Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Kitab ini pantas untuk kita kaji dan pelajari dengan seksama karena merupakan peninggalan bersejarah ilmu-ilmu Islam dan berisikan pedoman-pedoman untuk seseorang berpijak padanya dalam memahami agama Islam yang mulia ini,maka disini akan dipaparkan sebagian dari hal-hal yang berhubungan dengan kitab tersebut dengan ringkas yang diambil dari pembahasan yang disampaikan syeikh Muhammad bin Hadi Al Madkholi dalam materi Kutub As Sunnah di Universitas Islam Madinah ynag pernah didengar oleh penyusun dengan penambahan-penambahan dari penyusun sendiri.mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Kemudian pembahasan ini disusun dengan sub-sub pembahasan sebagai berikut:
1. Nama Kitab Atau Judul Kitab
Judul kitab adalah As Sunan,demikianlah dinamakan oleh pengarang dan penyusunnya,ketika beliau berkata di kitab Risalah Ila Ahli Makkah:"Sesungguhnya kalian telah meminta aku untuk menjelaskan kepada kalian hadits-hadits yang terdapat pada kitab As Sunan".
2. Susunannya
Beliau susun kitab ini menurut susunan bab-bab fiqh,karena As Sunan menurut istilah ahli hadits adalah kitab-kitab yang disusun menurut bab-bab fiqih.Maka tidak didapat di dalam kitab ini pembahasan tentang kezuhudan,sifat-sifat syurga dan neraka,dan lain-lainnya,kecuali beliau tambahkan dalam kitabnya ini satu kitab yang membahas tentang masalah aqidah di akhir kitabnya ini.
3. Sebab-Sebab Penulisan
Tentang hal ini telah beliau jelaskan bahwa itu dalam rangka mengumpulkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum syari'at yang diambil sebagai dalil oleh para ahli fiqih dalam menyusun hukum-hukum fiqih.
Berkata Abu Daud dalam Risalahnya kepada Ahli Makkah:"Tidaklah aku menyusun (mengumpulkan)dalam kitab As Sunan kecuali hadits-hadits hukum,dan tidak aku masukkan kitab zuhud dan fadhooil amal padanya". (Risalah Abi Daud Ila Ahli Makkah halaman 33).
4. Manhaj Beliau Didalam Kitab Ini.
- Beliau tidak memberi pengantar (muqaddimah) bagi kitabnya ini dengan sesuatu yang bisa menjelaskan manhaj beliau di sini.ini karena telah menjadi kebiasaan para pendahulunya dari para imam-imam yang mengarang kitab-kitab hadits,tetapi beliau menulis Risalah Ila Ahli Makkah yang menjelaskan manhaj beliau dalam kitabnya ini dan dia merupakan satu muqadimah yang menggantikan muqaddimah kitabnya ini.
- Kemudian beliau menyusunnya menurut bab-bab fiqhiyah dan kitab-kitabnya juga demikian dimulai dengan kitab Ath Thoharoh dan jumlah kitab-kitab tersebut 35 kitab dan setiap kitab terdiri dari beberapa bab,dan terkadang terbagi bab-bab tersebut menjadi beberapa sub bab serta merincinya jika beliau anggap perlu,seperti pembagian bab-bab Ruku' dan Sujud menjadi 56 bab atau pembagian bab-bab Jum'at menjadi 63 bab.
- Kemudian bab-bab tersebut berbeda-beda,adakalanya banyak haditsnya dan adakalanya sedikit dan terkadang beliau memanjangkan pembahasan dalam satu kitab dan meringkas yang lainnya sampai-sampai terkadang tidak memasukkan dalam satu bab kecuali satu hadits atau atau dua hadits saja,sebagaimana yang beliau jelaskan hal itu dalam Risalah nya kepada Ahli Makkah.
Beliau berkata:
Dan tidaklah aku tulis dalam satru bab,kecuali satu hadits atau dua ,walaupun terdapat dalam bab hadits-hadits shohih,karena (pemuatan semua iti) cukup banyak,dan aku hanya ingin memudahkan pemanfaatanya saja (halaman 24).
- Tidaklah beliau mengulangi satu hadits dalam bab kecual karena adanya faedah yang mengharuskan pengulangannya karena adalah tambahan ucapan dalam hadits,walaupun hanya satu kalimat dengan syarat tambahan itu mengandung faedah.(lihat Risalah Ila Ahli Makkah halaman 25).
- Beliau meringkas hadits-hadits yang panjang dengan menyebut tempat yang berkenaan dari hadits yang sesuai dengan bab yang beliau susun,dan ini menunjukkan kesungguhan beliau yang amat sangat dalam memberikan manfaat dari kitab ini kepada para pembacanya
Dan ringkasan hadits ini berbeda-beda, adakalanya beliau menyebut satu hadits dalam bab kemudioan beliau sertai hadits lain dengan mengatakan: bima'na (yang semakna dengan itu) ,dan kalimat ini mencukupkan dia dari mengulang lafsdz hadits secara keseluruhan,dan ini menunjukan ketelitian beliau dalam memasukkan hadits-hadits di dalam kitabnya,karena hal itu memberikan faedah bahwa disana ada perbedaan lafadz dari dua periwayatan atau lebih yang mengandung makna satu.(lihat Risalah Ila Ahli Makkah halaman 25)
- Sesungguhnya beliau jika menemui dua riwayat atau lebih dan disana ada perbedaan lafadz berupa tambahan lafadz pada sebagiannya,maka beliau akan menuliskan hadits yang pertama dengan sanadnya dan lafadznya secara lengkap kemudian menyebut sanad hadits yang lainnya dan menyebut tambahan lafadznya sajadan ini banyak dilakukan dalam kitabnya ini.sebagai contoh:
(Hadits No:111,112,113 dan 114 dalam kitab Thoharoh bab sifat wudu' Rasululloh hal :1/81-83).
111. Berkata Abu Daud: Telah menceritakan kepad kami Musaddad,beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Awaanah dari Kholid bin Alqomah dari Abdun Khoir,dia berkata: Telah datang kepada kami Ali dalam keadaan sudah menunaikan sholat, lalu beliau meinta air uantuk bersuci,maka kami berkata:apa yang akan beliau perbuat dengan air tersebut,sedangkan beliau telah sholat? Tidaklah beliau inginkan kecuali untuk mengajarkan kita,lalu dibawakan satu bejana berisi air dan gayung, lalu beliau menuangkan air ketangan kanannya dan mencuci kedua tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukan air kehidung tiga kali, dalam keadaan berkumur dan memasukkan air kehidung dengan telapak tangan yang dipakai untuk mengambil air, kemudian membasuh muka tiga kali,lalu mencuci tangan kanannya tiga kali dan tangan kirinya tiga kali, kemudian memasukkan tangannya kebejana,lalu mengusap kepalanya sekali saja, kemudian mencuci kaki kanannya tiga kali dan kaki kirinya tiga kali, kemudian berkata: Barang siapa yang suka mengetahui sifat wudu' Nabi ,maka dia adalah ini.
112. Berkata Abu Daud: Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Halwany, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Ali Al Ju'fy dari Zaaidah,dia berkata:telah menceritakan kepada kami Kholid bin Alqomah Al Hamadany dari Abdun Khoir, beliau berkata : Telah sholat Ali sholat ghodah, kemudian masuk ke Rohbah (satu tempat di Kufah) lalu meminta ai,maka datanglah seorang budak membawa bejana berisi air dan gayung, berkata (Abdun Khoir):lalu beliau mengambil bejana dengan tangan kanannya dan menumpahkannya ketangan kirinya dan mencuci kedua telapak tangannya tiga kali kemudian memasukkan tangan kanannya ke bejana lalu berkumur-kumur tiga kali, kemudian dia (Zaidah) menyebutkan lafadz hadits yang hampir sama dengan hadits Abi 'Awaanah, lalu berkata: kemudian mengusap kepalanya bagian depan dan belakangnya sekali saja,-lalu menyebutkan lafadz hadits  dengan semisalnya(hadits Abi 'Awaanah).
113. Beliau berkata : telah menceritakan kepada kami  Muhammad bin al-Mutsana ,beliau berkata telah menceriterakan kepadaku Muhammad bin Ja'far, beliau menceritakan kepada kami Syu'bah, beliau berkata aku telah mendengar Malik bin 'Urfuthoh beliau berkata : Saya telah mendengar 'Abdul khoir berkata : Aku telah melihat 'Ali diberi kursi lalu duduk diatasnya kemudian didatangkan sejenis ceret berisi air lalu mrncuci tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur bersamaan dengan memasukan air kehidung dengan air yang sama (satu air) dan menyebut hadits,
114. Berkata : telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin Abi Syaibah bekiau berkata telah mmenceritakan kepada kami Abu Nu'aim beliau berkata telah menceritakan kepada kami Robiah al-Kinany dari al-Minhaal bin 'Amr dari Zarri bin hubaisy bahwasanya dia mendengar Ali ditanya tentang wudlu Rasulullah lalu dia mencerittakan hadits tersebut, dan berkata : dan Beliau mengusap kepalanya sampai tidak menetes (air dari kepala) dan mencuci kedua kakinya tiga kali-tiga kali kemudian berkata: 'demikianlah wudlu Rasulullah'

- Beliau akan menjelaskan kalau yang meringkas riwayat adalah orang lain, dan kalau dari dirinya, maka beliau akan diam, contohnya, hadits nomor 49 pada bab Bagaimana bersiwak, beliau berkata :
Berkata Musadad : hadits ini asalnya hadits yang panjang tetapi aku meringkaskannya (1/42)
- Demikian juga beliau memiliki ta'liq - ta'liq (komentar) atas matan-matan, (lafazh-lafazh hadits) kalau diperlukan dan kebanyakan dari ta'liq (komentar) beliau itu pendek (ringkas) dan jarang sekali berkomentar panjang lebar, contoh komentarnya yang panjang adalah komentar beliau dalam kitab thaharah bab orang yang berkata : Dia (mustahadlah) mandi dari bersuci sampai bersuci lagi. Hadits nomor 300 (1/210 - 211)
Berkata Abu Daud : dan hadits Adi bin Tsabit dan Al 'amasy dari Habib dan Ayub Abil 'Alaa' semuanya lemah lagi tedak shohih,dan yang menunjukkan kelemahan hadits Al 'Amasy dari Jabibn adalah hadits ini yang diwaqafkan{sanadnya hanya sampai shohabat(pent.)}Hafsh bin Ghiyats dari Al 'Amasy dan Hafsh bin Ghiyats mengingkari bahwa hadits ini marfu'{sanadnya sampai Rasululloh (pent.)} dan mewaqafkannya juga Asbaath dari Al 'Amasy secara mauquf dari 'Aisyah.
Berkata Abu Daud: dan meriwayatkannya juga Ibnu Daud dari Al 'Amasy secara marfu' awal nya(lafadznya) dan mengingkari lafadz yang ada (keterangan) wudu setiap kali sholat,dan menunjukkan kelamahan hadits Habib ini adalah riwayat Zuhry dari Urwah dari 'Aisyah,beliau berkata:
Maka dia mandi untuk setiap sholat dalam hadits al mustahadhoh.
Dan Abu Al Yaqdzon meriwayatkan dari 'Adi bin Tsabit dari bapaknya dari Ali dan 'Ammaar maula Bani Hasyim dari Ibnu Abbas  ,demikian juga meriwayatkan Abdul Malik bin Maisaroh,Bayaan al  ‎Mughiroh,Firas dan Mujalid dari As Sya'by dari Qumair dari 'Aisyah dengan lafadz:"Berwudu'lah engkau setiap kali sholat".dan riwayat Daud dan 'Ashim dari Sya'by dari Qumair dari 'Aisyah dengan lafidz:"Dia mandi setiap kali sholat".dan riwayat Hisyam bin Urwah dari bapaknya dengan lafadz:"Orang yang mustahadhoh berwudu' pada setiap sholat" Dan hadits-hadits ini semuanya lemah kecuali hadits Qumair dan hadits 'Ammaar maula Bani Hasyim serta hadits Hisyam bin Urwah dari bapaknya, yang terkenal dari Ibnu Abaas adalah mandi
- Demikian juga beliau memiliki kritik ditengah-tengah periwayatannya terhadap hadits-hadits atas rijal (rawi-rawi) kalau dibutuhkan, baik berupa pengenalan terhadap rawi seperti dalam hadits nomor 1067, beliau berkata :
Thariq bin Syihab melihat Nabi dan belum mendengar darinya sesuatu apapun (hadits) atau mengenalkan rawi secara terperinci seperti dalam hadits 2496,
Beliau berkata :Al Qo'nab adalah seorang yang sholeh,lalu Ibnu Abi Laila menginginkannya untukmemegang jabatan Qadhi ,lalu beliau menolaknya dan berkat: saya kalau menginginkan untuk memenuhi hajat saya yang satu dirham mesti saya minta tolong kepada seseorang.(bagaimana saya bisa memegang jabatan tersebut) Maka dijawab oleh Ibnu Abi Laila:siapakah diantara kita yang tidak meminta bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya? Maka beliau(Al Qo'nab) berkata: Izinkanlah saya keluar (dari majlis) sampai saya berfikir tentang hal tersebut". lalu dikeluarkan dan beliau bersembunyi.Berkata Sufyan:Ketika beliau bersembunyi (di rumah) tiba-tiba rumahnya runtuh menimpanya dan kemudian beliau wafat (3/18).
atau menjelaskan pemilik satu kunyah,sebagaimana dalam hadits 2529 (3/39),yaitu hadits Ibnu 'Amr dalam kitab jihad dan disanadnya ada Abul Abbas,
Berkata Abu Daud:
Abul Abas ini -penyair- namanya As Saaib bin Faruuj.
Atau untuk menjelaskan nisbahnya perawi,misalnya pada nisbah Abil Misbah Al Muqry.
Beliau berkata :Al Miqra' adalah qobilah (suku) dari bangsa Himyar.
Atau untuk menjelaskan negrinya seorang perawi,misalnya hadits 672 tentang negeri Ja'far bin Yahya bin Tsauban.
Berkata beliau:Ja'far bin Yahya dari ahli Makkah.(3/435).
Dan terkadang pembicaraannya (komentarnya) dalam membenarkan nama rowi dan nasabnya atau kunyahnya seperti yang terjadi pada hadits yang masyhur dari Ummu Darda' dari Nabi :
Seorang syahid dapat memberi syafaat 70 orang keluarganya.(kitab jihad bab Fis Ssyahid Yasyfa' No:2522 hal:3/34).
Dan disanadnya ada Al Walid bin Rabaah,beliau berkata: yang benar adalah Rabaah bin Al Walid.
Adakalanya komentar beliau dalam jarah dan tadil dan ini banyak,sebagai contoh :komentar beliau pada Abaan bin Thoriq dalam hadits Ibnu Umar yang marfu':
Barang siapa yang diundang dan tidak menjawab (undangan tersebut) maka telah bermaksiat kepada Allah dan Rasulnya dan barang siapa yang masuk (menghadirinya) tanpa diundang  maka dia masuk dalam keadan sebagai pencuri dan keluar dalam keadaan sebagai .
Berkata Abu Daud: Terdapat padanya Abaan bin Thoriq dan dia itu majhul.
5. Syarat Abu Daud Dalam Kitabnya.
Imam Abu Daud tidak mensyaratkan dalam As Sunan bahwa dia tidak mengeluarkan kecuali hadits-hadits shohih dan beliau hanya mensyaratkan untuk mengeluarkan dalam kitabnya ini hadits-hadits yang shohih,hasan dan lemah yang boleh diamalkan (dhoif yang bisa naik kederajat hasan lighoirihi),atau membawakan hadits yang sangat lemah (dho'if) tetapi konsekwen untuk menjelaskannya.
Berkata Abu Daud dalam Risalahnya kepada Ahli Makkah (hal: 25).
Dan tidak terdapat dalam kitab As Sunan yang aku susun dari seorang (perawi) yang matruk hadits sedikitpun dan jika terdapat hadits mungkar aku jelaskan bahwasanya itu mungkar dan tidak terdapat yang seperti itu dalam bab selain dia.
Dan berkata juga: Dan apa yang ada dikitabku ini dari cacat yang sangat,saya akan jelaskan dan yang tidak saya sebutkan (jelaskan) padanya sesuatu apapun,maka dia sholeh,dan sebagiannya lebih absah dari yang lainnya.
Maka dapat kita ambil kesimpulan dari perkataan-perkataan Abu Daud beberapa point penting,diantaranya:
1. Diatidak hanya membawakan hadits-hadits yang shohih saja,bahkan yang lainnya juga beliau masukkan kecuali hadits palsu,maka beliau tidak memasukkannya dalam kitabnya ini.
2. Hadits dho'if (lemah) terbagi menjadi dua :
  • yang memiliki cacat yang sangat, maka ini dia jelaskan dan tidak mendiamkannya.
  • yang ada cacatnya dan kelemahannya ada kemungkinan naik menjadi hadits hasan,maka beliau mendiamkannya,sebagaimana terpahami dari perkataan beliau,dan demikian juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam An Nukat 'Ala Ibnu Sholah (1/435).
3. Beliau tidak memasukkan hadits dho'if yang ada kemungkinan bisa naik ke derajat hasan kecuali dalam keadaan terdesak dan ketidak adaan hadits di dalam bab selainnya.

Hiruk pikuk demokrasi telah mengilhami banyaknya demonstrasi disana-sini. Penguasapun dicela, dihina bahkan digulingkan. Atas nama demokrasi hal itu diperbolehkan. Ironisnya, pencelaan terhadap penguasa terdengar sampai di atas mimbar-mimbar masjid.

Demikiankah Islam mengajari kita didalam menghadapi penguasa yang dhalim dan berbuat KKN ? Dari Islamkah demokrasi dan demonstrasi itu ?

Sesungguhnya sebaik-baik kalam adalah Kalam Allah, dan sebaik baik petunjuk adalah adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Sumber-sumber pengambilan ilmu menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wahyu, nash-nash Al Qur-an dan As Sunnah menurut pemahaman para salaf ash shalih. Adapun para ahli bid'ah, mereka memiliki sumber-sumber pengambilan ilmu yang banyak sekali, dan bahwasanya boleh bagi setiap orang untuk mengambil dalil dengan dalil-dalil yang asing dari Al Kitab dan Sunnah, dengan metode yang aneh dalam pemahaman ataupun pengambilan dalil. Oleh karenanya muncullah beberapa pendapat yang besar dari para ahlil bid'ah yang menyelisihi ruh syari'ah dan menyelisihi timbangan wahyu yang tetap.

1. Akal
Akal dalam syara' adalah sandaran taklif (pembebanan), dan yang dimaksud dengan akal disini adalah berfikir dengan akal yang biasa, yang dilakukan dengan mudah bagi orang-orang awam dan orang-orang yang tidak memahami ilmu kalam, ilmu filsafat dan ilmu mantiq. Oleh karenanya di dalam kitab Allah terdapat dalil-dalil aqliyah tentang hari pembangkitan, tauhid uluhiyah, nubuwwah dan lain-lain.

Akal sehat yang bebas dari pengaruh nafsu dan syubhat tidak akan bertentangan dengan dalil-dalil naqli yang shahih dalam keadaan bagaimanapun juga. Dan syara' tidak datang membawa sesuatu yang ditolah oleh akal, walaupun terkadang syara' datang membawa sesuatu yang tidak difahami oleh akal. Demikian itu disebabkan karena pencipta akal adalah Allah dan yang menurunkan wahyu adalah Allah juga dan Dia telah menjadikan akal sesuai dengan wahyu.

Perumpamaan yang sangat bagus dalam kedudukan akal dengan wahyu adalah:
Sesungguhnya akal ibarat mata dan wahyu ibarat cahaya. Jika tidak ada cahaya maka mata tidak akan bisa melihat apapun selamanya, sehingga di saat itu mata tidak berguna sama sekali. Begitu juga jika tidak ada mata, maka cahaya tidak dapat digunakan sama sekali.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak pernah mengingkari orang yang (berpegang dengan akal) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, akan tetapi mereka mengingkari sikap mendahulukan akal daripada nash-nash wahyu, mempergunakannya bukan pada tempatnya, yaitu hal-hal yang hakekatnya hanya diketahui oleh Allah. Ahlus Sunnah juga mengingkari sikap menjadikan akal sebagai sumber pengambilan ilmu.
Dari sini diketahui bahawa ahli bid'ah dari kalangan ahli ilmu kalam mengucapkan kata "akal" maka mereka tidak menginginkan dengan kata itu akal yang sudah diketahui umum, akan tetapi yang mereka inginkan adalah kebodohan-kebodohan ilmu kalam yang diistilahkan dengan Qawati'ul Aqliyah (hukum-hukum akal yang pasti). Kemudian setelah itu, mereka menganggap tidak ada apa-apa untuk menyimpangkan nash-nash agama dan petunjuk-petunjuk berdasarkan lafadz-lafadz (dari Al Qur-an dan Sunnah) dengan tahrif (merobah makna dan lafadz) dan ta'wil (memberikan makna yang berbeda dengan makna zhahirnya) untuk menyesuaikan dengan apa yang mereka namakan akal menurut anggapan mereka.
Firqah (golongan) yang pertama kali menjadikan akal sebagai sumber ilmu adalah Jahmiyah, kemudian nampak lebih jelas bentuknya pada kaum Mu'tazilah. Kemudian Asy'ariyah dan Maturidy mengikuti Jahmiyah dan Mu'tazilah.
Sikap mereka menjadikan akal sebagai sumber pengambilan ilmu itu disebabkan oleh dua hal:
  1. Penerjemahan buku-buku Yunani pada masa pemerintahan Ma'mun dan pada masa-masa setelahnya yang mengkultuskan akal dan mengagung-agungkannya.
  2. Munculnya ilmu kalam, yaitu pada saat munculnya firqah-firqah, ketika sebagian dari kaum muslimin membantah dengan metode/cara musuh itu sendiri. Dengan berlangsungnya perbantahan itu muncullah apa yang disebut dengan ilmu kalam. Dari sinilah akal menjadi sumber pengambilan ilmu yang terpercaya pada sebagian kelompok. Adapun dalil syar'i terkadang dipakai untuk menguatkan, bukan sebagai sandaran.
Saya akan menukilkan dua contoh yang akan memperjelas kepada pembaca tentang apa yang telah dijelaskan di atas:
1. Al Qadhi Abdul Jabar Al Mu'tazily berkata: Jika dalil aqli telah mencegah sesuatu, kemudian apabila ada zhahir dalil sam'i (wahyu) yang bertentangan dengannya, maka dalil sam'i tersebut hendaklah di ta'wilkan (diberi arti lain), karena Allah yang telah menjadikan dalil-dalil sam'i juga telah menjadikan dalil-dalil aqli, sehingga tidak boleh ada pertentangan padanya. (Al Mughni Fii Abwabil Adl wat Tauhid, 13/280).
2. Ar Razy Al Asy'ary berkata dalam kitabnya Asasut Taqdis (168-173): Jika bertentangan dalil sam'i dengan akal atau dalil aqli dengan naqli atau zhahir naqli dengan hukum akal, atau ungkapan yang sejenis maka:
  • Kemungkinan (pertama) dicari jalan temu antara keduanya, tetapi itu adalah suatu yang mustahil karena tidak bisa mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan.
  • Atau ditolak keduanya.
  • Atau kemungkinan dalil sam'i didahulukan, tetapi ini juga mustahil karena akal adalah dasar dari dalil naqli, kalau kita mendahulukan dalil naqli atau dalil aqli maka itu adalah celaan pada akal yang merupakan dasar dalil naqli. Dan cela pada dasar sesuatu adalah cela pada sesuatu itu sendiri, maka mendahulukan dalil naqli atas akal adalah cela pada keduanya.
  • Maka wajib mendahulukan akal. Sedangkan dalil naqlinya bisa dita'wilkan atau bisa ditinggalkan, atau jika memang keduanya bertentangan sama sekali, dan tidak bisa digabungkan maka bisa ditinggalkan kedua-duanya.
Maka di saat ada orang yang mengatakan bahwa akal adalah sumber pengambilan ilmu dalam masalah aqidah, jadilah kedudukan nash-nash syar'i menjadi lemah pada mereka. Sehingga ada yang mengatakan: Dalil-dalil lafadz itu tidak memberikan keyakinan. Dan dia menolak hadits ahad dengan alasan masih bersifat zhanni. Ada juga di antara mereka yang mengatakan: Beramal dengan dzahir-dzahir lafadz termasuk pokok-pokok kekafiran.

2. Ilmu Kasyf
Ilmu kasf menurut orang-orang tasawuf adalah ilmu yang diterima secara yakin, yang didahulukan atas ilmu-ilmu syara'. Padahal kasyf adalah bisikan-bisikan jiwa, sehingga kadang ada kebenaran dan kebatilan padanya, sebagian ada yang dari syetan dan sebagian lagi ada yang dari hawa nafsu. Meskipun demikian orang-orang ahli tasawuf menganggap bisikan-bisikan itu sebagai sumber pengambilan ilmu ma'rifat dan agama.
Mereka mengatakan kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah: "Kalian, sanad kalian dari orang yang telah mati, kami mengambilnya langsung dari Rabbul Alamin." Mereka juga mengatakan: "Hatiku telah membisikiku dari Rabbku."
Mereka mendahulukan kasyf daripada Al Kitab dan As Sunnah. Menurut mereka kasyf itu akan terjadi dengan mujahadah nafsiyah dan berkhalwat dan mengkonsentrasikan tekad untuk berzikir dengan zikir yang bid'ah bahkan terkadang termasuk syirik.
Padahal ilmu kasyf tidak ada kaitan dan hubungannya dengan Al Kitab dan As Sunnah. Dan para ahli tasawuf tidak mengharuskan adanya hubungan antara kasyf dengan Al Kitab dan As Sunnah, apalagi menjadikan wahyu sebagai hakim (penentu) atas perasaan dan kasyf. ini bukanlah cara Rasulullah dan para sahabat dalam mengambil ilmu ma'rifat dan keimanan.
Tidak diragukan lagi bahwa kebersihan dan kesucian jiwa itu akan menambah ilmu dan ma'rifat. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah pembersihan dan penyucian jiwa degnancara Ahlus Sunnah wal Jama'ah yaitu cara yang syar'i. Adapun metode orang-orang tasawuf sangat jauh dari cara Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam pembersihan jiwa.
Abu Hamid Al Ghazali mengatakan: "Ilmu kasyf itu adalah ungkapan dari cahaya yang muncul di dalam hati ketika hati itu bersih dan suci dari sifat-sifat yang tercela, dan banyak hal-hal yang tersingkap oleh sebab adanya cahaya itu, sehingga akan terjadi ma'rifat dengan sebenarnya terhadap Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya yang kekal, bisa mengetahui makna nubuwah dan Nabi, makna wahyu, bisa mengetahui cara muncul para malaikat kepada para nabi, cara sampainya wahyu kepada mereka dan bisa mengetahui kerajaan langit-langit dan bumi." (Ihya' Ulumuddin 1/18).
Saya akan menghadirkan beberapa contoh kasyf orang-orang tasawuf, sehingga bisa diketahui prakteknya:
Al Jily telah menyebutkan di dalam kitabnya Al Insanul Kaamil (II/97) bahwasanya telah dibukakan baginya tabir sehingga ia bisa melihat alam bagian bawah dan atasnya, ia bisa melihat para malaikat seluruhnya, dan ia dipindah-pindah dari satu langit ke langit yang lainnya. Dia berkata: "Pada masyhad (jenjang, tingkatan menurut ahli tasawuf) ini berkumpulnya para nabi dan wali, aku berdiri di tempat itu, maka saya melihat semua para rasul dan nabi-nabi, para wali dan malaikat yang tinggi dan malaikan muqarrabin (yang dekat dengan Allah) dan malaikat taskhir (yang bertugas mengatur alam), dan dibukakan bagiku hakekat banyak dari sejak zaman azaly sampai selama-lamanya."
Cobalah anda renungkan kekafiran yang jelas ini, dari seorang yang mengaku wali, dia (mengaku) telah bisa mencapai tingkat ketinggian para nabi, mengetahui hal-hal yang ghaib dan mengetahui keadaan segala sesuatu dengan kasyf, sesuatu yang belum tercapai bagi Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan bagi para tokoh umat Islam.
Tidaklah anda perhatikan wahai para pembaca bagaimana kasyf menjadi sumber pengambilan ilmu menurut para orang tasawuf tersebut.
Dengan kasyf ala sufi (menurut anggapan mereka) manusia bisa membedakan hadits yang shahih dengan hadits dhaif walaupun ia tidak bisa membaca dan menulis.
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah penghancuran terhadap pilar-pilar agama dan pengrusakan terhadap ajaran-ajaran syari'at. kalau memang demikian, kenapa para ulama bersusah payah untuk mencari ilmu hadits dan melakukan perjalanan karenanya?
Adapun mencari ilmu agama dan membaca Al Qur-an dianggap oleh orang-orang tasawuf sebagai tujuan-tujuan dunia yang seharusnya dijauhi.
Al Ghazali berkomentar tentang apa yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang mencapai derajat kasyf: "Dan hendaklah ia duduk dengan hati yang kosong dan niat yang terpusat. Dan janganlah ia kacaukan pikirannya dengan bacaan Al Qur-an, merenungi tafsir atau menulis hadits serta yang lainnya" (Al Ghazali wat Tashawwuf, 194).
Dia juga mengatakan tentang kasyf: "Orang-orang yang mendapatkan taufiq adalah orang-orang yang mengetahui banyak hal dengan cahaya ilahi, bukan dengan sama' (dalil-dalil agama). Mereka menetapkan apa yang sesuai dengan apa yang mereka lihat dan mereka menakwilkan apa yang tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat." (Ihya Ulumuddin I/104).
Dan dia berkata tentang dalil-dalil syar'i: "Barangsiapa yang mengambil ilmu tentang sesuatu hanya dari dalil syari'at, maka kakinya tidak akan berpijak dengan mantap, dan sikapnya tidak akan jelas."
Dengan demikian jelaslah bagi kita tentang sikap orang-orang ahlu tasawwuf yang menjadikan kasyf sebagai sumber pengambilan ilmu.

3. Madzhab
Tidak memperhatikan dalil-dalil syar'i dan ta-ashub (fanatik) terhadap pendapat-pendapat orang adalah termasuk perangai kebodohan dan lemahnya ilmu, yang menimpa banyak manusia. Sehingga mata hati menjadi buta dan akal menjadi tertutup, dia tidak menganggap sesuatu itu baik dan benar kecuali apa yang dianggap baik dan benar oleh imam (tokoh/pemimpin). Inilah yang telah terjadi pada orang-orang yang taklid buta terhadap madzhab.
Sesungguhnya hakekat taklid yang mereka lakukan kepada imam-imam mereka adalah ketaatan yang mutlak kepada imam atau kelompok meskipun kebenaran itu telah nyata dan dalilnya kuat.
Penyebab ini semua adalah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang yang memiliki keutamaan, yang hal itu termasuk sarana menuju kebatilan. Dan di antara senjata tajam untuk membela sikap ghuluw ini adalah sikap fanatik yang menuduh -kepada setiap orang yang berusaha untuk mengembalikannya kepada kebenaran- dengan tuduhan "membenci dan memusuhi orang-orang yang memiliki keutamaan tadi". Padahal para imam telah memeperingatkan para pengikut mereka dari bertaklid kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk mengambil hadits dan sunnah sebagaimana para imam itu.
Telah datang riwayat dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bahwasanya mereka mengatakan, "Jika hadits itu shahih maka itulah madzhab (pendapat)-ku."
Dan mereka juga berkata, "Tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama ia tidak tahu dari mana kami mengambil pendapat itu."
Mereka juga berkata, "Barangsiapa menolak hadits Rasulullah maka ia berada di tepi jurang kehancuran."
Meskipun demikian, para mukallid (orang-orang yang bertaqlid) kepada madzhab tidak memahami hal itu, bahkan mereka mengambil perkataan-perkataan para imam, fanatik kepadanya dan menolak hadits dan sunnah-sunnah. Sehingga mereka menentang nash-nash syari'i dari satu sisi, dan menentang perkataan imam-imam mereka sendiri dari sisi lain. Berarti mereka tidak taat kepada Allah dan juga tidak taat kepada imam mereka sendiri.
Nisywan Al Himayari berkata tentang orang-orang yang fanatik itu:
Jika aku datang membawakan firman Rabb-ku
Dia menjawab dengan membawakan ucapan Yahya dengan cara menentang
Diantara contoh sikap para muqallid yang menjadikan perkataan imam-imam mereka menjadi sumber ilmu adalah sebagai berikut: Sebagian para muqallid yang fanatik berkata:
"Pada dasarnya setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat kawan-kawan kami (madzhab atau kelompok mereka) maka ayat itu difahami sebagai ayat yang mansukh atau ditarjih dan yang lebih utama adalah dita'wilkan sehingga masuk dalam masalah penyesuaian nash."
Sebagian pengikut Abu Hanifah berkata, "Apabilan Isa bin Maryam turun pada masa akhir zaman, maka sesungguhnya beliau akan menghukumi berdasarkan madzhab Abu Hanifah." (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/56).
Dan diantara perbedaan pendapat yang masyhur diantara mereka mengenai bolehkan pengikut Imam Abu Hanifah menikah dengan pengikut Imam Syafi'i, atau sebaliknya? Maka orang yang membolehkan pernikahan itu mengkiaskan pengikut Imam Syafi'i dengan Ahlul Kitab.
Diantara fanatik buta yang dilakukan oleh Muhammad Zahid al Kautsary seorang yang berfaham Jahmiyah dalam aqidah, dan bermadzhab Hanafi adalah celaan yang dia lakukan terhadap tiga ratus imam dan para perawi hadits yang sebagian dari mereka adalah para sahabat seperti Anas bin Malik. Celaan yang dia lakukan itu dikarenakan oleh komentar para ahli hadits dan periwayatan. Oleh karena celaan yang dia lakukan terhadap ratusan para imam dan ulama maka orang yang menyebut al Kautsary sebagai Majnun Abi Hanifah (seorang yang gila terhadap Abu Hanifah) adalah benar. Yang bersikap sama seperti al Kautsary adalah muridnya: Majnun al Kautsary, bahka ia adalah al Kautsary kecil, seorang yang bermadzhab Hanafiyah dan seorang sufi.
Di antara bukti sikap sangat fanatik terhadap madzhab, bahwa sebagian dari pengikut Abu Hanifah memalsukan hadits yaitu:
"Akan datang setelahku seorang lelaki yang bernama Nu'man bin Tsabit yang bergelar Abu Hanifah, sungguh agama Allah dan sunnahku akan hidup dengannya."
Dan lafadz palsu yang lain:
"Dia adalah lentera ummatku."
Setelah ini semua, tidakkah dikatakah bahwa fanatik dan taklid termasuk bid'ah yang paling berbahaya yang akan menghancurkan ummat Islam ini?
Wallahu a'lam bish shawwab
Apakah Perkataan Para Imam Terdahulu Dan Belakang Tentang Rafidhah (Syi'ah)?
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah telah berkata: "Dan sungguh telah sepakat ahli ilmu dalam bidang naqal, riwayat dan sanad, bahwasanya Rafidhah adalah yang paling pendusta dari kalangan kelompok-kelompok (yang sesat), berbohong terdapat dalam diri mereka sudah sejak lama, oleh karena inilah para imam-imam Islam memtitelkan keistimewaan mereka dengan sering (banyak) berdusta.

Asyhab bin Abdul Aziz telah berkata : Imam Malik telah ditanya tentang Rafidhah, maka beliau menjawab : Janganlah kamu berbicara dengan mereka, dan janganlah mengambil riwayat dari mereka, sesungguhnya mereka itu orang-orang yang berdusta (pembohong).

Dan berkata Imam Malik : orang yang mecaci maki para sahabat Rasulullah, maka ia tidak berhak mendapatkan nama, atau tempat di dalam Islam.
Berkata Ibnu Katsir di dalam firman Allah :
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min)". (Al Fath : 29).
"Dari ayat ini, maka Imam Malik menyimpulkan di dalam satu riwayat darinya, dengan mengkafirkan orang-orang rafidhah dimana mereka membenci para sahabat, beliau berkata : "Karena para sahabat menjengkelkan hati mereka (orang-orang rafidhah), barangsiapa yang dijengkeli oleh para sahabat maka ia adalah kafir oleh ayat ini".

Al Qarthubi telah berkata : "Sungguh Imam Malik telah berbuat baik dalam ucapannya dan ia telah benar dalam menafsirkannya, maka barangsiapa mencela seorang saja dari mereka atau mencela riwayatnya maka ia sungguh telah membantah Allah Rabb semesta alam, dan telah menggugurkan syari'at-syari'at kaum muslimin." [1]

Abu Hatim telah berkata : " Telah menceritakan kepada kami Harmalah, ia berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi'i berkata : "Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mudah bersaksi dengan kepalsuan daripada Rafidhah".

Muammil bin Ahab telah berkata : "Saya telah mendengar Yazid bin Harun berkata : "Ditulis (riwayat hadits) dari setiap pelaku bid'ah bila tidak mengajak ke bid'ahnya, kecuali Rafidhah, sesungguhnya mereka itu pendusta."

Dan Muhammad bin Sa'ad Al Ashbahaani telah berkata : "Saya telah mendengar syeikh Syuraik berkata : "Ambillah ilmu itu dari setiap orang yang kamu jumpai kecuali Rafidhah, sesungguhnya mereka membuat-buat (memalsukan) hadits, dan mereka menjadikan hal itu sebagai agama". Syuraik ini adalah Syuraik bin Abdullah Qodhi (hakim) kota Kufah.

Mu'awiyah telah berkata : "Saya telah mendengan Al 'Amasy berkata : Saya menjumpai sekelompok manusia, dan mereka tidaklah menyebutkan tentang mereka (rafidhah) kecuali (digolongkan kepada) orang-orang sangat pembohong", maksudnya (mereka pembohong itu) adalah pengikut AL Mughirah bin Sa'id yang bermadzhab rafidhah lagi pendusta, seperti yang disifati oleh imam Adz Dzahabi. [2]

Syeikhul Islam telah berkata dalam mengomentari apa yang dikatakan oleh para imam salaf : "Dan adapun Rafidhah asal usul bid'ah mereka diambil dari Zindiq dan kufur serta unsur kesengajaan, kebohongan banyak sekali di tengah-tengah mereka, dan mereka mengakui hal itu, dengan mengatakan : Agama kita adalah Taqiyah, yaitu salah seorang dari mereka mengucapkan dengan lidahnya berbeda dengan apa yang ada di hatinya. Dan inilah hakikat kebohongan dan kemunafikan, maka mereka dalam hal itu sebagaimana pepadah : "Ia telah melemparku dengan penyakitnya lalu ia lari". [3]

Berkata Abdullah bin Ahmad bin Hambal : Saya telah bertanya kepada bapakku tentang Rafidhah, maka ia mengatakan : "Yaitu orang-orang yang mencaci maki atau mencela Abu Bakr dan Umar". Dan Imam Ahmad ditanya tentang Abu Bakr dan Umar, maka ia menjawab : Doa'kanlah mereka berdua agar diberi rahmat, dan berlepas dirilah dari orang yang membenci mereka berdua". [4]

Al Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr Al Marwazi, ia berkata : Saya telah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencaci maki Abu Bakr dan Umar serta 'Aisyah, maka ia berkata : "Saya tidak memandangnya di dalam Islam (artinya orang yang mencaci itu telah keluar dari Islam-pent). [5]

Al Khallal meriwayatkan, ia berkata : Saya telah diberi tahu oleh Harb bin Ismail Al Karmaani, ia berkata : Telah bercerita kapada kami Musa bin Harun bin Ziad, ia berkata : saya telah mendengar Al Firyaabi sedangkan seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang orang yang mencaci maki Abu Bakr, ia berkata : Kafir. Lalu ia berkata lagi, apakah disolatkan? Ia berkata: Tidak."

Ibnu Hazam telah berkata : tentang Rafidhah tatkala ia berdebat dengan orang Kristen, dan orang-orang memberikan kepadanya kitab-kitab Rafidhah untuk bantahan terhadapnya (Ibnu Hazam dan berkata) : sesungguhnya Rafidhah bukanlah kaum muslimin, dan perkataan mereka bukanlah argumen terhadap agama, akan tetapi Rafidhah itu hanyalah suatu golongan, mula terjadinya kira-kira duapuluh lima tahun setelah Nabi Wafat, dan permulaannya adalah merespon pangilan orang yang hampir masuk islam dari orang-orang yang dihina Allah. Rafidhah itu adalah kelompok yang berjalan atas jalan ajaran Yahudi dan Nasrani dalam kebohongan dan kekufuran." [6]
Abu Zur'ah Ar Raazi berkata : "Bila kamu melihat seseorang yang mencaci salah seorang dari para sahabat Rasulullah, maka ketahuilah sesungguhnya dia itu Zindiq."

Lajnah Daimah Lil Iftak (Lembaga Tetap untuk Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya dengan satu pertanyaan, dalam pertanyaan itu penanya mengatakan bahwa ia dan sekelompok teman bersamanya berada di perbatasan utara berdekatan dengan cek point negara Iraq. Di sana ada sekelompok penduduk yang bermadzhab Al Ja'fariyah, dan diantara mereka (kelompok penanya) ada orang yang enggan untuk memakan sembelihan penduduk itu, dan diantara mereka ada yang makan, maka kami bertanya: Apakah halal bagi kami untuk memakan sembelihan mereka, ketahuilah sesungguhnya mereka berdoa minta tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta seluruh pemimpin-pemimpin mereka di dalam keadaan sulit dan keadaan lapang ? Lalu Lajnah (lembaga) yang diketuai oleh Syeikh Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baz dan (anggota-anggotanya); Syeikh Abdul Razaq 'Afifi, Syeikh Abdullah bin Ghudayan, dan Syeikh Abdullah bin Qu'uud, semoga Allah memberi pahala kepada mereka semua.

Jawabannya : Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat dan salam semoga dianugerahkan kepada rasul-Nya dan keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya, dan adapun selanjutnya:

Jika permasalahannya seperti yang disebutkan oleh penanya, bahwa sesungguhnya jamaah (kelompok) yang memiliki ajaran Ja'fariyah, mereka berdo'a dan meminta tolong kepada Ali, Hasan dan Husain serta pemimpin-pemimpin mereka, maka mereka itu adalah orang-orang musyrik murtad, kelaur dari agama Islam, semoga Allah melindungi kita dari itu, tidaklah halal memakan sembelihan mereka, karena sembelihan itu adalah bangkai, walaupun mereka menyebut nama Allah saat menyembelihnya." [7]

Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin ditanya, soal itu berbunyi : wahai syeikh yang mulia, di negeri kami terdapat seorang rafidhah (bermadzhab syi'ah rafidhah) bekerja sebagai tukang sembelih, maka ahlusunnah datang kepadanya untuk menyembelih sembelihan mereka, dan begitu juga sebagian rumah makan, bekerja sama dengan orang rafidhah ini, dan dengan rafidhah lainnya yang berprofesi sama, apakah hukumnya bertransaksi atau berkoneksi dengan orang rafidhah ini dan semisalnya? Apakah hukum sembelihannya, apakah sembelihannya halal atau haram, berikanlah kepada kami fatwa, semoga syeikh diberi pahala oleh Allah.
Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh wa ba'du:
Tidaklah halal sembelihan orang rafidhah, dan juga memakan sembelihannya, sesungguhnya orang rafidhah pada umumnya adalah orang-orang musyrik, dimana mereka selalu menyeru Ali bin Abi Thalib di waktu sempit dan lapang, sampai di Arafah dan saat tawaf dan sa'i, mereka juga menyeru anak-anak beliau dan imam-imam mereka seperti yang sering kita dengar dari mereka, perbuatan ini adalah syirik akbar dan keluar dari agama Islam yang berhak dihukum mati atasnya.
Sebagaimana mereka sangat berlebih-lebihan dalam menyifati Ali, mereka menyifati beliau dengan sifat-sifat yang tidak layak kecuali hanya untuk Allah, sebagaimana kita mendengarnya dari mereka di Arafah, dan mereka disebabkan perbuatan itu telah murtad, yang mana mereka telah menjadikannya sebagai Rabb, Sang Pencipta, dan Yang mengatur Alam, Yang mengetahui ghaib, yang menguasai kemudaratan dan manfaat, dan semisal itu.
Dan sebagaimana mereka mencela Al Quran, mereka mendakwakan bawah para sahabat telah merubah, menghilangkan dari Al Quran ayat-ayat yang banyak berhubungan dengan Ahlu Bait dan musuh-musuh mereka, lalu mereka tidak berpedoman kepada Al Quran dan mereka tidak memandangnnya sebagai dalil dan argumen.
Sebagaimana mereka mencela pemuka-pemuka sahabat, seperti tiga orang khalifah rasyidin, dan selain mereka dari orang yang diberi kabar gembira jaminan masuk surga, para umul mukminin (istri-istri rasulullah), para sahabat yang terkenal, seperti Anas, Jabir, Abu Hurairah dan semisalnya, maka mereka tidak menerima hadits-hadits para sahabat tersebut, karena mereka itu orang kafir menurut dakwaan mereka, mereka tidak mengamalkan hadits-hadits di Bukhari Muslim kecuali yang berasal dari Ahlu Bait. Mereka bergantung dengan hadits-hadits palsu atau hadits-hadits yang di dalamnya tidak ada bukti atas apa yang mereka katakan. Akan tetapi walaupun demikian, mereka itu adalah bersikap munafik, maka mereka mengucapkan dengan lidah mereka apa yang tidak ada pada hati mereka (yang tidak mereka yakini), mereka menyembunyikan di diri mereka apa yang tidak mereka tampakkan kepadamu, mereka berkata : barangsiapa tidak bersikap taqiyah (nifaq) maka tidak ada agama baginya. Maka dakwaan mereka itu tidak bisa diterima dalam ukhwah persaudaraan, dan dakwaan mereka akan cinta syari'at... dan seterusnya. Sikap nifaq adalah merupakan akidah bagi mereka. Semoga Allah menjaga (kita) dari kejelekan mereka, semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam keada Muhammad, dan keluarga beliau serta para sahabatnya. [8]

--------------------
[1] Ushul Madzhab As Syi'ah Al Imamiyah Al Itsna Asyara, oleh Dr. Nashir AL Qafaari, (3/1250).
[2] Minhaajus Sunnah, oleh Syeikhul Islam Ibnu Timiyah, (1/59-60).
[3] Minhaajus Sunnah, oleh Syeikhul Islam Ibnu Timiyah, (1/68).
[4] Al Masail dan Al Rasail Al Mawiyah 'An Imam Ahmad bin Hambal, oleh Abdul Ilah bin Sulaiman Al Ahmadi, (2/357).
[5] As Sunnah oleh Khalal (3/493). Ini merupakan pernyataan yang jelas dari imam Ahmad dalam menghukum kafir orang Rafidhah.
[6] Al Fashlu Fi Al Milal wa An Nihal, oleh Ibnu Hazam (2/78).
[7] Fatwa Lajnah Daimah Lil Iftak, (2/264).
[8] Fatwa ini keluar dari syeikh setelah dilontarkan kepada beliau suatu soal yang berhubungan dengan sikap bergaul sama orang rafidhah pada tahun 1414 H, dan penyusun ingin menerangkan sekitar apa yang terdengar bahwa syeikh Abdullah AL Jibrin -semoga Allah melindunginya- beliau seorang yang mengkafirkan orang-orang Rafidhah, yang benarnya adalah bawah para imam dari terdahulu sampai belakangan ini mengkafirkan kelompok ini, hal itu disebabkan karena hujjah telah ditegakkan kepada mereka, dan hilangnya uzur kebodohan dari mereka. (Insya Allah penerjemah akan membuat edisi khusus tentang perkataan ulama salaf terhadap rafidhah).
Apakah Keyakinan Orang Rafidhah Tentang Bai`at
Orang Rafidhah menganggap setiap pemerintahan selain pemerintahan Itsna `Asyara (syi`ah Itsna asyarah / Imammiyah / Rafidhah ) adalah pemerintahan yang batil (tidak sah). Diriwayatkan di dalam kitab Al Kaafii dengan syarahan (uraian) Al Mazandaraani dan di dalam kitab Al Ghaibah oleh An Nu`mani, dari Abi Ja`far, ia berkata : Setiap bendera yang diangkat (dikibarkan) sebelum bendera Al Qaaim -Mahdinya orang Rafidhah- maka pemiliknya adalah thoghut [1].

Dan tidak boleh menta`ati seorang hakim yang bukan dari Allah, kecuali dengan cara taqiyah (kemunafikan), penguasa yang absolut dan zholim tidaklah pantas untuk menjadi pemimpin, dan setiap pemimpin yang bersifat yang serupa dengan itu. Seluruhnya gelar itu mereka memberikan nama itu kepada penguasa kaum muslimin yang bukan dari imam-imam mereka, orang paling utama dari mereka itu adalah khulafaurasyidin -semoga Allah meridhoi mereka- yaitu : Abu Bakr, Umar dan Utsman.

Tokoh Rafidhah Al Majlisi, dimana ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang sesat dari mereka, pengarang kitab Bihaarul Anwar, berkata tentang tiga orang khalifah rasyidin : Sesungguhnya mereka tiada lain kecuali perampas yang zholim, murtad dari agama, semoga laknat Allah atas mereka dan terhadap orang-orang yang mengikuti mereka di dalam menzholimi ahlu bait dari pertama sampai terakhir [2]. Inilah yang dikatakan oleh imam mereka Al Majlisi yang kitabnya dikatagorikan ke dalam reffrensi mereka (rujukan) yang pokok dan terpenting dalam hadits mengenai umat yang paling mulia setelah para rasul dan nabi.

Berdasarkan kepada keyakinan mereka terhadap khilifah kaum muslimin, maka mereka menganggap setiap orang yang bekerjasama dengan mereka adalah thoghut dan zholim. Al Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar bin Hanzholah, ia berkata : Saya telah bertanya kepada Abu Abdillah tentang dua orang dari golongan kita, di antara mereka berdua terjadi perselisihan dalam masalah agama atau harta warisan, lalu mereka berdua berhukum (minta diselesaikan secara hukum) kepada penguasa dan kepada hakim, apakah hal itu halal? Ia berkata : barangsiapa berhukum (meminta diselesaikan secara hukum) kepada mereka, dengan kebenaran atau kebatilan, maka sesungguhnya mereka berhukum kepada thoghut, dan apa yang telah diputuskan untuknya sesungguhnya yang ia ambil adalah harta haram, walaupun sebenarnya itu haknya, karena ia telah mengambilnya dengan hukum thoghut [3].

Berkata Khumaini yang celaka -semoga Allah menghukumnya dengan hukum sepantas dan setimpal- dalam mengomentari pembicaraan mereka ini : Imam itu sendiri dilarang untuk merujuk kepada penguasa-penguasa dan hakim-hakim mereka, dan merujuk kepada mereka dikatagorikan merujuk kepada thoghut. [4]

 Apakah Hukum Usaha Mendekatkan Antara Ahli Sunnah Yang Bertauhid Dengan Rafidhah Yang Musyrik?
Saudaraku pembaca yang budiman, saya cukupkan saja dalam masalah ini, dengan mencantumkan tulisan dari tulisan-tulisan DR. Nashir AL Qafari di dalam kitabnya : Masalah At Taqriib, yaitu tulisan yang ke tujuh, dimana beliau berkata -semoga Allah menjaganya :

Bagaimana mungkin mendekatkan antara orang yang mencaci kitab Allah dan menafsirkannya tidak sesuai dengan tafsirannya, dan mendakwakan turunnya kitab-kitab ilahi (wahyu) kepada imam-imamnya setelah Al Quranul Karim?, dan ia memandang keimaman itu adalah kenabian, para imam baginya seperti para nabi dan bahkan lebih mulia, dan ia menafsirkan mengibadati Allah semata yang mana itu adalah inti dari misi (ajaran) para rasul seluruhnya tidak sesuai dengan maknanya yang hakiki, dan mendakwakan bahwa sesungguhnya ibadah itu adalah ta`at kepada para imam. dan sesungguhnya syirik kepada Allah adalah mentaati selain mereka (para imam) bersama mereka, ia mengkafirkan orang-orang yang terbaik dari para sahabat rasulullah, dan mengkliem seluruh para sahabat dengan murtad, kecuali tiga atau empat atau tujuh sesaui dengan perbedaan riwayat mereka. Dan orang ini (orang Syiah) tampil berbeda dengan keganjilan dari jamaah kaum muslimin dengan masalah-masalah akidah dan keyakinan di dalam keimaman, kemaksuman (terjaga dari dosa), taqiyah (kemunafikan), dan mengatakan raj`ah (imam kembali ke dunia), Al qhaibah (menghilangnya As Kaari) dan Al Bada`[5].[6]
[1] Kitab Al Kaafii dengan syarahan (uraian) Al Mazandaraani, dan lihat kitab Al Bihaar (25/113).
[2] Kitab Al Bihaar oleh Al Majlisi (4/385).
[3] Kitab Al Kaafii oleh Al Kulaini (1/67), kitab At Tahdziib (6/301) dan kitab Man Laa Yahsuruhu Al Faqiih : (3/5).
[4] Al Hukumaatul Islamiyah, hal : 74.
[5] Defenisi ini lihat kembali edisi-edisi yang telah berlalu, diantaranya edisi : 2, 6 dan 7.
[6] Masalah At Taqriib DR. Nashir AL Qafari (2/302).
Apa Segi Perbedaan Antara Syi`ah Rafidhah Dengan Ahli Sunnah?
Berkata : Nizhomuddin Muhammad Al `Azhomi di dalam mukaddimah buku Syiah dan Nikah Mut`ah : Sesungguhnya perbedaan antara kita dengan mereka bukanlah terpokus di perbedaan cabang-cabang fikih, seperti masalah nikah mut`ah saja, sama sekali tidak, sesungguhnya perbedaan itu pada dasarnya adalah perbedaan dalam masalah pokok-pokok prinsip, ya.. perbedaan dalam akidah terpokus di beberapa point dibawah ini :

1. Rafidhah mengatakan sesungguhnya Al Quran dirubah (diselewengkan) dan kurang.
Sedangkan kita (Ahli Sunnah) mengatakan : Sesungguhnya Al Quran adalah kalamullah lengkap tanpa ada kekurangan, tidak pernah dan tidak akan dihinggapi oleh penukarbalikan, mengurangan dan perubahan sampai Allah mewariskan bumi ini dan orang-orang yang ada di atasnya (hari Kiamat), sebagaimana Allah berfirman:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. 15:9)
2. Rafidhah mengatakan sesungguhnya para sahabat Rasulullah terkecuali beberapa orang, telah murtad setelah rasulullah wafat, dan mereka berbalik 180 derajat, dan mereka mengkhianati amanah dan agama, terutama tiga orang khalifah; As Shidiq (Abu Bakr), Al Faruq (Umar) dan Dzu Nurain (Utsman), oleh karena itu mereka yang bertiga ini menurut mereka (Rafidhah) adalah termasuk orang yang paling bersangatan kekufuran, kesesatan dan kesalahannya.
Sedangkan kita (Ahli Sunnah) mengatakan sesungguhnya para sahabat Rasulullah adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi, dan sesungguhnya mereka itu adalah adil (istiqomah) seluruhnya, tidak pernah sengaja berdusta atas nabi mereka, mereka orang-orang yang terpercaya dalam menukilkan berita.
3. Rafidhah mengatakan sesungguhnya para imam adalah imam-imam Rafidhah yang dua belas yang ma`shum (terjaga dari dosa), mereka mengetahui hal ghaib, dan mengetahui seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya seluruh bumi ini adalah milik mereka.
Sedangkan kita (Ahli Sunnah) mengatakan, sesungguhnya mereka itu adalah manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, tiada perbedaan antara mereka, diantara imam-imam itu adalah ahli fikih, ulama dan khalifah, dan kita tidak menisbahkan kepada mereka apa yang tidak pernah mereka katakan terhadap diri mereka sendiri, bahkan kita berlepas diri darinya dan mereka pun (para imam) berlepas diri dari hal itu. [1]
Apa Keyakinan Orang Rafidhah Pada Hari Asyura (Sepuluh Muharram) Dan Apa Keutamaannya Menurut Mereka?
Sesungguhnya Rafidhah mengadakan perayaan dan perkumpulan dan ratapan tangis, mereka melakukan demonstrasi di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan umum. Mereka memakai pakaian hitam tanda duka cita dalam memperingati mati syahidnya Husain dengan mengonsentrasikan pada sepuluh hari pertama dari bulan Muharram di setiap tahun, dengan keyakinan sesungguhnya perbuatan itu termasuk dari sebaik-baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka mereka memukul-mukul pipi mereka dengan tangan mereka sendiri, memukul-mukul dada dan punggung mereka. Mereka merobek-robek baju sambil menangis dan berteriak-teriak dengan menyeru : wahai Husain, wahai Husain. Terlebih-lebih pada hari ke sepuluh setiap bulan Muharram, bahkan mereka memukul diri mereka sendiri dengan rantai besi dan pedang, seperti yang terjadi di negeri-negeri yang dihuni oleh Rafidhah seperti Iran.
Dan para ulama mereka mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang bodoh ini dimana hal itu menjadi bahan tawaan semua umat. Sungguh salah seorang dari pembesar mereka yaitu Muhammad Hasan Alu Kasyif al Ghatha, telah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh pengikut golongannya seperti menukul dan menampar wajah…. dst, ia berkata : sesungguhnya ini termasuk dari mengagungkan syiar-syiar Allah : [2]
Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (QS. 22:32)
—————-
[1] Mukaddimah kitab As- Syi`ah wal Mut`ah, oleh Nizhomuddin Muhammad Al `Azhomi, Hal : 6.
[2] Perbuatan yang bodoh dan lucu ini dilakukan mereka setiap tahun. Dan ketahuilah sesungguhnya Nabi telah melarang di dalam hadits yang shahih yang dikeluarkan oleh Muslim dengan no : 103, melarang menampar wajah (pipi) dan merobek baju…, akan tetapi orang Rafidhah -semoga Allah mempermalukan mereka- membuang hadits ini jauh-jauh, karena mereka ini adalah firqah (golongan) yang paling pendusta terhadap Rasulullah.
Apa Keyakinan Orang Rofidhah Terhadap Najaf Dan Karbala? Dan Apa Keutamaan Menziarahinya Menurut Mereka? 
Orang syi'ah sungguh telah menjadikan tempat-tempat perkuburan imam-imam mereka baik imam dakwaan mereka belaka atau hakiki, sebagai tempat yang haram dan suci (seperti maram Makkah) : maka kota Kufah adalah haram, Karbala haram, Qum haram. Dan mereka meriwayatkan dari As Shidiq : "Sesungguhnya Allah memiliki haram yaitu kota Mekkah, dan Rasulullah memilik haram yaitu kota Madinah, dan Amirul mukminin memiliki haram yaitu kota Kufah dan kita memiliki haram yaitu Qum.

Karbala menurut mereka lebih afdhol (utama) dari Ka'bah. Hal ini tercantum dalam kitab "Al Bihaar" dari Abi Abdillah bahwasanya ia berkata : "sesungguhnya Allah telah mewahyukan ke Ka'bah; kalaulah tidak karena tanah Karbala, maka Aku tidak akan mengutamakanmu, dan kalaulah tidak karena orang yang dipeluk oleh bumi Karbala (Husain), maka Aku tidak akan menciptakanmu, dan tidaklah Aku meciptakan rumah yang mana engkau berbangga dengannya, maka tetap dan berdiamlah kamu, dan jadilah kamu sebagai dosa yang rendah, hina, dina, dan tidak congkak dan sombong terhadap bumi Karbala, kalau tidak, pasti Aku telah buang dan lemparkan kamu ke dalam Jahanam. [1]

Dan tercantum juga di dalam kitab "Al Mazaar" karangan Muhammad An Nu'man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, di dalam Bab "Ucapan saat berdiri di atas kuburan" yaitu orang yang menziarahi kuburan Husain mengisyaratkan dengan tangan kanannya sambil mengucapkan doa yang panjang, diantaranya :

"Saya datang berziarahmu, untuk mencari keteguhan kaki di dalam berhijrah kepadamu, dan sungguh saya telah meyakini bahwasanya Allah Jalla Tsanaauhu, dengan lantaranmu Dia melapangkan kesulitan, dan dengan lantaranmu Dia menurunkan Rahmat, dan dengan lantaranmu Dia menahan bumi yang jatuh bersama penduduknya, dengan lantaramu Allah mengokohkan gunung-gunung di atas pondasinya, dan sungguh saya telah menghadap (munajat) kepada Rabbku, bahwa dengan lantaranmu wahai tuanku untuk menyelesaikan hajat kebutuhan dan keampunan dosa-dosaku."

Dan tercantum dalam kitab "Al Mazaar" tentang keutamaan kota Kufah, dari Ja'far Al Shodiiq ia berkata : "Tempat yang paling mulia (utama) setelah haram Allah dan haram rasul-Nya adalah kota Kufah, karena kota Kufah Suci bersih, di sana terdapat kuburan para nabi dan rasul dan ahli wasiat yang jujur, dan di sana terlihat keadilan Allah, dan di sana datang Qaimah (penegak) dan pengegak-penegak setelahnya, Kota Kufah itu tempat turunnya para nabi dan ahli wasiat serta orang-orang yang sholeh [2].

Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka itu jatuh dalam kesyirikan, karena mereka meminta kepada selain Allah dalam menyelesaikan dan memenuhi hajat kebutuhan, meminta dan memohon pengampunan dosa-dosa kepada manusia, bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Allah telah berfirman :
"Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah" (Ali Imran : 135).
Kita berlindung dengan Allah dari perbuatan syirik.


[1] Kitab Al Bihaar : (10/107)
[2] Kitab Al Mazaar, karangan Muhammad An Nu'man yang diberi gelar dengan syeikh Mufid, hal : 99.
Apa Keyakinan At-thiinah (Tanah) Yang Diimani Oleh Orang Rafidhah?
Yang dimaksud dengan at thiinah (tanah) menurut orang Rafidhah adalah tanah perkuburan Husain radhiallhu ‘anhu-. Salah seorang dari orang-orang sesat mereka yang bernama Muhammad An Nu’man Al Haritsi yang bergelar dengan Syeikh Al Mufid, menukilkan di kitabnya Al Mazaar dari Abi Abdillah ia berkata : Di tanah perkuburan Husain terdapat obat untuk segala penyakit dan ia merupakan obat yang paling besar (ampuh).
Berkata Abdullah : Oleskanlah di mulut bayi kalian tanah (perkuburan) Husain

Ia berkata : Telah dikirim kepada Abi Hasan Al Ridha dari negeri Khurasan sebuah bungkusan kain di antaranya terdapat segumpal tanah, maka dikatakan kepada utusan itu : Apa ini? Ia berkata : Tanah perkuburan Husain, tidaklah ia mengirim sedikitpun dari bungkusan kain atau lainnya, kecuali ia meletakkan di dalamnya tanah itu, dan berkata tanah itu pengaman insya Allah. Dikatakan kepadanya : Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Shadiq tentang pengambilannya akan tanah perkuburan Husain, maka Shodiq menjawab : Apa bila kamu mengambilnya maka ucapkanlah : Ya Allah sesungguhnya saya meminta kepadamu disebabkan oleh hak malaikat yang telah mengenggamnya (tanah ini), dan meminta kepadamu, disebabkan oleh hak Nabi yang telah menyimpannya, dan oleh hak Al Washi (Ali) yang telah bersatu di dalamnya agar Engkau melimpahkan Shalawat kepada Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan agar Engkau menjadikannya obat penawar untuk seluruh penyakit, dan pengaman dari seluruh ketakutan, dan penjaga dari seluruh kejahatan.

Abu Abdillah ditanya tentang penggunaan dua jenas tanah dari perkuburan Hamzah dan pekuburan Husain serta mana yang paling utama diantara keduanya, maka ia berkata : Tasbih yang dibuat dari tanah perkuburan Husain akan bertasbih (sendirinya) ditangan, tanpa (pemiliknya) bertasbih. [1]

Sebagaimana orang Rafidhah mendakwakan, sesungguhnya orang syi’ah tercipta dari tanah yang khusus dan orang Sunni tercipta dari tanah yang lain, lalu terjadilah pengadukkan antara kedua tanah tadi dengan cara tertentu, maka apa-apa yang terdapat pada orang syiah dari kemasiatan dan kejahatan, maka itu merupakan pengaruh dari tanah sunni, dan apa-apa yang terdapat pada orang sunni dari kebaikan dan anamah, maka itu disebabkan oleh pengaruh tanah syi`ah. Dan apabila pada hari Kiamat nanti, maka kejelekan dan dosa-dosa orang syi’ah diletakkan di atas Ahli Sunnah, dan kebaikan (pahala) Ahli Sunnah akan diberikan kepada orang syi’ah.[2]

Apa Akidah Orang Rafidhah Terhadap Ahli Sunnah?
Akidah orang Rafidhah berdiri di atas penghalalan harta dan darah ahli sunnah. Al Shoduq di kitab (Al `Ilal) meriwayatkan dengan sanadnya kepada Daud bin Farqad, ia berkata : Saya telah berkata kepada Abi Abdillah : Apa yang anda katakan terhadap An Naashib (Ahli Sunnah), ia berkata : Darahnya halal, akan tetapi saya bertaqiyah atasmu, jika kamu mampu untuk membalikkan dinding atas dirinya (ahli sunnah) atau menenggelamkannya di laut, agar ia tidak akan bersaksi atas dirimu, maka lakukanlah. Saya berkata : Apa pandanganmu di hartanya? Ia menjawab : Ambillah semampumu.[3]
Bahkan orang syi’ah Rafidhah memandang, bahwa kekafiran Ahli Sunnah lebih berat dari kekafiran orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka (Yahudi dan Nasrani) menurut Rafidhah orang-orang kafir asli, dan mereka ini (ahli sunnah) adalah kafir murtad, dan kafir murtad lebih berat menurut ijma’, oleh karena itu mereka (mau) berkerja sama dengan orang-orang kuffar untuk melawan kaum muslimin, hal itu seperti yang disaksikan oleh sejarah.[4].

Terdapat di dalam kitab Wasaail As Syi`ah (diriwayatkan) dari Al Fudhail bin Yasaar, ia berkata : saya telah bertanya kepada Abu Ja`far tentang wanita `Arifah (yakni wanita bermazhab Rafidhah) apakah saya menikahkannya dengan An Nashib (ahli Sunnah)? Maka ia berkata : Tidak; karena Nashiba (ahli sunnah ) orang kafir.[5]

An Nawasib (orang-orang An Nasib) menurut pemahaman Ahli sunnah adalah mereka yang membenci Ali bin Abi Thalib radhiallahu `anhu-, akan tetapi menurut orang Rafidhah, mereka menamakan Ahli sunnah dengan Nawashib (An Nashib), karena mereka mendahulukan keimaman Abu Bakr, dan Umar dan Utsman atas Ali, padahal sesungguhnya mengutamakan Abu Bakr dan Umar atas diri Ali telah terjadi sejak zaman Nabi, dalilnya perkataan Ibnu Umar : Adalah kami di zaman rasulullah memilih di antara sahabat siapa yang terbaik, maka kami memilih (orang yang terbaik) Abu Bakr, kemudian Umar kemudian Utsman. (H.R. Bukhari), dan ditambah oleh At Thabrani di Kitab Mu`jam Al Kabir : Nabi pun mengetahui hal yang demikian dan tidak mengingkarinya. Dan bagi Ibnu Asaakir : Adalah kami mengutamakan Abu Bakr, dan Umar, dan Utsman dan Ali.

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib sesungguhnya ia berkata : Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakr, kemudian Umar, kalau aku berkehendak pasti aku telah menyebutkan orang yang ketiga. Berkata Adz Dzahabi : Ini (Hadits ini) Mutawatir.[6]

[1] Kitab Al Mazaar, oleh syeikh mereka yang bergelar Syeikh Al Mufid hal : 125.
[2] `Ilal-As Syaraai` hal : 490-491, Bihar Al Anwar : 5/247-248.
[3] Al Mahasin An Nafsaaniyah, Hal : 166.
[4] Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Sesungguhnya orang Rafidhah berkerjasama dengan orang-orang Tatar tatkala orang Tatar menyerang negeri kaum Muslimin. (Fatawa : 35/151). Lihatlah kitab :Kaifa Dakhalat Tatar Bilaadal Muslimin (Bagaimana orang Tatar (bisa) masuk ke negeri kaum muslimin) oleh Dr. Sulaiman bin Hamd Al Audah.
[5] Wasaail As Syi`ah, oleh Al Hur Al `Amili (7/431), At Tahdzib (7/303).
[6] At Ta’liiqaat `Ala Matan Lum`atil `Itiqaad, oleh Syeikh kita Al Allamah Abdullah bin Jibrin semoga Allah menjaganya-, hal : 91


Apa Keyakinan Orang Rafidhah Tentang Nikah Mut'ah? Dan Apa Keutamaannya Menurut Mereka?
Nikah mut'ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang Rafidhah -Al'iyaadzu billah-. Tercantum dalam kitab "Manhaj As Shodiqin" karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Shodiq (menerangkan) bahwasanya nikah mut'ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut'ah lebih mulia dari anak istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut'ah adalah kafir murtad." [1]

Al Qummi menukilkan di dalam kitab "Man Laa Yahduruhu Al Faqiih" dari Abdulah bin Sinan dari Abi Abdillah, ia berkata : "Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari sertiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut'ah" [2].

Orang Rafidhah tidak pernah menyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut'ah. Tercantum dalam kitab "Furuu' Al Kafi" dan At Tahdziib" dan "Al Istibshoor" dari Zaraarah, dari Abi Abdillah, ia berkata : "Saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut'ah apakah nikah mut'ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja'far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut'ah : "Bukan nikah mut'ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut'ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan" [3].
Bagaimana mungkin ini, padahal Allah telah berfirman :
Artinya : "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas". (Al Mukminun : 5-7).
Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina -waliyaadzubillah-. Syeikh Abdullah bin Jibriin berkata : "Orang Rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut'ah dengan ayat di surat An Nisa' yaitu firman Allah :
Artinya : "Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;". (An Nisa : 24).
Jawab : Sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman Allah ayat 19 di surat An Nisa sampai 23, setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian Allah berfirman :
Artinya : "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian."
Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka [4]. 
Bahkan di sisi (menurut) orang Rafidhah perkaranya telah sampai menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang anusnya. Tercantum dalam kitab "Al Istibshoor" dari Ali bin Al Hakam ia berkata : "Saya telah mendengar Shofwan berkata : "Saya telah berkata kepada Al Ridha : Sesungguhnya seorang laki-laki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, ia berkata : apa itu? Ia berkata : Apakah boleh bagi laki-laki untuk menyetubuhi wanita (istrinya) di lubang anusnya? Ia menjawab : Ya, hal itu boleh baginya" [5].
 

[1] Manhaj As Shodiqiin, karangan Mulla Fathullah al Kasyaani, hal : 356.
[2] "Man Laa Yahduruhu Al Faqiih", hal : 330.
[3] Al Furuu' min Al Kafii, (2/43), dan kitab " At Tahdziib" (2/188).
[4] Dari perkataan Syeikh Ibnu Jibrin semoga Allah mengangkat darajatnya, adapun dalil dari Sunnah dalam mengharamkan nikah mut'ah adalah hadits Ar Rafi' bin Sirah Al Juhani, sesungguhnya bapaknya menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya ia (bapaknya) bersama rasulullah, maka beliau bersabda : wahai Manusia sesungguhnya saya pernah mengizinkan untuk kalian bersenang-senang dengan perempuan (nikah mut'ah), dan sesungguhnya Allah sungguh telah mengharamkan hal itu (nikah mut'ah) sampai hari Kiamat, barangsiapa yagn memiliki seseorang wanita darinya maka hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan kepadanya." (H.R. Muslim no : 1406).
[5] Al Istibshoor, (3/243).
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir.... satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar... sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini.... akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah  sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka

Oleh karena itu suah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.

Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya,mereka menamainya dengan Aqlaniyah... Modernisasi pemikiran... Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.

1.Definisi Mu'tazilah
1.a.Secara Etimologi
Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan,
1.b.Secara Terminologi Para Ulama
Sedangkan sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.

Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.
2. Perkembangannya.
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah, kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad,akan tetapi pada masa ini mu'tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin bani umayah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Bani Umayah karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu'tazilah dan i'tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan merekapun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.

Dalam hal ini berkata Al Mas'udy :"Yazid bin Al Waali telah bermazhab dengan mazhab Mu'tazilah dan penapat mereka tentang lima pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa'iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu pendapat Manzilah baina Al Manzilatain -dan amar ma'ruf nahi mungkar" dan berkata lagi:"(sehinga Mu'tazilah mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz".
Permusuhan dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazlah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Bani Abasiyah, berkembanglah Mu'tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk mendakwahkan mazhab dan i'tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil bn Atho'.

 Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma'mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma'mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al Ma'mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. 

Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal -dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Mu'tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Bani Abasiyah dari zaman Al Ma'mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte mu'tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:
  1. Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
  2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka'by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid'ah, sebagimana yang dikatakan Al Jaahidz: "dan sesuatu apakah yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-Robb, tidak dapat ditegakkan hujjah-hujah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid'ah serta keanehan dari yang masyhur".

Walaupun mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran. Sebab setiap pemikiran yang tidak diterangi dengan manhaj kitabullah dan Sunnah Nabi dan jalannya para Salaf Ash Sholeh maka akhirnya adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber dan penerangan dari Al Kitab dan Sunnah akan menerangi jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat dan berjalan dengan jalannya para salafus sholeh adalah pengaman dari kesesatan dan penyimpangan karena mereka telah mengambil sumber mazhabnya dari sumber-sumber yang murni dari Al Kitab yang tidak terdapat padanya satu kebathilanpun dan dari As Sunnah yang barang siapa yang berpegang teguh dengannya berarti telah berada pada hujjah yang terang benderang.

Berkata Shodruuddin Ibnu Abil Izzi Al Hanafy dalam mengomentari ahlil kalam yang menta'wil nash-nash Al Kitab dan As sunnah dengan akal-akal mereka,diantaranaya Mu'tazilah:"dan sebab kesesatan mereka adalah berpalingnya mereka dari meneliti kalamullah dan kalam Rasulillah dan menyibukkah diri dengan kalam Yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran yang ada".
Oleh karena itu keutuhan dan kekelanggengan adalah miliknya Ahlissunnah dan kehancuran adalah miliknya Mu'tazilah sebagai aplikasi dari firman Allah :
"Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi". (QS. 13:17)

3.Sebab penamaannya.
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:

Pertama: Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:"wahai imam agama...telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': "saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir". Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : "telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil", dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.

Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka ini:"telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah".

Kedua: Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada Utsman Ath Thowil: "siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Aku jawab:"ya".

Berkata Ibnu Abl Izzy : "dan mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para pengikutnya, mereka dinamakan demikian karena mereka memisahkan diri dari Al Jamaah setelah wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajlis sendiri dan terpisah,sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya:"merekalah Mu'tazilah".

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE