Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
1. Landasan Menilai benar tidaknya tasawuf
Kita wajib kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih untuk
dapat mengetahui hakikat tasawwuf ini, sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“...Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika engkau benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama
bagi kamu dan lebih baik akibatnya.”(An-Nisaa’ :59)
Jadi, segala penyimpangan yang akan kita bicarakan tentang tasawwuf
ini berdasarkan pertimbangan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW dengan
pemahaman salafus shalih.
Rasulullah SAW bersabda :
Aku tinggalkan kepada kalian suatu perkara yang bila kalian
berpegang teguh dengannya maka tidak akan menyesatkan kalian selamanya,
(yaitu) Kitabulah dan Sunnahku.
(Hadits Shahih riwayat Imam Malik dalam Al-Muwatha (II/1899) dan
Imam Hakim dalam Mustadrak I/93) secara bersambung dari Abu Hurairah
r.a.)
Pada saya ada dua buku yang mengupas tentang sufi, yang ditulis oleh
ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah untuk menerangi aliran ini agar kita kaum
muslimin mengetahui siapa sebenarnya sufi/tasawuf itu, sesuaikah dia
dengan tuntunan yang AL-Quran dan As-Sunnah ? simaklah ringkasan dari
buku :
a. Aliran Sufi dengan timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah (Sufiyah fi
Mizanil Kitab wa Sunnah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
b. Menguak Dunia Tasawuf Tarekat Naqsyabandiyyah (An-Naqsyabandiyyah Ardhu wa Tahlilun, karya Syaikh Abdurrahman Dimasyqiyah)
Disini saya ringkaskan perkara-perkara yang saya anggap penting
diketahui dan mudah dikenali dengan kondisi aliran sufi yang ada di
Indonesia ini. Namun kesesatan aliran ini sesungguhnya melebihi dari apa
yang saya sampaikan. Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk kepada dua
kitab diatas atau kitab lainnya yang ditulis para ulama yang mumpuni
dibidang ilmu.
2. Awal munculnya tasawuf / sufi
Pada jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Islam tidak
mengenal aliran tasawwuf, juga pada masa shahabat dan tabi’in (yaitu
generasi setelah shahabat yang mereka itu menuntut ilmu dari para
shahabat). Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku
zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), maka karena
pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu
Sufi dengan nama tarekatnya Tasawwuf. (Dari kitab Sufiyyah fi mizanil
kitab wa sunnah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
Adapun hanya sekedar pengakuan tanpa adanya dalil yang menerangkan
ataupun dari berita-berita dusta yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
dan para sahabatnya ra. adalah juga golongan tasawwuf maka cara
berhujjah seperti ini tidaklah dapat diterima oleh orang yang berakal.
3. Aliran Sufiyyah mempunyai banyak tarekat (jalan)
Antara lain : Tijaniyyah, Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Syadzaliyyah,
Rifa’iyyah dan lainnya yang semuanya mengaku diatas jalan yang benar
dan menganggap jalan yang lain adalah batil/salah.
Padahal Islam telah melarang adanya perpecahan (membuat jalan baru), seperti firman Allah :
“...dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum :31-32)
4. Aliran sufi memeliki sifat fanatisme terhadap syaikh-syaikh mereka
Sekalipun mereka menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Padahal Allah SWT berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat : 1)
Dan rasulullah SAW bersabda :
Tidak ada ketaatan bagi seseorang dalam berbuat maksiat kepada
Allah, ketaatan itu hanya dalam berbuat baik. (HR. Bukhari & Muslim)
Namun kebanyakan manusia sekarang ini mengambil apa saja yang
dikatakan oleh gurunya tanpa mau memeriksa apakah perkataan gurunya itu
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak. Dia menelan apa saja
yang dikatakan oleh gurunya yang disangkanya gurunya bebas dari
kesalahan, maka jika gurunya sesat maka sesat pulalah dia, padahal dia
bertanggung jawab terhadap setiap amalan dirinya kelak di hadapan Allah
SWT.
Demikianlah yang menimpa ummat-ummat terdahulu, mereka mengikuti
saja apa yang dikatakan oleh para guru-guru mereka, tanpa
menyesuaikannya dengan Kitab yang telah diturunkan kepada mereka.
Allah berfirman :
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih putera
Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa. Tidak
ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan. (At-Taubah : 31)
Saat Rasulullah SAW membaca ayat ini didepan para Shahabatnya, maka
berkata seorang Shahabat yang bernama ‘Adiy bin Hatim ; “Sungguh kami
tidak menyembah mereka.” Beliau SAW bertanya ;”Tidakkah mereka itu
mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kamupun
mengharamkannya ? dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah
diharamkan oleh Allah, lalu kamupun menghalalkannya ?”
Aku (‘Adiy)menjawab, “Ya”. Maka beliau bersabda;”Itulah bentuk penyembahan kepada mereka.”
(Hadits Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan sanad Hasan)
Jadi, orang-orang terdahulu tersesat karena mereka mengikuti secara
membabi buta guru-guru mereka tanpa menghiraukan apakah yang diserukan
oleh guru mereka itu sesuai dengan Kitabullah ataukah tidak, demikian
pengalaman ‘Adiy bin Hatim saat belum memeluk Islam.
Persis seperti apa yang dialami oleh sufi tarekat naqsyabandiyyah :
Ia (Syaikh Naqsyaband) pernah diundang oleh sebagian sahabatnya di
Bukhara. Ketika hendak menuju Maroko, ia berkata kepada Maula Najmuddin
Dadark,
Apakah engkau akan melaksanakan semua yang aku perintahkan kepadamu ?
Ia menjawab : Ya.
Ia berkata :Jika aku memerintahkanmu untuk mencuri, apakah engkau akan melakukannya ?
Ia berkata :Tidak.
Ia berkata :Mengapa ?.
Ia menjawab :Karena hak-hak Allah itu bisa dihapus dengan taubat, sedangkan ini termasuk hak-hak hamba.
Ia berkata :Jika engkau tidak mau melaksanakan perintah kami maka jangan bersahabt dengan kami.
Maula Najmuddin sangat terkejut mendengar hal itu dan bumi yang luas
telah terasa sempit olehnya. Dan ia kemudian menampakkan taubat dan
penyesalannya serta berketetapan hati untuk tida melanggar perintahnya.
Para hadirinpun menaruh rasa kasihan kepadanya dan mereka meminta
syafaat dan maaf kepada Syaikh Naqsyaband untuknya. Ia pun memaafkannya.
(AL-Mawahibus Sarmadiyyah, 138, Al-Anwarul Qudsiyyah, 140 dan Jamiu
Karamatil Auliya, 1/ 150)
Tanggapan :
Ini adalah kebiasaan syaikh-syaikh tasawuf. Mereka biasa melatih
murid-muridnya untuk taat buta sekalipun didalamnya terdapat perihal
meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan memperingatkan
mereka bila bersikap ingkar dan menyanggah. Mereka memiliki jargon yang
terkenal : Jangan menyanggah, niscaya engkau akan tersisih.
Padahal Rasulullah SAW telah bersabda :
Tidak ada ketaatan dalam berbuat maksiat, sesungguhnya ketaatan itu
hanya dalam perbuatan maruf (baik). (HR. Muslim (1840), dan Bukhari
8/106 Kitabul Ahkam dan 8/135 bab Ijazati Khabaril Wahid)
Rasulullah SAW juga bersabda :
Wajib atas seorang muslim untuk patuh dan taat dalam hal-hal yang ia
sukai dan hal-hal yang ia benci kecuali jika ia disuruh untuk melakukan
maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan dalam hal itu. (HR.
Muslim (1839) dan Al-Bukhari 8/106 Kitabul Ahkam)
5. Manaqib dan Keramat-keramat tokoh-tokoh sufi
Pengarang kitab Al-Mawahibus Sarmadiyyah Fi Manaqibis Sadatin
Naqsyabandiyyah, Syaikh mereka Muhammad Amin Al-Kurdi meriwayatkan dari
Syaikh Naqsyabandiyyah bahwasanya ia berkata : Aku bersahabat dengan
Ad-Darwisy Khalil. Kemudian ia memerintahkanku untuk mengabdi kepada
hewan-hewan. Hingga ketika dijalan aku bertemu dengan seekor anjing,
lalu aku berhenti sampai anjing tersebutberlalu terlebih dahulu supaya
aku tidak mendahuluinya. Aku terus melakukan hal yang demikian selama
tujuh tahun. Kemudian setelah itu ia menyuruh aku untuk mengabdi kepada
anjing-anjing milik paduka yang mulia ini dengan sikap jujur dan tunduk
dan au meminta pertolongan dari mereka. Syaikhnya berkata : Sesungguhnya
engkau akan sampai kepada seekor anjing diantara mereka (anjing-anjing
itu) yang dengan mengabdi kepadanya engkau akan memperoleh kebahagiaan
yang besar. Aku lalu memanfaatkan nikmat untuk mengabdi ini dan aku tida
memperdulikan upaya yang keluar dengan melaksanakannya berdasarkan
petunjuknya dan dalam rangka ingin mendapatkan kabar gembira yang
dituturkannya. Hingga pada suatu saat aku bertemu dengan seekor anjing.
Lalu dengan pertemuan tersebut terjadilah pada diriku suatu keadaan yang
luar biasa. Akupun berhenti dihadapnnya dan aku menangis
sejadi-jadinya. Pada saat itulah aku merebahkan diri diatas punggungnya
dan iapun mengangkat kakinya yang empat kearah langit. Kemudian aku
mendengar darinya suara sedih, keluhan dan rintihan. Lalu aku mengangkat
kedua tanganku sebagai sikap tawadhu dan aku berkata : Amin hingga ia
(anjing itu) diam dan kembali seperti semula.
Kemudian setelah itu ia menyebutkan bahwa ia juga pernah menemukan
seekor bunglon. Lalu terbesit dihatinya untuk meminta syafaat darinya.
Ia pun segera mengangkat kedua tangannya, lalu ia menjatuhkan dirinya
diatas punggungnya dan menghadap kelangit seraya mengucapkan Amin.
Jawaban :
Subhanallah! Apakah pintu-pintu untuk memperoleh syafaat dan
pertolongan telah tertutup dari dirinya hingga ia tidak mendapatkan
keduanya kecuali dari diri seekor anjing dan bunglon ? Dan siapakah yang
mengatakan bahwa anjing itu mengangkat keempat kakinya apabila hendak
berdoa ? Jikalau ia meminta pertolongan dan syafaat dari seorang manusia
niscaya hal itu tidak boleh, lalu bagaimana pula jika ia meminta
keduanya kepada seekor anjing dan bunglon ?
6. Sekelumit Mengenai Keramat-keramat dan Perkataan-perkataan Para Syaikh Tarekat Sufi
Syaikh Muhammad Al-Mashum berkata :Aku melihat kabah yang dimuliakan
merangkul dan menciumku dengan kerinduan yang mendalam. Tatkala aku
selesai melaksanakan thawaf ziarah, datanglah kepadaku seorang malaikat
membawa sebuah kitab tentang diterimanya haji yang au laksanakandari
Rabb semesta alam. (Al-Mawahibus Sarmadiyyah 213, Jamiu Karamatil Auliya
1/204 dan Al-Anwarul Qudsiyyah 196, semuanya kitab-kitab referensi
tasawuf aliran Naqsyabandiyyah)
Dinukil darinya bahwa dia telah mampu mengucapkan tauhid, padahal ia
beru berumur tiga tahun sehingga ia mengatakan :Akulah bumi, akulah
langit. (Al-Mawahibus Sarmadiyyah 202 dan Al-Anwarul Qudsiyyah 192)
Syaikh Ahmad Al-Furuqi berkata : Diperlihatkan kepadaku Kabah yang
disucikan sedang melakukan thawaf diseputar diriku sebagai pemuliaan dan
penghormatan dari Allah untuk diriku. (Al-Mawahibus Sarmadiyyah 184 dan
Al-Anwarul Qudsiyyah 182)
Ini adalah sekelumit tentang perkataan-perkataan para Syaikh tarekat
sufi, dan masih begitu banyak hal yang senada seperti diatas dari
ucapan-ucapan mereka yang didalamnya terdapat penyimpangan-penyimpangan
terhadap syariat yang tidak tersembunyi atas seorang pembaca yang
bersikap adil dan memiliki akal sehat.
Bahkan saya katakan bahwa hal ini pun telah terjadi dikantor kita,
dimana beberapa orang pegawai pernah menceritakan kepada saya tentang
perkataan seorang pegawai yang sangat menggeluti pemahaman sufi ini.
Disuatu waktu ia berkata bahwa, dikala ia sedang melaksanakan ibadah
haji dan dia berdoa dihadapan kabah, maka dia melihat begitu banyak
wanita-wanita yang cantik jelita sedang mengitarinya. Ia berkata bahwa
mereka adalah para bidadari yang menampakkan diri pada dirinya.
Dalam kesempatan lain dia pernah berkata bahwadia pernah pergi ke
langit ketujuh. Dan dia berkata kepada seorang pegawai kita bahwa
apabila ingin melihat padang masyhar maka lakukanlah ini dan itu (ia
menyebutkan beberapa amalan yang tidak ada diperintahkan didalam agama
ini sebagai syarat untuk mencapai keinginan tersebut). Banyak lagi
perkataan-perkataannya yang tidak sepantasnya diucapkan oleh orang yang
berakal.
7. Memohon Pertolongan / Istighasah Kepada Para Syaikh Mereka
Diriwayatkan bahwa salah seorang murid Syaikh Muhammad Al-Mashum
sedang mengendarai seekor kuda, laul kuda tersebut membuang kotorannya
sehingga membuat sang murid terjatuh ke tanah dan kakinya tergantung di
tempat pelana kuda. Kemudian kuda tersebut membawanya lari hingga ia
berkeyakinan akan binasa. Lau ia meminta pertolongan kepada yang mulia
al-qayyum (yaitu Syaikh Muhammad Al-Mashum-disifati dengan sifat yang
hanya dimiliki Allah SWT). Sang murid berkata : Lalu aku melihat sang
Syaikh datang sambil memberhentikan kuda tersebut serta menaikkanku
keatasnya. (Al-Mawahibus Sarmadiyyah 210-213, Jamiu Karamatil Auliya
1/199-200 dan Al-Anwarul Qudsiyyah 195-196)
Pada suatu hari datang banjir besar melanda desa Maulana Arif, lalu
penduduknya takut tenggelam/hanyut. Mereka pun segera meminta
pertolongan kepada Syaikh Muhammad Al-Mashum). Maka ia keluar dan duduk
ditempat air bah, dan ia berkata kepada air itu :Sesungguhnya jika
engkau memiliki kekuatan, maka bawalah aku. Kemudian banjir tersebut
berhenti. (Al-Mawahibus Sarmadiyyah 107, Jamiu dan Al-Anwarul Qudsiyyah
125)
Padaha Alah berfirman :
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan
apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang
menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Alah ada
tuhan (yang lain) ? (Al-Anam : 62)
8. Pengkultusan Kuburan Para Syaikh Mereka
Syaikh mereka AL-Kurdi di dalam kitab Tanwirul Qulub berkata :
Sebagian Syaikh mengatakan bahwa Allah mewakilkan dalam kuburan wali
seorang malaikat yang memenuhi hajat-hajat dan kadang-kadang wali
tersebut keluar dari kuburnya dan ia sendiri yang memenuhi hajatnya.
(Tanwirul Qulub 534)
Rasulullah SAW mengetahui bahaya tipu daya ini, lalu beliau
memberitahukannya serta memperingatkan darinya sebelum menghadap Allah
Yang Maha Tinggi (menjelang wafatnya beliau SAW). Adalah beliau setiap
kali sadar dari sakaratul maut bersabda : Semoga Allah melaknat kaum
Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan-kuburan nabi-nabi
mereka sebagai masjid-masjid . Aisyah ra. berkata :Jikalau tidak karena
hal itu niscaya aku akan menampakkan kuburan beliau, tetapi aku takut
bahwa ia akan dijadikan masjid. (HR. Bukhari 2/90 Kitabul Janaiz, Muslim
(530), Amad 6/146, dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1/415)
Masjid adalah tempat ibadahnya kaum muslimin, yang disana kita
menegakkan shalat, berdoa kepada Allah dan melakukan ibadah-ibadah
lainnya. Namun para pengikut sufi melakukan amalan-amalan yang layaknya
dilakukan di masjid, mereka lakukan di kuburan-kuburan para syaikh
mereka.
Dan dari Jundub bin Abdullah Al-Bajali ra. bahwasanya ia mendengar
Nabi SAW bersabda sebelum wafatnya : Ingatlah! Sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian telah menjadikan kuburan-kuburan nabi-nabi dan
orang-orang shaleh mereka sebagai masjid. Ingatlah! Maka janganlah
kalian menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai masjid-masjid, karena
sesungguhnya aku melarang kelian dari hal itu. (HR. Muslim (532) dalam
Kitabul Masajid)
Demikian juga beliau SAW melarang mengapur/mengecat kuburan atau
mendirikan bangunan atau duduk diatasnya. (HR. Muslim (970), At-Tirmidzi
2/155 dan ia menshahihkannya, Ahmad dalam Al-Musnad 3/339 dan
AL-Baihaqi dalam AL-Musnad 142)
Syaikh mereka AL-Kurdi berkata : Ketika Syaikh Naqsyaband meningga
dunia, para pengikutnya membangun suatu kubah yang besar diatas
kuburannya dan mereka menjadikannya sebagai masjid yang luas.
(Al-Mawahibus Sarmadiyyah 142)
Pengarang kitab Al-Anwirul Qudsiyyah menambahkan terhadap perihal
kuburan itu hal berikut ini : Ia masih tetap seperti itu hingga zaman
kita ini; Dirinya dimintai pertolongan, debu tanahnya dijadikan celak
dan pintu-pintunya dijadikan tempat berlindung. (Al-Anwirul Qudsiyyah
142)
Bantahan :
Berkata Syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah : Demi Allah, tunjukkan
kepadaku, manakah perihal mengikuti syariat, mencocoki As-Sunnah dan
jalan para sahabat yang mulia seperti yang mereka akui ? Adakah jalan
mereka itu mencium kuburan, berguling-guling diatasnya dan meminta
pertolongan kepadanya, ataukah bau pemujaan berhala telah berhembus dan
bertiup anginnya di kelompok yang para pengakutnya mengaku sangat
antusias untuk mengambil ibadah-ibadah mereka dari Kitab Allah dan
Sunnah Rasulul-Nya ?
Begitu pula pegawai dikantor kita yang kita maksud sebelumnya.
Disaat dia mengetahui saya adalah orang Aceh dan berdomisili di banda
Aceh, yang dia tanyakan terlebih dahulu adalah pernahkah saya pergi ke
kuburan Syah Kuala ? Dan ternyata Beliau sudah beberapa kali pergi
kesana, entah apa yang dia lakukan.
Sungguh saya pernah melihat kuburan tersebut dan mengetahui
keadaannya yang sebenarnya. Kuburan tersebut berukuran cukup besar
dengan diberi batu di kaki dan kepalanya dengan batu yang besar dan
tinggi serta dibatu tersebut dibentangkan kain putih diatasnya. Dan
dikuburan tersebut dididrikan bangunan sehingga terlindung dari terik
panas matahari dan basahan hujan. Inilah ciri-ciri kuburan yang
diagungkan yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW.
9. Sikap berlebih-lebihan dalam memuji para syaikh tarekat sufi
Yasin As-Sanhuti didaam kitabnya Al-Anwar bercerita tentang
Ubaidullah Ahrar : Adapun perihal penyingkapannya terhadap
perkara-perkara yang ghaib dan pemberitahuannya tentang hal-hal yang
tersembunyi. Maka hal itu tidak terbatas atau terhitung. Demikian juga
ia mensifati Yaqub Al-Jarkhi bahwa ia merupakan Pewaris Ilmu Ghaib.
Petakanlah dengan kondisi di Indonesia dari beberapa point diatas,
disaat sekarang banyak orang yang memuji, menyanjung dan bahkan siap
mati untuk seseorang yang orang tersebut sangat dimuliakan tanpa
mempertimbangkannya dengan ilmu syariat yang shahih. Dan lihat pula di
negeri kita ini ada tokoh yang dianggap dapat mengetahui suatu perkara
yang akan terjadi, dan mudah mengetahui siapa pelaku dari suatu
peristiwa, tidak lain hal ini adalah seperti orang yang mengetahui
hal-hal yang ghaib. Ambillah pelajaran ini agar kita tida terjebak dalam
kesesatan.
10. Membenci Ilmu dan Malas Menuntut Ilmu
Abu Yazid Al-Busthomi berkata seraya mengajak bicara Ahlul Hadits :
Kalian telah mengambil ilmu kalian dari orang mati melalui orang mati,
sedangkan kami mengambil ilmu kami dari Dzat Yang Maha Hidup Yang tidak
akan mati. (Thabaqatusy Syarani 1/5, Al-Futuhatul Makkiyyah 1/365,
Talbisu Iblis 344, 322, A-Mawahibus Sarmadiyyah 49 dan Al-Anwarul
Qudsiyyah 99)
Al-Qusyairi telah meriwayatkan perkataan Abu Bakar Al-Warraq :
Penyakit yang bisa merusak seorang murid ada tiga : menikah,
mencatat/menulis hadits dan kitab-kitab. (Ar-Risalatul Qusyairiyyah 92)
Sulaiman Ad-Daroni (ia adalah seorang tokoh besar kaum sufi) berkata
: Apabila seseorang mencari/mempelajari hadits atau bepergian untuk
mencari rezeki dan menikah, maka berarti ia telah cenderung kepada
dunia. (Al-Futuhatul Makkiyyah 1/37)
Mereka tidak butuh lagi dengan As-Sunnah, padahal Allah SWT berfirman :Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Lalu bagaimana bisa mentaati Allah dan rasul-Nya jika ia tidak
mengetahui perintah-perintah dan larangan-larangan yang tersebut dalam
As-Sunnah, apalagi yang tersebut dalam Al-Quran , sebab didalam
As-Sunnah terdapat hal-hal yang tidak terdapat dalam Al-Quran.
11. Aliran sufi menyeru untuk zuhud kepada dunia dan meninggalkan sebab-sebab (kerja) serta meninggalkan jihad
Padahal Allah SWT berfirman :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kenikmatan) di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu
(dari kenikmatan ) di dunia.” (Al-Qashash : 72)
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu miliki.” (Al-Anfal : 59)
Hal seperti ini telah dialami oleh Ustadz Abdurrahman Mubarak ketika
ikut bergabung dengan mujahidin di Maluku. Disana para mujahidin biasa
melakukan ribath, yakni berjaga-jaga di daerah perbatasan untuk
mengantisipasi sedini mungkin bila terjadi penyerangan dari pihak
Nasrani. Akan tetapi ada sekelompok orang dari kalangan Firqah Tabligh
(yang mereka itu adalah kelompok yang berpemahaman sufi) berkata kepada
orang-orang yang mengamalkan suatu amalan yang sangat agung seperti yang
diberitakan oleh Rasulullah SAW dalam hadits-hadits yang shahih (yakni
ribath) dengan perkataan :Wahai fulan kemarilah bergabung bersama kami
di masjid Allah untuk dzikrullah, bertawakkal-lah kepada Alah dari
serangan mereka. Perkataan mereka ini tidak lain karena kebodohan mereka
terhadap agama ini. Sesungguhnya Allah menyuruh kita untuk ikhtiar
(berusaha) kemudian barulah bertawakkal kepada Allah seperti apa yang
difirmankan oleh Allah SWT diatas, tidak seperti mereka kalangan firqah
tabligh.
12. Sebagian aliran Sufi meyakini adanya wihdatul wujud (menyatunya hamba kepada Allah)
Sehingga tidak berbeda antara pencipta dan makhluk dan semua makhluk
bisa menjadi sesembahan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Arabi (tokoh sufi)
yang dikubur di Damsyiq, dia mengatakan :
Hamba ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba
Wahai siapa yang dibebani (ibadah) ?
Jika saya katakan saya adalah hamba itu betul.
Dan jika saya katakan saya adalah Tuhan, maka bagaimana akan dibebani ?
(Al-Futtuhat al Makiyyah, Ibnu Arabi)
Ini adalah kesyirikan yang Akbar yang dapat mengeluarkan seseorang
dari Islam. Bagaimana seorang manusia mengaku bahwa dirinya adalah
Tuhan, yang berikutnya ia mengatakan bahwa ia terbebas dari kewajiban
ibadah (karena ia sudah berkedudukan sebagai Tuhan ) ?
13. Sufiyyah berdo’a kepada selain Allah yaitu kepada Nabi, para Wali yang hidup dan yang telah mati.
Mereka mengucapkan : “Yaa Jailani!, Yaa Rifa’i!, dan Yaa
Rasulullah!”, sebagai tujuan istighatsah dan memohon pertolongan atau
dengan ucapan, “Yaa Rasulullah! Engkaulah tempat bersandar.”
Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :”Dan janganlah kamu
menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi
mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika engkau berbuat yang demikian
itu maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang
zhalim(musyrik).”(Yunus :106)
Rasulullah SAW telah bersabda :
“Doa itu adalah ibadah.” (HR Tirmidzi dengan sanad hasan shahih)
Maka do’a itu adalah ibadah seperti halnya shalat yang tidak boleh
ditujukan kepada selain Allah, sekalipun kepada Rasul dan para Nabi.
Karena hal itu termasuk perbuatan syirik besar yang dapat menghapus amal
baiknya di dunia dan menjadikan pelakunya kekal dineraka (kafir).
Demikian pula yang kita lihat dikitab-kitab rujukan mereka yang
mereka memuji para syaikh mereka pada tingkat pujian yang sampai kepada
perbuatan syirik. Namun sayangnya syair-syair dalam bahasa arab yang
biasa mereka bacakan dari kitab-kitab tersebut tidak dipahami oleh kaum
muslimin pada umumnya karena keterbatasan mereka untuk memahami bahasa
arab dan jauhnya mereka dari ulama ahlus sunnah, sehingga merekapun
tertipu olehnya.
14. Aliran Sufi memberikan kedudukan ihsan kepada Syaikh-Syaikh mereka
Dan meminta kepada pengikut-pengikutnya untuk menggambarkan
(membayangkan) syaikh-syaikh mereka itu ketika berdzikir kepada Allah,
bahkan dalam shalat mereka sekalipun. Aku (Syaikh Jamil Zainu) pernah
melihat seorang dari mereka meletakkan gambar syaikhnya dihadapannya
ketika shalat.
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda :
“Al-Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya ketahuilah bahwa
sesungguhnya Dia melihat-Mu.” (HR. Muslim)
15. Aliran Sufi mengatakan bahwa beribadah kepada Allah itu jangan takut neraka-Nya atau mengharap surga-Nya
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rabi’ah al-‘Adawiyyah (salah
seorang tokoh sufi wanita, yang pekerjaannya adalah sebagai biduwanita):
“Ya Allah ! Jika aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu maka tenggelamkanlah aku didalamnya,
Dan jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku darinya.”
(Dan perkataan ini pernah diucapkan oleh presenter pada saat kita melakukan Team Building di Cibubur)
Dan saya juga pernah mendengar pengikut aliran sufi menyanyikan perkataan Abdul Ghani an-Nabilisy :
“Barangsiapa beribadah karena takut neraka Allah, berarti dia penyembah api.
Dan barangsiapa yang beribadah karena menginginkan surga berarti dia penyembah berhala.”
Sementara Allah SWT memuji para Nabi yang mereka itu berdo’a untuk
mendapatkan surga Allah dan takut dengan neraka-Nya. Allah SWT berfirman
:
“Sesungguhnya mereka adalah orang yang selalu bersegera dalam
mengerjakan kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan
cemas.” (Al-Ambiyaa’:90)
Maksudnya, mereka sangat berharap dengan surga Allah dan takut pada siksa (neraka) Allah. Allah menerangkan kepada Rasul-Nya :
“Katakanlah : Sesungguhnya aku takut akan azab yang besar (hari kiamat) jika kamu mendurhakai Tuhan-ku.” (Al-An’am : 15)
Rasulullah SAW saja, yang orang paling bertaqwa dibawah kolong
langit ini pun dalam keadaan takut akan adzab Allah. Begitupula Beliau
SAW sering berdoa diakhir shalatnya : Ya Allah, Sesungguhnya aku
berlindung kepada Engkau dari siksa kubur, dan dari siksa jahannam….
(HR. Bukhari & Muslim)
16. Aliran Sufi suka bermain musik yang mereka namakan dengan gambus dalam dzikir
Ini sesungguhnya adalah seruling-seruling syaithan. Sungguh Abu
Bakar Ash-Shidiq ra. pernah masuk dirumah Aisyah ra. dan disana ada dua
anak perempuan kecil yang sedang bermain rebana, maka berkata Abu Bakar
ra. : Ini adalah seruling-seruling syaithan, ini adalah seruling
syaithan. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar ra. : Biarkan
mereka wahai Abu Bakar! Karena keduanya sedang merayakan hari raya. (HR.
Bukhari dengan lafadz yang berbeda)
Darti hadits diatas Rasulullah SAW mengakui perkataan Abu Bakar ra.
tanpa membantahnya (menyebut seruling syaithan) tetapi hanya karena pada
saat itu sedang hari raya dan pelakunya adalah anak perempuan kecil
maka dibolehkan.
Dan tidak ada dalil bahwa para sahabat dan tabiin, mereka itu
bermain rebana (gambus) dalam berdzikir. Bahkan ini adaah perbuatan
bidah yang dibuat oleh orang-orang sufi yang semua ini telah
diperingatkan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya:
Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim).
17. Aliran Sufi membolehkan menari, bermain musik dan mengeraskan suara ketika berzikir
Kita dapat menyaksikan pengikut aliran sufi itu berdzikir dengan
lafadz Allah saja dan pada akhirnya berdzikir dengan lafadz Hu (Dia)
saja.
Padahal Rasulullah SAW bersabda :
“Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallah (HR. Tirmidzi
dengan sanad hasan shahih). Jadi, tidak dengan Allah dan Hu saja.
Di dalam berdzikir mereka mengangkat suaranya dengan keras dan bersamaan (koor/berjama’ah),
Padahal berdo’a seperti itu terlarang berdasarkan firman Allah SWT :
“Berdo’alah kepada Tuhan-mu dengan merendahkan diri dan suara yang
lembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
(Al-A’raaf : 55)
Maksudnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan dalam berdo’a
dengan terlalu cepat dan dengan suara yang keras. (lihat tafsir Jalalain
Imam Suyuthi).
Rasulullah SAW pernah mendengar para shahabat meninggikan suaranya dalam berdzikir, maka Beliau SAW bersabda kepada mereka :
“Wahai manusia ! rendahkanlah suaramu, sesungguhnya kalian tidak
menyeru kepada Dzat yang tuli dan tidak ada, tetapi kalian berdo’a
kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat dan Allah senantiasa
bersamamu.” (HR. Muslim)
Allah bersamamu dengan Pendengaran dan Ilmu-Nya dan Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Demikianlah yang kita lihat dijaman kita ini, dimana orang berdzikir
dengan cara koor (bersama-sama) dan mengeraskan suaranya, bahkan
menggunakan pengeras suara dicorong-corong speaker masjid.
18. Aliran Sufi mengaku mempunyai ilmu kasyaf (tersingkapnya segala rahasia-pent.) dan mengetahui yang ghaib
Ini adalah kedustaan yang telah dibantah oleh Allah SWT dengan firman-Nya :
Katakanlah : tidak ada seorangpun dilangit dan dibumi yang mengatahui perkara yang ghaib kecuali Allah. (An-Naml : 65)
Rasulullah SAW bersabda :
Tidak ada yang mengetahui perkara yang ghaib selain Allah. (HR. Thabrani dengan sanad Hasan)
19. Mereka suka menyertai ibadah mereka dengan Siulan dan Tepuk Tangan
Padahal siulan dan bertepuk tangan itu merupakan adat bagi kaum musyrikin dan ibadahnya mereka. Allah SWT berfirman :
Maka shalat mereka (kaum musyrikin) disekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. (Al-Anfaal : 35)
Al-Mukaa pada ayat ini adalah siulan dan At-Tashdiyah adalah tepuk tangan.
20. Aliran sufi beranggapan bahwa manusia bisa melihat Allah di dunia
Namun Al-Quran mendustakannya lewat lisan Nabi Musa as.:
…Berkata Musa : Ya Tuhanku ! Tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar
dapat melihat kepada-Mu. Dia berkat : Engkau tidak akan dapat melihat-Ku
(didunia). (Al-Araaf : 143)
Al-Ghazali (seorang tokoh sufi) telah menyebutkan daam kitabnya Ihya
Ulumuddin (kitab terkenalnya) dalam bab Hikayatul Muhibbin wa
Mukasyafatuhum,Pada suatu hari berkata Abu Turab :Coba sekiranya engkau
melihat Abu Yazid, maka berkatalah temannya :Sesungguhnya aku tida butuh
itu, sungguh au telah melihat Allah Taala sehingga mencukupi bagiku
daripada melihat Abu Yazid. Berkata Abu Turab :Celakalah kamu ! Kamu
telah tertipu dengan melihat Allah ! Sekiranya kamu melihat Abu Yazid
(Al-Busthomi, tokoh sufi-pent.) sekali saja, itu lebih bermanfaat bagi
kamu daripada melihat Allah 70 kali.
Kemudian berkata Al-Ghazali :Maka hendaknya orang mukmin tida mengingkari mukasyafah seoperti ini.
Saya (Syaikh Jamil Zainu) berkata :Bahkan wajib atas kaum mukminin
untuk mengingkarinya karena ini adalah kedustaan dan kekufuran,
menyelisihi Al-Quran, Hadits dan akal.
21. Aliran Sufi meyakini bahwa mereka itu mengambil ilmu dari Allah SWT secara langsung tanpa perantara Rasulullah SAW
Seperti apa yang dikatakan Ibnu Arabi (seorang tokoh besar sufi yang
dikubur di Damaskus) dalam kitabnya Al-Fushush :Maa diantara kita ada
khalifah dari Rasulullah yang mengambil hukum dari beliau SAW atau dari
ijtihad yangtelah dikatakan oleh beliau SAW, dan diantara kami ada orang
yang mengambil hukum langsung dari Allah maka ia adalah khalifah Allah !
Saya (Syaikh Jamil Zainu) katakan :Ini adalah ucapan yang batil,
menyelisihi Al-Quran yang mengandung dalil bahwa Allah SWT mengutus Nabi
SAW untuk menyampaikan Islam / Risalah kepada ummat manusia. Allah SWT
berfirman :
Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Allah kepadamu dari Tuhanmu. (Al-Maidah : 67)
Tidak mungkin seseorang mengambil ilmu langsung dari Allah SWT, itu kedustaan yang dibuat-buat.