17 Februari, 2015

Riwayat Seputar Nishfu Sya’ban & Hukum Merayakannya


Memasuki bulan Sya’ban, yakni termasuk ke dalam bulan-bulan mulia. Banyak kaum muslimin yang menyambutnya dengan beberapa peribadahan, sejak awal (memasuki) bulan ini, dan juga yang terkenal di kalangan kita, yaitu Nishfu Sya’ban. Untuk itu, perlu kami bawakan penjelasan tentang status riwayat-riwayat seputar bulan sya’ban, terutama Nishfu Sya’ban itu sendiri. Bagaimana keterangan para ulama’ dan bagaimana hukumnya?


Riwayat-Riwayat Seputar Nishfu Sya’ban





“Wahai saudaraku! Waspadalah kalian terhadap para pembuat
cerita palsu, yang mengutarakan sebuah hadits kepada kalian, sekalipun tujuannya baik. Sebab untuk mewujudkan suatu kebaikan itu harus benar-benar sah dari Rosulullah. Jika anda telah mengetahui palsunya suatu hadits, maka ketahuilah bahwa hal itu bukan termasuk syariat sedikit pun, bahkan termasuk wahyu dari syetan yang di bangun diatas hadits palsu.”
1



Banyak riwayat yang beredar di tengah masyarakat berkaiatan dengan bulan Sya’ban, yang berbicara seputar amalan-amalan khusus saat nishfu (pertengahan) Sya’ban, baik berupa sholat, puasa, shadaqah dan sebagainya. Akhirnya hadits-hadits tersebut sangat mayshur dikhalayak ramai. Padahal hadits-hadits yang dimaksud tersebut tidak shohih, menurut para ahlul ilmi. Dari di sinilah kami ingin mengungkap beberapa riwayat tersebut, sehingga terang antara benang putih dengan benang hitam.





  1. Riwayat Ali bin Abi Thalib. Dari Ali bin Abi Thalib, berkata:
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



    “Apabila tiba malam nishfu sya’ban, maka sholatlah pada malam harinya, dan puasalah disiang harinya, karena Alloh turun ke langit dunia disaat tenggelamnya matahari, lalu berfirman:


    “Adakah yang meminta ampun kepada-Ku, lalu Aku akan mengampuninya! adakah yang meminta rizki kepadaKu, lalu Aku akan memberinya rizki! adakah yang sakit lalu Aku akan menyembuhkannya! adakah yang demikian …; adakah yang demikian …? .. sampai terbit fajar.”2



  2. Riwayat Utsman bin Al Mughirah. Dari Utsman bin Mughirah berkata:
    Nabi bersabda:




    “Ajal manusia telah ditetapkan dari bulan sya’ban ke sya’ban berikutnya, sehingga ada seorang yang menikah dan dikaruniai seorang anak, lalu namanya keluar sebagai orang-orang yang akan mati.”3


  3. Riwayat tentang shalat “Al-Fiyyah”
    pada malam nisfhu sya’ban.




    Dinamakan Al-Fiyyah (seribu) karena bacaan sholatnya adalah surat Al-Ikhlas seribu kali dalam seratus rakaat, Pada setiap rakaat membaca Al-Fatihah sekali dan Al-Ikhlas sepuluh kali. Ada pun haditsnya adalah:




    “Wahai Ali. Barangsiapa yang sholat seratus rakaat pada malam nishfu sya’ban dengan membaca surat Al-Fatihah dan “Qul Huwa Allahu Ahad” (surat al-Ikhlas) pada setiap rakaat sepuluh kali, maka Alloh akan memenuhi seluruh kebutuhannya.” Hadits
    ini Maudhu’ (palsu).4


    Benar, terdapat suatu riwayat tentang keutamaan malam nisfhu sya’ban yang dishahihkan oleh sebagian ahlu ilmu. Yaitu sebagai berikut:




    “Alloh -Tabaaraka Wa Taa’la- turun kepada makluk-Nya pada malam nisfhu sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musryik dan orang yang bermusuhan.” Hadits 
    ini shahih.5


    Namun, perlu diingat, hadits ini hanya menunjukkan keutamaan malam nisfhu sya’ban saja, tidak menunjukkan anjuran mengkhususkannya dengan amalan sholat, puasa, khataman Qur`an, maupun amalan ibadah lainnya, lebih-lebih perayaan malam nisfhu sya’ban, seperti yang biasa dilakukan
    masyarakat kita.




    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan dalam kitabnya Iqtidha’  Sirathil Mustaqim (2/138):




    “Adapun mengkhususkan puasa pada hari nisfhu sya’ban, maka tidak ada dasarnya, bahkan harom. Demikian juga menjadikannya sebagai perayaan, dengan membuat makanan dan menampakkan perhiasan, semua ini merupakan perayaan-perayaan bid`ah yang tidak berdasar sama sekali. Termasuk pula berkumpul untuk melakukan shalat Al-fiyyah di masjid-masjid, karena meksanakan sholat sunnah pada waktu, jumlah rokaat, dan bacaannya tertentu, yang tidak disyariatkan maka hukumnya harom.


    Selain itu hadits tentang sholat Al-Fiyyah adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahlul hadits. Oleh karena itu, tidak boleh menganggap sunah nya sholat Al Fiyyah berdasarkan hadits tersebut. Dan jika tidakdisunnah kan maka harom mengamalkannya.


    Seandainya malam-malam yang mem punyai keutamaan tertentu, disyari`atkan untuk dikhususkan dengan melaku kan sholat, tentunya amalan sholat
    tersebut disyari`atkan pula, untuk dilakukan pada malam i’dhul fithry, idhul adha, dan hari Arafah.”



    Imam An-Nawawi (Salah seorang ulama madzhab syafi’i) berkata dalam Fatawanya hal.26: “Sholat Rajab dan Sya’ban keduanya merupakan bid’ah yang jelek dan mungkar”




    Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz berkata dalam risalahnya At-Tahdhir Mi nal Bida’ hal. 27:




    “Termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia adalah perayaan malam nishfu sya’ban, atau pengkhususan hari tersebut dengan berpuasa. Semua itu tidak ada dasarnya dalam agama
    Islam. Kalaulah ada, itu hanyalah hadits-hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ahlul ilmi”.



    Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, ia berkata:




    “Kami tidak menemukan seorang pun dari sahabat kami, tidak pula fuqoha`nya, yang mempedulikan malam nishfu sya`ban, mereka juga tidak acuh terhadap hadits Makhul, dan mereka berpendapat malam nishfu sya`ban tidak lebih utama dibanding malan selainnya.”











    Ibnu Abi Malikah diberitahu bahwa Ziyad An Numairi berkata: “Pahala malam nishfu sya`ban sama dengan pahala lailatul qodar.” Beliau menjawab: “Seandainya saya mendengar sedangkan ditangan saya ada tongkat, tentu saya pukul dia.” Sebab Ziyad adalah tukang cerita.




    Imam Suyuthi berkata:




    “Termasuk perkara yang dibikin oleh para ahlul bid`ah- yang mana mereka adalah orang-orang yang keluar dari syari`at karena kembali menekuni tradisi orang Majusi, dan menjadikan agamanya barang mainan dan gurauan-adalah menyemarakkan malan nishfu sya`ban, padahal amalan ini tidak pernah diriwayatkan secara shohih dari Rosulullah.


    “Para periwayat hadits yang jujur tidak pernah meriwayatkan adanya sholat di malamnya dan anjuran untuk menyemarakannya. Orang-orang yang membikin amalan tersebut tidak lain, adalah orang yang mempermainkan syari`at Nabi, dan suka kepada agama Majusi, karena api adalah tuhan mereka.


    Pertama kali diselenggarakan pada zaman Al Baromikah, lalu mereka  menyusupkannya ke dalam syari`at Islam, untuk mengelabui rakyat awwam, agar rakyat menyangka amalan tersebut termasuk sunnah. Maksud mereka sebenarnya adalah untuk menyembah api, dan membangkitkan kembali agama mereka. Padahal Majusi merupakan agama yang paling hina. Apabila kaum muslimin melaksanakan sholat, maka mereka rukuk dan sujud kepada api yang dinyalakan.
    Tradisi ini terus berlangsung sepanjang tahun. Kemudian seluruh negeri Islam mengekornya. Selain itu, ketika acara diselenggarakan laki-laki dan perempuan campur baur. Maka wajib bagi pemerintah untuk melarangnya, dan ulama wajib memberi peringatan.
    Mengapa bulan Sya`ban dimuliakan? karena Rosulullah berpuasa di bulan tersebut kecuali beberapa hari saja. Memang ada riwayat dan atsar yang marfu`. Ini sebagai dalil bahwa bulan Sya`ban adalah bulan mulia. Akan tetapi tidak ada dalil tentang amalan sholat secara khusus dan menyemarakkannya sebagaimana syari`at yang telah shohih dalilnya.”
    6


    Imam Qurthubi berkata dalam tafsirnya (16/128):



    “Tentang malam nishfu Sya`ban tidak terdapat satu haditspun yang dapat dijadikan sandaran, baik mengenai keutamaannya atau tentang pembatalan ajal seseorang, maka janganlah kalian mengacuhkannya!”



    Imam Ali bin Ibrohim mengatakan (yang intinya):




    “Para imam masjid menyemarakkan malam nishfu Sya`ban dengan sholat roghoib dan amalan lainnya sekedar untuk menjaring masa, karena mendambakan kepemimpinan. Di situ para tukang cerita meramaikan dengan bualannya. Semua itu jauh dari kebenaran.


    “Namun Alloh Ta`ala berkehendak menampakkan para ulama yang berpegang pada sunnah untuk membantah amalan sholat yang batil ini. Memang amalan ini telah merambah luas sehingga mereka melaksanakan sholat dengan sendau gurau. Sholat ini dihapus secara sempurna diMesir dan Syam pada awal tahun delapan ratusan.”7


    Berkata Syaikhul Islam:



    “Asal semua amalan ini adalah; bahwasanya ibadah yang disyari`atkan secara berulang seiring dengan berulangnya waktu, sehingga menjadi amalan sunnah dan hari raya, telah disyariatkan oleh Alloh. Dan itu
    telah mencukupi bagi orang yang ingin beribadah. Apabila terdapat amalan jama`i yang melampaui syari`at yang telah ditetapkan Alloh tadi, maka menyerupai syari`at Alloh dan sunnah RosulNya. Pasti akan didapati didalamnya kerusakan yang telah disebutkan dimuka.
    Berbeda apabila yang melakukannya hanya seorang atau jama`ah khusus. Maka disini dibedakan antara dilakukan oleh orang banyak secara demonstratif dengan sedikit orang secara sembunyi, dan antara kebiasaan dengan bukan kebiasaan. Seperti itu pula setiap amalan yang pada asalnya disyari`atkan, lalu timbul bid`ah didalamnya lantaran amalan tersebut
    dijadikan amalan kontinyu, sehingga nampaknya hal itu adalah wajib.”
    (hal.180).


Merayakan/Mengamalkan Nishfu Sya’ban dan Ibadah lainnya yang tidak ada contohnya





Dari uraian di muka, dapat kita tarik kesimpulan, sebagai berikut:





  1. Kita harus berhati-hati terhadap beredarnya hadits-hadits yang tidak sah dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk diantaranya riwayat-riwayat tentang nishfu Sya’ban ini, seperti riwayat dari Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Mughirah di muka.

  2. Riwayat tentang shalat Al-Fiyyah adalah Maudhu’ (palsu) dengan kesepakatan ahlul ilmi dan ahlul hadits, sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

  3. Terdapat suatu hadits yang dishahihkan sebagian ulama tentang keutamaan malam nisfhu sya’ban.

  4. Tidak boleh mengkhususkan hari nishfu sya’ban dengan amalan sholat ataupun puasa karena memang tidak ada dasarnya dalam Islam.

  5. Tidak boleh mengadakan perayaan malam nisfhu sya’ban sekalipun kebanyakan orang sering merayakannya, karena Islam tidak pernah mensyari`atkannya.








Catatan Kaki

Catatan Kaki



1

Lihat “Al- Amru Bil Ittiba” hal, 177, Imam
As- Suyuthi.


2

Hadits ini, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1388), Ibnul Jauzy dalam
“Al -’Ilal” (2/561) dan Al-Baihaqy dalam “Fadhoilul
Auqot” (24), dan “Syu’abul Iman” (no.3822).
Tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abu Bakr bin Muhammad
bin Abi Sabrah, dia adalah seorang rowi yang dho’if (lemah) menurut
kesepakatan para Ulama. Ibnu Rajab berkata di dalam “Latho’iful
Ma’arif” (1423): “Sanadnya dho’if”, bahkan
ahli hadits besar Al-Albani berkata dalam ” Ad -Dhoi’fah
” (2132): ” Hadits ini Maudhu (palsu).”


3

Hadits ini Mursal (Sebuah hadits dikatakan mursal,
artinya sanadnya (terputus) tidak sampai kepada Nabi. -red. vbaitullah),
diriwayatkan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya Jami’ul Bayan (25/109) dari
Aqil bin Khalid dari Ibnu Syihab dari Utsman bin Mughirah dari Nabi.


Dan diriwaytakan pula oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (no.3839),
tetapi terhenti sampai pada Utsman bin Mughirah saja, tidak sampai
Nabi. Al Hafidh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya Tafsirul
Qur’anil Adhim (4/145): “Hadits mursal, tidak dapat
dijadikan hujjah”


4

Al-Imam Ibnul Jauzy berkata dalam Al-Maudh’uat (2/129):




“Tidak diragukan lagi, hadits ini adalah maudhu. kemudian
lanjutnya: “Dan sungguh kita telah melihat mayoritas orang
yang melakukan sholat Al-Fiyyah ini sampai larut malam, sehingga merekapun
malas sholat shubuh atau bahkan tidak sholat subuh”.



Imam Ibnul Qoyyim juga berkata dalam Al-Manarul Munif hal.
98-99:




“Diantara contoh hadits-hadits maudhu’ adalah hadits tentang
shalat nisfhu sya’ban”. Lalu lanjutnya: “Sungguh
sangat mengherankan, ada seorang yang mengerti ilmu hadits, namun
tertipu dengan hadits-hadits semacam ini lalu mengamalkannya. Padahal
shalat seperti ini baru disusupkan dalam Islam setelah tahun 400 Hijriyyah
dan berkembang di Baitul Maqdis”



Imam As-Syaukani berkata dalam Majmu’atul Fawaaid:



“Hadits ini maudhu’. Seorang yang cakap dalam ilmu hadits,
hanya dengan melihat lafadznya saja, yakin bahwa hadits ini palsu.”



5

Diriwayatkan dari jalan beberapa sahabat yaitu Muadz Ibnu Jabal, Abu
Tsa’labah Al-Hutsany, Abdullah Ibnu Umar, Abu Musa Al-Asy’ary, Abu
Hurairah, Abu Bakar As-Shidiq, Auf bin Malik, dan Aisyah -Semoga Alloh
meridhai mereka semua.



Diantara para ulama yang menshahihkan hadits ini adalah seorang ahli
hadits besar Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albany dalam kitabnya Silsilatul
Ahaditsis Shahihah (No.1144), Beliau berkata: “Kesimpulannya;
hadits ini tidak diragukan shahihnya, karena diriwayatkan dengan banyak
sanad.”


6

Al Amru bilittiba` hal. 177-178.

7

Al Amru bilittiba` hal. 179.





Disarikan oleh Abu Ubaidah Yusuf Al-Atsary dari kitab “Al-Hawadits
Wal Bida’”, Imam At-Thur thusy, ta’liq syaikh Ali bin Hasan.
Dan kitab “Al-Amru Bil Ittiba’”. Imam As-Suyuthy,
tahqiq Syaikh Mashur bin Hasan Alu Salman. Dan risalah “At-Tahdzir
Minal Bida’”. Imam Abdul Aziz bin Baz.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE