Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Tanya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya. Tampilkan semua postingan
Syeikh AbdulAziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullohu ta’ala- ditanya tentang hadits yang berbunyi,
لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

“Tidak ada sholat bagi tetangga masjid kecuali ia sholat di masjid”

Apakah ini termasuk hadits shohih atau perkataan ma’tsur (atsar sahabat)? Sementara kalimat tersebut sangat tegas (memberatkan), padahal agama ini adalah agama yang mudah dan tidak sulit/memberatkan. Apa pendapat syeikh dalam masalah ini?
Jawab Syeikh,

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

Lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ad-Daruquthniy, Al-Hakim, At-Thabraniy dan Ad-Dailamiy yang kesemuanya dengan sanad yang dhoif/lemah yang disandarkan kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam. Bahkan Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolaniy berkata :

ليس له إسناد ثابت وإن اشتهر بين الناس

“Hadits tersebut tidak memiliki sanad yang tsabit, walaupun hadits ini masyhur dikalangan manusia”

Para Ahli Ilmu sepakat menilai bahwa hadits tersebut dhoif. Dan jika dikerjakan sholat itu dirumah maka sholatnya sah, dan makna hadits tersebut adalah tidak “sempurna” sholat bagi tetangga masjid kecuali dimasjid.
Sungguh telah banyak hadits-hadits shohih yang menjelaskan sahnya sholat sendiri akan tetapi ia berdosa jika tanpa udzur syar’I meninggalkan sholat berjamaah dimasjid. Karena sholat berjamaah bersama kaum muslimin adalah wajib sebagaimana hadits yang lain seperti sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam,

من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر

“Barang siapa mendengar panggilan (adzan) namun tidak memenuhinya, maka tidak ada sholat baginya kecuali ada udzur.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya bab Sholat (551), Ibnu Majah dalam sunannya bab Masjid dan Jama’ah (793), Ad-Daruquthniy, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, sanadnya sesuai syarat Muslim.

Juga sebagaimana sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam kepada seorang yang buta, yang memohon idzin kepada nabi untuk sholat dirumahnya karena ketiadaan orang yang mau menuntunya kemasjid. Rasululloh bersabda, “Apakah engkau mendengar adzan?” maka orang itu menjawab, “ya”, lantas nabi mengatakan, “maka wajib (menghadiri panggilan adzan).” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab Masjid dan tempat sholat (653), dan An-Nasa’i dalam sunannya bab Imamah (850).
Aku berwudhu sementara aku lupa membaca basmalah, dan aku mengingatnya setelah membasuh kedua tangan. Dan setiap kali aku ingat bahwa aku lupa membaca basmalah, maka aku mengulangnya kembali dari awal, bagaimana hukum permasalahan ini?


Jawab : Jumhur ulama telah berpendapat tentang shah-nya wudhu tanpa membaca basmallah. Dan telah berpendapat sebagian ulama bahwa wajib hukumnya membaca basmallah jika ia mengetahuinya dan mengingatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

لا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه

“Tidak ada wudhu bagi siapa yang tidak membaca nama Alloh / Basmallah saat itu.”

Akan tetapi, meninggalkan membaca basmallah karena lupa atau ketidaktahuan maka wudhu’nya shah, dan tidak diwajibkan mengulangi wudhu’nya tersebut walaupun kami berpendapat tentang wajibnya membaca basmallah ketika hendak wudhu’. Hal ini dikarenakan udzur yang ada, berupa ketidaktahuan dan kelupaan.

Dan hujjah dalam masalah ini adalah firman Alloh Ta’ala

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah. [QS. Albaqarah : 286]

Dan telah shohih dari Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bahwa

أن الله سبحانه قد استجاب هذا الدعاء

Sesungguhnya Alloh Subhanahu telah mengabulkan do’a ini.

Dan dengan demikian, bahwa jika kamu lupa membaca basmalah pada awal berwudhu’, kemudian dipertengahan wudhu’mu, maka hendaklah kamu membaca basmalah saat itu. Dan tidak wajib kamu mengulangi wudhu’mu dari awal. Karena saat itu kamu mendapat keudzuran, yakni karena lupa. waffaqallohul jami’.


Dijawab oleh Asy-Syeikh AbdulAziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullohu-

Sumber : http://binbaz.org.sa/mat/2213

SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, apa batasan seorang istri boleh mengajukan khulu’ (gugatan cerai)? Bagaimana apabila istri ditinggal suami tanpa diberi nafkah?
(Abu M, Gresik, 085852xxxxxx)
JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.
Khulu’ adalah talak yang diucapkan suami kepada istri atas permintaannya, disertai pembayaran dari pihak istri.
Khulu’ bisa diajukan oleh istri bila istri membenci suaminya, baik karena hubungan keduanya tidak harmonis, akhlak suami jelek, istri takut berdosa dengan meninggalkan haknya, istri membenci perangai suami karena meninggalkan perintah agama, seperti suami meninggalkan sholat, tidak menjaga harga diri, atau karena sebab-sebab syar’i lainnya. Dalam keadaan seperti ini, suami disunnahkan menerima pengajuan khulu’ dari istrinya. Bahkan istri wajib meminta pisah dari suami bila memang suami tidak mau dinasihati. (Mukhtashor al-Fiqhil Islami 1/1034)
Adapun masalah yang dialami penanya di sini bukanlah khulu’, tetapi suatu keadaan istri yang ditinggal pergi oleh suaminya tanpa nafkah dan tanpa kabar. Dalam keadaan seperti ini, istri hendaknya segera pergi dengan mahromnya ke Departemen Pengadilan Agama setempat untuk mendapat penjelasan dan keputusan yang jelas pula. Sebab dialah yang berhak memutuskan sebagai ganti suami dalam keadaan seperti ini. Wallohu a’lam.
[ Oleh: Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron ]

SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, bolehkah seorang suami meninggalkan istrinya untuk bekerja selama dua tahun ke luar negeri? Bagaimana dengan hadits tentang seorang wanita yang mengeluh kepada Rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalam ketika ditinggal jihad oleh suaminya? Jika hal ini dibolehkan, bagaimana tentang hak anak-anaknya yang membutuhkan pendidikan dari ayahnya? Ana bingung, manakah yang kuat dalilnya, Ustadz? Syukron.

(Abu Zaky, Karawang, +628138361xxxx)
JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.
Menurut asal, ketika seseorang telah menikah ia wajib menafkahi istrinya baik lahir maupun batin dan wajib mendidik istri dan anak-anaknya dengan pendidikan yang baik, dalilnya:
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. an-Nisa’ [4]: 19)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Alloh kepadanya. (QS. at-Tholaq [65]: 7)
Adapun tentang suami yang meninggalkan istrinya untuk bekerja selama dua tahun di luar negeri maka dilihat dulu duduk masalahnya; apabila istrinya ditinggal dalam keadaan aman, seperti tinggal di rumah mertuanya atau bersama ibunya di rumah, di sisi lain (dalam keadaan darurat) suami harus mencarikan nafkah untuk istri dan anaknya, maka boleh. Sebab dia meninggalkan istri untuk perkara yang wajib, mencari nafkah. Adapun dalil tentang larangan meninggalkan keluarga lebih dari 4 bulan, yaitu firman Alloh Shubhanahu wa Ta’ala:
Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak menggauli istrinya) diberi tangguh hingga empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqoroh [2]: 226)
adalah dalil yang berhubungan dengan orang yang sengaja bersumpah untuk tidak menggauli istrinya. Jadi, tidak tepat bila dalil tersebut digunakan untuk masalah di atas.
Ada orang yang bertanya kepada Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : ‘Al-Qur’an memberi batasan waktu bahwa suami boleh meninggalkan istrinya selama empat bulan. Akan tetapi saya punya ikatan kerja, tidak ada libur bagiku kecuali setelah satu tahun, bahkan terkadang lebih dari itu sesuai dengan tugas yang ada, bagaimana hukumnya?’
Beliau menjawab: “Pertama, perkataan penanya bahwa al-Qur’an memberi batasan waktu kepada suami bahwa ia tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan adalah (perkataan yang) salah. Tak ada satu pun ayat yang menerangkan demikian. Tetapi al-Qur’an membolehkan kepada suami yang bersumpah untuk tidak menggauli (menyetubuhi) istrinya dengan batas waktu maksimal 4 bulan, berdasarkan surat al-Baqoroh ayat 226 [baca ayat di atas].
Adapun tentang suami yang meninggalkan istrinya (maka dilihat dulu), jika wanita itu ridho maka tidak mengapa suami meninggalkannya selama 4 bulan, 6 bulan, satu tahun, atau dua tahun, dengan syarat istrinya aman di negeri yang ia tinggalkan dan ridho atas kepergiannya mencari rezeki. Adapun apabila istri yang ditinggalkan tidak merasa aman maka tidak boleh suami pergi dalam keadaan istrinya tidak aman. Dan apabila istri yang ditinggalkan itu dalam keadaan aman namun tidak ridho ditinggal lebih dari 4 atau 6 bulan sesuai keputusan hakim di negerinya, maka suami tidak boleh meninggalkannya tapi hendaknya menggauli istrinya dengan baik.” (Majmu’ Durus wa Fatawa al-Harom al-Makki, Ibnu Utsaimin 3/270)
Adapun maksud hadits di atas adalah karena wanita itu merasa kesepian ditinggal oleh suaminya dan membutuhkan kasih sayangnya, maka Rosululloh sholallohu ‘alaihi wassalam menyuruhnya pulang. Wallohu a’lam.
Adapun tentang pendidikan anak, maka hendaknya istri mendidik anaknya dengan baik sesuai kemampuan. Sebab tatkala suami tidak ada di rumah, istrilah yang bertanggung jawab atas pendidikannya.
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita itu pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori 3/414)
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Pria mendapatkan istri-istri bidadari di Surga, lalu wanita mendapatkan apa?

Jawaban:
Para wanita akan mendapatkan pria ahli Surga, dan pria ahli Surga lebih afdhal dari pada bidadari. Pria yang paling baik ada di antara pria ahli Surga. Dengan demikian, bagian wanita di Surga bisa jadi lebih besar dan lebih banyak daripada bagian pria, dalam masalah pernikahan. Karena wanita di dunia juga (bersuami) mereka mempunyai beberapa suami di Surga. Bila wanita mempunyai 2 suami, ia diberi pilihan untuk memilih di antara keduanya, dan ia akan memilih yang paling baik dari keduanya
Pertanyaan:
Sebagai muslimah, mana yg harus saya dahulukan? nikah atau thalabul 'ilmi. masalahnya usia ana sudah 22 tahun sedang ana baru setahun mengenal salaf dan di kota ana kurang ikhwan bahkan tidak ada. karena ana sudah ingin nikah.


------------------------------------------------

Jawaban:
Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah wa ba'du :
Bagaimana tentang hukum warna pakaian muslimah. karena yg saya tahu bahwa rata2 akhwat yg ngaji di salaf memakai pakaian warna gelap seperti hitam, dongker dan cokelat. apa warna2 tersebut merupakan yg disunnahkan? terus, apa sama hukumnya memakai kaus kaki dengan kaus tangan?
**************************************
Jawaban:
Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah wa ba'du :

Sepengetahuan saya, tidak ada hadits yang menentukan warna tertentu bagi pakaian wanita, para wanita anshor lebih suka memakai warna hitam, sehingga diterangkan dalam hadits Aisyah, seakan-akan mereka seperti kepala burung gagak. Karena mereka memakai pakaian hitam.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE