26 Maret, 2015

Fiqh Nikah (1) [Definisi Nikah, Dalil Disyariatkan Nikah, Manfaat dan Hikmah Pernikahan, Hakikat Nikah, dan Anjuran Untuk Menikah]


بسم الله الرحمن الرحيم


Assalamu Alaikum, Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Ta'rif (definisi) pernikahan

Nikah secara bahasa artinya menyatukan. Sedangkan secara syara', nikah artinya akad yang di dalamnya membolehkan masing-masing pasangan untuk bersenang-senang dengan pasangannya melalui cara yang disyariatkan.

Dalil disyariatkan menikah

Menikah itu hukumnya masyru’ (disyariatkan) berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.

Dalam Al Qur'an, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat." (QS. An Nisaa’: 3)

Dalam hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ".

“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang mampu menikah[1], maka hendaknya ia menikah. Karena nikah itu dapat menundukkkan pandangan dan menjaga kehormatan. Namun barang siapa yang tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat memutuskan syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ؛ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ

"Nikahilah wanita yang sangat cinta dan subur. Karena aku akan berbangga dengan kalian di hadapan umat yang lain." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Shahih An Nasa'i no. 3026)

Dan kaum muslim juga sepakat tentang disyariatkan menikah.

Manfaat dan hikmah pernikahan

Allah Subhaanahu wa Ta'ala mensyariatkan nikah karena hikmah yang banyak, di antaranya: menjaga keturunan, memperbanyak jumlah kaum muslim, menjaga kehormatan, menolong kaum wanita dengan diberikan nafkah yang wajib ditanggung suami, menjaga nasab, menumbuhkan ketenangan dan ketentraman (lihat QS. Ar Ruum: 21), menjaga masyarakat dari moral yang merosot, mengikat kekerabatan, dan lain-lain. Demikian juga memberikan ruang untuk gejolak seks pada diri seseorang, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ » . 

“Sesungguhnya wanita datang dengan rupa setan dan pergi dengan rupa setan. Jika salah seorang di antara kamu melihat wanita (yang membuatnya takjub), maka datangilah istrinya, karena hal itu dapat menolak gejolak yang terjadi pada dirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Apa itu nikah?

Nikah sebagaimana diterangkan definisinya adalah akad syar’i yang membolehkan kedua belah pihak saling menikmati.

Nikah adalah sebuah ikatan yang kokoh, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا 

Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. An Nisaa’: 21)

Sehingga dengan nikah, kedua belah pihak wajib memenuhi haknya masing-masing.

Manusia tidaklah sama dengan hewan, yang syahwatnya dibiarkan berjalan tanpa penjagaan, jantan dan betina berhubungan tanpa aturan. Islam telah memberikan solusi yang indah, didasari atas ridha bukan paksaan, didasari atas ijab-qabul sebagai tanda keridhaan, dan disaksikan bahwa masing-masing telah menjadi bagian yang lain. Itulah pernikahan.

Dengan nikah kebutuhan manusia terpenuhi, keturunannya terjaga dan wanita menjadi terpelihara, inilah jalan yang diridhai Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Kebalikannya adalah zina yang merupakan jalan yang seburuk-buruknya. Allah Ta'ala berfirman,

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

"Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Israa': 32)

Contoh pernikahan jahiliyah yang dibatalkan oleh Islam

Sebelum Islam datang, maka hubungan lawan jenis  pria dan wanita tidak terarah dan terjaga, maka datanglah Islam dengan syariat nikah yang mulia. Berikut ini di antara pernikahan jahiliyyah yang dibatalkan oleh Islam:

1.     Nikah khidn, yakni wanita mencari laki-laki tertentu sebagai kawan untuk melakukan perzinaan dengannya secara sembunyi-sembunyi. (lihat QS. An Nisaa’: 25).

2.     Nikah Badal, yakni seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, “Taruhlah istrimu kepadaku, nanti aku akan taruh  istriku dan aku akan berikan tambahan.”

      Selain itu ada juga nikah yang terjadi di zaman Jahiliyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha berikut:

3.     Nikah Istibdhaa’, yakni seorang suami berkata kepada istrinya setelah istrinya selesai haidh, “Pergilah kepada si fulan, dan berhubunganlah dengannya agar kamu mendapatkan bibit yang baik," lalu suaminya menjauhinya sampai istrinya hamil. Ketika jelas hamilnya, maka ia menggauli jika mau. Nikah ini tujuannya untuk mendapatkan bibit unggul.

4.     Ada juga pernikahan dengan cara sekumpulan laki-laki (kurang dari sepuluh) menemui seorang wanita, semuanya menjima’inya. Ketika wanita itu sudah hamil, lalu melahirkan dan telah lewat beberapa hari, wanita itu mengirim seseorang kepada sekumpulan laki-laki itu, di mana masing-masing mereka tidak dapat menolak. Ketika mereka telah berkumpul di hadapan wanita itu, wanita itu berkata, “Kalian sudah tahu tentang perbuatan kalian. Sekarang saya sudah melahirkan. Anak ini adalah anakmu wahai fulan," wanita itu menentukan laki-laki yang disukainya untuk menasabkan anaknya kepada laki-laki itu, dan laki-laki itu tidak bisa menolaknya.

5.     Ada juga cara lain selain di atas, yaitu ketika orang-orang berkumpul, kemudian mereka menemui kaum wanita pelacur, di mana kaum wanita itu tidak menolak orang yang datang kepadanya. Wanita-wanita pelacur ini biasanya memasang bendera di pintunya sebagai tanda bolehnya siapa saja mendatanginya dan menggaulinya. Ketika wanita ini hamil kemudian selesai melahirkan, orang-orang berkumpul di hadapannya dan mengundang qaaffah (ahli nasab dengan cara melihat kesamaan), lalu menasabkan anak itu kepada orang yang mereka lihat mirip.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, nikah jahiliyyah di atas dibatalkan dan dihancurkan oleh Islam, tinggallah nikah yang sekarang berlaku, yaitu nikah yang harus ada rukunnya, yaitu ijab dan qabul dengan adanya izin dari walinya dan hadirnya saksi. Dengan akad seperti ini, maka masing-masing pasangan halal bersenang-senang dengan yang lain, dan dengan itu pula terwujud hak dan kewajiban yang harus dipikul.

Anjuran untuk menikah

Islam mendorong seseorang untuk menikah dengan berbagai macam bentuk targhib (dorongan). Terkadang menyebutkan, bahwa nikah itu termasuk sunnah para nabi dan petunjuk para rasul, di mana mereka adalah para pemimpin yang patut diteladani. Allah Ta'ala berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan." (Terj. QS. Ar Ra'd: 38)

Terkadang menjelaskan, bahwa nikah adalah nikmat yang diberikan Allah kepada manusia (lihat QS. An Nahl: 72), dan terkadang menyebutkan, bahwa nikah adalah salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah (lihat QS. Ar Ruum: 21).

Bahkan ketika seseorang khawatir tidak sanggup memikul beban pernikahan, Islam memberikan kabar gembira bahwa Allah akan mencukupkannya. Allah Ta'ala berfirman,

إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui." (Terj. QS. An Nuur: 32)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتِبُ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ، وَالْمُتَزَوِّجُ يُرِيدُ العَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

"Ada tiga orang yang akan dibantu Allah: yaitu budak yang hendak melunasi iurannya (agar dirinya merdeka), orang yang menikah dengan maksud menjaga dirinya, dan orang yang berjihad di jalan Allah." (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa'i, Hakim, dan Baihaqi, lihat Ghayatul Maram fii Takhrij Ahaaditsil Halaali wal Haraam: 210 oleh Syaikh Al Albani)

Mungkin terlintas dalam hati seseorang adanya keinginan untuk tidak menikah karena ingin mengkhususkan diri untuk beribadah atau agar membantu lebih zuhud terhadap dunia, maka Islam memberitahukan bahwa hal itu menyalahi sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana Beliau adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah namun Beliau menikah. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang tidak suka sunnahku, maka bukan termasuk golonganku." (HR. Bukhari).

Nikah juga merupakan ibadah yang dengannya separuh agama seseorang menjadi sempurna, di mana seseorang bisa menghadap Allah dalam keadaan yang sangat baik yaitu bersih dan suci. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ الْبَاقِي

"Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya separuh agamanya telah sempurna. Oleh karena itu, hendaknya dia bertakwa kepada Allah pada separuh agama sisanya."[2] (HR. Baihaqi dalam Asy Syu'ab dari Anas, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 430)

Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: Ketika turun ayat,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih," (Terj. QS. At Taubah: 34)

Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian safarnya, lalu sebagian sahabatnya berkata, "Ayat itu turun berkenaan dengan emas dan perak. Kalau sekiranya kita tahu harta apa yang terbaik, agar dapat kita ambil?" Maka Beliau bersabda,

أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ، وَقَلْبٌ شَاكِرٌ، وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ

"Yang paling utamanya adalah lisan yang berdzikr, hati yang bersyukur, dan istri yang mukminan yang membantu imannya." (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5355).

Imam Thabari meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ أَصَابَهُنَّ فَقَدْ أُعْطِيَ خَيْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَبَدَنًا عَلَى الْبَلاَءِ صَابِرًا، وَزَوْجَةً لاَ تَبْغِيْهِ حُوْبًا فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ

"Ada empat yang apabila semua itu diperolehnya, maka dia berarti telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: hati yang bersyukur, lisan yang berdzikr, badan yang siap sabar terhadap ujian, dan istri yang tidak menginginkan dosa bagi dirinya dan harta suaminya."

Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin Ash, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

"Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salihah."

Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqash, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ

"Di antara kebahagiaan anak Adam ada tiga, dan di antara kesengsaraan anak Adam juga ada tiga. Di antara kebahagiaannya adalah mendapatkan istri yang salihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. Sedangkan di antara kesengsaraannya adalah istri yang buruk, tempat tinggal yang buruk, dan kendaraan yang buruk." (Hadits ini dinyatakan shahih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah. Hadits ini diriwayatkan pula Thabrani, Al Bazzar, Hakim dan ia menshahihkannya).

Tafsir terhadap hadits di atas disebutkan pula dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Hakim dari Sa'ad, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، تَرَاهَا تُعْجِبُكَ، وَتَغِيْبُ فَتَأْمَنُهَا عَلَى نَفْسِهَا وَمَالِكَ، وَالدَّابَّةُ تَكُوْنُ وَطِيْئَةً تُلْحِقُكَ بِأَصْحَابِكَ، وَالدَّارُ تَكُوْنُ وَاسِعَةً كَثِيْرَةَ الْمَرَافِقِ، وَثَلاَثٌ مِنَ الشِّقَاءِ: الْمَرْأَةُ تَرَاهَا فَتَسُوْءُكَ، وَتَحْمِلُ لِسَانَهَا عَلَيْكَ، وَإِنْ غِبْتَ عَنْهَا لَمْ تَأْمَنْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَمَالِكَ، وَالدَّابَّةُ تَكُوْنُ قَطُوْفًا فَاِنْ ضَرَبْتَهَا أَتْعَبْتَكَ، وَإِنْ تَرَكْتَهَا لَمْ تُلْحِقْكَ بِأَصْحَابِكَ، وَالدَّارُ تَكُوْنُ ضَيِّقَةً قَلِيْلَةَ الْمَرَافِقِ

"Tiga hal yang termasuk kebahagiaan adalah istri yang salihah, yang jika engkau pandang membuatmu senang, jika engkau pergi, maka dia menjaga dirinya dan hartamu, serta hewan yang jinak lagi cepat yang dengannya engkau dapat menyusul kawan-kawanmu, serta rumah yang luas dan banyak perlengkapannya. Sedangkan tiga hal yang termasuk kesengsaraan adalah istri yang jika engkau pandang menyedihkanmu, mulutnya tidak lepas mencelamu, dan jika engkau pergi, ia tidak menjaga dirinya dan hartamu. Kemudian hewan yang lambat. Jika engkau pukul, malah membuatmu lelah, dan jika engkau biarkan, maka engkau tidak dapat menyusul kawan-kawanmu, serta rumah yang sempit dan sedikit perlengkapannya." (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 3056).

Ibnu Mas’ud berkata, “Kalau sekiranya ajal saya hanya tinggal sepuluh hari, dan saya mengetahui bahwa di akhirnya saya wafat, sedangkan saya memiliki kemampuan untuk menikah maka saya akan menikah karena takut terhadap fitnah.”

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Waziz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza'iriy), dll.


[1] Yakni mampu memikul beban pernikahan.
[2] Hadits ini membagi takwa kepada dua bagian; sebagiannya dengan menikah, dan sebagian lagi dengan selainnya.  Menurut Abu Hatim, bahwa yang menegakkan agama seseorang biasanya tergantung pada farji (kemaluan) dan perutnya, dimana salah satunya terpenuhi dengan menikah.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE