Apakah Keyakinan Orang Rafidhah Tentang Bai`at
Orang Rafidhah menganggap setiap pemerintahan selain
pemerintahan Itsna `Asyara (syi`ah Itsna asyarah / Imammiyah / Rafidhah )
adalah pemerintahan yang batil (tidak sah). Diriwayatkan di dalam kitab
Al Kaafii dengan syarahan (uraian) Al Mazandaraani dan di dalam kitab
Al Ghaibah oleh An Nu`mani, dari Abi Ja`far, ia berkata : Setiap bendera
yang diangkat (dikibarkan) sebelum bendera Al Qaaim -Mahdinya orang
Rafidhah- maka pemiliknya adalah thoghut [1].
Dan tidak boleh menta`ati seorang hakim yang bukan
dari Allah, kecuali dengan cara taqiyah (kemunafikan), penguasa yang
absolut dan zholim tidaklah pantas untuk menjadi pemimpin, dan setiap
pemimpin yang bersifat yang serupa dengan itu. Seluruhnya gelar itu
mereka memberikan nama itu kepada penguasa kaum muslimin yang bukan dari
imam-imam mereka, orang paling utama dari mereka itu adalah
khulafaurasyidin -semoga Allah meridhoi mereka- yaitu : Abu Bakr, Umar
dan Utsman.
Tokoh Rafidhah Al Majlisi, dimana ia merupakan salah
seorang dari orang-orang yang sesat dari mereka, pengarang kitab
Bihaarul Anwar, berkata tentang tiga orang khalifah rasyidin :
Sesungguhnya mereka tiada lain kecuali perampas yang zholim, murtad dari
agama, semoga laknat Allah atas mereka dan terhadap orang-orang yang
mengikuti mereka di dalam menzholimi ahlu bait dari pertama sampai
terakhir [2]. Inilah yang dikatakan oleh imam mereka Al Majlisi yang
kitabnya dikatagorikan ke dalam reffrensi mereka (rujukan) yang pokok
dan terpenting dalam hadits mengenai umat yang paling mulia setelah para
rasul dan nabi.
Berdasarkan kepada keyakinan mereka terhadap khilifah
kaum muslimin, maka mereka menganggap setiap orang yang bekerjasama
dengan mereka adalah thoghut dan zholim. Al Kulaini meriwayatkan dengan
sanadnya dari Umar bin Hanzholah, ia berkata : Saya telah bertanya
kepada Abu Abdillah tentang dua orang dari golongan kita, di antara
mereka berdua terjadi perselisihan dalam masalah agama atau harta
warisan, lalu mereka berdua berhukum (minta diselesaikan secara hukum)
kepada penguasa dan kepada hakim, apakah hal itu halal? Ia berkata :
barangsiapa berhukum (meminta diselesaikan secara hukum) kepada mereka,
dengan kebenaran atau kebatilan, maka sesungguhnya mereka berhukum
kepada thoghut, dan apa yang telah diputuskan untuknya sesungguhnya yang
ia ambil adalah harta haram, walaupun sebenarnya itu haknya, karena ia
telah mengambilnya dengan hukum thoghut [3].
Berkata Khumaini yang celaka -semoga Allah
menghukumnya dengan hukum sepantas dan setimpal- dalam mengomentari
pembicaraan mereka ini : Imam itu sendiri dilarang untuk merujuk kepada
penguasa-penguasa dan hakim-hakim mereka, dan merujuk kepada mereka
dikatagorikan merujuk kepada thoghut. [4]
Apakah Hukum Usaha Mendekatkan Antara Ahli Sunnah Yang Bertauhid Dengan Rafidhah Yang Musyrik?
Saudaraku pembaca yang budiman, saya cukupkan saja
dalam masalah ini, dengan mencantumkan tulisan dari tulisan-tulisan DR.
Nashir AL Qafari di dalam kitabnya : Masalah At Taqriib, yaitu tulisan
yang ke tujuh, dimana beliau berkata -semoga Allah menjaganya :
Bagaimana mungkin mendekatkan antara orang yang
mencaci kitab Allah dan menafsirkannya tidak sesuai dengan tafsirannya,
dan mendakwakan turunnya kitab-kitab ilahi (wahyu) kepada imam-imamnya
setelah Al Quranul Karim?, dan ia memandang keimaman itu adalah
kenabian, para imam baginya seperti para nabi dan bahkan lebih mulia,
dan ia menafsirkan mengibadati Allah semata yang mana itu adalah inti
dari misi (ajaran) para rasul seluruhnya tidak sesuai dengan maknanya
yang hakiki, dan mendakwakan bahwa sesungguhnya ibadah itu adalah ta`at
kepada para imam. dan sesungguhnya syirik kepada Allah adalah mentaati
selain mereka (para imam) bersama mereka, ia mengkafirkan orang-orang
yang terbaik dari para sahabat rasulullah, dan mengkliem seluruh para
sahabat dengan murtad, kecuali tiga atau empat atau tujuh sesaui dengan
perbedaan riwayat mereka. Dan orang ini (orang Syiah) tampil berbeda
dengan keganjilan dari jamaah kaum muslimin dengan masalah-masalah
akidah dan keyakinan di dalam keimaman, kemaksuman (terjaga dari dosa),
taqiyah (kemunafikan), dan mengatakan raj`ah (imam kembali ke dunia), Al
qhaibah (menghilangnya As Kaari) dan Al Bada`[5].[6]
[1] Kitab Al Kaafii dengan syarahan (uraian) Al Mazandaraani, dan lihat kitab Al Bihaar (25/113).
[2] Kitab Al Bihaar oleh Al Majlisi (4/385).
[3] Kitab Al Kaafii oleh Al Kulaini (1/67), kitab At Tahdziib (6/301) dan kitab Man Laa Yahsuruhu Al Faqiih : (3/5).
[4] Al Hukumaatul Islamiyah, hal : 74.
[5] Defenisi ini lihat kembali edisi-edisi yang telah berlalu, diantaranya edisi : 2, 6 dan 7.
[6] Masalah At Taqriib DR. Nashir AL Qafari (2/302).