Prinsip Kedua
Dan diantara
prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah : bahwasanya iman
itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan
keta'atan dan berkurang dengan kema'shiyatan, maka iman itu bukan
hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian
itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya
sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal
sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang
menolak kebenaran. Allah berfirman.
"Artinya : Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu". (An-Naml : 14)
"Artinya : ....... karena sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah". (Al-An'aam : 33)
"Artinya : Dan kaum 'Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam" (Al-Ankabut : 38)
Bukan
pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan
keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah
keimanan golongan Murji'ah; Allah seringkali menyebut amal
perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..." (Al-Anfaal : 2-4).
"Artinya : Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian" (Al-Baqarah : 143).
Prinsip
Ketiga
Dan
diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah
bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin
kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan
keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak
ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya
meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar
tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan
imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum
bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia
berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di
neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya ..." (An-Nisaa : 48).
Dan
madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah ini berada di
tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang
melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang
mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya,
dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma'shiyat
dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan
ta'at dengan adanya kekafiran.
Prinsip
Keempat
Dan
diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wajibnya
ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak
memerintahkan untuk berbuat kema'shiyatan, apabila mereka
memerintahkan perbuatan ma'shiyat, dikala itulah kita dilarang
untuk menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran
lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..." (An-Nisaa : 59)
Dan
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits 'Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).
Dan
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa ma'shiyat kepada seorang
amir yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.
"Artinya : Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku". (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian
pula, Ahlus Sunnah wal Jama'ah-pun memandang bolehnya shalat dan
berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo'akan
mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.
Prinsip
Kelima
Dan
diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah haramnya
keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila
mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut
tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wajibnya ta'at
kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum
tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan
Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para
imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk
amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf
nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu'tazilah
seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya
bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan,
perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.
--------------
Disalin
dari buku Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah oleh
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan Dar
Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh Saudi Arabia, penerjemah Abu Aasia