Dari
Mukhawwal diriwayatkan bahwa ia berkata: "Bahim Al
Ajali pernah datang kepada saya suatu hari dan berkata:
"Apakah engkau mengenal seseorang di antara tetanggamu
atau saudaramu yang engkau sukai, yang berkeinginan melaksanakan
haji untuk dapat menemaniku?" Aku menjawab: "Ada."
Aku segera menemui seorang lelaki yang shalih dan baik akhlaknya,
lalu keduanya kupertemukan.
Merekapun bersepakat untuk
pergi haji bersama. Kemudian Bahim pulang menemui istrinya.
Beberapa saat kemudian (sebelum pergi), si lelaki menemuiku
dan berkata: "Wahai saudaraku! Betapa senangnya
aku jika kamu menjauhkan sahabatmu itu dariku! Hendaknya
ia mencari teman seperjalanan yang lain saja." Aku
bertanya: "Mengapa demikian? Sungguh aku tidak melihat
orang yang setara dengannya di kota Kuffah ini dalam kebagusan
akhlak dan perangainya.
Aku pernah berlayar bersamanya,
dan yang kulihat darinya hanyalah kebaikan." Lelaki
itu menjawab: "Celakalah kamu, setahuku, ia ini orang yang
banyak menangis, hampir tak pernah berhenti tangisnya.
Hal itu akan menyusahkan kami sepanjang perjalanan."
Aku menanggapi: "Engkaulah yang celaka, terkadang
tangisan itu datang tidak lain hanyalah dari mengingat Allah.
Yakni, hati seseorang itu melembut, sehingga ia mengais.
Bukankah kadangkala engkau juga menangis?" Lelaki
itu menjawab: "Memang benar. Tetapi kudengar,
terkadang ia mengais kelewatan sekali." Aku berkata:
"Temanilah dirinya. Semoga kamu bisa mengambil manfaat
darinya." Ia berkata: "Aku akan sholat
istikharah terlebih dahulu!"
Tepat
pada hari keberangkatan mereka berdua, onta telah didatangkan
dan dipersiapkan. Tiba-tiba Bahim duduk di bawah pohon
sambil meletakkan tangannya di bawah janggutnya dan air matapun
menetes di kedua belah pipinya, lalu turun membasahi ke janggutnya,
dan akhirnya menetes membasahi dadanya, sampai-sampai
-demi Allah- kulihat air matanya membasahi bumi."
Lelaki
itu berkata: "Lihatlah, belum apa-apa sahabatmu itu sudah
menangis. Orang seperti itu tak pantas menjadi temanku."
:"Temani saja dirinya." Pintaku: "Barangkali
dia teringat keluarganya dan kala ia berpisah dengan mereka,
sehingga ia bersedih." Namun ternyata Bahim mendengar
pembicaraan kami dan menanggapi: "Bukan begitu persoalannya.
Aku semata-mata hanya teringat dengan perjalanan ke akhirat."
Mukhawwal melanjutkan: "Maka suara beliaupun melengking
karena tangisan."
Ia
melanjutkan: "Temanku berkomentar: "Demi Allah,
janganlah ini menjadi awal permusuhan dan kebencian dirimu terhadapku.
Tak ada hubungan antara aku dengan Bahim. Hanya saja,
ada baiknya engkau mempertemukan antara Bahim dengan Dawud Ath-Tha-i
dan Sallaam Abul Ahwash 1 agar mereka saling membuat yang lainnya
menangis hingga mereka puas, atau meninggal dunia bersama-sama."
Lelaki
itu terus berkata: "Aku terus saja menemaninya dan berkata
dalam hati: "Susah nian, mudah-mudahan ini menjadi perjalananku
yang terbaik." Perawi menyebutkan: "Lelaki itu
orang yang menyukai perjalanan panjang untuk berhaji, lelaki
yang shalih, namun di samping itu ia juga pedagang kaya raya
yang rajin bekerja; bukan orang yang mudah bersedih dan menangis."
Perawi menyebutkan: "Lelaki itu berkata: "Sekali inilah
hal itu terjadi pada diriku, dan udah-mudahan bermanfaat."
Mukhawwal
menyebutkan: "Bahim tidak mengetahui sedikitpun tentang
hal itu. Kalau ia mengetahui sedikit saja, niscaya ia
tak pergi bersama lelaki itu."
Mukhawwal
melanjutkan: "Maka merekapun berangkat berdua hingga melaksanakan
haji dan pulang kembali. Masing-masing dari kedunya begitu
akrab sampai-sampai tidak menyadari bahwa mereka memiliki saudara
lain selain sahabat yang menemainya. Setelah tiba, aku
mengucapkan salam kepada lelaki tetanggaku itu. Ia pun
berkata: "Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas
saranmu kepadaku. Tak kusangka, bahwa diantara manusia
sekarang ini ada juga yang seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Demi Allah, ia membiayai kebutuhanku, sementara ia orang miskin,
aku justru orang kaya.
Beliau sudi melayani diriku, padahal
beliau sudah tua dan lemah sedangkan aku masih muda dan kuat.
Beliau juga memasak untukku, padahal beliau bershaum sementara
aku tidak." Mukhawwal bertanya: "Bagaimana soal
tangisan panjangnya yang tidak engkau sukai?" Lelaki
itu menjawab: "Akhirnya aku terbiasa dengan tangisan itu.
Demi Allah, hatiku merasa senang, sampai-sampai akupun turut
menangis bersamanya, sehingga orang-orang yang bersama kami
merasa terganggu. Namun kemudian -demi Allah-, merek pun
akhirnya terbiasa. mereka juga turut menangis, bila kami
berdua menangis. Sebagian mereka bertanya kepada sebagian
yang lain: "Keapa mereka lebih mudah menangis daripada
kita, padahal jalan hidup kita dan mereka sama?"
Merekapun akhirnya menangis, sebagaimana kami juga menangis."
Mukhawwal
melanjutkan: "Kemudian aku keluar dari rumah lelaki itu
untuk menemui Bahim. Aku bertanya kepadanya setelah terlebih
dahulu memberi salam: "Bagaiamana tentang teman perjalananmu?"
Beliau menjawab: "Sungguh, ia teman yang terbaik.
Ia banyak berdzikir, banyak membaca dan mempelajari Al Qur'an,
mudah menangis dan mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Semoga Allah memeberimu pahala kebaikan atas saranmu."
2
------------
Catatan
kaki:
1.
[Dalam "Shifatush Shafwah" disebutkan: Sallaam bin
Al-Ahwash. Ynag betul adalah Sallaam Abul Ahwash.
Lihat "At-Taqrieb" biografi no.2703. Namanya
adalah Sallam bin Sualaim Al-Hanafi Al-Kufi, wafat tahun 179
H]
2.
["Shifatush Shafwah" III:179-182 ]
diketik
ulang dari: "Panduan Akhlak Salaf", Abdul Aziz bin
Nashir Al-Jalil, Baha-uddien 'Aqiel. Penerjemah: Abu Umar Basyir
AL-Medani. Editor: Abu Ihsan. Penerbit: At-Tibyan, Solo. Cetakan
Pertama, September 2000, hal.19-21