Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

Oleh : Abu Salma bin Rosyid

Kalah hujjah tidak mesti kemudian menerima dakwah salaf, memang begitulah sunnatullah tidak semua manusia yang telah mengenal kebenaran mampu melaksanakan kebenaran yang diketahuinya.
Iblis la’natullah ‘alaihi, dia di surga, mengetahui yang menciptakannya dan yang memerintah adalah Allah ta’ala. Bagaimana sikapnya ketika di suruh bersujud kepada Adam ‘alaihi salam ?
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“. (QS. Albaqoroh ayat 34)
Merasa lebih berilmu dari Penciptanya Iblis mendebat kepada Allah. lbaqSebagaimana firman Allah :
“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS Al A’raaf :12)
Demikian juga ayat berikut :“Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS Shaad : 76)
Demikian juga musuh dakwah salafyah, banyak yang sudah mengetahui pokok-pokok dakwah salafyah, hujjah telah datang kepada sebagian mereka, namun karena nafsu, gengsi, harta, kedudukan dan segala macam yang bersifat rendah dan hina mereka tidak mau mengikuti kebenaran. Lebih dari itu mereka menanamkan di dalam dadanya bahwa dakwah salaf adalah musuh, dakwah salaf harus dirintangi dan kalau mampu dilenyapkan.
Alangkah indah dan berbobot apabila mereka yang tidak suka dengan dakwah ini mengkritik, mendebat, membicarakan prinsip-prinsip dakwah salafyah yang dengan itu metodologi Islam dan kebenaran akan dapat ditemukan.
Namun, mereka tidak lakukan itu, mereka tikam pembawa dakwah ini dengan fitnah dan tuduhan-tudauhan keji yang tidak pantas keluar dari lisan orang yang mengaku ummat manusia paling mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mungkin dia dengan fitnah dan tuduhan keji ini berharp ummat akan lari dari dakwah salafyah. Namun toh Allah menjaga agamanya, dengan keadilanNya Allah lahirkan putra-putra kaum mulimin yang selalu bersifat obyektif dan ilmiah, senantiasa membela kebenaran pembawanya. Kelompok inilah yang bernama Thoifah Al-Manshuroh.
Mereka selalu tampil di depan membela Islam dan tokoh-tokoh Islam yang terdholimi.Sebagaimana sabda Ashshodiqul Masduq Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang mereka menampakkan di atas kebenaran tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencerca mereka orang sampai datang perintah Allah .(Hadits Mutawatir, Siapakah Golongan yang Selamat, Hal : 76, Cahaya Tauhid Pres, Malang. Terjemahan)
Dia Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu mujaddid pengibar tauhid dan sunnah. Hari ini atas karunia Allah hasil dakwahnya terus berkibar dilanjutkan oleh seluruh dai ahlussunnah. Namun celaan, fitnah dan kedustaan-kedustaan tidak sedikit ditujukan kepadanya.
Sebagai upaya membangun sifat sportif dan obyektif, meluruskan yang salah, memberi masukan yang seimbang bagi kaum muslimin yang netral , yang masih memiliki nurani, berikut kami tampilkan pembelaan dai salafy kepada beliau rohimahullahu. Mudah-mudahan dapat diambil pelajaran bagi siapa yang masih mau berfikir obyektif dan ilmiah. Lain lagi bagi orang-orang yang dihatinya telah melekat kuat sifat iblis yang sombong dan tidakperduli kepada kebenaran.
Selamat menyimak.
SIAPAKAH WAHABBIY?
Oleh:
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaiman, Lc.
Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu[1]. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?
Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Di Najd dan sekitarnya:
-Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai al-haq.
-Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat Asy- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
– Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal.90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)
2. Di dunia secara umum: Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid) Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) –sebelum keruntuhannya–. Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.[2] Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162) Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi [1].
SYUBUHAT DAN BANTAHANNYA
1.Tuduhan:Asy- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi[3], ingkar terhadap Hadits nabi[4], merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan:Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al- Ushul Ats-Tsalatsah)
Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)
Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim: “Aku beriman dengan syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118).
2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait
Bantahan:Beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)
Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.
3. Tuduhan: Bahwa beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.
Bantahan:Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah[5]. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.
Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al- Ushulus Sittah: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”
Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.
Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad- abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya[6].
Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Tash- hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.
4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.[7]
Bantahan: Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.[8]
Bantahan: Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)
Beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)juga berkatadalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani: “Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu– apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad-Durar As- Saniyyah 1/136)
Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An- Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)
6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)
Bantahan:Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan,bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)
7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan![9]
Bantahan: Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.
Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak,[10 ]di antaranya adalah:
Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman[11] dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.[12]
Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.[13]
Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.[14] Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,[15 ]Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,[16] Asy- Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,[17] Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy- Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.
Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.[18]
Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.
8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka.
Bantahan:Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[19]
Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah–.[20] Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara Asy- Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.
Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At- Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al- Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An- Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/ bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy- Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)
Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan- tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:
Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi
Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-’Allamah Muhammad Basyir As- Sahsawani Al-Hindi.
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.
Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.
’Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.
Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.
Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.
Di Jazirah Arabia[21]
Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka.Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid.
Di Dunia Islam [22]
Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya, Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.
Pujian Ulama Dunia terhadap
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau
Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya saja.[23]
1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman).
Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:
Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana
Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya
2. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:
Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan
Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia
Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama
Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai
3. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir) . Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al- Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”
5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau –ketika dicap sebagai Wahhabi– berkata:
Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi
Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi
Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku
Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi
6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar). Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”
7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
8. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual) terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya dan mengaruniainya pahala–, yang telah mengeluarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”
9. Ulama Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari ini.
Penutup
Akhir kata, demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di Indonesia pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini dapat menjadi penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala berfikir untuk tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Biografi beliau bisa dilihat pada Majalah Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71.
2 Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/Musuh-musuh Dakwah Tauhid.
3 Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
4 Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.
5 Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah .(lihat Majalah Asy Syariah Vol.II/No.22/1427H/2007M – red)
6 Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.
7 Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.
8 Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.
9 Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.
10 Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.
11 Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.
12 Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.
13 Hafizh negeri Hijaz di masanya.
14 Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa’i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad- Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-’Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al- ‘Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As- Suyuthi dsb.
15 Ulama besar Madinah di masanya.
16 Penulis kitab Kasyful Khafa’ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.
17 Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.
18 Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.
19 Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119
20 Ibid, hal. 76.(lihat Majalah Asy Syariah vol.II/no.22/
21 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al- Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal. 140-145.
22 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al- Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal.146-149.
[23] Untuk mengetahui lebih luas, lihatlah kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/371-474.

(Petunjuk Untuk Para Pejuang Khilafah)
Oleh : Abu Salma bin Rosyid

Dakwah para Rasul adalah dakwah tauhid yaitu menyeru manusia untuk beribadah seikhlas-ikhlasnya kepada Allah Azza Wa Jalla tanpa menyekutukan sedikitpun kepada ilah yang lain. Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan tentang perkara ini.
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:”Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (Al-Anbiya’:25)
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. (An-Nahl:36)
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan yang haq (berhak disembah) bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).(Al A’raf :59)
Yang demikian ini karena Allah Azza Wa Jalla menciptakan makhluk tidak lain kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Allah Azza Wa Jalla berfirman, Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.(Adz-Dzariyat;56)
Diibadahi adalah hak Allah Azza Wa Jalla, sedangkan beribadah adalah kepada-Nya tanpa syirik sedikitpun adalah kewajiban hamba, dengan kewajiban ini seorang hamba akan mendapatkan hak atas Allah Azza Wa Jalla yaitu tidak mendapatkan siksa sedikitpun (tidak dimasukkan ke neraka).
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Muadz bin Jabal. ”Tahukan engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya, dan apakah hak hamba atas Allah? Selanjutnya Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) bersabda, ”Hak Allah yang harus ditunaikan hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun; sedang hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun”. (HR. Bukhari)
Itulah pelajaran terpenting bagi setiap maunisa (yang iman maupun yang kafir) yaitu diperintahkan beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla tanpa syirik sekecil apapun, karena kesyirikan akan menghapus amalan-amalan.
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.(Az-Zumar:65-67)
Berfirman pula Allah Azza Wa Jalla:
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.(Al-An’am:88)
Beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla tanpa kesyirikan adalah dengan cara mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu menjadi orang yang beragama islam.
Allah Azza Wa Jalla berfirman :
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran;85)
Islam yang harus diikuti adalah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu yang terpenting adalah rukun Islam dan rukun Iman. Hal ini tergambar melalui hadits jibril yang sangat panjang.
Dari Umar berkata: Ketika disuatu hari kami duduk-duduk bersama Rasulullah (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) muncullah seorang laki-laki berpakaian putih bersih, berambut hitam kelam, tidak tampak padanya bekas-bekas bepergian jauh, dan tak ada seorangpun dari kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk mendekat kepada Nabi (Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), dengan menempelkan lututnya pada lutut Beliau, kemudian ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Beliau. Ia berkata, ”Wahai Muhammad, beritahu aku tentang islam.”
”Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Berislam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah bila kamu mampu melaksanaknnya”.
Orang itu berkata, ”Engkau benar”. Kami heran kepadanya, ia itu bertanya lalu membenarkannya.
Orang itu berkata lagi, ”Beritahu aku tentang iman”.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, ” Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar yang baik maupun yang buruk”.
Orang itu berkata, Engkau benar”. ……(HR. Muslim)
Begitulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya tentang islam dan iman, dengan hadits dan yang semakna para ‘ulama menjelaskan pokok-pokok islam, pokok-pokok iman dan mengawali dakwahnya, menyeru kepada manusia untuk berislam.
Lebih rinci lagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita urutan-urutan dakwah, seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika mengutus Muadz ke negeri Yaman, Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepadanya, : Sesungguhnya Engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahlil Kitab, maka hendaklah yang pertama, serulah mereka untuk bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah. Dalam riwayat yang lain agar mereka mentauhidkan Allah. Maka apabila mereka telah mentaati engkau dalam perkara ini, ajarkan pada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara ini, ajarkanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka Shodaqoh (Zakat) yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang miskin di antara mereka. Jika mereka telah mentaatimu dalam perkara ini berhati-hatilah dengan harta-harta mereka yang mulia dan takutlah kamu dari doa orang-orang yang terdholimi karena tidak ada batas doa mereka (orang yang terdholimi itu) dengan Allah. (HR. Bukhari Muslim, dinukil oleh Asy-Syaih Muhammad abdul Wahhab dalam kitab Tauhidnya)
Demikian manhaj Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan juga manhaj orang-orang shaleh yang terdahulu dari kalangan ‘ulama. Oleh karena itulah Asy-Syaih Ibnu Wahhab mencantumkan hadits di atas dalam kitab Tauhidnya dengan judul Bab berdakwah kepada Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah (Azza Wa Jalla)
Demikian juga ‘ulama-’ulama masa kini Asy-Syaih Ibnu Baz membuat kitab kecil yang sangat bermanfaat bagi kaum muslimin Durusul Muhimmah li Ammatil Ummah (Pelajaran Penting Bagi Seluruh Kaum Muslimin). Dengan buku tersebut beliau mengajarkan kepada kaum muslimin tentang rukun-rukun islam dan rukun-rukun iman, karena memang inilah pokok-pokok islam.
Tidak ketinggalan ‘ulama-’ulama lain menjelaskan perkara tersebut, tidak bosan, diulang-ulang karena pentingnya. As-Syaih Ahmad bin Yahya bin Muhammad An-Najmi menjelaskan tentang manhaj para Rasul dalam berdakwah, bahwa mereka mengawali dengan tiga hal yang kesemuanya adalah asas akidah :
1. Tauhid, Memberikan penghambaan diri kepada Allah Azza Wa Jalla yang Esa, tidak untuk selain-Nya dari tuhan-tuhan buatan manusia lalu mempersembahkan penghinaan dan penghambaan diri baginya disertai keyakinan bahwa ia dapat memberikan kemanfaatan, kemudharatan, memberi, menahan, memuliakan dan menghinakan.
2. Hari Kembali : Iman pada Hari Akhir dan semua kejadian yang ada di dalamnya; perhitungan, balasan, surga, neraka, ragam ni’mat surga, serta bermacam-macam adzab neraka.
3. Iman pada risalah-risalah langit: Para rasul ialah mediator yang menghubungkan makhluk dengan Allah Azza Wa Jalla dan penunjuk jalan-Nya, bukan apa yang diwariskan oleh nenek moyang, adat istiadat dan keyakinan masyarakat. (Mengenal tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin : 98, Cahaya Tauhid Press)
Dakwah seperti ini bukan berarti mengesampingkan mengajarkan amalan-amalan islam yang lain, akan tetapi ini adalah tahapan terpenting yang harus diutamakan untuk diserukan kepada sekalian manusia, ini adalah batas-batas manusia disebut sebagai orang islam atau orang kafir.
Adapun amalan-amalan lain merupakan amalan yang menjadikan kesempurnaan islam dan iman seseorang hamba, bukan suatu syarat bagi seseorang dianggap muslim atau kafir. Maka siapa saja yang mengucapkan La Ilaha Illallah dan mengerjakan shalat serta rukun-rukun islam yang lain dihukumi sebagai orang muslim dan diharamkan darahnya kecuali dengan hak-hak islam.
Dari ibnu ‘Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Sesembahan yang haq kecuali Allah (Azza Wa Jalla), dan bahwa Muhammad itu utusan Allah (Azza Wa Jalla), mendirikan shalat, menunaikan zakat. Bila mereka melakukan hal-hal itu, telah terjaga darah dan hartanya dariku, kecuali dengan hak-hak Islam. Dan hisabnya ada pada Allah Azza Wa Jalla. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dakwah seperti ini menjadikan persaudaraannya di atas islam dan iman yaitu di atas kaliamat tauhid. Allah Azza Wa Jalla berfirman:Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, oleh karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat. (al-Hujuraat: 10)
Inilah dakwah persatuan dan persaudaraan di atas kalimat tauhid, maka dimana tempatnya, dimana jamannya, dimana negaranya, asalkan mereka muslim dialah saudara, berhak mendapatkan hak-hak islam seperti didoakan, diberi salam, diziarahi, diberi shodaqoh, diberi zakat, diberi nasehat dan hak-hak islam yang masih banyak.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendholiminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya! Takwa ada di sini -beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya. (HR. Muslim)
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya. Jangan mendholiminya dan jangan memasrahkannya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat. (HR. Bukhari Muslim)
Inilah makna persatuan, rahmat untuk sekalian ‘alam, tidak dibatasi teritorial, Amir-amir jama’ah hizbiyah ataupun penguasa-penguasa suatu negeri. Asal muslim adalah saudara. Berhak atas hak-hak Islam. Sehingga kita saksikan saat ini, kaum muslimin dapat melaksanakan haji bersama, saling memberi bantuan antar negara, saling mendoa serta berbagai wujud persatuan dan persaudaraan yang lain. Ini adalah sebagian nikmat dari nikmat Allah Azza Wa Jalla yang telah diberikan kepada hamba-hambanya dan kita semua harus terus berupaya mewujudkan pada diri masing-masing.
Maka untuk mewujudkan persatuan dan persaudaraan yang hakiki, tidak boleh tidak kita harus mengikuti Nabi-Nya dalam segala hal. Asy-Syaih Ahmad Najmi berkata setelah menukil ayat-ayat al-quran yang banyak, Beliau (Asy-Syaih Ahmad Najmi) menganjak kaum muslimin untuk mencontoh Nabi dalam dakwahnya , ibadah, muamalah, akhlak, pakaian, makan, minum, tidur, bangun, mencari harta, mengembangkannya, menginfaqkannya dan segala hal. Sedang dakwah mengajak menuju Allah Azza Wa Jalla itulah urusan paling prioritas dan teragung dalam dien ini, maka wajib atas kita untuk meneladani Beliau memulai, kita meletakkan dasar seperti peletakkan Beliau, serta kita memprioritaskan sendi yang Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam prioritaskan, sebagaimana juga para nabi seluruhnya yang telah diutus kepada suatu umat telah memprioritaskan sendi ini dalam mengajak ummatnya menuju Allah Azza Wa Jalla yaitu : Memerintahkan untuk bertauhid dan memperingatkan dari syirik.
Allah Azza Wa Jalla berfirman,
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.(An-Nahl:36) (Mengenal tokoh-Tokoh Ikhwanul Muslimin : 133)
Namun Allah Azza Wa Jalla sedang menguji kaum muslimin, persatuan kaum muslimin terkoyak, bermula penjajahan dunia barat atas negeri-negeri Islam, muncullah dakwah yang mengatasnamakan persatuan kaum muslimin yang pada hakikatnya memecah belah ummat dari kebenaran. Muncullah dakwah yangmemprioritaskan kepada khilafah. Sungguh dakwah ini tidaklah salah bahkan merupakan bagian dari dakwah kepada As-Sunnah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan mereka mendakwahkan khilafah ini seolah-olah melebihi dakwah tauhid. Tidak terdengar mereka memerangi tauhid bahkan mereka tampak membiarkan kesyirikan dimana-mana. Mereka bersungguh-sungguh untuk persatuan tetapi meremehkan dalam perkara kesyirikan.
Semaraknya dakwah khilafah ini muncul pula di negeri kita Indonesia dengan model dakwah jama’ah. Dengan label persatuan kaum muslimin diwajibkan berbai’at kepada amir kelompoknya. Mereka membuat kaidah baru persatuan kaum muslimin dibangun diatas bai’at. Mereka mensyaratkan persyatuan kaum muslimin di atas satu Imam. Dengan persyaratan bid’ah ini menjadikan mereka terkotak dan memisahkan diri dari kaum muslimin. Menurut mereka yang masuk ke dalam jamaahnya adalah saudara dan yang tidak mau masuk ke jamaahnya adalah bukan saudara, bahkan musuh, mungkin juga ucapan musyrik ataupun kafir akan sampai kepada saudaranya yang tidak mau mengakui kepemimpinan kelompoknya.
Maka dengan keyakinan seperti ini mereka berkeyakinan bahwa dakwah kepada khilafah adalah sangat urger dan fundamental, yang semua ini dapat menimbulkan keyakinan bahwa persaudaraan dan persatuan harus dibangun diatas satu imam. Pada gilirannya nanti kafir atau islamnya seseorang dilegitimasi di atas bai’at dan tidak bai’atnya seseorang terhadap imamnya. Naudzubillahi min dzalik. Hal ini sangat mungkin muncul di dalam hati orang-orang jahil (bodoh). Tampaklah dengan jelas, dakwah persatuan mereka yaitu dakwah persatuan bid’ah. Yang mana persatuan menurut Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya di bangun di atas Tauhid (rukun islam) akan tetapi dakwah hizbiyah ini di bangun di atas bai’at.
Bahaya Dakwah Hizbiyah
Untuk melihat bahaya yang sangat mengerikan tentang dakwah hizbiyah marilah kita ikuti penjelasan As-Syaih Ahmad An-Najmi, semoga Allah Azza Wa Jallamenambahi Ilmu dan menjaganya. Syaih Ahmad berkata, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Al-Fatawa : Tidak pantas bagi seorang guru untuk memecah belah manusia dan melakukan sesuatu yang dapat menyusupkan permusuhan dan kebencian dalam barisan mereka, bahkan harus menjadi saudara yang saling bantu dalam kebajikan dan takwa, sebagaiman firman Allah Azza Wa Jalla,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolo9ng dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al-Maidah:2)
Tidak benar seseorang dari mereka mengambil sumpah dari seseorang untuk menyepakati semua yang dia kehendaki, berwala’ kepada siapa yang memberi wala’ kepadanya dan memusuhi siapa saja yang memusuhinya. Bahkan, barang siapa yang melakukan hal ini, maka dia serupa dengan jengiskhan cs. orang-orang yang menjadikan siapa saja yang sepakat dengannya sebagai sahabat karib dan menjadikan siapa yang menyelisihinya sebagai musuh besar.
Namun, kewajiban mereka dan para pengikutnya adalah berpegang pada sumpah yang telah mereka berikan kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa mereka akan menaati Allah Azza Wa Jalla dan RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam, mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, serta menjaga hak-hak guru sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza Wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kalau ada guru mana saja yang terdholimi maka hendaklah tiap muslim membelanya, bila sebaliknya…guru itu yang mendholimin maka tiap muslim tidak boleh membantunya di dalam kedholiman itu bahkan menahannya, sebagaimana yang telah tsabit dalam hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Bantulah saudaramu baik dia dholim atau terdholimi”. Maka ada yang bertanya, “Bagaimana saya membantu yang dholim?’ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Engkau menahannya dari kedholimannya, maka itulah bantuanmu untuknya”.
Kalau terjadi sengketa antara guru dengan guru, murid dengan murid atau guru dengan murid, maka tidak boleh seorang membela salah satunya sampai mengetahui yang benar. Jangan membelanya dengan kejahilan dan hawa nafsu, akan tetapi lihatlah permasalahnnya, hingga jika telah tampak jelas kebenaran baginya, maka dia membela yang benar menghadapi yang salah, sama halnya fihak yang benar itu adalah sahabatnya atau shabat pihak lain serta sama halnya yang bersalah itu sahabatnya atau sahabat pihak lain. Dengan begitu, maka niat adalah beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla saja, ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan. Allah Azza Wa Jallaberfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. (An-Nisa’:135)
Kemudian Ibnu Taimiyah menegaskan berikutnya; Apabila mereka berkumpul untuk menaati Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta membantu dalam kebajikan dan taqwa, maka tidak akan ada kebersamaan seseorang dengan yang lainnya di dalam segala hal kecuali kebersamaan itu adalah di dalam menaati Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam….Mereka tidak akan bersama seorangpun di dalam bermaksiat kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan mereka akan saling membantu di dalam kejujuran, kebajikan, amar ma’ruf, nahi mungkar, membela yang terdholimin, serta semua urusan yang di sukai Allah Azza Wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ….Mereka tidak akan saling membantu di atas kedholiman, tidak untuk ta’ashshub Jahiliyyah, tidak untuk mengikuti hawa nafsu yang kosong dari hidayah Allah Azza Wa Jalla, tidak untuk berpecah belah, tidak pula untuk ikhtilaf[1].
Kemudian Syaih Ahmad berkata : Itulah potongan kalimat dari Sang Pena Agung tokoh pendidikan yang profesional Alim Muhaqqiq yang sangat dalam ilmunya tentang : As-Sunnah dan apa yang berlawanan dengan As-As-Sunnah, juga tentang bid’ah, apa yang mendekatinya dan perkara-perkara yang menyeret masuk ke dalamnya.
Pikirkanlah baik-baik perkataan beliau , maka akan engkau dapati padanya peringatan dari hizbiyah dan kelompok-kelompok, sebab padanya ada perpecahan dan pengkotakan yang menyebabkan timbul saling benci dan sengketa.
Kemudian Syaih Ahmad melanjutkan dengan menjelaskan, keburukan hizbiyah dengan meringkat penjelasan Syaih Bakar bin Abdullah Abu Zaid[2], yaitu :
1. Hizbiyah adalah bid’ah mungkar berdasarkan larangan yang terdapat dalam al-Qur’anul Karim, As-Sunnah Muthahharah dan perkataan Salaf .
2. Allah dan Rasul-Nya telah mencela hizbiyah, demikian juga salaf umat ini yang telah mengenal Islam dengan pengenalan yang hakiki telah mencelanya, sebab ia adalah tindakan melanggar persatuan umat Islam, umat yang telah diperintahkan oleh Allah Azza Wa Jalla untuk menjadi umat yang satu, Allah berfirman :
“Sesungguhnya (agana tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku”.(Al-Mukminun:52)
3. Orang-orang yang berintima’ kepada hizbiyah menjadikan partai atau golongan sebagai poros wala’, bara’ cinta dan permusuhan. Hal ini penetangan, memerangi Allah dan Rasul-Nya dimana Allah telah menjadikan sebagai poros wala’ dan bara’ ialah iman pada allah dan Rasulullah. Allah berfirman :
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.(Al-Mujadilah:22)
4. Konsekwensi mutlak dari hizbiyah, adalah mengambil ahli bid’ah sebagai pemimpin-pemimpin yang diambil seluruh ucapannya, diikuti semua perbuatannya, serta menjadikan mereka sebagai panutan dan teladan. Juga ucapan, kaedah dan pendapatnya harus diterima bagitu saja walaupun menyelisihi kebenaran, itulah kebinasaan, demi Allah !!
5. Hizbiyah memiliki prinsip menerima pendapat-pendapat kelompok, menyebarkannya, serta menjadikan ketetapan pasti yang tidak lagi menerima kritik dan diskusi. Pendiri-pendiri mereka tidak pantas untuk dikritik dan disalahkan oleh pandangan para pengikut dengan demikian mereka telah menjadikan para pendiri tersebut sebagau tuhan-tuhan dan peletak syareat maka tepatlah jika ayat ini menimpa mereka:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(At-Taubah:31)
6. Termasuk kemudharatan hizbiyah: Apabila hizbiyah merupakan sebab perpecahan sedang perpecahan adalah awal kehancuran kesatuan dan persatuan umat, maka banyaknya hizbiyah adalah sebab banyaknya manhaj pemikiran, berbilangnya manhaj pemikiran merupakan sebab berbenturan antar hizbi dan hal itu adalah sebab kekalahan yang diderita oleh kaum muslimin. Apakah mungkin satu umat yang tubuhnya sendiri terpecah-belah kemudian tegak di hadapan musuh ??
7. Diantara kemudharatan hizbiyah : penunaian syi’ar ibadah yang diperintahkan oleh syareat, berubah dari kewajiban penghambaan diri kepada Allah menjadi kewajiban hizbi, sehingga iapun mengotori keikhlasan andai tidak menghancurkannya, akhirnya yang diperhatikan dalam penuaian ibadah hanya ridha hizbinya bukan ridha Allah.
8. Kalau pemimpin hizbi memerintah untuk antusias mengerjakan suatu amalan mustahab (sunnah) dan menekankannya, maka para pengikut akan semangat hingga mereka merubahnya menjadi suatu kewajiban, maka jadilah yang mustahab itu wajib bagi anggota hizbi. Dengan demikian mereka telah memberikan hukum yang berbeda dengan ketetapan syareat yang diletakkan oleh Allah dan Rasul-Nya
9. Termasuk keburukan hizbiyah : perpecahan. Kadang suatu hizbi terpecah lagi menjadi dua atau beberapa hizbi, sebagaimana dikatakan bahwa kuman itu berkembang biak. (sampai di sini ucapan Syaikh Ahmad An-Najmi)
Mengahiri pembahasan dalam bab ini, sekali lagi saya utarakan bahwa persatuan menurut dakwah tauhid adalah persatuan di atas rukun Islam dan rukun Iman, secara spesifik Allah Azza Wa Jalla memberi pedoman yaitu mereka yang mendirikan sholat dan membayar zakat adalah saudara seagama. Maka siapa saja orang mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan dan membayar zakat dialah saudara seagama, haram darahnya dan masih mendapat hak-hak islam seperti didoakan, dinasehati dan hak-hak islam yang lain.
Maka tujuan dakwah ini adalah mengajak manusia mentauhidkan Allah Azza Wa Jalla yaitu mengajak manusia beridah kepada Allah Azza Wa Jalla saja tanpa kesyirikan dan mengajak manusia beribadah dengan syariat yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Inilah dakwah kepada Al-Jamaah Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri.
Hingga untuk menjadi Al-Jama’ah tidak boleh tidak kita harus mengamalkan Islam ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya dalam segala perkara, baik dalam tauhidnya, dakwahnya, ibadahnya, muamalahnya dan yang lainnya, termasuk juga dalam mensikapi perpecahan umat dan mensikapi penguasanya. Itulah Al-Jama’ah.
Demikian juga ucapan para ‘ulama Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir jama’ah adalah kebenaran dan pengikutnya. (Ust.Abu Muhammad Dzulqornain :An-Nasihah Online, dalam artikel Siapakah Ahlussunnah wal jamaah)
Tampaklah bahwa yang namanya Al-Jama’ah itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya dari kalangan tabiin, tabiut-tabiin, dan seluruh ahli hadits dari dulu hingga hari kiamat. Dan semua mereka telah sepakat wajibnya taat pada penguasa muslim dalam perkara ma’ruf , dilarang memberontak selagi mereka masih menegakkan shalat.
Oleh karena itu janganlah mengaku sebagai Al-Jama’ah tetapi berusahalah menjadi Al-Jama’ah dengan meniti jalan-jalan mereka yang telah tertulis di dalam Al-Qur’an, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab para ‘ulama yang lain. Semoga Allah Azza Wa Jalla mudahkan kita beramal seperti mereka dan mengggolongkan kita semua dengan mereka. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

[1] Majmu’ Al-Fatawa XXVIII/15-17

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE