Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fatwa. Tampilkan semua postingan


🎙 Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan :

في الآية الكريمة ﴿ليلة القدر خير من ألف شهر﴾ لا أفهم كيف تكون ليلة القدر خير من ألف شهر، أرجو التوضيح لهذا المعنى؟

"Dalam ayat yang mulia - ('Malam lailatul qadar (kemuliaan) itu lebih baik daripada seribu bulan') - saya tidak memahami bagaimana malam lailatul qadar itu menjadi lebih baik dari seribu bulan, saya mengharapkan penjelasan makna ayat ini ? ".

Jawaban :

توضيح قوله تعالى : ﴿ليلة القدر خير من ألف شهر﴾ أن الله سبحانه وتعالى بفضله وكرمه جعل هذه الليلة في فضلها وكثرة ثواب العمل فيها خيراً من ألف شهر،

"Penjelasan firman Allah : 'Malam lailatul qadar (kemuliaan) itu lebih baik daripada seribu bulan', yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan karunia dan kedermawanannya menjadikan malam ini dalam hal keutamaan dan banyaknya pahala amal di dalamnya lebih baik dari seribu bulan.

بمعنى أن الإنسان لو عمل عملاً صالحاً ألف شهر، ليس فيه ليلة القدر، كانت ليلة القدر خيراً منه، لما فيها من الثواب العظيم الجليل والخير والبركات .

*Maknanya adalah bahwa seandainya seseorang melakukan suatu amal shalih selama seribu bulan yang tidak ada di dalamnya lailatul qadar, maka beramal di malam lailatul qadar lebih baik darinya, karena di dalamnya terkandung pahala yang besar lagi mulia, kebaikan dan keberkahan".

📓 سلسلة فتاوى نور على الدرب : الشريط رقم [ 154 ] .

Di terjemahkan oleh
Abu Sufyan Al Makassary.

Dari Aisyah radliyallahu 'anha berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdiri sholat dengan memakai baju yang mempunyai hiasan.
Setelah selesai sholat, beliau bersabda:
"Bawa baju ini kepada Abu Jahm, dan bawakan baju ambijaniyah (baju kasar dan polos), karena hiasannya membuat aku lalai dalam sholatku tadi".
(HR. Bukhari no. 373 dan Muslim no. 556)

Al 'Izz bin Abdissalam berkata,
"Makruh sholat di atas sejadah yang berhias dan bergambar..".
(Fatawa al 'izz bin abdis salam hal. 68)

Ash Shon'ani berkata, "Hadits ini dalil yang menunjukkan makruhnya semua yang membuat lalai dalam sholat berupa hiasan dan lainnya, yang menyibukkan hati".
(Subulussalam 1/151)

***
 Sumber : Dari Kitab akhthaa al mushalliin hal. 65-66 karya Syaikh Masyhur Hasan Salman)

Ditulis oleh Ustadz
   Badrusalam, Lc
               
 BBG? Al-Ilmu


Pertanyaan: Sahkah menyembelih satu kambing untuk anak laki-laki? 
Jawab: Segala puji hanya milik Allah Rab semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga, shahabat dan kawan-kawannya sampai hari kiamat. Amma ba’du; 
Boleh menyembelih satu ekor kambing untuk anak laki-laki ketika seseorang tidak mampu atau tidak mendapati (selain itu) berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (mengakikahi) Hasan dan Husain Radhiallahu ‘anhuma. Sebagaimana riwayat ini dinukil oleh Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ((mengakikahi Hasan dan Husain (masing-masing) satu ekor domba)) HR. Abu Daud dan Nasa’i. Meskipun pada lafal yang diriwayatkan Nasa’i ((masing-masing dua ekor)) dan (yang terakhir ini) yang benar. 


Maka yang utama melebihkan anak laki daripada perempuan dengan 2 ekor kambing. Dan hal ini tidak diperselisihkan sebagaimana yang terdapat pada hadits-hadits yang lalu. Dan ini merupakan kaidah syariat, bahwa Allah melebihkan laki-laki dari perempuan dan menjadikan wanita setengah bagiannya laki-laki dalam hal waris, diyat, persaksian dan pembebasan budak. Dan perkara akikah tidak dikecualikan. 


Akan tetapi apabila tidak terpenuhi olehmu “menebus gadai” kecuali dengan satu ekor untuk anak laki, maka sah insyaAllah. 
Wallahua’lam. 
Wa’aakhiru da’waana ‘anil hamdulillahi Rabbil ‘Aalamin. 
Washallallahu ‘Ala Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wat-Taabi’iina lahum bi Ihsan ila Yaumid-diin, wasallama Tasliima. 
http://www.ferkous.com/site/rep/Bo6.php 
Adalah hal yang merata di sebagian besar mesjid di Indonesia berdoa bersama setelah Shalat lima waktu, bagaimana hukum hal ini , berikut adalah jawaban Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan.

Tanya: Saya menyaksikan sebagian orang-orang yang shalat berjamaah seusai mereka shalat, mereka berdoa dengan bersama-sama, setiap kali mereka selesai shalat, apa hal ini dibolehkan? Berilah kami fatwa semoga Anda mendapat balasan di sisi-Nya.

Jawab: Berdoa setelah shalat, tidak mengapa. Akan tetapi setiap orang berdoa sendiri-sendiri. Berdoa untuk dirinya dan saudaranya sesama ummat Islam. Berdoa untuk kebaikan agama dan dunianya, sendiri-sendiri bukan bersama-sama.
Adapun berdoa bersama-sama setelah shalat, ini adalah bid'ah. Karena tidak ada keterangannya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tidak dari shahabatnya dan tidak dari kurun-kurun yang utama bahwa dahulu mereka berdoa secara bersama-sama, dimana sang imam mengangkat kedua tangannya, kemudian para makmum mengangkat tangan-tangan mereka, sang imam berdoa dan para makmum juga berdoa bersama-sama dengan imam. Ini termasuk perkara bid'ah.
Adapun setiap orang berdoa tanpa mengeraskan suara atau membuat kebisingan hal ini tidaklah mengapa, apakah sesudah shalat wajib atau sunnah. 


Sumber :
Majmu' Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/680)
Dalil yang lebih jelas akan hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rosululloh SholAllahu ‘alaihi wa salam; Ada seorang yang bernadzar akan menyembelih seekor unta di Buwanah (nama suatu tempat di sebelah selatan kota Mekkah sebelum Yalamlam, atau anak bukit sebelah Yanbu’) lalu orang itu bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi pun balik bertanya, “Apakah di tempat itu pernah ada berhala jahiliyah yang disembah?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah di tempat itu pernah dilaksanakan salah satu perayaan hari raya mereka?” Mereka menjawab, “Tidak.” Maka Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penuhilah nadzarmu itu. Akan tetapi tidak boleh memenuhi nadzar yang menyalahi hukum Allah dan nadzar dalam perkara yang bukan milik seseorang.” (HR. Abu Dawud, dan isnadnya menurut persyaratan Bukhori dan Muslim. Dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohihul Jami)

Tanya:
Apa hukum Televisi?
Jawab:
Tidak diragukan, bahwa keberadaan televisi dewasa ini hukumnya haram.  Meskipun sebenarnya televisi, demikian juga radio, alat perekam, atau alat semacamnya merupakan bagian-bagian dari nikmat Allah Suhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada hamba-Nya.  Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrohim ayat 34:
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah , tidaklah kamu dapat menghinggakannya."
Sebagaimana kita ketahui, pendengaran, penglihatan ataupun lidah adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai nikmat untuk hamba-hamba-Nya.  Akan tetapi, kebanyakan nikmat ini menjadi adzab atas orang yang memilikinya.  

Sebab mereka tidak menggunakannya dijalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Sementara itu, televisi, radio, alat perekam dan sejenisnya dikatakan sebagai nikmat, kapan hal itu terjadi? Jawabnya, pada saat mempunyai nilai manfaat untuk umat.

Televisi dewasa ini, 99% banyak menayangkan nilai-nilai atau faham-faham kefasikan, perbuatan dosa, nyayian haram, ataupun perbutaan yang mengumbar hawa nafsu, dan lain-lain sejenisnya.  Hanya 1 % tayangan televisi yang dapat diambil manfaatnya.  Jadi kesimpulan hukum televisi itu dilihat dari penayangan yang dominan.

Jika telah terdapat daulah islamiyah, dan dapat menerapkan kurikulum ilmiah yang berfaedah bagi umat, maka berkaitan dengan televisi untuk saat itu; saya tidak hanya mengatakan boleh (jaiz) tetapi wajib hukumnya.
(al Ashalah 10/15 Syawal 1414 H hal. 40)

Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Beramal dalam lingkup Islam yang dilakukan oleh seorang muslim bisa masuk kategori ibadah. Dan amal itu merupakan realisasi dari ayat Allah (yang artinya):
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku." (adz Dzariyat : 56).
Makna beribadah di atas bisa berarti luas, baik itu ibadah dalam artian mahdhah (ritual) maupun dalam artian ibadah yang umum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah bahwa ibadah itu ialah segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya baik itu berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan dengan hati maupun dengan anggota badan (Ismun jaami'un li kulli maa yuhibbuhullah wa yardhahu minal aqwali wal af'ali adh dhahirah wal bathinah). Apapun bentuk ibadahnya tidak boleh keluar dari syarat pokok, yaitu sesuai dengan syari'at dan ikhlash karena Allah. Ini merupakan realisasi dari pernyataan dua kalimat syahadat. Asyhadu alla illaha illallah yang mengandung makna bahwasanya segala bentuk sesembahan itu hanya boleh ditujukan kepada Allah dan hanya karena Allah, dan Asyhadu anna Muhammadar rasulullah yang mengandung makna bahwa segala aktivitas ibadah itu harus dibangun diatas syari'at Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, untuk itu sangat penting bagi setiap muslim untuk selalu menimbang atau mengkoreksi setiap amalannya. Dengan demikian maka diharapkan amalnya itu termasuk amal yang shalih, yang masuk dalam kategori amal yang paling baik. Sebagaimana Allah telah mengatakan dalam Surah al Mulk ayat 2 (yang artinya):
"Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan yang dengan itu Dia menguji siapakah diantara kalian itu yang paling baik amalnya."
Dalam ayat ini Allah menggunakan ayat Ahsanu Amala (yang paling baik amalnya), bukan Aktsaru Amala (paling banyak amalnya), jadi nilai pertama dan utama untuk melihat amalan manusia itu adalah baiknya dan kebaikan itu ditimbang berdasarkan benar tidaknya dan keikhlashannya, sebagaimana perkataan Fudhail bin Iyadh maksud dari ahsanu amala adalah aswabu (yang paling benar) wa akhlashu (yang paling ikhlash). Jadi ukuran pokoknya itu bukan pada banyaknya amaliah tetapi kebenaran amal itu sendiri, sesuatu yang banyak belum tentu baik. Untuk itu hendaklah seseorang itu memperbanyak amalan yang ahsan dalam artian amalan yang didasarkan pada petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan dilakukan dengan penuh keikhalashan karena Allah semata, dengan demikian diharapkan kita dihindarkan dari kerugian yang tidak kita sangka-sangka, sebagaimana perkataan Allah yang termaktub dalam surah Al Kahfi 103 - 104 (yang artinya):
"Katakanlah, maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang telah sia-sia amalnya didalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka itu menyangka bahwa mereka itu telah berbuat sebaik-baiknya."
Nah, untuk menghindari kejadian yang seperti itu maka adalah sangat baik kalau kita selalu menimbang amaliah kita selama masih hidup di dunia ini karena hanya di dunialah tempat untuk beramal sedangkan akhirat itu tempat pembalasan amal. Maka adalah sangat tepat kalau kita selalu menimbang amal kita di dunia ini sebelum ditimbang dan dinilai di akhirat nanti, sebagaimana nasehat Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu: Haasibuu anfusakum qobla an tuhaasabuu (Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab).

Ada dua hadits yang secara implisit memerintahkan kepada setiap muslim untuk selalu menimbang amalnya baik dari sisi lahir maupun batin. Sebagaimana dinukil oleh Al Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Arba'in An Nawawiyah. Yang pertama, hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim.
"Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, 'Bahwasanya amal itu dengan niat, dan segala sesuatu hal itu tergantung pada apa yang diniatkannya ...'."
Imam Asy Syaukani mengoentari, bahwa hadits ini adalah salah satu dari sekian banyak kaidah dalam Islam, bahkan dikatakan merupakan sepertiga dari ilmu. Para ulama sangat mengagungkan hadits ini sehingga menjadikan pembuka dalam tulisan-tulisannya, ini sebagai suatu peringatan bagi para pencari ilmu agar selalu memperbaiki niatnya.

Berkata 'Abdurrahman bin Mahdi, "Barangsiapa yang akan menulis kitab, hendaklah memulai dengan hadits ini."Imam Bukhari adalah salah satu yang mengamalkan perkataan ini, dalam kitab Shahihnya, hadits ini menempati urutan pertama. Demikian juga dengan Al Maqdisi dalam 'Umdatul Ahkam, Imam As Suyuti dalam Jami'us Shaghir, Imam Nawawi dalam Al majmu'. Tidak ada hadits yang lebih komprehensif (menyeluruh), lebih mencukupi, lebih bermanfaat dan lebih banyak faidahnya dibanding hadits ini. Hadits ini merupakan hadits yang memberi peringatan untuk menimbang amaliah dari sisi batinnya (niat). Niat disini baik niat itu untuk membedakan dengan ibadah yang lain maupun niat dalam artian ibadah itu hanya untuk Allah semata.

Hadits yang kedua, merupakan hadits ke-5 dalam Al-Arba'in An Nawawiyah. Hadits dari Ummul Mukminin 'Aisyah, beliau berkata, berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam agama kami yang tidak ada petunjuk maka tertolak, dalam riwayat lain barangsiapa berbuat suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami maka tertolak."
Al Hafidz Ibnu Hajar berkomentar, "Hadits ini termasuk pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama." Berkata Imam At Turuqiy, "Hadits ini pantas dinamakan separo dari aturan-aturan syari'at karena orang dapat menggunakannya untuk menetapkan hukum atau menghapuskannya. Hadits ini merupakan pembuka yang agung di dalam menetapkan hukum syari'at dan menghapuskannya."
Hadits ini menegaskan hendaklah setiap muslim itu memperhatikan amalnya, apakah amalnya itu sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Karena amal yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah maka tertolak. Makna fahuwa raddun (dia ditolak) adalah marduudun (tidak diterima). Karena dalam ajaran Islam, asal dari ibadah itu adalah haram maka setiap ibadah yang Allah dan Rasul-Nya tidak mensyari'atkannya setiap muslim diharamkan bertaqarub dengannya.

Contoh , sholat adalah ibadah mahdhah, tetapi kalau jenis shalat itu tidak disyari'atkan oleh Allah dan tidak dituntunkan oleh Rasulullah, maka setiap muslim tidak boleh melakukannya, misalnya sholat sunnah/nafilah setelah shubuh atau setelah ashar. Perasaan orang awam bisa mengatakan hal itu merupakan kebaikan tapi syari'at menegaskan itu adalah kejelekan yang dalam istilah syar'i disebut dengan bid'ah. Bid'ah dalam syari'at Islam tidak ada yang baik sebagaimana penegasan Rasulullah bahwa kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah adalah sesat).

Dari dua hadits di atas menjadi motivator untuk setiap muslim hendaknya selalu menimbang amalnya baik dari sisi batin maupun lahirnya, sebagaimana komentar Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah, "Hadits ini merupakan pokok yang paling agung diantara pokok-pokok Islam sebagaimana hadits al a'malu bin niyat di atas merupakan timbangan bagi amal-amal dari sisi batinnya dan 'man ahdatsa' sebagai timbangan amal-amal dari sisi dhahiriyahnya, tata caranya (kaifiyahnya).

Oleh : AMAM Al Jawi Al Atsary

Doktor Anas Ahmad Karzun

Dan dari apa-apa yang bisa diambil terhadap sebagian penuntut ilmu (sebagai celaan untuk mereka) dalam pembahasan kita (yaitu jujur dan amanah) adalah bermudah-mudahannya mereka dalam berfatwa dengan semata-mata bermodalkan penelaahan / pengetahuan mereka dalam sebagian hukum-hukum syar'i. Sehingga salah seorang dari mereka menyangka bahwa dirinya sudah menjadi ahli fatwa dan mencoba meluruskan pendapat ahli fiqh atau membantahnya.
Adapun keadaan salafush sholih, maka mereka berada pada puncak ketelitian dan berhati-hati dalam memberi fatwa kepada manusia karena takut akan terjatuh ke dalam kesalahan atau takut berbicara tentang Allah tanpa ilmu atau takut menisbatkan kepada syari'at apa-apa yang bukan darinya. Dan keadaan mereka (salafush sholih) saling mempersilahkan orang lain untuk berfatwa, meski diri mereka mempunyai kedudukan yang mulia dan ilmu yang melimpah.
Dari Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakr Ash Shiddiq rodhiyallahu 'anhum, bahwasanya datang seorang laki-laki dan menanyakan sesuatu kepadanya. Maka Al Qosim menjawab, "Aku tidak paham." Laki-laki itu berkata, "Aku sengaja bertanya kepada engkau karena aku tidak tahu orang selain engkau (yang paham akan permasalahan ini)." Maka Al Qosim berkata, "Janganlah engkau melihat kepada jenggotku yang panjang dan banyaknya manusia yang ada di sekelilingku, demi Allah, aku tidak paham..." Beliau berkata lagi, "Demi Allah, putusnya lisanku ini lebih aku sukai daripada aku berbicara tanpa ilmu."[1]
Dari Sufyan bin 'Uyainah dan Sahnun bin Sa'id, keduanya berkata, "Manusia yang paling cepat berfatwa adalah yang paling sedikit ilmunya."[2]
Dari Al Haitsam bin Jamil, beliau berkata, "Aku menyaksikan Malik bin Anas ditanya 48 masalah, maka beliau menjawab 32 pertanyaan di antaranya dengan: Aku tidak tahu."[3]
Dari Malik, beliau berkata, "Apabila para sahabat kesulitan dalam menghadapi permasalahan, maka salah seorang dari mereka tidak menjawab satu masalah sampai mengambil pendapat temannya, dalam keadaan mereka diberi rizki berupa keteguhan, taufiq, dan kesucian hati. Maka bagaimana dengan diri kita dimana kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa telah menutupi hati-hati kita![4]
Jika Al Imam Malik rahimahullah berkata demikian tentang dirinya; maka bagaimana keadaan kita hari ini dimana sebagian dari kita mengaku bahwa dirinya mempunyai kesempurnaan dalam hal ilmu dan telah mencapai puncak dan batas akhir ilmu!!
Dan sungguh Al Imam Ibnush Sholaah telah menjelaskan bahwasanya berfatwa tanpa ilmu sungguh akan mengantarkan kepada kesesatan dan kedustaan dalam salah satu masalah dari permasalahan halal dan haram. Sehingga dapat menyebabkan pelakunya termasuk dalam firman Allah ta'ala,
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.[5]
Makna ayat ini juga mencakup orang yang menyimpang dalam fatwanya, dimana dia berkata tentang perkara yang haram: Ini halal. Atau berkata tentang yang halal: Ini haram. Atau yang semacam ini.[6]
Sudah seharusnya hal-hal tersebut harus diperhatikan oleh penuntut ilmu agar selamat dari sikap khianat dan kedustaan.

Ta'lim Rabu, 15 Dzulhijjah 1425, di Jl. Parakan Asih no. 15 Bandung
Oleh Al Akh Abu Rasyid
Kitab Aadaabu Thaalibil 'Ilmi halaman 85-87


[1] Adabul Muftii wal Mustaftii karya Al Hafizh ibnush Sholaah halaman 78, dan lihatlah I'laamul Muwaqqi'iin karya Ibnul Qoyyim 2/165.
[2] Ibid.
[3] Ibid halaman 79.
[4] Ibid halaman 80.
[5] Surat An Nahl: 116-117.
[6] Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 85.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE