28 Februari, 2015

Adakah Bid'ah Hasanah? (Bag. 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Adakah Bid'ah Hasanah?
(Bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang bid'ah, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Beberapa contoh bid’ah di tengah-tengah umat
1.     Mengadakan peringatan maulid Nabi, peringatan Isra’-Mi’raj, dan peringatan malam Nishfu Sya’ban.
2.     Memperingati milad (ulang tahun) tertentu.
3.     Tabarruk (ngalap berkah) pada tempat, atsar (jejak-jejak peninggalan), seseorang baik yang masih hidup atau sudah meninggal (pada kuburannya).
4.     Melakukan dzikr jama’i.
5.     Membacakan suratul Fatihah untuk ruh fulan, fulan dan fulan, dan pada kesempatan tertentu.
6.     Mengkhususkan bulan Rajab untuk umrah dan melakukan ibadah tertentu.
7.     Membaca niat dalam shalat.
8.     Bertawassul dengan jah (kedudukan) atau hak seseorang.

Syubhat dan jawabannya
Sebagian orang yang mengatakan adanya bid'ah hasanah (yang baik) beralasan dengan beberapa dalil berikut:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"Barang siapa yang mengadakan sunnah yang baik dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang setelahnya, maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengadakan sunnah yang buruk dalam Islam, lalu diamalkan oleh orang setelahnya, maka akan dicatat dosa atasnya seperti dosa yang orang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka." (HR. Muslim)
Hadits ini memiliki sababul wurud (sebab keluarnya), yaitu ketika segolongan orang Arab badui datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penampilan yang tidak sedap dipandang dan tampak kekurangan, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan para sahabat bersedekah, kemudian datang salah seorang Anshar membawa sekantong perak, kemudian diikuti yang lain dan seterusnya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda  demikian. Hal ini menunjukkan, bahwa maksud sunnah yang baik dalam hadits tersebut adalah mencontohkan dalam Islam sebuah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu diikuti oleh yang lain. Mengapa dijadikan alasan berbuat bid'ah, padahal lafaznya "sunnah," bukan "bid'ah," dimana maksudnya adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan lagi orang itu melakukan sebuah sunnah Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu bersedekah kemudian diikuti yang lain. Tafsir seperti ini ditunjukkan pula dalam hadits Amr bin Auf Al Muzanniy, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي، فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً، فَعُمِلَ بِهَا، كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا، لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا
"Barang siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku, lalu dilakukan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mengadakan sebuah bid'ah, lalu dikerjakan oleh yang lain, maka ia akan menanggung dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa orang yang melakukannya." (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih lighairih oleh Al Albani).
Hadits ini juga merupakan penjelas terhadap sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Mengadakan sunnah yang buruk dalam Islam," bahwa maksudnya adalah berbuat bid'ah.
Kedua, perkataan Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini," terhadap praktek shalat tarawih berjamaah di zamannya.
Hal ini sudah diterangkan sebelumnya, bahwa perkataan bid'ah di sini adalah bid'ah secara bahasa, bukan secara syara'. Karena arti bid'ah secara syara' adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa dasar dalil. Praktek shalat tarawih secara berjamaah ini pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau tinggalkan karena khawatir shalat tersebut diwajibkan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: «قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam suatu malam pernah shalat di masjid, lalu sebagian orang ikut shalat bersamanya, demikian pula pada malam selanjutnya. Akhirnya, banyak orang-orang yang ikut shalat bersama Beliau. Selanjutnya mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar (mengimami mereka). Pada pagi harinya, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar, selain karena aku khawatir shalat itu diwajibkan kepada kalian." Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan." (HR. Bukhari)
Bahkan shalat tarawih berjamaah bersama imam dianjurkan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya orang yang melakukan Qiyamullail bersama imam hingga selesai, maka akan dicatatkan untuknya Qiyamullail semalaman.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah, serta dishahihkan oleh pentahqiq Jaami’ul Ushuul 6/121).
Ketiga, perkataan Abdullah bin Mas'ud,
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
"Apa saja yang dipandang oleh kaum muslim sebagai sesuatu yang baik, maka di sisi Allah juga baik."
Maksud kaum muslim di sini adalah kaum muslim tertentu, karena di sana terdapat " ال " yang menujukkan ma'rifat (khusus). Dan kaum muslim yang dimaksud Ibnu Mas'ud adalah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Ibnu Mas'ud sendiri,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
"Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya, lalu Dia mendapati hati Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hati hamba-hamba-Nya yang terbaik, maka Dia pilih Beliau untuk diri-Nya, lalu Dia mengutusnya dengan membawa  risalah-Nya. Kemudian Dia melihat hati para hamba setelah hati Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Dia mendapatkan hati para sahabatnya sebagai hati yang paling baik di antara hati hamba-hamba-Nya. Dia pun menjadikan mereka sebagai pembela Nabi-Nya dan berperang di atas agama-Nya. Oleh karena itu, apa saja yang dipandang baik oleh kaum muslim, maka di sisi Allah juga baik, dan apa saja yang mereka pandang buruk, maka di sisi Allah juga buruk." (Diriwayatkan oleh Ahmad, dan dihasankan oleh Al Albani).
Bisa juga huruf " ال "di sini menunjukkan lil istighraq (umum), yakni ijma' (kesepakatan) kaum muslim yang termasuk ahlul ijma' (para ulama), dimana ijma' mereka adalah hujjah.
Keempat, perkataan sebagian ulama yang membagi bid'ah ke dalam beberapa bagian; ada yang wajib, haram, sunat, makruh, mubah, yang terpuji dan tercela.
Terhadap pembagian seperti ini, Imam Syathibi berkata, "Pembagian ini adalah pembagian yang diada-ada, tidak ditunjukkan oleh dalil syar'i, bahkan di dalamnya terdapat pertentangan, karena hakikat bid'ah adalah yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar'i; tidak oleh nash-nash syariat maupun kaidah-kaidahnya. Hal itu, karena jika ada dalil dari syara' yang menunjukkan wajib, sunat, atau mubah, maka itu bukan bid'ah. Bahkan amal itu termasuk ke dalam keumuman amal yang diperintahkan atau diberikan pilihan. Oleh karena itu, mengumpulkan perkara yang sifatnya bid'ah dengan suatu perkara yang ada dalilnya yang menunjukkan wajib, sunat, atau mubah berarti mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan."
Di samping itu, para ulama yang membagi bid'ah ke dalam beberapa bagian itu, seperti Al Izz bin Abdussalam, Ash Shan'ani, dan lainnya, adalah orang-orang yang keras menentang bid'ah.
Syihabuddin Abu Syamah murid Al Izz bin Abdissalam berkata, "Beliau (Al Izz bin Abdissalam) adalah orang yang paling pantas disebut khatib dan imam. Beliau sering menyingkirkan bid'ah yang dilakukan para khatib, seperti menggertak pedang di atas mimbar dan lainnya. Demikian pula Beliau menyatakan batilnya dua shalat, yaitu shalat Ragha'ib dan Nishfu Sya'ban, serta melarang melakukannya." (Thabaqat Asy Syafi'iyyah 8/210).
Imam Ash Shan'ani dalam Subulussalam berkata, "Tidak ada dalam bid'ah itu yang terpuji, bahkan semua bid'ah adalah sesat." (Lihat Subulussalam pada syarah hadits no. 347).
Kalau pun maksud sebagian ulama tentang bid'ah adalah seperti itu, yakni bahwa bid'ah dalam agama tidak semuanya sesat dan tercela, bahkan menjadi beberapa bagian; ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka kita tetap tidak boleh mengedepankan perkataan mereka di atas sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan, bahwa semua bid'ah adalah sesat. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ. أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
"Hampir saja kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda," tetapi kalian mengatakan, "Abu Bakar dan Umar berkata."
Wallahu a'lam wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa

Maraji': Al Amru bil Ittiba' wan Nahyu 'anil Ibtida' (Imam As Suyuthiy), Al I'tisham (Imam Syathibiy), Al Luma' fir Radd 'alaa Muhassinil bida' (Abdul Qayyum As Suhaibani), At Tauhid Al Muyassar (Abdullah Al Huwail), Aqidatut Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Al Hidayah fii Masa'il Fiqhiyyah Muta'aridhah (A. Zakariya), Minhajul Firqatin Naajiyah (M. bin Jamil Zainu), dll. 

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE