11 Desember, 2014

DOSA BESAR PADA IMAN HAMBA



Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukumnya melakukan sebagian perbuatan maksiat, terutama dosa-dosa besar, dan apakah ada pengaruhnya terhadap keislaman seseorang?

Jawaban
Benar, hal itu memberikan pengaruh buruk. Sesungguhnya melakukan dosa besar seperti zina, minum arak, membunuh secara tidak benar, memakan riba, ghibah (mengumpat), namimah (adu domba) dan maksiat lainnya berpengaruh terhadap tauhid kepada Allah dan iman kepadaNya serta melemahkannya. Namun seorang muslim tidak menjadi kafir karena melakukan hal itu selama tidak menganggapnya halal. Berbeda dengan kaum Khawarij yang mengkafirkan seorang muslim yang melakukan perbuatan maksiat seperti zina, mencuri, durhaka kepada kedua orang tua dan dosa-dosa besar lainnya, sekalipun ia tidak menghalalkannya (membolehkannya). Ini adalah kesalahan besar kaum Khawarij. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak megkafirkannya karena melakukan hal itu dan tidak menyebabkannya kekal di neraka. Tetapi mereka berkata, “Iman tauhidnya kurang/berkurang. Tetapi tidak sampai kafir yang besar, tetapi dalam imannya ada kekurangan dan kelemahan”.

Karena inilah, Allah mensyari’atkan pelaku zina dengan had (hukuman) cambuk apabila ia masih bujangan. Dicambuk seratus kali dan dibuang setahun. Demikian pula peminum arak, dicambuk dan tidak dibunuh. Pencuri dipotong tanggannya dan tidak dibunuh. Jikalau zina, minum arak, dan mencuri mengakibatkan kufur besar, niscaya mereka dibunuh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah” [1]

Hal itu menunjukkan bahwa perbuatan maksiat ini bukanlah murtad, namun melemahkan iman dan menguranginya. Karena inilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan ta’dib (agar jera) dengan hukuman ini agar mereka bertaubat dan kembali kepada Rabb mereka dan berhenti melakukan yang diharamkan Rabb kepada mereka.

Mu’tazilah berkata, “Sesungguhnya pelaku maksiat berada di suatu tempat di antara dua tempat, tetapi ia dikekalkan di neraka apabila mati sebelum bertaubat”. Mereka menyalahi Ahlus Sunnah dan menyetujui kaum Khawarij dalam hal itu. Kedua kelompok tersebut telah tersesat dari jalan yang lurus. Yang benar adalah pendapat pertama, yaitu pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yaitu, ia adalah pelaku maksiat yang lemah imannya dan berada dalam bahaya besar karena murka dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi ia tidak menjadi kafir yang besar, yaitu murtad dari Islam. Juga tidak kekal di neraka seperti kekalnya orang-orang kafir, apabila ia mati dalam melakukan salah satu dari maksiat itu. Tetapi ia berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika Dia menghendaki, Dia mengampuninya. Dan jika Dia Subhanahu wa Ta’ala menggendaki, Dia menyiksanya berdasarkan perbuatan maksiat yang dia mati dalam melakukannya, kemudian Dia Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkannya dari neraka. Tidak ada yang kekal selama-lamanya di sana selain rang-orang kafir. Kemudian setelah selesai siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepadanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkannya dari neraka ke surga. Ini adalah pendapat Ahluh Haq. Pendapat ini berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbeda dengan pendapat Khawarij dan Mu’tazilah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” [An-Nisa 48 dan 116]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantungkan atas kehendakNya selain dosa syirik.

Adapun orang yang mati atas syirik besar, maka dia kekal di neraka dan surga diharamkan atasnya, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun” [Al-Ma’idah : 72]

Dan firmanNya.

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam neraka” [At-Taubah : 17]

Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak.

Apabila pelaku maksiat masuk neraka, ia tetap tinggal di dalamnya hingga waktu yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak kekal seperti kekalnya orang-orang kafir. Namun terkadang lama masanya. Ini adalah kekal yang khusus bersifat sementara, bukan seperti kekalnya orang-orang kafir. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Furqan ketika menyebutkan orang musyrik, pembunuh dan pezina, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina” [Al-Furqan : 68-69]

Kekal ini bersifat sementara yang suatu saat akan berakhir. Adapun orang musyrik, maka kekalnya selama-lamanya. Karena inilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang haq orang-orang musyrik dalam surah Al-Baqarah.

“Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka ; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka” [Al-Baqarah : 167]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Ma’idah berkenaan orang-orang kafir.

“Mereka ingin keluar dari neraka padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, dan mereka beroleha adzab yang kekal’ [Al-Ma’idah : 37]

[Majalah Al-Buhuts edisi 41, Syaih Ibnu Baz hal. 132-134]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE