Doktor Anas Ahmad Karzun
Ketika seorang
penuntut ilmu telah mendalam dalam mencari ilmu dan telah terbuka baginya
pintu-pintu ilmu, maka dia (tetap) butuh akan tambahan ilmu, berlomba-lomba
dalam mencarinya, dan bersemangat dalam memperbanyak ilmu.
Sungguh Allah
telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam
agar berdo'a meminta tambahan ilmu. Allah berfirman:
وَقُلْ
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu (yaitu ilmu syar'i)."[1]
Dan Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam menganjurkan umatnya agar memperbanyak ilmu dan
bersemangat mencari tambahan ilmu walaupun umurnya sudah tua sampai pemiliknya
masuk ke jannah (maksudnya: mencari ilmu itu sampai meninggal dunia dan
tempatnya seorang mu`min di akhirat adalah di jannah).
Al Imam At
Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَنْ
يَشْبَعَ الْمُؤْمِنُ مِنْ خَيْرٍ يَسْمَعُهُ حَتَّى يَكُوْنَ مُنْتَهَاهُ الْجَنَّةَ
"Seorang
mu`min tidak akan kenyang dari kebaikan yang dia dengar sampai tempat
berakhirnya adalah jannah."[2]
Maka, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menjadikan kegairahan / keinginan dalam ilmu dan cinta
padanya termasuk konsekuensi-konsekuensi iman dan termasuk di antara
sifat-sifat orang-orang yang beriman. Dan beliau mengabarkan bahwa hal ini (gairah
terhadap ilmu dan cinta padanya) akan tetap ada pada seorang mu`min sampai dia
masuk jannah.[3]
Al Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah meriwayatkan beberapa atsar yang menerangkan
semangat salafush shalih dalam mencari ilmu[4],
di antaranya:
·
Dari Al Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
beliau berkata, "Sesungguhnya aku mencari ilmu sampai aku dimasukkan ke
dalam kubur."
·
Al Hasan ditanya tentang seseorang
yang berumur 80 tahun, "Apakah dia masih layak mencari ilmu?" Beliau
menjawab, "Jika ia masih layak hidup (maka dia layak mencari ilmu)."
·
Dikatakan kepada Ibnu Bustham,
"Betapa semangatnya engkau dalam mencari hadits." Maka beliau
berkata, "Tidakkah engkau suka kalau aku termasuk ke dalam deretan
keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."
Apabila keadaan
hikmah itu seperti barang yang hilang dari seorang mu`min, maka wajib baginya
untuk mencarinya. Dan hikmah adalah ilmu, maka jika seorang mu`min kehilangan
ilmu, dia seperti keadaan orang yang kehilangan harta yang berharga. Maka jika
dia menemukannya, hatinya akan mantap dan jiwanya akan bergembira.[5]
Di antara wasiat
Luqman Al Hakim kepada anaknya, "Wahai anakku, duduklah bersama para ulama
dan mendekatlah kepada mereka dengan kedua lututmu, karena sesungguhnya Allah
menghidupkan hati-hati (manusia) dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah
menghidupkan bumi yang mati (kering) dengan hujan yang deras."[6]
Ketika Mu'adz
bin Jabal radhiyallahu 'anhu didatangi kematian, beliau berkata,
"Selamat datang kematian, selamat datang tamu yang datang dengan suatu
hajat. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak suka untuk
tetap berada di dunia dalam rangka melintasi sungai-sungai dan menanam
pepohonan. Akan tetapi aku suka tinggal di dunia untuk merasakan kepayahan di
malam yang panjang, merasakan haus di bawah terik matahari pada hari yang
sangat panas, dan mendekati ulama dengan kendaraan-kendaraan di dalam majlis
dzikir."[7] Yakni majlis ilmu.
Berkata Sa'id
bin Jubair rahimahullah, "Seseorang tetap dikatakan 'alim selama
dia tetap belajar. Maka apabila dia meninggalkan belajar dan merasa cukup
dengan ilmu yang ada padanya, maka dia adalah orang yang paling bodoh."[8]
Dan demikianlah,
yang akan menguatkan seorang penuntut ilmu yaitu dengan menjadikan semangat
yang pertama kalinya adalah mencari ilmu, meminta tambahan ilmu, selalu
bersungguh-sungguh dan rajin dalam mencarinya, bersemangat untuk menghadiri
majlis-majlis para ulama, dan mentelaah kitab-kitab ilmu serta menguasainya.
Al Imam An
Nawawi rahimahullah berkata, "Selayaknya seseorang untuk senantiasa
bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu baik dengan cara membaca,
dibacakan ataupun membacakan kepada orang lain, menelaah, memberikan
catatan-catatan, membahas, mudzakarah (mempelajari dan muroja'ah / mengulang
pelajaran), dan menulisnya. Dan janganlah dia merasa sombong sehingga tidak mau
belajar kepada orang yang di bawahnya dari sisi umur, nasab, atau kemasyhuran.
Bahkan hendaknya dia bersemangat untuk mendapatkan faidah dari orang yang
memilikinya."[9]
Beliau juga
berkata, "Dan termasuk di antara adab-adab seorang penuntut ilmu yang
sangat ditekankan adalah hendaklah dia bersemangat dalam belajar, menekuninya
di seluruh waktu-waktu yang memungkinkan baginya, dan janganlah merasa cukup
dengan ilmu yang sedikit dalam keadaan dia mampu untuk mencari yang banyak,
namun jangan memaksakan diri mencari apa-apa yang dia tidak mampu agar tidak
menjadikan dia bosan dan menghilangkan ilmu yang telah dia dapatkan. Dan hal
ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manusia dan keadaannya."[10]
Demikianlah yang
selayaknya dimiliki oleh seorang penuntut ilmu yaitu senantiasa bersemangat dan
rajin. Karena dikatakan (di dalam sebuah sya'ir): "Sesuai dengan usaha
yang engkau berikan, maka engkau akan mendapatkan apa yang engkau
angan-angankan."[11] Dan hendaklah dia mempunyai semangat dalam mencari ilmu,
memperbanyak menelaah ilmu yang bermacam-macam, dan jangan mencukupkan dengan
sebagiannya saja. Terlebih khusus jika ilmu itu punya hubungan dengan ilmu
syar'i, seperti ilmu bahasa 'Arab.