oleh : Syeikh Bin Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- dll.
1. Hukum tergesa-gesa dalam memberikan fatwa dari kalangan masyarakat umum
Pertanyaan : Tatkala persoalan agama dikemukakan, masyarakat umum
saling berlomba -jika mereka berada dalam satu majlis- untuk berfatwa
dan mengemukakan pendapatnya dalam masalah tersebut pada umumnya tidak
dengan ilmu. Apa komentarmu hai Syeikh yang mulia terhadap fonomena ini ?
Apa ini termasuk dalam perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya ?
Jawaban : Sebagaimana yang diketahui, bahwa seseorang tidak boleh
berbicara pada agama Allah tanpa dengan ilmu, karena Allah Taala
berfirman :
Artinya : katakanlah : Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui. (Q.S.7;33).
Dan wajib bagi seseorang untuk wara dan takut terhadap perbuatan
berbicara tentang Allah tanpa dengan ilmu. Permasalahan ini bukan
termasuk urusan dunia, yang mana akal memiliki posisi didalamnya, kalau
seandainya urursan itu merupakan permasalahan dunia, yang mana akal
memiliki posisi di dalamnya, sepatutnya manusia itu berhati-hati, dan
tidak terburu-buru. Mungkin saja, jawaban yang ada pada dirinya, dijawab
oleh orang lain. Maka dia bagaikan hakim di antara dua jawaban. Dan
perkatannya menjadi kata pemutus (penutup). Betapa banyak manusia
berbicara dengan pendapatnya, yakni selain dalam masalah–masalah agama,
jika dia tidak terburu-buru dan mundur sedikit, tampak baginya kebenaran
yang belum pernah terlintas di pikirannya – karena banyaknya pendapat
yang didengarkan–. Oleh karena ini, maka saya menasehati setiap orang,
agar dia mampu menjadi orang yang paling terakhir berbicara, supaya dia
bisa menjadi penengah di antara pendapat yang banyak. Dan supaya dia
mendapatkan dari pendapat-pendapat yang berbeda itu, pandangan yang
belum jelas, sebelum mendengarkan pendapat-pendapat tadi. Ini hal-hal
yang berhubungan dengan urusan dunia. Adapun yang berhubungan dengan
urusan agama, seseorang sama sekali tidak boleh berbicara, kecuali
dengan ilmu yang ia ketahui dari Kitab Allah dan sunnah Rasul-nya atau
dari perkataan ahli ilmu (para ulama).
Dijawab oleh : Syeikh Ibnu Utsaimin di kitab : Alfaazh wa mafaahim fi mizaanis Syariah hal : 44-46.
2 . Kapan perbedaan pendapat itu bisa diakui.
Pertanyaan : Kapan perbedaan dalam perkara agama baru diakui ?
Apakah perbedaan itu terdapat pada setiap masalah atau pada
tempat-tempat tertentu ? Kami mengharapkan penjelasannya.
Jawaban : Sebelumnya, ketahuilah sesungguhnya persilisihan ulama
ummat Islam ini, apabila timbul dari hasil ijtihad, maka hal itu tidak
membahayakan orang yang belum menemukan kebenaran. Karena Nabi bersabda :
Artinya : Apabila seorang hakim memutuskan, lalu dia berijtihad dan
dia benar (dalam ijtihadnya) maka dia mendapatkan dua pahala, dan
apabila dia salah (dalam ijtihadnya) maka dia mendapatkan satu pahala.
(H.R. Bukhari di kitab Itishom, no : 7352).
Akan tetapi barang siapa yang jelas baginya kebenaran, maka dia
wajib untuk mengikuti kebenaran itu, bagaimanapun keadaannya.
Perselisihan yang terjadi di kalangan ulama ummat Islam ini, tidak boleh
dijadikan sebagai penyebab persilisihan hati, karena perselisihan hati
itu menimbulkan kerusakkan-kerusakkan yang besar sekali, sebagaimana
firman Allah :
Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah . Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S.8;46).
Perbedaan yang diakui kalangan ulama – yang selalu dinukil dan
sebut-sebut – adalah perbedaan yang mempunyai kedudukan dalam pandangan.
Oleh karena ini, masyarakat umum wajib merujuk kepada ahli ilmu (ulama)
seperti yang difirmankan Allah :
Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.(Q.S.16;43).
Adapun pernyataan penanya : Apakah perbedaan itu terdapat pada
setiap masalah ? Kenyataannya bukan seperti itu, perbedaan kadang-kadang
terdapat pada sebahagian masalah, dan sebahagian yang lain telah
disepakati, tidak ada perbedaan - Alhamdulillah –. Akan tetapi pada
sebahagian masalah yang di dalamnya terdapat perbedaan ijtihad, atau
sebahagian orang lebih mengetahui daripada yang lain dalam meneliti
nas-nas Al Kitab dan Sunnah, dalam hal seperti inilah terdapat
perbedaan. Adapun masalah –masalah pokok (pokok-pokok agama), maka
perbedaan di dalamnya sedikit.
Fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.
3. Sikap seorang muslim terhadap perbedaan mazhab yang tersebar.
Pertanyaan : Bagaimana sikap seorang muslim terhadap perbedaan
mazhab yang tersebar di kalangan kelompok kelompok dan golongan-golongan
?
Jawaban : Seorang muslim wajib untuk berpegang teguh kepada
kebenaran yang ditunjukkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasul , dan dia
harus mencintai dan memusuhi karena kebenaran itu. Setiap kelompok atau
mazhab yang menyalahi kebenaran, seseorang harus berlepas diri dari
kelompok atau mazhab itu, serta tidak menyetujuinya.
Agama Allah ini satu, agama yang jalan yang lurus, agama yang mengibadati Allah semata, dan mengikuti Rasul-Nya .
Maka setiap orang muslim wajib berpegang teguh dan konsisten kepada
kebenaran ini. Yaitu taat kepada Allah dan mengikuti ajaran-Nya yang
telah dibawa oleh nabi-Nya Muhammad , serta mengikhlaskannya hanya untuk
Allah. Dan tidak memalingkan sedikitpun dari bentuk ibadah kepada
selain daripada Allah . Setiap mazhab yang menyelisihi hal itu, dan
setiap kelompok yang tidak berpegang dengan keyakinan ini, harus
dijauhi, dan berlepas diri darinya serta mengajak pengikutnya kepada
kebenaran dengan argumen-argumen yang syari dan dengan lemah lembut
serta memilih cara yang bermanfaat, dan memahamkan mereka akan
kebenaran.
Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab Majmu fatawa wa maqolat mutanawiah (5/157-158).
4. Hukum berijtihat di dalam Islam serta syarat-syarat orang yang berijtihad
Pertanyaan : Apa hukum berijtihad dalam Islam dan Apa syarat syarat orang yang berijtihad ?
Jawaban : Berijtihad dalam Islam adalah mengeluarkan kemampuan untuk
mengetahui suatu hukum syara berdasarkan dalil-dalil yang syari.
Berijtihad ini wajib hukumnya atas orang yang mempunyai kemampuan untuk
berijtihad. Karena Allah I berfirman :
Artinya : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.(Q.S.16;43).
Orang yang mampu untuk berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui
kebenaran dengan dirinya sendiri. Akan tetapi dia itu harus orang yang
luas ilmunya, yang luas penelitiannya terhadap nas-nas syariyah, yang
luas penelitiannya terhadap pokok pokok dasar yang perlu diperhatikan
(usul fiqih), terhadap pendapat-pendapat ulama; supaya dia itu tidak
jatuh ke sesuatu yang menyalahi hal yang di atas.
Karena sebagian dari manusia – penuntut-penuntut ilmu- yang belum
mendapatkan ilmu kecuali sedikit sekali, sudah memposisikan dirinya
sebagai orang yang berijtihad (mujtahid). Anda menemukannya beramal
dengan hadits-hadits yang umum, sedangkan hadits hadits tersebut ada
yang mentakhsisnya. Atau beramal dengan hadits-hadits yang mansukh
(hukumnya terhapus) sedangkan dia tidak tahu yang menasikhnya (yang
menghapusnya). Atau beramal dengan hadits-hadits di mana ulama telah
sepakat bahwa hadits-hadits itu bukan atas zhohirnya. Dia tidak
mengetahui kesepakatan ulama. Orang yang seperti ini berada dalam bahaya
yang besar.
Seorang yang berijtihad harus memiliki pengetahuan tentang
dalil-dali syariyah. Dia harus memiliki pengetahuan tentang usul fiqih
(pokok dasar fiqh) apabila dia mengetahuinya, dia mampu mengambil
hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Dan dia harus memiliki pengetahuan
tentang kesepakatan ulama, agar dia tidak menyalahi kesepakatan mereka
sedangkan dia tidak menyadarinya.
Apa bila syarat-syarat ini sudah lengkap pada dirinya, maka dia adalah mujtahid (orang yang boleh berijtihad).
Ijtihad itu bisa dirincikan; jika seseorang berijtihad dalam satu
masalah dari beberapa masalah ilmiah, lalu dia mengkaji dan menelitinya
dengan seksama. Maka dia menjadi mujtahid dalam masalah tersebut.
Atau dalam sub bahasan tertentu seperti sub bahasan thoharah
(bersuci), kemudian dia mengkaji dan menelitinya dengan seksama, maka
dia itu mujtahid dalam sub bahasan tersebut.
Fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, disertai dengan tanda tangannya.
5. Adap-adap dalam berbeda pendapat
Pertanyaan : Syeikh yang mulia, kebanyakan persilisihan yang terjadi
di antara dua orang dai yang berkecimpung di ladang dakwah yang
mengakibatkan kepada kegagalan dan hilangnya kekuatan, kebanyakannya
disebabkan oleh kebodohan tentang adap-adap persilisihan. Apakah anda
bisa memberikan sepatah kata dalam masalah ini.?
Jawaban : Ya. Saya sarankan kepada seluruh saudaraku dari kalangan
orang yang memiliki ilmu dan para dai, untuk memilih cara yang baik, dan
lemah lembut dalam berdakwah dan dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan di waktu berdiskusi dan belajar. Dan hendaklah ghairah
dan sikap keras tidak membawanya untuk berkata perkataan yang tidak
pantas dikatakan, yang bisa menyebabkan perpecahan, persilisihan, saling
berbencian serta saling berjauhan. Akan tetapi seorang dai, seorang
guru dan seorang pembimbing harus memilih metode–metode yang bermanfaat,
harus berlemah-lembut dalam ucapannya, supaya ucapannya itu diterima,
dan supaya hati-hati tidak berjauhan, sebagaimana Allah firman :
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Alah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka . Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Q.S. 3;159)
Dan Allah berfirman kepada Musa dan Harun tatkala Allah mengutus mereka berdua ke Firaun :
Artinya : Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Q.S 20;44).
Dan Allah berfirman :
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
(Q.S.16:125).
Dan berfirman :
Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang zolim di antara
mereka. (Q.S.29;46).
Dan Rasulullah bersabda :
Artinya : Sesungguhnya lemah lembut itu tidak ada pada sesutau
kecuali menghiasinya, dan tidaklah (lemah lembut itu) dicabut dari
sesuatu kecuali menjelekkannya (H.R.Muslim, no:2594).
Dan bersabda :
Artinya : Barang siapa terhalang dari lemah lembut maka dia terhalang dari seluruh kebaikan. (H.R. Muslim, no: 2592).
Maka seorang dai dan guru harus memilih cara-cara yang baik dan
bermanfaat, dan harus menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras
dan kasar itu, kadang-kadang mengakibatkan kepada tertolaknya
kebenaran, dan mengakibatkan kepada persilisihan yang keras serta
perpecahan di antara teman. Tujuan dakwah adalah menjelaskan kebenaran
dan berambisi supaya dia menerimanya dan mendapatkan faidah dari dakwah
itu. Bukan tujuan dakwah itu, menampakkan (memamerkan) keilmuan anda dan
menampakkan bahwa anda-lah orang yang berdakwah kepada jalan Allah dan
anda yang berghairah (cemburu) kepada agama Allah ini, hanya Allah–lah
yang mengetahui isi hati yang tersembunyi. Hanyasaja tujuan dari dakwah
itu adalah anda menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang
mendapatkan manfaat dari ucapanmu, maka anda harus mencari faktor-faktor
diterimanya dakwah. Dan anda harus menjauhi faktor-faktor tertolak dan
tidak diterimanya dakwah itu.
Jawaban Syeikh Ibnu Baaz dari kitab Majmu fatawa wa maqolat mutanawiah (5/155-156).
6. Hukum berfatwa dan syarat-syarat menjadi mufti
Pertanyaan : Sudah banyak fatwa tersebar, sampai-sampai anak kecil
(umurnya yang muda) berfatwa, maka kami mengharapkan penjelasan tentang
syarat-syarat fatwa dan orang yang memberikan fatwa?
Jawaban : Para salaf –rahimahumullah- selalu saling tolak menolak
untuk berfatwa, karena besarnya permasalahan dan tanggungjawab fatwa
itu, serta karena takut kepada perbuatan berkata tentang Allah tanpa
dengan ilmu (pengetahuan). Karena seorang yang memberikan fatwa itu
adalah sebagai penyambung berita (hukum) dari Allah dan menerangkan
tentang syariat Allah. Apabila dia berbicara tentang Allah tanpa ilmu
(pengetahuan), maka dia telah terjerumus dalam suatu perbuatan, yang
mana perbuatan itu adalah saudara kandung syirik. Dengarlah firman Allah
:
Artinya : katakanlah : Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui. (Q.S.7;33).
Maka Allah menggandengkan perbuatan berkata tentang Allah
(mengada-ada terhadap Allah) tanpa dengan ilmu, dengan perbuatan syirik.
Dan Allah berfirman :
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yagn kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabanya . (Q.S.17;36).
Maka seseorang itu tidak pantas untuk terburu-buru dalam berfatwa,
akan tetapi dia menunggu, berfikir dan merevisi (pendangannya). Apabila
waktu sempit, maka lontarkanlah masalah itu kepada orang yang lebih
berilmu darimu agar kamu selamat dari perbuatan berkata tentang Allah
tanpa dengan ilmu.
Apabila Allah mengetahui dari niatmu, keikhlasan dan keinginan yang
baik, maka kamu akan sampai juga ke tingkat yang kamu inginkan dengan
fatwamu itu. Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan
memberinya taufiq dan akan mengangkatnya.
Orang yang berfatwa tanpa dengan ilmu, dia lebih sesat daripada
orang yang bodoh. Karena orang bodoh berkata : Saya tidak tahu. Orang
bodoh itu mengetahui kemampuan (ukuran) dirinya. Konsisten terhadap
kejujuran. Adapun orang yang membandingkan dirinya dengan ulama-ulama
ternama, bahkan mungkin dia mendahulukan dirinya daripada para ulama
tersebut, maka dia sesat dan menyesatkan serta salah pada
masalah-masalah yang diketahui oleh penuntut ilmu yang masih kecil, maka
perbuatan ini kerusakannya berat dan bahayanya besar.
Dijawab oleh Syeikh Ibnu Utsaimin di kitab Majmuatu durus wa fatawal haram makki (3/354-355).
7. Fatwa dan ijtihad.
Pertanyaan : Kapan seorang pemuda berhak untuk berijtihad dan berfatwa?
Jawaban : Sesungguhnya berijtihad dalam masalah-masalah ilmiyah
mempunyai syarat-syarat tertentu. Tidak setiap orang berhak untuk
berfatwa dan berbicara dalam masalah –masalah ilmiyah itu kecuali dengan
ilmu dan keahlian serta kemampuan untuk mengetahui dalil-dalil,
kemampuan untuk mengetahui mana yang menjadi nas atau menjadi zhohir
dari dalil dalil tersebut. Dan (mengetahui) shohih dan dhoif;
(mengetahui) nasikh (yang menghapus hukum sebelumnya) dan mansukh (yang
terhapus); (mengetahui) manthuq dan mafhum; (mengetahui) khas dan aam;
(mengetahui) muthlaq dan muqayat; (mengetahui) mujmal dan mubayin, dan
harus mempunyai pengalaman yang panjang, dan mengetahui
pembagian-pembagian fiqih dan tempat tempat pembahasan; mengetahui
pendapat-pendapat ulama dan ahli fiqih serta hafal nas-nas atau
memahaminya.
Tidak diragukan, sikap berani untuk berfatwa yang bukan dari ahlinya
adalah dosa besar dan berbicara tanpa dengan ilmu, sungguh Allah telah
mengancam perbuatan tersebut (berbicara tanpa dengan ilmu), dengan
firman-Nya :
Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan tetrhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini halal dan ini haram, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung .
(Q.S.16;116).
Dan dalam satu hadits :
Artinya : Barang siapa yang berfatwa tidak dengan selektif
(berhati-hati) maka dosanya ditanggung oleh orang memberi fatwa (H.R.
Ahmad (2/321), Abu Dawud (3657) dan Ibnu Majah (53)).
Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru untuk berfatwa, dan
janganlah dia berbicara dalam satu masalah kecuali setelah mengetahui
sumbernya, dalilnya dan siapa orang yang telah pernah mengatakan itu
sebelumnya. Maka apabila dia bukan ahlinya (orang yang berhak) untuk
itu, semestinya dia memberikan busur panah kepada perautnya (serahkan
pekarjaan itu kepada ahlinya). Dan hendaklah dia itu membatasi dirinya
sesuai yang dia ketahui, dan melakukan apa yang dia dapatkan serta
melanjutkan pendidikan dan mempelajari ilmu fiqih sampai mendapatkan
kondisi, yang mana dia sudah berhak untuk berijtihad. Hanya Allah –lah
yang menujukkan kepada kebenaran.
Sumber fatwa : Allukluk almakkin min fatawa syeikh Ibnu Jibrin hal : 72-73.
Alih bahasa : Muhammad Elvi Syam.
|