Kata tobat yang hanya di lisan tidak
bisa menjadi bukti jujurnya bertobat. Selama dia belum membuktikan
secara jujur dalam perubahan perilaku maupun tindakan, tobatnya tidak
bisa disebut dengan tobat nasuha. Siapa yang berkata, “Aku bertobat”,
tak boleh merasa telah bertobat hingga kata tobat tersebut memancarkan
sinar hidayah dan bukti penyesalan penuh kejujuran dalam perilaku dan
tindakan.
Untuk mengenali adanya kejujuran seorang hamba dalam bertobat, perhatikan hal-hal berikut:
- Ia segera meninggalkan seluruh maksiat dan segera mengerjakan berbagai macam ibadah untuk menutupi kekurangan masa lalu. Itu merupakan salah satu bukti bahwa hatinya merasakan pahitnya dosa dan memiliki keinginan untuk bertobat.
- Ia bertekad bulat menutupi kekurangannya dan memperbaiki keadaan pada masa yang akan datang. Jika dia melalaikan suatu ibadah, ia meng-qadha-nya. Jika dia mengambil hak orang lain, ia mengembalikan kepada pemiliknya. Jika dia melakukan kesalahan yang tidak mengharuskan membayar denda, cukup dengan menyesalinya. Ini merupakan bukti bahwa dalam hatinya dia mengagungkan Allah l, sangat takut dan berharap kepada-Nya dan berambisi untuk meraih rahmat dan ampunan-Nya.
- Dunia akan terasa sempit baginya sebagaimana yang dirasakan Ka’ab bin Malik beserta kedua temannya. Hidupnya diliputi dengan kesedihan dan tangisan akibat dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Ia sedikit tertawa dan bersungguh-sungguh dalam hidupnya dengan banyak beribadah dan beramal shalih.
- Kondsis hidupnya lebih baik daripada sebelum ia bertobat.
- Tidak merasa aman dari makar Allah l walau hanya sekejap mata, sehingga ia merasa selalu dalam pengawasan Allah dan merasa takut sampai dia mendengar ucapan para malaikat utusan yang hendak mencabut nyawanya.
- Hatinya teriris mengingat dosa-dosanya. Ia merasa rugi atas semua kebaikan yang selama ini ia lewatkan dan takut akan akibat buruk maksiat yang ia jalani.
- Senantiasa menyadari bahwa pertemuan dengan Allah akan segera terjadi, setiap saat ia merasa kematian akan menjemputnya. Bahkan dia menyadari bahwa kematian lebih dekat dari tali sendalnya.
- Salah satu tanda paling kuat dan bukti paling nyata atas kejujuran seorang hamba dalam bertobat adalah, ketika dia telah mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan mencintai kaum mukminin karena Allah serta mewujudkan segala sesuatu yang menjadi konsekuensi cinta tersebut.
Manusia terkadang menyadari dosa tertentu, kemudian berusaha bertobat darinya. Namun, boleh juga dia melakukan satu tobat secara umum dengan niat melepaskan diri dari semua jenis dosa tersebut dan segala sesuatu yang dibenci Allah.
Dengan demikian, kita bisa membagi dua macam tobat yang dilakukan seseorang.
Pertama, seseorang yang
tobat dari satu dosa, tapi tetap melakukan dosa lain yang sejenis.
Misalnya, dia bertobat dari narkoba dan merokok tapi dia masih tetap
mengonsumsi minuman keras atau dia bertobat dari zina dengan seorang
wanita, tapi masih tetap berzina dengan selainnya. Tobat seperti ini
tidak benar dan tidak diterima, karena sebenarnya dia belum bertobat
dari dosa. Ia hanya sekadar meninggalkan satu jenis dosa dan berpindah
ke jenis lain yang masih satu kategori. Jadi, dia belum dikatakan
bertobat.
Kedua, seseorang
bertobat dari satu dosa tertentu tapi masih melakukan dosa lain yang
tidak ada kaitan dengannya, dan bukan juga sejenisnya. Contoh, dia
bertobat dari membunuh dan memakan harta anak yatim, tapi masih
mengonsumsi minuman keras dan berzina. Maka tobat seperti ini merupakan
tobat khusus. Hukum tobat seperti itu sah, tapi tobat tersebut hanya
untuk dosa yang ia tinggalkan dengan syarat dosa yang ia tinggalkan
bukan suatu perkara yang menjadi syarat bagi amal ibadah. Misalnya, iman
yang menjadi syarat bagi amalan lainnya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya) :
“Dan siapa yang menghendaki
kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang
ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya
dibalasi dengan baik,” (QS Al-Isra [17]: 19).
Sementara itu, dosa yang belum seseorang
tinggalkan tetap dicatat hingga orang itu bertobat darinya. Jadi,
setiap dosa memiliki tobat tersendiri secara khusus yang bersifat fardhu
‘ain yang tidak terkait dengan dosa lain yang tidak sejenis dengannya.
Misalnya, seseorang melakukan satu ibadah wajib dan meninggalkan ibadah
wajib yang lain, maka dia berhak mendapat hukuman atas ibadah yang dia
tinggalkan sementara dia berhak mendapat pahala atas ibadah yang ia
kerjakan. Ibadah yang ia tinggalkan tidak membatalkan ibadah yang ia
kerjakan. Seperti orang yang mengerjakan shalat dan zakat, tapi
meninggalkan puasa atau haji.
Ketiga, seorang hamba
berhenti melakukan semua dosa dan bertobat dari semua dosa. Inilah tobat
secara umum yang tidak menyisakan satu dosa sedikit pun. Dia akan
mendapat ampunan bagi semua dosanya, dengan syarat setelah bertobat dia
tetap melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta
menyesali apa yang ia lalaikan, baik besar maupun kecil, dan
merealisasikan syarat tobat secara sempurna.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam…