Pernahkah Anda merasakan kesedihan
ditinggal mati oleh orang yang Anda kasihi di dunia ini? Atau pernahkah
Anda kehilangan harta melimpah yang pernah Anda miliki? Itu semua
menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Dunia ini bukanlah
hunian abadi bagi manusia. Kehidupan hakiki adalah kehidupan di
akhirat. Oleh karena itu, selayaknya orang yang berakal, lebih
mengutamakan kenikmatan yang kekal daripada kehidupan fana ini.
Bagaimana caranya? Agama Islam mengajarkan dengan zuhud di dunia. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhuma berkata:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى
عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي
الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ
وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ
يُحِبُّوكَ
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah,
tunjukkan kepadaku suatu amalan. Jika aku mengamalkannya, niscaya Allah
mencintaiku dan manusia juga mencintaiku!” Rasulullah bersabda:
“Zuhudlah di dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa
yang ada pada tangan-tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu!’.
[1]
MAKNA ZUHUD
Disebutkan di dalam kitab kamus Mu’jamul Wasith, bab Zahida:
زَهِدَ فِيْهِ وَ عَنْهُ – يَزْهَدُ – زُهْدًا, وَ زَهَادَةً
Yaitu, seseorang melakukan zuhud atau
zahaadah. Artinya, dia berpaling darinya dan meninggalkannya karena dia
meremehkannya, atau menghindari kesusahan darinya, atau karena
sedikitnya.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi
rahimahullah berkata: “Zuhud adalah istilah dari berpalingnya keinginan
dari sesuatu menuju yang lain yang lebih baik darinya. Dan syarat hal
yang ditinggalkan keinginannya itu, juga disukai pada sebagian sisinya.
Maka barangsiapa meninggalkan sesuatu yang dzatnya tidak disukai dan
tidak dicari, dia tidak dinamakan zaahid (orang yang zuhud)”.[2]
Tujuan meninggalkan dunia bagi orang
yang zuhud adalah untuk meraih kebaikan akhirat, bukan semata-mata untuk
rileks dan menganggur.
Abu Sulaiman rahimahullah
berkata,”Orang yang zuhud bukanlah orang yang meninggalkan
kelelahan-kelelahan dunia dan beristirahat darinya. Tetapi orang yang
zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia, dan berpayah-payah di dunia
untuk akhirat.” [3]
Imam Ibnu Rajab Al Hambali
rahimahullah berkata,”Maksud zuhud di dunia adalah mengosongkan hati
dari menyibukkan diri dengan dunia, sehingga orang itu dapat
berkonsentrasi untuk mencari (ridha) Allah, mengenalNya, dekat
kepadaNya, merasa tenang denganNya, dan rindu menghadapNya.”[4]
Menurut Imam Ahmad rahimahullah ,
zuhud itu ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan yang haram. (Demikian)
ini zuhudnya orang-orang awam. Kedua, meninggalkan yang berlebih-lebihan
dari yang halal. (Demikian) ini zuhud orang-orang khusus. Ketiga,
meninggalkan semua perkara yang menyibukkan diri dari Allah. Ini
zuhudnya orang-orang ‘arif (orang-orang yang faham terhadap Allah).[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, ”Zuhud yang bermanfaat, disyari’atkan, dan yang
dicintai oleh Allah dan RasulNya, adalah zuhud (meninggalkan dan
mengecilkan arti) segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat.
Berkaitan dengan hal-hal yang berguna di akhirat dan piranti yang dapat
mendukungnya, maka zuhud (meninggalkan dan meremehkan) terhadap hal-hal
ini, berarti meremehkan satu jenis ibadah kepada Allah dan ketaatan
kepadaNya. Yang dimaksud zuhud hanyalah dengan meninggalkan semua yang
membahayakan atau segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Adapun zuhud
terhadap hal-hal yang bermanfaat, ini adalah sebuah bentuk ketidaktahuan
dan kesesatan.” [6]
INI BUKAN ZUHUD!
Setelah kita mengetahui penjelasan di
atas, ternyata ada sebagian orang melakukan berbagai perbuatan dengan
anggapan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kategori zuhud. Padahal
hanya merupakan tipu daya Iblis. Di antara perbuatan zuhud yang keliru:
1. Meninggalkan Dunia Sama Sekali.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Orang awam terkadang mendengar celaan terhadap dunia di dalam Al Qur’an yang mulia dan hadits-hadits, lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah meninggalkan dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian Iblis mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan diri ke gunung-gunung, menjauhi shalat Jumat, shalat jamaah, dan juga (majlis) ilmu. Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan kepadanya bahwa inilah zuhud hakiki. Bagaimana tidak, sedangkan dia telah mendengar tentang si A yang berkelana, dan tentang si B yang beribadah di atas gunung.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Orang awam terkadang mendengar celaan terhadap dunia di dalam Al Qur’an yang mulia dan hadits-hadits, lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah meninggalkan dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian Iblis mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan diri ke gunung-gunung, menjauhi shalat Jumat, shalat jamaah, dan juga (majlis) ilmu. Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan kepadanya bahwa inilah zuhud hakiki. Bagaimana tidak, sedangkan dia telah mendengar tentang si A yang berkelana, dan tentang si B yang beribadah di atas gunung.
Padahal, kemungkinan dia memiliki
keluarga, sehingga tidak terurus. Atau masih memiliki ibu yang menangis
karena ditinggalkan. Ada kemungkinan juga, ia tidak mengetahui
rukun-rukun shalat sebagaimana mestinya. Atau mungkin juga, dia masih
menanggung beban kezhaliman-kezhalimannya yang belum terselesaikan.
Sesungguhnya iblis mampu mengelabuhi orang ini karena kedangkalan
ilmunya. Dan termasuk kebodohannya, dia telah puas dengan apa yang dia
ketahui.
Seandainya dia diberi bimbingan (oleh
Allah) dengan berteman dengan seorang faqiih (ahli agama) yang memahami
hakikat-hakikat, niscaya orang faqiih itu akan memberitahukan kepadanya,
bahwa pada asalnya dunia tidak tercela. Bagaimana mungkin dunia dicela,
segala sesuatu yang dianugerahkan Allah Ta’ala, merupakan kebutuhan
pokok untuk kelangsungan hidup manusia, dan merupakan sarana yang
mendukung manusia dalam meraih ilmu dan ibadah, yang berupa makanan,
minuman, pakaian, dan masjid yang digunakan untuk shalat?! Sesungguhnya
yang tercela hanyalah mengais bagian dari dunia yang tidak halal, atau
mengambilnya dengan berlebihan, tidak sesuai dengan kebutuhannya. Atau
tindakan seseorang yang mengikuti kedangkalan jiwanya, tanpa petunjuk
syari’at.
Pergi mengasingkan ke gunung-gunung
sendirian (hukumnya) terlarang, karena Nabi n melarang seseorang
bermalam sendirian [7]. Tindakannya meninggalkan shalat jamaah dan
shalat Jum’at merupakan kerugian, bukan keuntungan. Jauh dari ilmu dan
ulama akan mengakibatkan ia terkungkung oleh belitan kebodohan.
Meninggalkan ayah dan ibu seperti kasus di atas, merupakan‘uquq
(kedurhakaan terhadap orang tua), padahal termasuk dosa besar”. [Al
Muntaqa An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 191-192, Syaikh Ali bin Hasan Al
Halabi].
2. Meninggalkan Hal-hal Mubah, Padahal Bermanfaat.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Di antara tipu daya iblis terhadap orang-orang zuhud, (adalah) iblis menjadikan mereka salah sangka bahwa zuhud (berarti) meninggalkan hal-hal yang mubah (padahal bermanfaat, Pen). Mereka, ada yang tidak menambahi (bahan lain) terhadap roti gandum (yakni hanya makan roti gandum saja, Pen). Di antara mereka, ada yang tidak pernah mencicipi buah-buahan. Ada juga dengan cara mengecilkan porsi makanan, sehingga badannya menjadi kurus-kering. Atau menyiksa diri dengan mengenakan baju dari bulu kambing dan menghindarkan dirinya dari air dingin (segar). Ini bukanlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula tradisi para sahabat dan para pengikut beliau. Mereka dahulu lapar, bila tidak mendapatkan apapun. Namun jika mereka dapat meraihnya, mereka akan memakannya”.[8]
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Di antara tipu daya iblis terhadap orang-orang zuhud, (adalah) iblis menjadikan mereka salah sangka bahwa zuhud (berarti) meninggalkan hal-hal yang mubah (padahal bermanfaat, Pen). Mereka, ada yang tidak menambahi (bahan lain) terhadap roti gandum (yakni hanya makan roti gandum saja, Pen). Di antara mereka, ada yang tidak pernah mencicipi buah-buahan. Ada juga dengan cara mengecilkan porsi makanan, sehingga badannya menjadi kurus-kering. Atau menyiksa diri dengan mengenakan baju dari bulu kambing dan menghindarkan dirinya dari air dingin (segar). Ini bukanlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula tradisi para sahabat dan para pengikut beliau. Mereka dahulu lapar, bila tidak mendapatkan apapun. Namun jika mereka dapat meraihnya, mereka akan memakannya”.[8]
3. Zuhud Lahiriyah Semata.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Salah satu wujud penipuan iblis terhadap orang-orang zuhud, adalah iblis menjadikan mereka keliru dengan makna zuhud, yaitu (dengan cara merasa) puas dengan makanan dan pakaian yang berkualitas rendah saja. Mereka menerima hal itu. Tetapi hati mereka berhasrat terhadap kepemimpinan dan mencari kehormatan. Engkau lihat mereka itu menanti-nanti kunjungan para umara` (penguasa, pejabat). Mereka memuliakan orang-orang kaya, tidak memuliakan orang-orang miskin. Mereka pura-pura khusyu’ tatkala berpapasan dengan orang. Seolah-olah mereka telah keluar dari musyahadah (menyaksikan keagungan Allah). Dan terkadang salah seorang dari mereka menolak harta agar dikatakan “Sesungguhnya telah nampak zuhud baginya”. Padahal mereka termasuk orang yang paling sering keluar-masuk menemui umara (pejabat), dan mencium tangan mereka pada pintu yang paling luas dari wilayah-wilayah dunia, karena sesungguhnya puncak dunia adalah kepimimpinan”.[9]
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Salah satu wujud penipuan iblis terhadap orang-orang zuhud, adalah iblis menjadikan mereka keliru dengan makna zuhud, yaitu (dengan cara merasa) puas dengan makanan dan pakaian yang berkualitas rendah saja. Mereka menerima hal itu. Tetapi hati mereka berhasrat terhadap kepemimpinan dan mencari kehormatan. Engkau lihat mereka itu menanti-nanti kunjungan para umara` (penguasa, pejabat). Mereka memuliakan orang-orang kaya, tidak memuliakan orang-orang miskin. Mereka pura-pura khusyu’ tatkala berpapasan dengan orang. Seolah-olah mereka telah keluar dari musyahadah (menyaksikan keagungan Allah). Dan terkadang salah seorang dari mereka menolak harta agar dikatakan “Sesungguhnya telah nampak zuhud baginya”. Padahal mereka termasuk orang yang paling sering keluar-masuk menemui umara (pejabat), dan mencium tangan mereka pada pintu yang paling luas dari wilayah-wilayah dunia, karena sesungguhnya puncak dunia adalah kepimimpinan”.[9]
4. Meninggalkan Harta-Benda Secara Total Dan Menjadikan Kefakiran (Kemiskinan) Sebagai Tujuan Hidup!
Seorang tokoh sufi mengatakan: “Zuhud adalah kosongnya tangan dari segala barang kepemilikan” [10]. Selain itu, ada juga yang menggariskan: “Kefakiran adalah fondasi dan tiang tasawuf”.[11]
Seorang tokoh sufi mengatakan: “Zuhud adalah kosongnya tangan dari segala barang kepemilikan” [10]. Selain itu, ada juga yang menggariskan: “Kefakiran adalah fondasi dan tiang tasawuf”.[11]
Diriwayatkan dari Al Junaid, seorang
tokoh sufi, dia berkata: “Aku lebih menyukai agar pemula tidak
menyibukkan diri dengan bekerja, jika tidak, maka keadaannya akan
berubah”.[12]
Akibat dari anggapan ini, sejarah
mencatat kisah-kisah sebagian orang sufi pada zaman tempo dulu yang
meninggalkan harta-harta mereka dan mulai berkelana, padahal sebelumnya
mereka sabagai orang-orang yang berada.[13]
Anggapan zuhud model orang-orang sufi
seperti di atas, bukan bagian dari ajaran Islam. Bahkan sangat
bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla
dari tujuan hidup mereka itu, yang berorientasi pembinaan kemiskinan.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
“Wahai Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari kefakiran, kekurangan (dari perbuatan baik),
dan kehinaan. Dan aku berlindung kepadaMu dari berbuat zhalim, atau
dizhalimi”.[14]
Demikian juga, sifat malas mereka
untuk bekerja dengan dalih zuhud yang palsu, menyelisihi anjuran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya untuk mencari pekerjaan
yang halal dan mencukup diri sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ
خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seorang pun memakan makanan
yang lebih baik daripada dia memakan dari (hasil) jerih payah tangannya
sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, biasa makan dari
(hasil) kerja sendiri.”. [15]
Dalam hadits lain, Beliau bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Salah seorang di antara kamu yang
mengumpulkan kayu bakar di atas punggungnya, lebih baik baginya daripada
dia minta kepada seseorang, lalu orang itu memberinya atau menolaknya”.
[16]
Hakikat zuhud bukanlah menampik harta
duniawi. Banyak sahabat yang kaya-raya, seperti Utsman bin ‘Affan,
Abdurrahman bin ‘Auf, dan lainnya. Kendatipun demikian, mereka adalah
tokoh-tokoh orang-orang zuhud.
5. Meninggalkan Pernikahan.
Sebagian orang sufi berkata: “Barangsiapa menikah, maka dia telah memasukkan dunia ke dalam rumahnya … maka waspadalah dari pernikahan!”
Sebagian orang sufi berkata: “Barangsiapa menikah, maka dia telah memasukkan dunia ke dalam rumahnya … maka waspadalah dari pernikahan!”
Di antara mereka ada yang bertutur:
“Seorang laki-laki tidak akan mencapai derajat orang-orang shiddiiq
sampai ia meninggalkan istrinya seolah-olah seperti janda, dan
(membiarkan) anak-anaknya, seolah-olah mereka itu anak-anak yatim, dan
dia menetap di kandang-kandang anjing!” [17] Sudah pasti zuhud ala sufi
ini, bukan zuhud yang digariskan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mengatakan:
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ
لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي
وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ
مِنِّي
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya
aku adalah orang yang paling takut di antaramu kepada Allah, dan orang
yang paling takwa di antaramu kepadaNya. Tetapi aku berpuasa dan
berbuka; aku shalat (malam) dan tidur; dan aku menikahi wanita-wanita.
Barangsiapa membenci sunnahku (ajaranku), dia bukan dariku”.[18]
Justru zuhud seperti itu berseberangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ
اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai, para pemuda. Barangsiapa di
antara kamu mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena
sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, maka dia wajib berpuasa,
karena sesungguhnya puasa itu penjagaan baginya (dari perzinaan,
pen)”.[19]
Setelah kita mengetahui berbagai
keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa zuhud yang benar
bukanlah dengan meninggalkan harta dan keluarga, kemudian menyiksa diri
dengan begadang dan kelaparan, menyepi di kamar-kamar yang gelap dan
membisu dengan tanpa sebab. Demikian juga bukan dengan meninggalkan
berbagai hal yang bermanfaat di dunia ini, yang dapat membantu ibadah
dan ketaatan kepada Allah, seperti berbagai kemajuan tekhnologi yang
tidak bertentangan dengan syari’at yang suci.
Dengan ini mudah-mudahan menjadi jelas
bagi kita, perbedaan zuhud yang diajarkan oleh agama Islam, dengan
zuhud buatan orang-orang sufi yang menyimpang.
Semoga Allah menampakkan al haq kepada
kita sebagai al haq, dan menolong kita untuk mengikutinya. Dan
memperlihatkan kebatilan kepada kita sebagai kebatilan, dan menolong
kita untuk menjauhinya. Wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Muslim Atsari hafizhahullah
_______
Catatan kaki:
[1]. HR Ibnu Majah, no. 4102, dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah, no. 944.
[2]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 410-411, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[3]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198), tahqiq Syakih Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Bajis.
[4]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198).
[5]. Madarijus Salikin (2/9), dinukil dari Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin (1/523), karya Syaikh Salim Al Hilali.
[6]. Majmu’ Fatawa (10/511).
[7]. HR Ahmad, no.5650, dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih
[8]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 193, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[9]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 194-195, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[10]. Kitab Al Luma’, hlm. 72, karya Abu Nashr Sirooj Ath Thuusi, Penerbit Darul Kutub Al Haditsah, Kairo, Th. 1960. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[11]. Kitab Iqodhul Himam, hlm. 213, karya Ibnu ‘Ajiibah. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[12]. Kitab Quutul Qulub (1/267), dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/30), karya Muhammad Ahmad Luh.
[13]. Lihat Siyar A’lamin Nubala (15/231), Tarikh Baghdad (7/221). Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31).
[14]. HR Abu Dawud, no. 1544; An Nasaa-i (8/261); Al Hakim (1/541); dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[15]. HR Bukhari, no. 2072.
[16]. HR Bukhari, no. 2074.
[17]. Lihat Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31-32), karya Muhammad Ahmad Luh.
[18]. HR Bukhari, no. 5063; Muslim, no. 1401; dan lainnya.
[19]. HR Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400; dan lainnya.
_______
Catatan kaki:
[1]. HR Ibnu Majah, no. 4102, dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah, no. 944.
[2]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 410-411, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[3]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198), tahqiq Syakih Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Bajis.
[4]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198).
[5]. Madarijus Salikin (2/9), dinukil dari Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin (1/523), karya Syaikh Salim Al Hilali.
[6]. Majmu’ Fatawa (10/511).
[7]. HR Ahmad, no.5650, dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih
[8]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 193, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[9]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 194-195, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[10]. Kitab Al Luma’, hlm. 72, karya Abu Nashr Sirooj Ath Thuusi, Penerbit Darul Kutub Al Haditsah, Kairo, Th. 1960. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[11]. Kitab Iqodhul Himam, hlm. 213, karya Ibnu ‘Ajiibah. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[12]. Kitab Quutul Qulub (1/267), dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/30), karya Muhammad Ahmad Luh.
[13]. Lihat Siyar A’lamin Nubala (15/231), Tarikh Baghdad (7/221). Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31).
[14]. HR Abu Dawud, no. 1544; An Nasaa-i (8/261); Al Hakim (1/541); dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[15]. HR Bukhari, no. 2072.
[16]. HR Bukhari, no. 2074.
[17]. Lihat Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31-32), karya Muhammad Ahmad Luh.
[18]. HR Bukhari, no. 5063; Muslim, no. 1401; dan lainnya.
[19]. HR Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400; dan lainnya.