07 November, 2015

Perjuangan Menegakkan Syari'ah Islamiyah Di Masa Orde Baru

Dengan robohnya ORLA pada th. 1969 dan kemudian diikuti dengan dimulainya pemerintahan ORBA, muncullah harapan baru Ummat Islam untuk membangun kembali basis perjuangan penegakan Syari'ah Islamiyah di Indonesia. Harapan itu pun segera pupus demi menyaksikan kebijakan politik pemerintah ORBA yang amat membelenggu gerakan Ummat Islam dalam arena politik praktis. Pemerintah menerapkan kebijakan floating mass (masa mengambang) dalam bidang sosial politik, yaitu mencegah adanya pendukung fanatik bagi partai tertentu di tingkat grasroat (massa akar rumput atau rakyat jelata). Himpitan kebijakan floating mass ini terasa semakin keras bagi para pejuang Islam di arena politik praktis ketika segenap orpol dan ormas dilarang menggunakan atribut agama dan dilarang pula menggunakan asas agama. Maka mulailah tokoh-tokoh Ummat Islam memimpin Ummatnya untuk menggarap basis perjuangan yang jauh lebih strategis, yaitu pendidikan calon generasi penerus perjuangan. 

Basis perjuangan ini sebelumnya sempat terabaikan akibat kesibukan perjuangan di arena politik praktis, sehingga menimbulkan krisis kepemimpinan di kalangan Ummat Islam setelah meninggalnya beberapa tokoh nasional dan sulit tampilnya tokoh pengganti yang sekwalitas pendahulunya. Maka dimulailah upaya mendidik calon generasi penerus perjuangan, terutama pengiriman para pelajar ke luar negeri, berjalan demikian maraknya di masa pemberangusan perjuangan di arena politik praktis. Tokoh-tokoh partai Masyumi berkumpul mendirikan organisasi Dewan Dakwah Islamiyah sebagai wadah perjuangan pengganti arena politik praktis. Dr. Muhammad Natsir mantan ketua partai Masyumi, memimpin langsung ormas ini dan rajin membangun link-link (jalur-jalur lobi) internasional di Dunia Islam untuk menggalang solidaritas internasional terhadap upaya memecahkan segala problem Ummat Islam Indonesia . 


Bahkan Presiden Soeharto meminta jasa beliau memfasilitasi di bukanya hubungan diplomatik yang lebih akrab lagi antara Indenesia dengan Arab Saudi, karena Raja Faishal bin Abdul Aziz (Raja kerajaan Arab Saudi) amat menghormati Dr. Muhammad Natsir sebagai tokoh Islam Indonesia. Upaya Pak Natsir membuahkan hasil yang signifikan dengan semakin kuatnya hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan kerajaan Arab Saudi serta meningkatnya hubungan ekonomi kedua negara dengan peningkatan yang sangat tajam, sehingga negara-negara telukpun mengikuti jejak pemerintah Arab Saudi dalam hubungannya dengan Indonesia. Akibatnya mengalirlah ratusan juta dolar Amerika Serikat setiap tahunnya dalam bentuk bantuan ekonomi dan pendidikan dari negara-negara kaya minyak tersebut bagi Indonesia. 

Maka dibukalah pintu berbagai perguruan tinggi di Arab Saudi bagi para pelajar Indonesia untuk menyempurnakan pendidikan akademiknya dengan fasilitas bea siswa yang sangat menggiurkan. Ratusan sampai ribuan mahasiswa Indonesia mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi sarjana S1, S2, dan S3 di berbagai perguruan tinggi tersebut. Sementara itu sebagaimana diketahui, pemerintah Arab Saudi secara formal telah menjadikan pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai dasar kehidupan bernegara dan berbangsa yang tentunya menentang bid'ah dan syirik dan menegakkan ketauhidan dalam Aqidah dan As-Sunnah dalam Ibadah serta mu'amalah. Prinsip ini pun sedikit banyak terasa pengaruhnya pada para alumni perguruan-perguruan tinggi Arab Saudi, walaupun di berbagai perguruan tinggi tersebut banyak dirasuki pemikiran berbagai pergerakan takfiri (yakni pemahaman Khawarij yang mencap kafir orang-orang Islam yang berseberangan secara politis dengan berbagai pergerakan tersebut, terutama semangat mereka mengkafirkan dan berkonfrontasi melawan pemerintah-pemerintah Muslimin) yang dibawa oleh para dosen dari Mesir, Suriah, Yordaniya, dan Yaman; seperti: gerakan-gerakan Ikhwanul Muslimin (sebuah pergerakan politik yang didirikan oleh Hasan Al-Banna yang menampung berbagai aliran yang ada di kalangan Muslimin untuk disatukan dalam satu gerakan. Karena itu gerakan ini menghindari mengkaji tentang agama Islam secara kritis dan ilmiah karena dikuatirkan akan bubarnya koalisi berbagai aliran yang ikut bergabung dalam pergerakan ini), Hizbut Tahrir (satu pergerakan politik murni yang menjunjung tinggi pokok-pokok pikiran Mu'tazilah dan mengesampingkan segala perjuangan yang selain bertujuan akhir utuk berdirinya Khilafah Islamiyah), Juhaimaniyah (yaitu gerakan pemberontakan terhadap kerajaan Saudi Arabia yang meletus dengan menduduki Masjidil Haram di Makkah yang dipimpin oleh Juhaiman dan menampilkan isu telah datangnya Imam Mahdi yang bernama Muhammad bin Abdillah Al-Qahthani. Gerakan ini mengambil isu kesesatan tentang Imam Mahdi dan tentunya amat diingkari oleh para Ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah), Sururiyah Quthbiyah (yaitu sebuah pergerakan yang dibangun pertama kali oleh Muhammad Zainal Abidin bin Nayef dengan menampilkan isu seruan bersikap adil terhadap para tokoh yang selama ini amat keras di kritik berbagai pemahaman sesatnya seperti Sayyid Quthub dan lain-lainnya), Haddadiyah (yaitu gerakan yang dibangun oleh Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Haddad yang menyerukan sikap antipati mutlak kepada Ahlul Bid'ah sehingga mengkatagorikan semua Ulama' terdahulu yang bersalah dicap sebagai Ahlul Bid'ah, seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Baihaqi dan lain-lainnya. Tentu gerakan ini amat ditentang oleh para Ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah) dan masih banyak lagi pergerakan lainnya. Maka kembalinya ke tanah air para sarjana alumni berbagai perguruan di Arab Saudi tersebut, cukup kuat memberikan pengaruh perubahan yang signifikan dalam kehidupan beragama di Indonesia secara keseluruhan. Bersamaan dengan itu secara tradisional Ummat Islam Indonesia mengirimkan pula anak-anaknya untuk belajar di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir serta berbagai perguruan tinggi yang lainnya di Mesir, sehingga berdatangan pula ke tanah air para sarjana ilmu-ilmu keIslaman tetapi dengan pengaruh ilmu kalam dan kegandrungan kepada berbagai studi kefilsafatan yang mengacu pada rasionalitas (Aqlaniyah Mu'tazilah). Banyak dari mereka juga membawa semangat berbagai pergerakan takfiri yang memang banyak berpusat di Mesir, seperti: Al-Jama'ah Al-Islamiyah pimpinan Dr. Umar Abdurrahman, Jama'atul Muslimin pimpinan Syukri Ahmad Musthafa yang kemudian terkenal di mass media dengan nama Jama'ah Takfir Wal Hijr, disamping tentunya sebelum berbagai pergerakan itu muncul yaitu Ikhwanul Muslimin yang menjadi cikal bakal munculnya berbagai pergerakan ekstrim tersebut. 

Pada tahun 1979 meletus revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khumaini yang notabene sebagai tokoh Syi'ah Rafidhah Itsna ‘Asyariyah Imamiyah yang amat besar ambisinya untuk menjadikan Iran sebagai negara Syi'ah pertama di abad ini dan berambisi pula mengekspor pemahaman Syi'ah di seluruh dunia Islam. Maka berduyun-duyun pula para pemuda Islam menuju Iran untuk mempelajari dan kemudian memeluk pemahaman Syi'ah Imamiyah sehingga pada tahun delapan puluhan mulailah dikenal pemahaman Syi'ah Imamiyah di Indonesia yang banyak merasuki pemikiran para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dan bahkan para sarjananya pula. 

Pada tahun 1983 tampil Prof. Dr. Munawir Syazali MA diangkat sebagai Menteri Agama dalam kabinet pembangunan IV. Langsung saja dia menggulirkan ide para pemuda Islam jenius untuk melanjutkan pendidikan akademiknya di berbagai perguruan tinggi Barat (Amerika Serikat, Canada, Eropa, dan Australia) dalam program pendidikan yang dinamakan “Islam Plus”. Program ini menjaring ratusan dan ribuan pemuda Islam jenius untuk dididik dengan pola pikir orientalis Barat yang amat materialistis dan minder dengan ke-Islamannya karena dianggap rendah bila tidak mencocoki selera pemikiran Barat. Maka berhembus pula di panggung perdebatan pemikiran Islam di Indonesia apa yang diistilahkan dengan Reaktualisasi - Kontekstualisasi Ajaran Islam. Yaitu mengoreksi ajaran-ajaran Islam yang dinilai tidak relevan lagi dengan kehidupan masa kini, seperti hukum waris yang dianggap tidak adil tehadap hak wanita, kepemimpinan pria atas wanita dianggap aturan agama yang mengesampingkan hak wanita dan lain-lainnya. Berbagai pemikiran tersebut sesungguhnya tumbuh dari mental rendah diri berhadapan dengan gemerlapnya budaya Barat sehingga menganggap bahwa Syari'ah Islamiyah tidak mungkin lagi diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini. Dan Syari'ah Islamiyah itu harus disesuaikan dengan keadaan masa kini dan bukannya keadaan yang harus ditundukkan dan disesuaikan dengan bimbingan Syari'ah Islamiyah. 

Kemudian pada tahun delapan puluhan juga tampil seorang ilmuwan super jenius Prof. Dr. BJ. Habibie diangkat sebagai Menteri Riset Dan Teknologi (Menristek) dalam kabinet pembangunan IV merangkap sebagai ketua BPPT (Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi). Tampilnya Habibie membangkitkan semangat Ummat Islam untuk merebut kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi di negara-negara Barat dalam bidang ilmu-ilmu eksakta guna dipersiapkan menjadi teknokrat yang handal dalam memimpin pembangunan Indonesia untuk menjadi negara Super Power dunia di masa depan. Habibie amat besar memberi kesempatan bagi para pemuda Islam untuk meraih kesempatan tersebut. Presiden Soeharto tampak amat percaya dan mendukung segenap konsep pembangunan yang disarankan oleh Habibie, terlebih lagi penerapan konsep itu amat besar pengaruhnya dalam upaya mensukseskan pembangunan Indonesia, sehingga banyak memberikan kemajuan bagi ekonomi rakyat dan penyediaan sumber daya manusia yang profesional. Hubungan dekat Habibie dengan Presiden Soeharto berakibat pula pada perubahan sikap Presiden Soeharto terhadap Islam dan Ummat Islam. Soeharto merestui Habibie ikut membidani lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan bahkan Soeharto berkenan membuka konggres pertama pembentukan ICMI di Malang (Jatim) pada tanggal 6 Desember 1996.

Soeharto dan segenap keluarga menunaikan ibadah Hajji ke tanah suci th.1991 dan bergantilah namanya menjadi Haji Muhammad Soeharto dan istrinya Hajjah Fathimah Soetinah. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila yang dipimpin Soeharto mencanangkan pembangunan masjid di setiap kecamatan di seluruh Indonesia dan membiayai seribu da'i Islam untuk diterjunkan di wilayah penempatan para transmigran. Didirikannya Bank Mu'amalat sebagai bank Islam resmi yang pertama di Indonesia, diajukannya oleh pemerintah ke DPR RI rancangan undang-undang pendidikan nasional dan rancangan undang-undang peradilan agama dan kemudian kedua rancangan undang-undang tersebut disetujui menjadi undang-undang. Kedua Undang-undang tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai hadiah Presiden HM. Soeharto kepada Ummat Islam. Pemerintah ORBA sejak tahun sembilan puluhan semakin berani menampilkan keberpihakannya pada aspirasi Ummat Islam dan berani pula menampilkan atribut-atribut keIslaman setelah sebelum ini menampilkan sikap sekulernya bahkan amat mengambil jarak dengan Ummat Islam dan selalu menggembar-gemborkan bahwa bahaya Islam itu sederajat dengan bahaya Komunisme terhadap masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ummat Islam merasakan masa bulan madunya dengan pemerintah ORBA, yaitu hubungan yang semakin akrab dan mesra antara Ummat Islam dengan Pemerintahnya. Kondisi yang demikian ini membangkitkan kembali harapan dan semangat Ummat Islam untuk memperjuangkan tegaknya Syari'ah Islamiyah di Bumi Nusantara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Tetapi di sisi lain membangkitkan bara kemarahan kelompok Islamo Phobia (yakni kelompok anti Islam) dari kalangan orang-orang kafir (non Muslim) atau dari kalangan munafiqin (contohnya yaitu kalangan sarjana kelompok “Islam Plus” yang menganut paham Pluralisme dalam beragama, produk pendidikan Barat. Mereka menganggap bahwa tidak berhak satu agama pun yang memonopoli kebenaran, dan kebenaran itu milik semua).

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE