu Muhammadiyah th. 1912, Al-Irsyad Al-Arabiyah th. 1915, Persatuan Islam (PERSIS) th. 1920. Tetapi Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya dan PERSIS dengan Pondok-pondok Pesantrennya, kedua organisasi pergerakan “kaum Muda” tersebut lebih banyak menekuni studi bidang ilmu hadits sehingga lebih dekat pemahaman agamanya kepada As-Salafus Shalih. Sedangkan Al-Irsyad Al-Arabiyah lebih banyak menekuni bidang studi bahasa Arab, sehingga semakin kental pengaruh Mu'tazilah padanya, karena para pakar Bahasa Arab banyak dari kalangan tokoh-tokoh Mu'tazilah, seperti Az-Zamakhsyari, Al-Fakhrur Razi, Abul Ala' Al-Ma'arri, Al-Mutanabbi dan lain-lainnya. Juga tokoh-tokoh sastra Arab di abad ini, seperti Musthafa Shadiq Ar-Rifa'i, Al-Manfaluthi, Ahmad Syauqi Bek dan lain-lainnya adalah tokoh-tokoh yang amat kental pemikiran Mu'tazilahnya. Semua karya tulis mereka dikonsumsi oleh sebagian besar murid-murid sekolah Al-Irsyad Al-Arabiyah sehingga pengaruh pemikiran Mu'tazilah amat kuat dikalangan para alumni Al-Irsyad dan mereka lebih berani berkonfrontasi dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mengelu-elukan pemikiran Aqlaniyah (Rasionalis). Sehingga Madrasah Al-Irsyad Al-Arabiyah sempat pula melahirkan tokoh-tokoh rasionalis tulen dengan berbagai afiliasi pemikirannya. Seperti Abu Laila Muhammad Barabba' (idiolog Komunis Marxis anggauta Polit Biro CC PKI dan mewakili PKI di Konstituante). Awodl Baharmoz, salah seorang tokoh inkarus Sunnah (mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai penafsiran yang sah bagi Al-Qur'an) dan dia adalah seorang sosialis tulen mantan staf ahli Sutan Syahrir dan tokoh nasional bagi Partai Sosialis Indonesia. Said Al-Hilabi seorang tokoh Darwinis (berpemahaman teori evolusi Darwin yang meyakini bahwa manusia itu berasal dari kera, bahkan dia meyakini bahwa Nabi Adam `alaihis salam yang dihadapkan oleh Allah Ta'ala kepada para Malaikat di awal penciptaannya adalah dalam bentuk kera), dan masih banyak tokoh lainnya. Di samping tentunya madrasah Al-Irsyad melahirkan pula tokoh-tokoh Islam seperti Al-Ustadz Said Abdullah Thalib (ahli fiqih berdomisili di Pekalongan), Al-Ustadz Umar Hubaisy (ahli fiqih berdomisili di Surabaya), Prof. Dr. HM. Rasyidi (seorang guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, berdomisili di Jakarta), Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi As-Siddiqi (seorang guru besar lmu fiqih di IAIN Yogyakarta) dan lain-lainnya. Meskipun demikian, tokoh-tokoh Islam alumni Madrasah Al-Irsyad tersebut masih terbawa sedikit banyaknya oleh pemikiran Mu'tazilah, seperti menolak untuk mempercayai hadits-hadits shahih yang memberitakan akan datangnya Imam Mahdi di akhir zaman, juga meyakini bahwa Nabi Isa telah wafat, serta mengagumi Ilmu Kalam dan ilmu Mantiq (yang nota bene ilmu-ilmu tersebut adalah polusi filsafat yang mengotori dan mengkaburkan pemahaman Ummat Islam terhadap agamanya). Maka perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah di bumi Nusantara semakin compang-camping dengan berbagai penetrasi (perembesan) pola pikir Barat yang merasuki pemikiran kaum Muslimin melalui wabah pemikiran Aqlaniyah Mu'tazilah. Sementara itu kelompok lainnya yang menentang pemikiran Mu'tazilah tersebut mereka mengaku penganut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetapi sangat dikungkung oleh pemahaman Asy'ariyah dalam bidang aqidah, thariqat Sufiyah dalam bidang pendidikan rohani, serta taqlid buta kepada madzhab Syafi'i dalam bidang fiqih, ditambah lagi dengan penetrasi animisme dalam pemahaman mistik Sufiyah. Tentu semua itu sangat menghalangi Ummat Islam dalam memahami agamanya dengan benar. Demikianlah kondisi pemahaman keumuman kaum Muslimin di wilayah Nusantara menjelang diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia .

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE