11 Oktober, 2014

Syahadat La Ilaha Illallah; Ma’na, Rukun, dan Syaratnya (1)



 
Tulisan singkat ini akan membahas penjelasan seputar makna, syarat dan rukun kalimat syahadat Laa Ilaaha Illallah. Sebab, kalimat Laa Ilaaha Illallaah penting untuk dipahami dan dimaknai. Sehingga tidak terucap di bibir saja, tapi merasuk ke hati lalu mengejawantah dalam amalan nyata. Yakni, keyakinan dan pengakuan yang pasti dan tegas bahwa tak ada satu pun yang berhak diibadahi secara sah melainkan Allah dan meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala dalam surah Muhammad [47] ayat 19:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS.Muhammad[47]:19).
Ayat tersebut menyuruh untuk mengilmui La Iala Illallah sebelum yang lainnya. Bahkan Imam Bukhari menempatkan ayat tersebut dalam kitab Shahihnya dengan judul bab, “Bab Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat”.
a. Makna La Ilaha Illallah
Makna La Ilaha Illallah adalah i’tikad (keyakinan) dan ikrar (pengakuan) bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Keyakinan dan pengakuan tersebut harus disertai komitmen (iltizam) pengamalan terhadap konsekwensi kalimat syahadat itu sendiri. Singkatnya, beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun adalah pemaknaan yang sebenarnya terhadap kalimat La Ilaha Illallah. Sebagaimana firman Allah dalam surah Muhammad ayat 19 diatas; “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah”

Maksudnya, ketahuilah bahwa Dialah satu-satunya yang berhak terhadap ibadah. Tidak boleh beribadah kepada selain-Nya, karena hanya Dialah yang berhak untuk diibadahi, tiada Ilah selain-Nya sehingga kita tidak pantas mengalamatkan ibadah kepada selain-Nya.

b. Rukun Kalimat La Ilaha Illallah
La Ilaha illallah memiliki dua rukun, yakni; (1) An-Nafyu [negasi] –pada kata- (La Ilaha), yang membatakan [menafikan] semua bentuk kesyirikan, serta mengharuskan pengingkaran terhadap setiap yang disembah atau diipertuhankan selain Allah. (2) Al-Itsbat [afirmasi] –pada kata- (Illallah), mengafirmasi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Rukun nafyu dan itsbat ini telah diisyaratkan oleh Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 256:
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Kalimat faman yakfur bith Thaghut (barangsiapa yang kufur tehadap Thaghut) adalah makna dari rukun yang pertama, yakni mengingkari segala bentuk Ilah selain Allah, atau thaghut. Sedangkan kalimat wa yu’min billah (dan beriman kepada Allah) mewakili rukun yang kedua, yakni menetapkan keimanan kepada Allah. `
Senada dengan surah al-Baqarah ayat 256 diatas adalah surah az-Zukhruf ayat 26-27:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ [٤٣:٢٦]إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”.

Perkataan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam “Innaniy barra un’’ (sesungguhnya aku berlepas diri) menunjukan penafian dan penolakan beliau peribadatan selain Allah oleh ayahnya dan kaumnya. Sedangkan perkataan beliau Illalladziy fatharani merupakan penetapan atau afirmasi (itsbat) akan keberhakan Allah sebagai satu-satu-Nya Ilah yang harus diibadahi.

Rukun nafyu-itsbat atau negasi-afirmasi ini sangat penting. Sebab dalam bahasa Arab, Rumusan kalimat dengan pola nafyu-itsbat merupakan pola atau rumusan kalimat yang paling tegas. Bahkan dalam bahasa Arab ada ungkapan yang menyatakan itsbatul mahdh la yamna’ul musyarakah; Afirmasi (itsbat) saja tidak menghalangi masuknya keikutsertaan unsur lain. Dengan contoh akan makin jelas. Perhatikan kalimat berikut; “Fulan datang ke sekolah”. Tentu saja kalimat ini sama sekali tidak menunjukan bahwa hanya Fulan yang datang. Tetapi jika bunyi kalimatnya seperti ini; “Tidak ada yang datang ke sekolah kecuali Fulan”. Kalimat ini dengan tegas menyatakan bahwa hanya Fulan yang datang. Simpulannya bahwa ternyata kalimat dengan pola nafyu-istbat lebih jelas, tegas dan sekaligus menutup pintu serapat-rapatnya masuknya syarikat yang bertentangan makna kalimat tersebut.

Oleh karena itu, disinilah rasahianya (wallahu a’lam) kalimat tauhid yang agung ini menggunakan pola nafyu dan itsbat. Untuk mempertegas bahwa yang berhak diibadahi hanya Allah Ta’ala. Selain Allah bukanlah Ilah yang patut dan berhak diibadahi. Artinya, ketika seseorang mengucapkan kalimat ini maka dia harus meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah yang berhak diibadahi. Dan harus menolak segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. –sym-(bersambung insya Allah)

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE