Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
A. Pengertian Aqiqah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.25-26, mengatakan bahwa: Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah "Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya". Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: "Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama."
Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar'i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (an-nasikah). 

B. Dalil-dalil Syar'i Tentang Aqiqah
Hadist no.1 :
Dari Salman bin Amir Ad-Dhabiy, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dam hilangkanlah semua gangguan darinya." [Shahih HR Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-'Ilmiyah, pent]
Hadist no.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya." [Shahih, HR Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa'i 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
Hadist no.3 :
Dari Aisyah dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing." [Shahih, HR Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
Hadist no.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing." [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel 'Ied]
Hadist no.5 :
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing." [Sanadnya Hasan, HR Abu Dawud (2843), Nasa'i (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)].
Hadist no.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya." [Sanadnya Hasan, HR Ahmad (6/390), Thabrani dalam Mu'jamul Kabir 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam para sahabat serta para ulama salafusholih.
C. Hukum-Hukum Seputar Aqiqah
Hukum Aqiqah Sunnah Al 'Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar (6/213):
- Aqiqah adalah Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam
"Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi ..." berdasarkan hadist no.5 dari 'Amir bin Syu'aib.
Bantahan Terhadap Orang yang Mengingkari dan Membid'ahkan Aqiqah Ibnul Mundzir rahimahullah membantah mereka dengan mengatakan bahwa:
"Orang-orang Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba." [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (9/588)].
- Waktu Aqiqah Pada Hari Ketujuh Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab.
Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Bari (9/594) :
"Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pada perkataan 'pada hari ketujuh kelahirannya' (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. Bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata: "Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya"."
Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.35.
- Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh.
Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla 7/527.
Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalam kitab As-Shagir (1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah:
"Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21." [Penulis berkata: "Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/594)." Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]
- Bersedekah dengan Perak Seberat Timbangan Rambut
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata :
"Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti: al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain."
Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif.
Tidak Ada Tuntunan Bagi Orang Dewasa Mengaqiqahi Dirinya Sendiri Sebagian ulama mengatakan : "Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa."
Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi. [Dhaif mungkar, HR Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]
Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.
- Aqiqah untuk Anak Laki-laki Dua Kambing dan Perempuan Satu Kambing Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan 'Amr bin Syu'aib.
Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (9/592): "Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah."
Imam Ash-Shan'ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam (4/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya: "Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki."
Al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam kitabnya Raudhatun Nadiyyah (2/26) berkata: "Telah menjadi ijma' ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan adalah satu kambing."
Penulis berkata: "Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi kebenarannya."
- Boleh Menaqiqahi Bayi Laki-laki dengan Satu Kambing Berdasarkan hadist no.4 dari Ibnu Abbas.
Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin 'Umar, 'Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.
Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Bari (9/592): ..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing.
Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing.
D. Aqiqah Dengan Kambing
Tidak Sah Aqiqah Kecuali dengan Kambing
Telah lewat beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua ekor kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini menandakan keharusan untuk aqiqah dengan kambing.
Dalam Fathul Bari (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan: "Para ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi gerahamnya) untuk menentukan kambing buat aqiqah." Menurut beliau: "Tidak sah aqiqah seorang yang menyembelih selain kambing".
Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini lemah karena:
Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah dengan selain kambing adalah hadist yang talif saqith alias dha'if.
Persyaratan Kambing Aqiqah Tidak Sama dengan Kambing Kurban (Idul Adha)
Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan'ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang lebih utama adalah yang tidak cacat.
Imam As-Shan'ani dalam kitabnya Subulus Salam (4/1428) berkata :
"Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas."
Imam Syaukhani dalam kitabnya Nailul Authar (6/220) berkata :
"Sudah jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan qiyas yang bathil."
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (7/523) berkata :
"Orang yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat."
Bacaan Ketika Menyembelih Kambing
Firman Allah Ta'ala: "Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah" (QS. Al-Maidah : 4)
Firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan." (QS. Al-An'am : 121)
Adapun petunjuk Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur dan telah kita ketahui bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya Syaikh Al-Albani). Oleh karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika meyembelih hewan untuk aqiqah karena merupakan salah satu jenis kurban yang disyariatkan oleh Islam. Maka orang yang menyembelih itu biasa mengucapkan: "Bismillahi wa Allahu Akbar".
Mengusap Darah Sembelihan Aqiqah di Atas Kepala Bayi Merupakan Perbuatan Bid'ah dan Jahiliyah
Dari Aisyah berkata: Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya! Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi)." [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)]
Al-'Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Irwaul Ghalil (4/388) berkata : "Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam."
Al-'Allamah Imam Syaukani dala, kitabnya Nailul Aithar (6/214) menyatakan: "Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala bayi dnegan darah sembelihan aqiqah)."
Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas bahwasannya dia berkata : "Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap anak kecil: ...dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah." [HR Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar.
Boleh Menghancurkan Tulangnya (Daging Sembelihan Aqiqah) Sebagaimana Sembelihan Lainnya
Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya, seperti ditegaskan Imam Malik dalam Al-Muwaththa (2/502), karena tidak adanya dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk dimakan.
Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah :
Bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian menghancurkan tulang sembelihannya." [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya, HR. Baihaqi (9/304)]
Dari Aisyah dia berkata: " ...termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya... " [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, HR. Hakim (4/283]
Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak shahih. [lihat kitab Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].
Disunnahkan Memasak Daging Sembelihan Aqiqah dan Tidak Memberikannya dalam Keadaan Mentah
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfathul Maudud hal.43-44, berkata :
"Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah
yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya... Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukka rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain."

Tidak Sah Aqiqah Seseorang Kalau Daging Sembelihannya Dijual
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfathul Maudud hal.51-52, berkata :
"Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Allah Ta'ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu digunakan untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya"
[lihat pula Al-Muwaththa (2/502) oleh Imam Malik].

Orang yang Aqiqah Boleh Memakan, Bersedekah, Memberi Makan, dan Menghadiahkan Daging Sembelihannya, Tetapi yang Lebih Utama Jika Semua Diamalkan
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfathul Maudud hal.48-49, berkata :
"Karena tidak ada dalil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Ta'ala". [lihat pula Al-Muwaththa (2/502) oleh Imam Malik].

Jika Aqiqah Bertepatan dengan Idul Qurban, Maka Tidak Sah Kalau Mengerjakan Salah Satunya (Satu Amalan Dua Niat)
Penulis berkata: "Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan. Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan Allah Ta'ala tidak pernah lupa."
Tidak Sah Aqiqah Seseorang yang Bersedekah dengan Harga Daging Sembelihannya Sekalipun Lebih Banyak
Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya: Bab Maa yustahabbu minal aqiqah wa fadhliha 'ala ash-shadaqah:
"Kami diberitahu Sulaiman bin Asy'ats, dia berkata Saya mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah: 'Mana yang kamu senangi, daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang lain (yakni aqiqah kambing diganti dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya)?' Beliau menjawab: 'Daging aqiqahnya'." [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam Tuhfathul Maudud hal.35 dari Al-Khallal]

Penulis berkata: "Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya bershadaqah dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih banyak, maka aqiqah seseorang tidak sah jika bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar! Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam"

Adab Menghadiri Jamuan Aqiqah
Diantara bid'ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah memberikan ceramah yang berkaitan dengan hokum aqiqah dan adab-adabnya serta yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada hari ketujuh.
Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do'a-do'a, dan bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu adalah bid'ah, (pen).

Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang shahih bahkan dalam dhaif sekalipun!! Dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Salafush Sholih rahimahumulloh. Seandainya perbuatan ini baik niscaya mereka sudah terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan ini termasuk dalam hal bid'ah-bid'ah lainnya yang sering dikerjakan oleh sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu rumah-rumah kita, (pen) !!

Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat.
Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Semua kabaikan itu adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid'ahnya Khalaf.
Wallahul Musta'an wa alaihi at-tiklaan.
Disalin ringkas kembali dari kitab Ahkamul Aqiqah karya Abu Muhammad 'Ishom bin Mar'i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul Aqiqah terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997.
Sebulan lagi, insya Alloh bulan Dzulhijjah akan menyapa kita. Saat itu terdapat hari-hari agung. Hari Arofah saat kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji wakuf di padang Arofah dan yang di luar Arofah melaksanakan puasa Arofah. Dan hari raya Idul Adh-ha. Di antara yang disyari’atkan Alloh dan Rosul-Nya pada hari tersebut dan tiga hari setelahnya adalah menyembelih binatang ternak untuk mendekatkan diri kepada Alloh Subhaanahu wa ta’aala.
Dan di antara tanda keagungan dan kesempurnaan syari’at Islam, sampai saat menyembelih sekalipun adalah, Islam masih menampakkan rasa kasih sayang pada binatang. Hal ini terbukti dengan adanya aturan dan etika yang harus diperhatikan oleh seseorang saat ia menyembelih binatang, di antara adalah:
1. Haram menyembelih untuk selain Alloh
Menyembelih adalah sebuah ibadah yang hanya harus ditujukan kepada Alloh semata. Alloh Subhaanahu wa ta’aala berfirman (yang artinya):
Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Robb semesta alam.” (QS. al-An’am [6]: 162)
Karena itulah Alloh Subhaanahu wa ta’aala melaknat orang yang menyembelih untuk selain-Nya. Abu Thufail Amir bin Watsilah berkata, “Aku berada di sisi Ali bin Abi Tholib, lalu datanglah seseorang menemuinya. Orang itu bertanya, “Apakah NabiShallallaahu ‘alaihi wa sallam merahasiakan sesuatu kepadamu?” Mendengar ucapan tersebut, Ali marah dan berkata, “Tidaklah NabiShallallaahu ‘alaihi wa sallam merahasiakan sesuatu kepadaku yang beliau sembunyikan dari manusia kecuali beliau telah menceritakan padaku empat perkara.” Orang itu berkata, “Apa itu wahai Amirul Mukminin?” Ali berkata, “Beliau bersabda: ‘Alloh melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Alloh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Alloh, Alloh melaknat orang yang memberi tempat bagi orang yang membuat bid’ah, dan Alloh melaknat orang yang mengubah tanda-tanda di bumi.’”1
Karena itu, kita tidak boleh menyembelih untuk selain AllohSubhaanahu wa ta’aala berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang melarang perbuatan semisal itu.

2. Berbuat kasih sayang pada binatang yang hendak disembelih
Maksudnya, berlemah lembut pada binatang yang hendak disembelih dan menenangkan serta memberikan kenyamanan kepadanya sebelum disembelih, sebagaimana dalam hadits di atas. Dan juga diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Qurroh dari ayahnya bahwa ada seseorang yang berkata kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya saya menyembelih kambing dalam keadaan saya menyayanginya. Maka beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kambing itu apabila engkau merahmatinya, maka RobbmuSubhaanahu wa ta’aala akan merahmatimu.”2
Al-Imam Ahmad Rahimahullaah berkata: “Hendaknya sembelihan digiring dengan lemah lembut, pisau disembunyikan darinya dan tidak ditampakkan kecuali pada saat penyembelihan. RosulullohShallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pisau disembunyikan darinya.”

3. Berbuat ihsan (baik) ketika menyembelih
Yaitu dengan melakukan beberapa perkara berikut:
1) Menyembelih dengan alat penyembelihan yang tajam dan menumpahkan darah.
Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: ‘Ada dua hal yang saya hafal dari Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
Sesungguhnya Alloh Subhaanahu wa ta’aala telah menuliskan/menetapkan ihsan dalam segala hal. Apabila kalian membunuh maka berihsanlah dalam membunuh, dan apabila kalian menyembelih maka berihsanlah kalian dalam menyembelih. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya.”3
Rosululloh pun melarang menyembelih menggunakan alat yang tidak tajam, sebagaimana sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):
“Alat apa pun yang mengalirkan darah dan disebut nama AllohSubhaanahu wa ta’aala padanya, maka makanlah selama bukan gigi dan kuku. Saya akan memberitahu kalian mengapa demikian. (Alasannya karena) gigi itu termasuk tulang, sementara kuku adalah alat penyembelihannya orang Habasyah.”4

2) Menggiring kambing ke tempat penyembelihan dengan baik.
Ibnu Sirin mengatakan bahwa Umar Radhiyallaahu ‘anhu melihat seseorang menyeret kambing untuk disembelih lalu ia memukulnya dengan pecut. Maka Umar berkata dengan mencelanya: “Giring hewan ini kepada kematiannya dengan baik!”5

3) Membaringkan hewan yang akan disembelih.
Aisyah Radhiyallaahu ‘anha menyatakan bahwa RosulullohShallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dibawakan kambing kibas, lalu beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil kambing kibas itu dan membaringkannya, kemudian beliauShallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya.6
Berkata Imam an-Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim (13/130): “Hadits ini menunjukkan sunnahnya membaringkan kambing ketika akan disembelih. Kambing tidak boleh disembelih dalam keadaan berdiri atau berlutut, tapi hendaknya dalam keadaan berbaring karena hal itu lebih mudah baginya. Hadits-hadits yang ada menuntunkan demikian, begitu juga kesepakatan kaum muslimin. Ulama sepakat dan juga amalan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan pada sisi kirinya karena cara ini lebih mudah bagi orang yang menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri.”
Bahkan dalam al-Mufhim 5/362, al-Qurthubi mengatakan bahwa membaringkan hewan yang hendak disembelih pada lambung kirinya adalah suatu yang telah dipraktikkan kaum muslimin sejak dulu kala.
Bahkan Ibnu Taimiyyah Rahimahullaah mengklaim tata cara seperti ini sebagai salah satu sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Hewan sembelihan, baik hewan qurban ataupun yang lainnya, hendaknya dibaringkan pada lambung kiri dan penyembelih meletakkan kaki kanannya di leher hewan tersebut sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shohih dari RosulullohShallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu hendaknya penyembelih mengucapkan bismillah dan bertakbir. Lengkapnya yang dibaca adalah sebagai berikut “Bismillahi Allohu akbar. Allahumma minka wa laka. Allahumma taqobbal minni kama taqabbalta min Ibrohim kholilika.”
Barangsiapa yang membaringkan hewan tersebut pada lambung kanannya dan meletakkan kaki kirinya di leher hewan tersebut, sehingga orang tersebut harus bersusah payah menyilangkan tangannya agar bisa menyembelih hewan tersebut, maka dia adalah seorang yang bodoh terhadap sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menyiksa diri sendiri dan hewan yang akan disembelih. Akan tetapi daging hewan tersebut tetap halal untuk dimakan. Jika hewan tersebut dibaringkan pada lambung kirinya maka itu lebih nyaman bagi hewan yang hendak disembelih dan lebih memperlancar proses keluarnya nyawa serta lebih mudah dalam proses penyembelihan. Bahkan itulah sunnah yang dipraktikkan oleh Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh kaum muslimin, bahkan praktik semua orang.
Demikian pula dianjurkan agar hewan yang hendak disembelih tersebut dihadapkan ke arah kiblat.” (Majmu Fatawa 26/309-310)

4) Tempat (bagian tubuh) yang disembelih.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan dan labah.”7
Labah adalah lekuk yang ada di atas dada. Unta juga disembelih di daerah ini.8

5) Makruh memotong leher hewan yang disembelih.
Dari Nafi Radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Ibnu UmarRadhiyallahu ‘anhuma tidak mau memakan daging kambing yang disembelih hingga lehernya terputus.9
Dari Ibnu Thowus dari Thowus, beliau berkata, “Andai ada orang yang menyembelih hewan hingga lehernya putus, maka daging hewan tersebut tetap boleh dimakan.”10
Dari Ma’mar bahwa az-Zuhri (seorang tabi’in) ditanya tentang seorang yang menyembelih dengan menggunakan pedang sehingga leher hewan yang disembelih itu putus. Jawaban beliau, “Sungguh jelek apa yang dia lakukan.” “Apakah dagingnya boleh dia makan?” lanjut penanya. “Boleh”, jawab az-Zuhri.11
Tentang hal ini, ada juga ulama yang memberi rincian. Jika dilakukan dengan sengaja maka dagingnya jangan dimakan. Akan tetapi jika tanpa sengaja maka boleh. Di antara yang berpendapat demikian adalah Atho’, seorang ulama dari generasi tabi’in.
Dari Atho’ Rahimahullaah, beliau berkata, “Jika ada orang yang menyembelih hewan hingga kepalanya terpisah dari badannya, maka silakan kalian makan asalkan orang tersebut tidak sengaja.”12
Imam Ahmad Rahimahullaah pernah ditanya tentang masalah ini. Beliau membenci perbuatan ini jika dilakukan dengan sengaja, sebagaimana dalam Sualat Abdullah bin Ahmad hlm 260 no. 980 dan 981.
Demikian pula Imam Syafi’i Rahimahullaah membenci hal ini. (al-Hawi 15/87-91)

6) Menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat.
Dari Nafi’ dari Abdulloh bin Umar: Ibnu Umar jika membawa hadyu (sembelihan) dari Madinah, maka beliau tandai bahwa hewan tersebut adalah hewan hadyu dengan menggantungkan sesuatu padanya dan melukai punuknya di daerah Dzul Hulaifah. Beliau gantungi sesuatu sebelum beliau lukai. Dua hal ini dilakukan di satu tempat. Sambil menghadap kiblat beliau gantungi hewan tersebut dengan dua buah sandal dan beliau lukai dari sisi kiri. Hewan ini beliau bawa sampai beliau ajak wukuf di Arofah bersama banyak orang, kemudian beliau bertolak meninggalkan Arofah dengan membawa hewan tersebut ketika banyak orang bertolak. Ketika beliau tiba di Mina pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah, beliau sembelih hewan tersebut sebelum beliau memotong atau menggundul rambut kepala. Beliau sendiri yang menyembelih hadyu beliau. Beliau jajarkan unta-unta hadyu tersebut dalam posisi berdiri dan beliau arahkan ke arah kiblat kemudian beliau memakan sebagian dagingnya dan beliau berikan kepada yang lain. (HR. Malik dalam al-Muwatha’ no. 1405)
Dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.13
Dari Ibnu Sirin (seorang tabi’in) beliau mengatakan, “Dianjurkan untuk menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat.”14
Riwayat-riwayat di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya anjuran untuk menghadapkan hewan yang hendak disembelih ke arah kiblat. Namun jika hal ini tidak dilakukan, maka daging hewan sembelihan tersebut tetap halal dimakan.

7) Meletakkan telapak kaki di atas sisi hewan sembelihan.
Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewan qurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut.”15

8 ) Tasmiyah (mengucapkan bismillah).
Hal ini berdasarkan firman Alloh Ta’ala (yang artinya):
Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut nama Alloh ketika menyembelihnya sebab sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu mewahyukan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) untuk membantah kalian. (QS. al-An’am [6]: 121)
Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewan qurban dengan dua domba jantan. Beliau mengucapkan bismillah dan bertakbir.”
Dan dalam riwayat Muslim beliau mengatakan:
“Siapa yang lupa untuk mengucap basmalah maka tidak apa-apa.”
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang orang yang lupa membaca basmalah, maka beliau menjawab: “Tidak apa-apa.”16
Dan sebagaimana dalam riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhabahwa ada suatu kaum yang baru saja masuk Islam lalu mereka mengatakan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya ada suatu kaum yang membawakan daging kepada kami. Kami tidak mengetahui apakah mereka telah menyebut nama Alloh Subhaanahu wa ta’aala ataukah tidak. Apakah boleh kita memakannya ataukah tidak?” Maka Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab (yang artinya):
“Sebutlah nama Alloh Subhaanahu wa ta’aala lalu makanlah.”17
Inilah di antara adab-adab menyembelih binatang yang diatur dalam agama kita yang mulia.18 Wallohul muwaffiq.
[ Oleh: Ustadz Ahmad Sabiq ]
Dinukil dari Majalah al-Mawaddah :. Edisi 02 Tahun ke-4.: RubrikKajian Keluarga.
Khutbah Setelah Shalat Id
Termasuk sunnah dalam khutbah Id adalah dilakukan setelah shalat. Dalam permasalahan ini Imam Bukhari membuat bab dalam kitab Shahihnya1 bab Khutbah setelah Shalat Id.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata:
"Aku menghadiri shalat id bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Ustman radhiyallahu 'anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah."2
Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata:
"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha sebelum khutbah."3
Waliullah Ad Dahwali menyatakan ketika mengomentari bab yang dibuat Imam Bukhari di atas4:
"Yakni sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan yang diamalkan al khulafaur rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari shalat dangan mengqiyaskan dengan shalat jumat- merupakan perbuatan bid'ah yang bersumber dari Marwan."
Berkata Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi (2/441):
"Yang diamalkan hal ini di sisi ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka adalah shalat Idul Fitri dan Adha dikerjakan sebelum khutbah. Orang pertama yang berkhutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Hakam."5
Abi Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata:
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fitri dan Adha. Maka yang pertama kali belaiu lakukan adalah shalat. Kemudian beliab menghadap manusia sedangkan mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau lalu memberi pelajaran, wasiat dan perintah."6
Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah:
"Beliau shallallahu 'alaihi wasallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian untuk Allah. Tidak ada haditspun yang dihafal bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri dan Adha dengan Takbir. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya7 dari Sa'ad Al Quradhi, muadzin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau memperbanyak bacaan takbir dalam khutbah dua Id, hal itu tidaklah menunjukkan bahwa beliau membuka khutbanya dengan takbir."8
Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk. Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al Bazzar meriwayatkan dalam Musnadnya (53) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan diantara keduanya dengan duduk. Sedangkan Imam Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib, 'haditsnya mungkar'. Maka khutbah id itu tetap satu kali seperti asalnya.
Menghadiri khutbah id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat, karena ada riwayat dair Abdullah bid Saib, ia berkata:
"Aku menghadiri id bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika selesai shalat, belau bersabda: 'Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkannya maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilah'."9
Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Zadul Ma'ad (1/448):
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi keringanan bagi yang menghadiri shalat id utuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi."10
Bertepatannya Hari Id dengan Hari Jumat
Telah meriwayatkan Abu Dawud (1070), An Nasa-i (3/194), Ibnu Majah (1310), Ibnu Khuzaimah (1464), Ad Darimi (1620) dan Ahmad (4/372) dari Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami ia berkata:
Aku menyaksikan Mu'awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, ia berkata, "Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemunya dua hari raya pada satu hari?" Zaid berkata, "Ya". Mu'awiyah berkata, "Lalu apa yang beliau lakukan?" Zaid menjawab, "Beliau shalat id kemudian memberi keringanan untuk shalat Jumat, beliau bersabda 'Siapa yang ingin shalat maka shalatlah'."11
Abu Hurairah dan selainnya membawakan riwayat tentang hal ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan ini yang diamalkan para shahabat Radhiyallahu 'anhum.
Abdurrazzaq meriwayatian dalam Al Mushannaf (3/305) dan juga Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (2/187) dengan sanad yang shahih dari Ali Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya berkumpul dua hari raya pada satu hari, maka ia berkata:
"Siapa yang ingin menghadiri shalat jumat maka hadirilah dan siapa yang ingin duduk maka duduklah."
Dalam shahih Bukhari (5251) disebutkan riwayat semisal ini dari Ustman Radhiyallahu 'anhu. Dalam Sunan Abi Dawud (1072) dan Mushannaf Abdurrazzaq (5725) dengan sanad yang shahih dari Ibnu Zubair:
"Dua hari raya bertamu dalam satu hari, maka ia mengumpulkan keduanya bersama-sama dan menjadikannya satu. Ia shalat Idul Fitri pada hari Jumat sebanyak dua rakaat pada pagi hari, kemudian ia tidak menambah hingga shalat Ashar."
Asy Syaukabi berkata dalam Nailul Authar (3/348) mengikuti riwayat ini, "Dhahir riwayat ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat Dzuhur."
Dalam riwayat ini menunjukkan bahwa shalat Jumat jika gugur dengan salah satu sisi yang diperkenankan, maka tidak wajib bagi orang yang gugur darinya untuk mengerjakan shalat Dzuhur. Dengan ini Atha' berpendapat.
Tampak bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jumat adalah pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya pada hari Jumat adalah shalat Jumat, maka mewajibkan shalat Dzuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jumat karena udzur atau tanpa udzur butuh dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk dipegang sepanjang yang aku ketahui."
Ucapan Selamat Pada Hari Id
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan pada hari raya maka beliau menjawab:
"Ucapan selamat pada hari raya dimana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Id adalah: 'Taqabbalallau Minna wa Minkum' (Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian). Dan 'Ahaalallhu alaika', dan semisalnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya, seperti Imam Ahmad berkata, 'Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada siapapun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a'lam."12
Berkata Al hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/446):
"Dalam Al Mahamiliyat dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata, 'Para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya: Semoga Allah menerima dari kami dan darimu'."
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata, "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain: Taqabballallahu minka wa minkum."
Imam Ahmad menyatakan, isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus).13
Adapun ucapan selamat : 'Kullu 'aamin wa antum bikhairin' atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah:
"Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?"


---------------------
1. Kitabul Idain bab no.8. Lih: Fatul Bari (2/453).
2. HR. Bukhari (962), Muslim (884) dan Ahmad (1/331 dan 346).
3. HR. Bukhari (963), Muslim (888), At Tirmidzi (531), An Nasa-i (3/183), Ibnu Majah 91276) dan Ahmad (2/12 dan 38).
4. Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari (79)
5. Lih: kitab Al Umm (1/235-236) oleh Imam Syafi'i dan "Aridlah Al Ahwadzi (3/3-6) oleh Al Qadhi Ibnul Arabi Al Maliki.
6. HR. Bukhari 9956), Muslim (889), An Nasa-i (3/187), Al Baihaqi (3/280) dan Ahmad (3/36 dan 54).
7. Sunan Ibnu Majah (1287), dan juga diriwayatkan oleh Al Hakim (3/607), Al Baihaqi (3/299) dari Abdurrahman bin Sa'ad bin Ammar bin Sa'ad. Abdurrahman berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari bapakknya dari kakeknya... Riwayat ini isnadnya lemah, karena Abdurrahman bin Sa'ad rawi yang dhaif, sedangkan bapak dan kakeknya adalah rawi yang majhul (tidak dikenal).
8. Zadul Ma'ad (1/447-448).
9. HR. Abu Dawud (1155), An Nasa-i (3/185), Ibnu Majah (1290) dan Al Hakim (1/295) dan isnadnya shahih. Lih: Irwa-ul Ghalil (3/96-98).
10. Lihat juga Majmu Fatawa Syaikhul Islam (24/214).
11. Imam Ali Ibnul Madini menshahihkan hadits ini sebagaimana dalam At Talkhisul Habir (2/94).
12. Majmu Al Fatawa (24/253).
13. Lih: Al Jauharun Naqi (3/320). Berkata Suyuti dalam Al Hawi (1/81), isnadnya hasan

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE