Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukumnya melakukan
sebagian perbuatan maksiat, terutama dosa-dosa besar, dan apakah ada
pengaruhnya terhadap keislaman seseorang?
Jawaban
Benar, hal itu memberikan pengaruh buruk. Sesungguhnya melakukan dosa
besar seperti zina, minum arak, membunuh secara tidak benar, memakan
riba, ghibah (mengumpat), namimah (adu domba) dan maksiat lainnya
berpengaruh terhadap tauhid kepada Allah dan iman kepadaNya serta
melemahkannya. Namun seorang muslim tidak menjadi kafir karena melakukan
hal itu selama tidak menganggapnya halal. Berbeda dengan kaum Khawarij
yang mengkafirkan seorang muslim yang melakukan perbuatan maksiat
seperti zina, mencuri, durhaka kepada kedua orang tua dan dosa-dosa
besar lainnya, sekalipun ia tidak menghalalkannya (membolehkannya). Ini
adalah kesalahan besar kaum Khawarij. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak
megkafirkannya karena melakukan hal itu dan tidak menyebabkannya kekal
di neraka. Tetapi mereka berkata, “Iman tauhidnya kurang/berkurang.
Tetapi tidak sampai kafir yang besar, tetapi dalam imannya ada
kekurangan dan kelemahan”.
Karena inilah, Allah mensyari’atkan pelaku zina dengan had (hukuman)
cambuk apabila ia masih bujangan. Dicambuk seratus kali dan dibuang
setahun. Demikian pula peminum arak, dicambuk dan tidak dibunuh. Pencuri
dipotong tanggannya dan tidak dibunuh. Jikalau zina, minum arak, dan
mencuri mengakibatkan kufur besar, niscaya mereka dibunuh, berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Siapa yang mengganti agamanya,
bunuhlah” [1]
Hal itu menunjukkan bahwa perbuatan maksiat ini bukanlah murtad, namun
melemahkan iman dan menguranginya. Karena inilah, Allah Subhanahu wa
Ta’ala mensyariatkan ta’dib (agar jera) dengan hukuman ini agar mereka
bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka dan berhenti melakukan yang
diharamkan Rabb kepada mereka.
Mu’tazilah berkata, “Sesungguhnya pelaku maksiat berada di suatu tempat
di antara dua tempat, tetapi ia dikekalkan di neraka apabila mati
sebelum bertaubat”. Mereka menyalahi Ahlus Sunnah dan menyetujui kaum
Khawarij dalam hal itu. Kedua kelompok tersebut telah tersesat dari
jalan yang lurus. Yang benar adalah pendapat pertama, yaitu pendapat
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yaitu, ia adalah pelaku maksiat yang lemah
imannya dan berada dalam bahaya besar karena murka dan siksa Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi ia tidak menjadi kafir yang besar,
yaitu murtad dari Islam. Juga tidak kekal di neraka seperti kekalnya
orang-orang kafir, apabila ia mati dalam melakukan salah satu dari
maksiat itu. Tetapi ia berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa
Ta’ala, jika Dia menghendaki, Dia mengampuninya. Dan jika Dia Subhanahu
wa Ta’ala menggendaki, Dia menyiksanya berdasarkan perbuatan maksiat
yang dia mati dalam melakukannya, kemudian Dia Subhanahu wa Ta’ala
mengeluarkannya dari neraka. Tidak ada yang kekal selama-lamanya di sana
selain rang-orang kafir. Kemudian setelah selesai siksa Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang diberikan kepadanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengeluarkannya dari neraka ke surga. Ini adalah pendapat Ahluh Haq.
Pendapat ini berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbeda dengan pendapat Khawarij dan
Mu’tazilah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar” [An-Nisa 48 dan 116]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantungkan atas kehendakNya selain dosa syirik.
Adapun orang yang mati atas syirik besar, maka dia kekal di neraka dan
surga diharamkan atasnya, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”
[Al-Ma’idah : 72]
Dan firmanNya.
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid
Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah
orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam
neraka” [At-Taubah : 17]
Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak.
Apabila pelaku maksiat masuk neraka, ia tetap tinggal di dalamnya hingga
waktu yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak kekal
seperti kekalnya orang-orang kafir. Namun terkadang lama masanya. Ini
adalah kekal yang khusus bersifat sementara, bukan seperti kekalnya
orang-orang kafir. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
surah Al-Furqan ketika menyebutkan orang musyrik, pembunuh dan pezina,
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari
kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina”
[Al-Furqan : 68-69]
Kekal ini bersifat sementara yang suatu saat akan berakhir. Adapun orang
musyrik, maka kekalnya selama-lamanya. Karena inilah, Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman tentang haq orang-orang musyrik dalam surah
Al-Baqarah.
“Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya
menjadi sesalan bagi mereka ; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar
dari api neraka” [Al-Baqarah : 167]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Ma’idah berkenaan orang-orang kafir.
“Mereka ingin keluar dari neraka padahal mereka sekali-kali tidak dapat
keluar daripadanya, dan mereka beroleha adzab yang kekal’ [Al-Ma’idah :
37]
[Majalah Al-Buhuts edisi 41, Syaih Ibnu Baz hal. 132-134]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah
Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,
Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul
Haq]