Beramal dalam lingkup Islam yang dilakukan oleh seorang muslim
bisa masuk kategori ibadah. Dan amal itu merupakan realisasi dari
ayat Allah (yang artinya):
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku." (adz Dzariyat : 56).
Makna beribadah di atas bisa berarti luas, baik itu ibadah
dalam artian mahdhah (ritual) maupun dalam artian ibadah yang
umum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah bahwa
ibadah itu ialah segala sesuatu yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya baik itu berupa perkataan maupun perbuatan yang
dilakukan dengan hati maupun dengan anggota badan (Ismun jaami'un
li kulli maa yuhibbuhullah wa yardhahu minal aqwali wal af'ali adh
dhahirah wal bathinah). Apapun bentuk ibadahnya tidak boleh keluar
dari syarat pokok, yaitu sesuai dengan syari'at dan ikhlash karena
Allah. Ini merupakan realisasi dari pernyataan dua kalimat
syahadat. Asyhadu alla illaha illallah yang mengandung makna
bahwasanya segala bentuk sesembahan itu hanya boleh ditujukan
kepada Allah dan hanya karena Allah, dan Asyhadu anna Muhammadar
rasulullah yang mengandung makna bahwa segala aktivitas ibadah itu
harus dibangun diatas syari'at Allah yang dijelaskan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, untuk itu sangat penting
bagi setiap muslim untuk selalu menimbang atau mengkoreksi setiap
amalannya. Dengan demikian maka diharapkan amalnya itu termasuk
amal yang shalih, yang masuk dalam kategori amal yang paling baik.
Sebagaimana Allah telah mengatakan dalam Surah al Mulk ayat 2
(yang artinya):
"Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan yang dengan itu Dia menguji siapakah diantara kalian itu yang paling baik amalnya."
Dalam ayat ini Allah menggunakan ayat Ahsanu Amala (yang paling
baik amalnya), bukan Aktsaru Amala (paling banyak amalnya), jadi
nilai pertama dan utama untuk melihat amalan manusia itu adalah
baiknya dan kebaikan itu ditimbang berdasarkan benar tidaknya dan
keikhlashannya, sebagaimana perkataan Fudhail bin Iyadh maksud
dari ahsanu amala adalah aswabu (yang paling benar) wa
akhlashu (yang paling ikhlash). Jadi ukuran pokoknya itu bukan
pada banyaknya amaliah tetapi kebenaran amal itu sendiri, sesuatu
yang banyak belum tentu baik. Untuk itu hendaklah seseorang itu
memperbanyak amalan yang ahsan dalam artian amalan yang
didasarkan pada petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dan dilakukan dengan penuh keikhalashan karena Allah semata,
dengan demikian diharapkan kita dihindarkan dari kerugian yang
tidak kita sangka-sangka, sebagaimana perkataan Allah yang
termaktub dalam surah Al Kahfi 103 - 104 (yang artinya):
"Katakanlah, maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang telah sia-sia amalnya didalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka itu menyangka bahwa mereka itu telah berbuat sebaik-baiknya."
Nah, untuk menghindari kejadian yang seperti itu maka adalah
sangat baik kalau kita selalu menimbang amaliah kita selama masih
hidup di dunia ini karena hanya di dunialah tempat untuk beramal
sedangkan akhirat itu tempat pembalasan amal. Maka adalah sangat
tepat kalau kita selalu menimbang amal kita di dunia ini sebelum
ditimbang dan dinilai di akhirat nanti, sebagaimana nasehat Amirul
Mukminin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu: Haasibuu
anfusakum qobla an tuhaasabuu (Hisablah diri kalian sebelum kalian
dihisab).
Ada dua hadits yang secara implisit memerintahkan kepada setiap
muslim untuk selalu menimbang amalnya baik dari sisi lahir maupun
batin. Sebagaimana dinukil oleh Al Imam Nawawi rahimahullah dalam
Al Arba'in An Nawawiyah. Yang pertama, hadits ini diriwayatkan
oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim.
"Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, 'Bahwasanya amal itu dengan niat, dan segala sesuatu hal itu tergantung pada apa yang diniatkannya ...'."
Imam Asy Syaukani mengoentari, bahwa hadits ini adalah salah
satu dari sekian banyak kaidah dalam Islam, bahkan dikatakan
merupakan sepertiga dari ilmu. Para ulama sangat mengagungkan
hadits ini sehingga menjadikan pembuka dalam tulisan-tulisannya,
ini sebagai suatu peringatan bagi para pencari ilmu agar selalu
memperbaiki niatnya.
Berkata 'Abdurrahman bin Mahdi, "Barangsiapa yang akan
menulis kitab, hendaklah memulai dengan hadits ini."Imam
Bukhari adalah salah satu yang mengamalkan perkataan ini, dalam
kitab Shahihnya, hadits ini menempati urutan pertama. Demikian
juga dengan Al Maqdisi dalam 'Umdatul Ahkam, Imam As Suyuti dalam
Jami'us Shaghir, Imam Nawawi dalam Al majmu'. Tidak ada hadits
yang lebih komprehensif (menyeluruh), lebih mencukupi, lebih
bermanfaat dan lebih banyak faidahnya dibanding hadits ini. Hadits
ini merupakan hadits yang memberi peringatan untuk menimbang
amaliah dari sisi batinnya (niat). Niat disini baik niat itu untuk
membedakan dengan ibadah yang lain maupun niat dalam artian ibadah
itu hanya untuk Allah semata.
Hadits yang kedua, merupakan hadits ke-5 dalam Al-Arba'in An
Nawawiyah. Hadits dari Ummul Mukminin 'Aisyah, beliau berkata,
berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam agama kami yang tidak ada petunjuk maka tertolak, dalam riwayat lain barangsiapa berbuat suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami maka tertolak."
Al Hafidz Ibnu Hajar berkomentar, "Hadits ini termasuk
pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama."
Berkata Imam At Turuqiy, "Hadits ini pantas dinamakan separo
dari aturan-aturan syari'at karena orang dapat menggunakannya
untuk menetapkan hukum atau menghapuskannya. Hadits ini merupakan
pembuka yang agung di dalam menetapkan hukum syari'at dan
menghapuskannya."
Hadits ini menegaskan hendaklah setiap muslim itu memperhatikan
amalnya, apakah amalnya itu sesuai dengan petunjuk Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Karena amal yang tidak sesuai dengan
petunjuk Rasulullah maka tertolak. Makna fahuwa raddun (dia
ditolak) adalah marduudun (tidak diterima). Karena dalam
ajaran Islam, asal dari ibadah itu adalah haram maka setiap ibadah
yang Allah dan Rasul-Nya tidak mensyari'atkannya setiap muslim
diharamkan bertaqarub dengannya.
Contoh , sholat adalah ibadah mahdhah, tetapi kalau jenis
shalat itu tidak disyari'atkan oleh Allah dan tidak dituntunkan
oleh Rasulullah, maka setiap muslim tidak boleh melakukannya,
misalnya sholat sunnah/nafilah setelah shubuh atau setelah ashar.
Perasaan orang awam bisa mengatakan hal itu merupakan kebaikan
tapi syari'at menegaskan itu adalah kejelekan yang dalam istilah
syar'i disebut dengan bid'ah. Bid'ah dalam syari'at Islam tidak
ada yang baik sebagaimana penegasan Rasulullah bahwa kullu
bid'atin dhalalah (setiap bid'ah adalah sesat).
Dari dua hadits di atas menjadi motivator untuk setiap muslim
hendaknya selalu menimbang amalnya baik dari sisi batin maupun
lahirnya, sebagaimana komentar Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah,
"Hadits ini merupakan pokok yang paling agung diantara
pokok-pokok Islam sebagaimana hadits al a'malu bin niyat di
atas merupakan timbangan bagi amal-amal dari sisi batinnya dan 'man
ahdatsa' sebagai timbangan amal-amal dari sisi dhahiriyahnya,
tata caranya (kaifiyahnya).
Oleh : AMAM Al Jawi Al Atsary