Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma: “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan beliau memerintahkan untuk berpuasa pada hari tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu: “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah ditanya tentang puasa ‘Asyura, maka beliau menjawab: “(Puasa ‘Asyura itu) dapat menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim 197 & 1162)
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Jika aku masih hidup hingga tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim 134 & 1134)
Termasuk hari-hari yang disunnahkan berpuasa padanya ialah hari kesepuluh (‘Asyura) dari bulan Muharram, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah ditanya tentang puasa ‘Asyura, beliau menjawab: “(Puasa ‘Asyura itu) dapat menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu”. Maka puasa pada hari ini lebih sedikit pahalanya jika dibandingkan dengan puasa pada hari ‘Arafah (silakan baca artikel puasa ‘Arafah). Bersamaan dengan hal itu, sepantasnya untuk seseorang berpuasa disamping hari kesepuluh (‘Asyura) juga hari kesembilan (Tasu’a), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menyatakan: “Jika aku masih hidup hingga tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan” yakni disertai hari kesepuluh.
Dengan demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan kita untuk berpuasa pada hari sebelumnya, ataupun setelahnya(1) sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi. Karena pada hari kesepuluh dari bulan Muharram tersebut merupakan hari dimana Allah menyelamatkan Nabiyullah Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya. Maka dengan sebab inilah, dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu dalam rangka syukur kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Dan Allah telah menyelamatkan tentaranya dan mengalahkan tentara syaithan, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dan membinasakan Fir’aun beserta kaumnya, maka ini adalah nikmat yang sangat besar.
Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari kesepuluh, maka Rasulullah pun bertanya kepada mereka tentang apa yang tengah mereka lakukan. Orang-orang Yahudi pun menjawab: “Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan membinasakan Fir’aun beserta kaumnya, maka dengan sebab itulah kami berpuasa sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Allah.” Dan kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menyatakan: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Kenapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menyatakan demikian? Karena sesungguhnya Nabi dan orang-orang yang bersamanya adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para Nabi yang ada sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim adalah orang-orang yang mengikuti napak tilasnya, dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman. Dan Allah sebagai pelindung bagi orang-orang yang beriman.” (Al-‘Imran: 68)
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam lebih berhak terhadap Musa daripada orang-orang Yahudi, karena mereka mengingkari Nabiyullah Musa, ‘Isa dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Karenanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari itu, dan memerintahkan manusia untuk berpuasa dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang mereka tidak berpuasa kecuali pada hari kesepuluh, maka kita berpuasa pada hari kesembilan ataupun kesebelas disamping hari kesepuluh, atau bahkan berpuasa tiga hari berturut-turut. (9,10,11 Muharram). Sebagian Ulama semisal Ibnul Qayyim dan para Ulama yang lainnya membagi puasa ‘Asyura dalam tiga klasifikasi:
1. Berpuasa pada hari ke 10 (‘Asyura) dan 9 (Tasu’a), dan ini merupakan amalan yang paling utama.
2. Berpuasa pada hari ke 10 dan 11, dan ini kedudukannya lebih rendah dibanding jenis amalan yang pertama.
3. Berpuasa hanya pada hari ke 10 saja, dan sebagian Ulama menganggap makruh hal ini; karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang Yahudi. Namun walaupun demikian tidak kita nafikan bahwa ada dari sebagian Ulama lain yang memberi keringanan akan hal ini.
Syarh Riyadhus Shalihin 3/504-506
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah
Alih Bahasa: Fikri Abul Hassan
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah
Alih Bahasa: Fikri Abul Hassan
Footnote:
(1) Yakni berpuasa hari ke 11, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Baihaqy dalam Sunan-nya 4/287. Namun riwayat ini lemah berhubung dalam sanadnya terdapat rawi yang dinilai jelek hafalannya yakni Ibnu Abi Laila –Muhammad Bin ‘Abdurrahman-. Dan Al-Baihaqy juga meriwayatkan hadits lain dengan lafadz yang berbeda namun satu makna (menganjurkan berpuasa hari ke 10 & 11). Akan tetapi riwayat yang menyebutkan hari setelahnya yakni ke 11 dinilai “munkar” karena menyelisihi hadits yang shahih sebagaimana riwayat Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda: “Jika aku masih hidup hingga tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada hari ke 9” (tanpa menyebutkan hari ke 11, red), demikian yang diterangkan Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam “Silsilah Al-Ahadiits Adh-dha’ifah 9/288 no. 4297.