Muhammad Ali Ishmah
عن
أبي سعيدٍ الخدريِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كَانَ
فِيْمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا، فَسَأَلَ
عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ، فَقَالَ إِنَّهُ
قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ،
فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ
فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ، فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ
مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟
اِنْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ
تَعَالَى فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ، وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ
سُوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيْقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ، فَاخْتَصَمَتْ
فِيْهِ مَلآئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلآئِكَةُ الْعَذَابِ. فَقَالَتْ مَلآئِكَةُ
الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى،
وَقَالَتْ مَلآئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ،
فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُوْرَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوْهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ:
قِيْسُوْا مَا بَيْنَ اْلأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ
لَهُ. فَقَاسُوْا فَوَجَدُوْهُ أَدْنَى إِلَى اْلأَرْضِ الَّتِى أَرَادَ،
فَقَبَضَتْهُ مَلآئِكَةُ الرَّحْمَةِ. ﴿متفق
عليه﴾
Dari Abu Said
Al-Khudri radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: Dulu sebelum kalian ada seorang laki-laki yang membunuh sembilan
puluh sembilan orang, hingga ia bertanya tentang orang yang alim di kalangan
penduduk bumi. Mereka menunjuk kepada seorang rahib (ahli ibadah), kemudian
orang tersebut mendatanginya dan berkata bahwa ia telah membunuh sembilan puluh
sembilan orang. Apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat? Rahib tadi
berkata: "Tidak." Orang itu malah membunuhnya, sehingga genap menjadi
seratus orang. Kemudian ia bertanya tentang penduduk bumi yang paling alim. Maka
ditunjukkan kepadanya seorang alim. Ia berkata kepadanya bahwa ia telah
membunuh seratus orang. Apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat?
Orang alim tersebut menjawab: "Ya! Dan siapa yang bisa menghalangi
antaramu dengan taubat. Pergilah ke negeri ini dan itu, karena di sana ada orang-orang yang beribadah
kepada Allah Ta'ala. Beribadahlah bersama mereka, dan jangan kembali ke
negerimu karena negerimu adalah negeri yang jelek." Kemudian orang itu
pergi tapi di tengah-tengah perjalanan ia meninggal. Sehingga malaikat rahmat
dan malaikat adzab saling berselisih tentangnya. Malaikat rahmat berkata:
"Dia datang dalam keadaan bertaubat, menghadap Allah." Malaikat adzab
berkata: "Dia belum beramal shalih sama sekali." Kemudian datanglah
kepada kedua malaikat itu seorang malaikat dalam wujud manusia. Mereka (kedua
malaikat itu) menjadikannya sebagai pemutus urusan mereka. Malaikat itu
berkata: "Ukurlah antara dua negeri tersebut. Mana yang lebih dekat
(jaraknya dengan kedua negeri itu) maka itulah lebih berhak." Mereka
kemudian mengukurnya. Ternyata mereka dapati bahwa ia (orang yang mati itu)
lebih dekat ke negeri yang baik. Maka malaikat rahmat mengambilnya. (Bukhari
dan Muslim)
Takhrij Hadits
Hadits ini
diriwayatkan oleh:
1. Imam Bukhari
dalam Fathul Bari, Kitabul Anbiya', bab Maa dzukira 'an Bani Israil
6/373.
2. Imam Muslim
dalam Syarah Imam Nawawi, Kitabut Taubah, bab Qabulu qatil walau katsura
qatluhu, juz 17 hal. 82, dan ini dengan lafadz Muslim.
3. Ibnu Majah
dalam Sunan-nya, Kitabul Diyat (21) Hadits ke 2622, bab Lil qatilil
mukmin taubah?
4. Imam Ahmad
dalam Musnad-nya 3/20, 42.
Syarah Hadits
Dari hadits ini,
kita dapat memetik beberapa pelajaran, yaitu:
Pertama: Hadits ini menerangkan tentang kisah-kisah umat yang terdahulu dari
kalangan Bani Israil. Menanggapi kisah-kisah ini ada tiga hukum untuk
mensikapinya:
(a) Syariat
telah datang untuk membenarkannya. Maka jika ini terjadi, khabar-khabar ini
harus kita benarkan dan kita yakini.
(b) Syariat
datang untuk mendustakannya. Contohnya: keyakinan orang Nashrani bahwa Allah
adalah Al-Masih Putera Maryam, atau keyakinan orang Yahudi bahwa 'Uzair adalah
anak Allah, dll.
(c) Syariat
tidak menerangkan kedustaannya dan kebenarannya. Sedangkan riwayat di atas
adalah riwayat yang dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua: Hadits ini menerangkan tentang kapan waktunya seseorang untuk
bertaubat.
Seseorang ingin
bertaubat apabila ia telah merasa sakit karena dosa yang ia lakukan di dalam
hatinya. Hal ini karena seringkali orang tahu bahwa yang ia lakukan adalah
perbuatan dosa, akan tetapi ia belum merasakan takut kepada Allah dari akibat
dosa yang telah ia lakukan. Akan tetapi apabila iman seseorang itu naik atau
bertambah, maka ia akan merasakan penyesalan akan dosa yang ia lakukan. Contohnya
adalah orang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang ini. Ketika di
hatinya mulai dihinggapi perasaan bersalah, segera ia ingin bertaubat yang
diwujudkannya dengan bertanya kepada orang-orang tentang taubat.
Ketiga: Hadits ini menunjukkan bahaya orang yang berbicara dan beramal
tentang agama tanpa ilmu. Dan ini sesuai dengan aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah
wal Jamaah yaitu al-ilmu qabla al-qaul wal amal (ilmu itu sebelum
perkataan dan amalan). Kaidah ini diambil dari firman Allah:
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ ﴿محمد: ١٩﴾
"Ketahuilah, tiada Ilah yang berhak
disembah kecuali Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi kaum mukminin
serta mukminat." (Muhammad: 19)
Dalam sebuah
riwayat dari Sufyan bin Uyainah bahwa ia ditanya tentang keutamaan ilmu, maka
ia menjawab: "Apakah engkau tidak mendengar firman Allah yang berbunyi
(kemudian beliau membaca ayat ini, Al-Hadid: 20, At-Taghabun: 14 dan Al-Anfal:
41). Setelah itu, beliau berkata lagi: "Kemudian barulah Allah menyuruh
beramal setelah itu." (Jami'ul Ahkamil Qur`an jilid 8, Tafsir Surat Muhammad ayat 19 oleh Imam
Al-Qurthubi). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
berkata dalam kitabnya Al-Ushul Ats-Tsalatsah: "Ketahuilah -semoga
Allah merahmatimu- sesungguhnya Allah mewajibkan atas kita untuk mempelajari
empat perkara: yang pertama, ilmu... dst" Demikian juga dengan Imam
Bukhari rahimahullah, sebagaimana yang dikutip dalam kitab di atas. Beliau
berkata yang demikian dalam Shahih-nya, Bab al-ilmu qabla al-qaul wal
amal. Dengan dalil firman Allah Ta'ala (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini,
Allah memulai (perintah) dengan ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Jelas
diterangkan dalam ayat di atas bahwa sebelum kita berkata, kita harus tahu
terlebih dahulu tentang apa yang akan kita katakan. Demikian juga sebelum kita
beramal, kita harus tahu terlebih dahulu tentang apa yang akan kita amalkan. Sebagai
contoh, ayat di atas menerangkan bahwa sebelum kita mohon ampun kepada Allah,
kita harus tahu bahwa Allah itu Maha Pengampun. Setiap orang akan mohon ampun kepada
Allah karena tahu bahwa Allah adalah Maha Pengampun.
Apabila kita
melihat syariat, banyak sekali amalan yang harus dilakukan dengan ilmu. Contohnya,
shalat jenazah. Orang yang hendak melaksanakan shalat jenazah harus mengetahui
lebih dahulu tata caranya. Sebab, apabila tidak maka ia akan menyamakan cara
shalat jenazah dengan shalat-shalat biasa yang kita lakukan. Kasus seperti ini
pernah terjadi dan kami dengar langsung dari saksinya. Diceritakan bahwa ketika
sedang melaksanakan shalat jenazah, imam dan makmumnya melakukan ruku' dan
sujud, sebagaimana shalat biasa. Yang demikian ini adalah bukti betapa
pentingnya ilmu sebelum berbicara dan beramal.
Selain dalil
tentang wajibnya berilmu sebelum berkata dan beramal, ada juga dalil tentang
larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Yaitu firman Allah:
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ
يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿الأعراف:
٣٣﴾
"Katakanlah: Rabbku hanya mengharamkan
perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu,
dan (mengharamkan) mengatakan terhadap Allah apa-apa yang kamu tidak
ketahui." (Al-A'raf: 33)
Dalam ayat di atas,
Allah membagi perkara-perkara yang haram dalam empat tingkatan, yaitu: yang
paling ringan adalah perbuatan keji. Kemudian yang lebih keras lagi
keharamannya adalah berbuat maksiat dan kedhaliman (aniaya). Yang ketiga
setelah itu adalah perbuatan syirik. Dan yang paling tinggi tingkat
keharamannya adalah berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Berbicara tentang Allah
tanpa ilmu ini bersifat umum, apakah itu bersangkut paut dengan nama-nama
Allah, sifat-sifat-Nya ataupun syariat-Nya. (Aqidah Wasithiyah, hal. 56)
Kembali pada
hadits di atas, kita melihat pendeta (rahib) itu menghukumi perbuatan orang
tadi tanpa ilmu. Pendeta itu berbicara hanya dengan "perasaan"nya
saja, bukan berdasarkan ilmu, karena jika ia berilmu tentu ia tahu bahwa Allah
itu Maha Penerima Taubat. Orang yang tidak mengetahui, atau orang yang sedang
menuntut ilmu haruslah terbiasa dengan berkata: "Saya tidak tahu." Karena
sikap ini adalah yang paling selamat apabila kita tidak mengetahui sesuatu,
bukannya mencari-cari dengan perasaan dan akal pikiran kita sendiri. Telah
dicontohkan bagaimana para Salafus Shalih "saling menolak" memberi
fatwa dan melempar pada yang lain hingga si penanya kembali pada orang yang
pertama. Cobalah dengar apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman bin Abi Laila
(seorang tabi'in), dia berkata:
"Aku
mendapati dalam masjid ini seratus duapuluh orang shahabat Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Tidaklah seseorang ditanya tentang suatu hadits atau suatu
fatwa kecuali ia sangat ingin kalau temannya yang menjawabnya. Kemudian masa
terus berlalu sampai pada suatu kaum yang mengaku-aku bahwa dirinya memiliki
ilmu. Mereka berlomba-lomba untuk menjawab bila ada orang yang bertanya tentang
sesuatu yang seandainya pertanyaan tersebut ditanyakan pada amirul mukminin
Umar bin Khattab radhiallahu anhu tentulah beliau mengumpulkan para ahli Badr
dan bermusyawarah dengan mereka." (Mukhtashar Minhajul Qasidin,
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi).
Lantas bagaimana
dengan keadaan sekarang ini, dimana kita jumpai banyak orang mengaku dirinya
ulama, mengaku dirinya fuqaha' (ahli fiqih) hanya dengan mempelajari beberapa
kitab fiqih saja, atau bahkan mengaku sebagai mujtahid mutlak.
Kita lihat
kenyataan sekarang ini, seorang ulama yang faqih dikatakan sebagai ulama bodoh,
tolol dan tidak mengerti waqi' (realitas), sedangkan di sisi lain orang
yang menghujat sunnah seperti Dr. Yusuf Qardhawi (dan Muhammad Ghazali)
dikatakan ulama!
Kembali pada
hadits di atas, pendeta yang berbicara tanpa ilmu itu akhirnya dibunuh oleh
orang tadi dan di akhirat ia akan mendapat siksa atas perbuatannya.
Keempat: Keutamaan seorang alim walaupun lebih sedikit amalnya dari seorang 'abid
(ahli ibadah) yang banyak ibadahnya.
Berbicara
tentang masalah ini, marilah kita simak cerita yang dibawakan oleh Ibnu Abdil
Barr dalam kitabnya At-Tahmid:
"Al-Umari
-seorang ahli ibadah- menulis surat kepada Imam Malik rahimahullah yang di dalamnya
menceritakan tentang dirinya yang menyendiri dan bekerja, serta tidak mau
mengikuti atau berkumpul bersama beliau (Imam Malik) untuk menuntut ilmu.
Menanggapi surat ini Imam Malik
membalasnya dengan mengatakan: 'Sesungguhnya Allah membagi amalan-amalan
sebagaimana rizqi. Kadang-kadang ada yang dibukakan baginya dalam shalat dan
dalam puasa. Ada yang dalam
sedekah dan tidak dibukakan dalam puasa. Dan ada pula yang dalam jihad dan
tidak dalam shalat. Adapun mempelajari ilmu dan menyebarkannya merupakan
sebaik-baik amalan kebaikan. Dan aku ridha dengan apa yang telah dibukakan
Allah bagiku. Aku berharap agar kita berada di atas kebaikan. Dan wajib bagi
kita untuk ridha dengan apa yang diberikan kepadanya. Wassalam."
Keutamaan
seorang yang alim (ulama) dapat dilihat pula dari dalil-dalil berikut ini:
قُلْ
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿الزمر:
٩﴾
"Katakanlah: apakah sama orang-orang yang
mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ﴿فاطر: ٢٨﴾
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari
para hamba-Nya adalah para ulama." (Fathir: 28)
Dan masih banyak
lagi ayat-ayat dalam Al-Qur`an yang senada yang tidak mungkin kami cantumkan
semuanya di dalam tulisan ini.
Di samping
dalil-dalil dari Al-Qur'an terdapat pula dalil-dalil dari Al-Hadits seperti
berikut ini:
عَنْ
أَبي أمامةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: ذَكَرَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم رَجُلاَنِ، أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَاْلآخَرُ عَالِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم: ((فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى
أَدْنَاكُمْ)) ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ((إِنَّ
اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةِ فِي
جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحَوْتِ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الْخَيْرَ))
﴿رواه
الترمذي (٥/٢٩٨٥) والدارمي
(١/٨٨) وصححه الألباني في المشكاة
١/٧٥﴾
"Dari Abu Umamah radhiallahu anhu, ia
berkata: Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dua
orang: seorang ahli ibadah dan orang alim. Lantas beliau bersabda: 'Keutamaan
seorang yang alim dengan seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku
(Rasulullah) dengan yang paling rendah di antara kalian (para shahabat).'
Kemudian beliau bersabda: 'Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya dan penghuni
langit dan bumi sampai semut dalam sarangnya serta ikan pun ikut mendoakan para
pengajar kebaikan kepada manusia." [HR. Tirmidzi (5/2985), Darimi
(1/88), dan dishahihkan oleh Albani dalam Al-Misykah
(1/75)]
فَضْلُ
الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ
اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا
وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ﴿رواه
الترمذي (٢٨٦٦) وابن ماجه ١/٨٠ وأبو
داود ٢/٢١٧ وحسنه الألباني في المشكاة
١/٧٤، انظر صحيح ابن حبان ١/٤٦﴾
"Keutamaan orang alim dari seorang yang
'abid adalah seperti keutamaan bulan pada malam bulan purnama dari seluruh
bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi. Dan para Nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa
mengambilnya (mewarisinya) maka berarti ia telah mengambil dengan bagian yang
besar." [HR. Tirmidzi (2966), Ibnu Majah (1/80), Abu Dawud (2/217), dan
dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah
(1/74). Lihat Shahih Ibnu Hibban (1/46)]
عن
سهلِ بنِ سعدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ
لِعليٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا
خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمُرُ النَّعَمِ ﴿رواه
البخاري ٥/٢٣ ومسلم ٢/١٢٢ وأحمد
٥/٢٣٨،٣٣٣﴾
"Dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu anhu
bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Ali radhiallahu anhu:
Sungguh jika Allah memberi hidayah kepada satu orang melaluimu maka itu lebih
baik bagimu daripada kamu memiliki unta-unta merah." [HR. Bukhari (5/23),
Muslim 1/122, Ahmad 5/238,333]
Hasan Al-Bashri
berkata: "Kalaulah tidak karena para ulama tentu manusia menjadi seperti
hewan."
Muadz bin Jabal
radhiallahu anhu berkata: "Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena
Allah adalah khashyah (rasa takut), menuntutnya adalah ibadah,
mempelajarinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada
orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah, menyerahkannya kepada ahlinya
adalah sebagai taqarrub. Dia (ilmu) teman dekat dalam kesendirian dan
shahabat dalam kesunyian."
Kelima: Wajib bagi orang yang merasa sakit dengan perbuatan maksiatnya
untuk menanyakan obatnya kepada para ulama, sebagaimana firman Allah:
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿الأنبياء:
٧﴾
"Maka bertanyalah kepada orang-orang yang
berilmu jika kalian tidak mengetahuinya." (Al-Anbiya': 7)
Keenam: Bahwa bagi orang yang ingin beristiqamah di atas agama Allah maka
dia harus meninggalkan teman-temannya yang jelek. Dan banyak di kalangan
orang-orang yang telah bertaubat dan ingin mendakwahi teman-temannya yang dulu
tetapi nyatanya malah bergabung dengan mereka. Oleh karena itu, salah satu cara
menasehati teman-temannya adalah: hendaknya ia pergi bersama beberapa orang
yang baik. Karena jika ia sendirian ketika mendakwahi teman-temannya dahulu
maka mereka akan selalu mengingatkannya tentang dosa-dosa yang pernah ia
lakukan. Akan tetapi apabila ia pergi bersama beberapa orang, mereka tidak akan
mengungkit-ungkit perbuatan kita yang telah lalu karena malu. Perlu diingat
bahwa tugas kita adalah mengajak saja. Apakah mereka akan menerima ajakan kita
atau tidak bukanlah tanggung jawab kita.
Ketujuh: Bahayanya shahabat yang jelek. Dan ini dicontohkan dengan apa yang
terjadi pada Abu Thalib ketika wafatnya. Dimana dikisahkan dalam riwayat shahih
(Bukhari-Muslim) bahwa ketika Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya dan di sisinya ada Abdullah bin Al
Umayyah. Rasulullah bersabda:
يَا
عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله كَلِمَةٌ أَحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ
"Wahai paman, ucapkanlah laa ilaha illallah, kalimat yang aku akan bela engkau dengannya
di sisi Allah."
Tapi kedua
temannya mengatakan: "Apakah engkau benci dengan agama nenek
moyangmu?" Demikianlah, Abu Thalib akhirnya wafat dalam keadaan kafir
karena bujukan teman-temannya yang jelek itu.
Kedelapan: Pintu taubat itu terbuka, sebagaimana tersebut dalam hadits:
عن
أبي موسَى الأشعريِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عن النّبيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئِ النَّهَارِ
يَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئِ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ
الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا ﴿رواه مسلم
(٢٧٦٠) وأحمد ٤/٣٩٥،٤٠٤﴾
"Dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiallahu
anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: 'Sesungguhnya
Allah azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima
taubat orang yang berbuat kesalahan di waktu siangnya. Dan Allah membentangkan
tangan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan di
waktu malam, sampai matahari terbit dari Barat." [HR. Muslim (2760) dan
Ahmad (4/390,404)]
عن
أبي عبدِ الرحمَن عبدِ اللهِ بنِ عمرَ بنِ الخطّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عن
النبيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ
تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ ﴿رواه الترمذي
(٣٧٦٧) وقال: حديث حسن وأحمد وغيره، انظر تحفة الأحوذي
٩/٣٦٥﴾
"Dari Abu Abdur Rahman Abdullah bin Umar
bin Khathab radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau
bersabda: 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tetap menerima taubat hambanya
sebelum nyawanya sampai di tenggorokan (sakaratul maut)." [HR. Tirmidzi
(3767): hadits hasan, Ahmad dll, lihat Tuhfatul
Ahwadzi 9/365]
Kesembilan: Bagi para dai, jangan berputus asa untuk menunggu taubatnya
seseorang. Karena hidayah ada di tangan Allah, bukan di tangan kita. Tugas kita
adalah menyampaikan kebenaran, adapun hasilnya ditentukan oleh Allah. Ini harus
selalu diingat karena seringkali seorang dai begitu bersemangat berdakwah di
suatu tempat hingga melupakan yang lainnya, tetapi hasilnya justru di tempat
yang ia lalaikan itu banyak yang menjadi baik. Allah berfirman:
إِنَّكَ
لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ﴿القصص:
٥٦﴾
"Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi
hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi
hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki." (Al-Qashash: 56)
Dakwah ini
(dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah) adalah dakwah untuk menyampaikan kebenaran,
bukan dakwah untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya hingga tercampur di
dalamnya Mu'tazilah, Asy-'Ariyah, Sufiyah, 'Aqlaniyah
dll. Dakwah ini bukan hanya untuk pemuda tetapi juga kepada yang tua, bahkan
kepada orang yang hampir mati sekalipun. Karena sering kita dengan ucapan,
"Kita lebih mengutamakan yang muda-muda karena mereka adalah generasi masa
depan ummat ini". Akibat ucapan ini, mereka kurang perhatian kepada yang
tua. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah menyebarkan
kalimat tauhid ini yaitu Laa ilaaha illallah kepada siapa saja: tua atau
muda, miskin atau kaya, yang masih hidup atau yang hampir mati, budak atau
raja. Oleh karena itu, seorang dai haruslah bersabar dalam dakwah ini. Perjalanan
dakwah ini panjang, penuh riak dan duri. Kalau keberhasilan itu tidak kita
dapati sekarang, Insya Allah bisa berhasil di tangan anak cucu dan generasi
penerus kita.
Kesepuluh: Bahwa amalan-amalan itu dilihat dari yang terakhirnya.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَوَاللهِ
الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ
عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا ﴿رواه البخاري
٦/٣٥٠- الفتح (٣٢٠٨) ومسلم
(٢٦٤٣)﴾
"Demi Allah yang tiada Ilah yang berhak
disembah selain Dia, sesungguhnya salah seorang kalian beramal dengan amalan
ahli surga hingga tidak ada (jarak) antara ia dengan surga tersebut kecuali
sehasta. Lalu ia didahului oleh Al-Kitab (takdir), kemudian ia beramal dengan
amalan ahli neraka, maka akhirnya ia masuk ke dalamnya. Dan salah seorang
kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada (jarak) antara ia
dengan neraka kecuali sehasta. Lalu ia didahului oleh Al-Kitab, kemudian ia beramal
dengan amalan penghuni surga, maka akhirnya ia masuk ke dalamnya." [HR.
Bukhari (6/350), Muslim (2643)]
Kesebelas: Berusaha sekuat tenaga untuk bertemu dengan orang-orang yang
shalih, dan itu menunjukkan kebenaran taubatnya.
Kedua belas: Boleh mengganti kata "Aku" dalam menceritakan tentang
dirinya dengan kata "seseorang". Yaitu dalam hadits si pembunuh
menyatakan, "Ada seseorang
telah membunuh, apakah ada kesempatan baginya untuk bertaubat?"
Ketiga belas: Berjalan di jalan ketaatan itu memberikan pahala. Di sini si
pembunuh belum duduk dengan orang-orang yang shalih tetapi ia sudah mendapat
pahala. Apalagi yang duduk dengan orang-orang yang shalih.
Keempat
belas: Allah menyukai taubat hamba-Nya,
bagaimanapun banyak dosanya:
عن
أنسِ بنِ مالكٍ قَالَ: سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: قَالَ
اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ! إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي
وَرَجَوْتَنِي، غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِي. يَا ابْنَ
آدَمَ! لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي
غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِي. يَا ابْنَ آدَمَ! لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ
اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي وَلاَ تُشْرِكُوْا بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ
بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً ﴿رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح،
وأخرجه أحمد والدارمي عن أبي ذر. انظر تحفة الأحوذي ٩/٣٦٨
(٣٧٧٢) والصحيحة ١/٢٥٠
(١٢٧). حديث صحيح بشواهده كما في ((صحيح الأذكار))
١٢٣٤/٩٦٨﴾
"Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu
beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: Wahai anak Adam, sesungguhnya selama
engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku. Niscaya Aku ampuni dosa-dosa
yang ada padamu dan aku tidak peduli. Hai anak Adam, kalau dosa-dosamu mencapai
setinggi langit kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni
dan Aku tidak peduli. Hai anak Adam, kalau engkau datang kepadaku dengan
membawa dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan Aku dalam
keadaan tidak berbuat syirik. Niscaya akan Aku ganti dengan ampunan sepenuh itu
pula.'" [HR. Tirmidzi dan beliau berkata: hadits ini hasan shahih. Juga
oleh Ahmad dan Darimi dari Abu Dzar. Lihat Tuhfatul
Ahwadzi (9/368), As-Shahihah 1/250 no. 127. Hadits ini SHAHIH, lihat Shahih
Al-Adzkar]
Kelima belas: Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa malaikat itu sanggup
menyerupakan dirinya seperti manusia. Hal ini bisa juga dilihat dengan kisah
Jibril yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk
manusia (HR. Muslim dari Umar bin Khaththab radhiallahu anhu)
Keenam belas: Orang yang membunuh dengan sengaja, apabila dia bertaubat, maka sah
taubatnya.
Imam Al-Malawi
berkata: "Ini adalah madzhab ahli ilmu dan ijma' mereka tentang sahnya
taubat pembunuh yang sengaja membunuh. Dan tidak ada yang menentang mereka
kecuali Ibnu Abbas. Adapun apa-apa yang dinukil oleh sebagian Salaf bahwa
tentang perkara ini masih ada perselisihan. Maka yang dimaksud adalah ancaman
terhadap sebab-sebab taubat tersebut, bukan keyakinan batalnya taubat pembunuh
tersebut. Jika dikatakan hadits ini adalah syariat umat sebelum kita dan bahwa
berhujjah dengannya itu masih diperselisihkan. Maka hal itu bisa terjadi jika
syariat kita (Islam) belum menyepakati dan menyetujuinya. Akan tetapi, jika
syariat kita telah mensepakatinya, maka hal itu menjadi syariat bagi kita juga,
tanpa perlu diragukan lagi. Dalil yang menyepakati hal ini adalah firman Allah:
وَالَّذِينَ
لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ ... إِلاَّ مَنْ
تَابَ ﴿الفرقان:
٦٨-٧٠﴾
"Dan orang-orang yang tidak menyeru
(menyembah) yang lain beserta Allah dan tidak membunuh...kecuali yang
bertaubat." (Al-Furqan: 68-70)
Adapun firman
Allah:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا ﴿النساء:
٩٣﴾
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam dan ia kekal di
dalamnya." (An-Nisa: 93)
Maka yang benar
dalam makna "balasannya adalah jahannam" ialah: kadang-kadang dibalas
dengannya (jahannam) dan kadang dibalas dengan yang lainnya. Dan kadang pula
tidak dibalas sama sekali, bahkan dimaafkan. Jika ia membunuh dengan sengaja
dan menganggap itu adalah halal tanpa dasar kebenaran dan alasan, maka dia
telah kafir atau murtad, kekal di jahannam secara ijma'. Akan tetapi, jika ia
menganggap itu tidak halal bahkan meyakini keharamannya, maka dia telah
maksiat, fasik, dan berdosa besar. Dan balasannya ia pantas untuk diadzab dalam
neraka jahannam. Namun, karena keutamaan Allah Ta'ala, dikabarkan bahwa Dia
tidak mengekalkan orang yang mati dalam keadaan bertauhid di dalam neraka. Bahkan,
bisa saja dia dimaafkan hingga tidak masuk neraka. Atau bisa juga dia tidak
dimaafkan sehingga mengalami adzab, sebagaimana seluruh orang-orang bertauhid
yang berdosa, hingga akhirnya dia dikeluarkan dari neraka lalu masuk surga. Demikianlah
pendapat yang benar dalam memahami ayat ini. Ia tidak dihukum dengan hukum yang
khusus dan tidak terdapat kabar di dalamnya bahwa ia kekal dalam neraka
jahannam. Hanya saja, di dalam ayat tersebut diberitakan bahwa balasannya ia
berhak dihukum dalam neraka jahannam.
Wallahu
a'lam.
Maraji':
1. Al-Qur'anul Karim
2. Fathul Bari oleh Ibnu Hajar
3. Shahih Muslim, Syarah Imam Nawawi
4. Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah
oleh Syaikh Al-Albani
5. Misykatul Mashabih dengan tahqiq
Syaikh Al-Albani
6. Riyadhus Shalihin oleh Imam
Nawawi
7. Tafsir Ibnu Katsir
8. Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Imam
Tirmidzi
9. Tafsir Al-Qurthubi
10. Al-Ushul Ats-Tsalatsah oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab
11. Syarh Aqidah Wasithiyyah, tahqiq
Khalil Harras
12. Tanbihat Lathifah oleh Abdur
Rahman As-Sa'di
13. Mukhtashar Minhajul Qashidin
oleh Zuhair Syawis
14. Nuzhatul Muttaqin, Syarah
Riyadhus Shalihin
15. Ceramah Dr. Umar Al-'Ied.