Doktor Anas Ahmad Karzun
Dan dari apa-apa
yang bisa diambil terhadap sebagian penuntut ilmu (sebagai celaan untuk mereka)
dalam pembahasan kita (yaitu jujur dan amanah) adalah bermudah-mudahannya
mereka dalam berfatwa dengan semata-mata bermodalkan penelaahan / pengetahuan
mereka dalam sebagian hukum-hukum syar'i. Sehingga salah seorang dari mereka
menyangka bahwa dirinya sudah menjadi ahli fatwa dan mencoba meluruskan
pendapat ahli fiqh atau membantahnya.
Adapun keadaan
salafush sholih, maka mereka berada pada puncak ketelitian dan berhati-hati
dalam memberi fatwa kepada manusia karena takut akan terjatuh ke dalam
kesalahan atau takut berbicara tentang Allah tanpa ilmu atau takut menisbatkan
kepada syari'at apa-apa yang bukan darinya. Dan keadaan mereka (salafush
sholih) saling mempersilahkan orang lain untuk berfatwa, meski diri mereka
mempunyai kedudukan yang mulia dan ilmu yang melimpah.
Dari Al Qosim
bin Muhammad bin Abu Bakr Ash Shiddiq rodhiyallahu 'anhum, bahwasanya
datang seorang laki-laki dan menanyakan sesuatu kepadanya. Maka Al Qosim
menjawab, "Aku tidak paham." Laki-laki itu berkata, "Aku sengaja
bertanya kepada engkau karena aku tidak tahu orang selain engkau (yang paham
akan permasalahan ini)." Maka Al Qosim berkata, "Janganlah engkau
melihat kepada jenggotku yang panjang dan banyaknya manusia yang ada di
sekelilingku, demi Allah, aku tidak paham..." Beliau berkata lagi,
"Demi Allah, putusnya lisanku ini lebih aku sukai daripada aku berbicara
tanpa ilmu."[1]
Dari Sufyan bin
'Uyainah dan Sahnun bin Sa'id, keduanya berkata, "Manusia yang paling
cepat berfatwa adalah yang paling sedikit ilmunya."[2]
Dari Al Haitsam
bin Jamil, beliau berkata, "Aku menyaksikan Malik bin Anas ditanya 48
masalah, maka beliau menjawab 32 pertanyaan di antaranya dengan: Aku tidak
tahu."[3]
Dari Malik,
beliau berkata, "Apabila para sahabat kesulitan dalam menghadapi
permasalahan, maka salah seorang dari mereka tidak menjawab satu masalah sampai
mengambil pendapat temannya, dalam keadaan mereka diberi rizki berupa
keteguhan, taufiq, dan kesucian hati. Maka bagaimana dengan diri kita dimana
kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa telah menutupi hati-hati kita![4]
Jika Al Imam
Malik rahimahullah berkata demikian tentang dirinya; maka bagaimana
keadaan kita hari ini dimana sebagian dari kita mengaku bahwa dirinya mempunyai
kesempurnaan dalam hal ilmu dan telah mencapai puncak dan batas akhir ilmu!!
Dan sungguh Al
Imam Ibnush Sholaah telah menjelaskan bahwasanya berfatwa tanpa ilmu sungguh
akan mengantarkan kepada kesesatan dan kedustaan dalam salah satu masalah dari
permasalahan halal dan haram. Sehingga dapat menyebabkan pelakunya termasuk
dalam firman Allah ta'ala,
وَلاَ
تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ
لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ
الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dan janganlah
kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara
dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan
bagi mereka azab yang pedih.[5]
Makna ayat ini
juga mencakup orang yang menyimpang dalam fatwanya, dimana dia berkata tentang
perkara yang haram: Ini halal. Atau berkata tentang yang halal: Ini
haram. Atau yang semacam ini.[6]
Sudah seharusnya
hal-hal tersebut harus diperhatikan oleh penuntut ilmu agar selamat dari sikap
khianat dan kedustaan.
Ta'lim
Rabu, 15 Dzulhijjah 1425, di Jl. Parakan Asih no. 15 Bandung
Oleh
Al Akh Abu Rasyid
Kitab Aadaabu
Thaalibil 'Ilmi halaman 85-87
[1] Adabul
Muftii wal Mustaftii karya Al Hafizh ibnush Sholaah halaman 78, dan
lihatlah I'laamul Muwaqqi'iin karya Ibnul Qoyyim 2/165.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid halaman 79.
[4]
Ibid halaman 80.
[5] Surat An Nahl: 116-117.
[6] Adabul
Muftii wal Mustaftii halaman 85.