12 Juni, 2015

Ulama Salaf Dalam Rasa Takut dan Mengingat Allah


Dari Mukhawwal diriwayatkan bahwa ia berkata:  "Bahim Al Ajali pernah datang kepada saya suatu hari dan berkata:  "Apakah engkau mengenal seseorang  di antara tetanggamu atau saudaramu yang engkau sukai, yang berkeinginan melaksanakan haji untuk dapat menemaniku?"  Aku menjawab: "Ada."  Aku segera menemui seorang lelaki yang shalih dan baik akhlaknya, lalu keduanya kupertemukan. 

Merekapun bersepakat untuk pergi haji bersama.  Kemudian Bahim pulang menemui istrinya.  Beberapa saat kemudian (sebelum pergi), si lelaki menemuiku dan berkata:  "Wahai saudaraku!  Betapa senangnya aku jika kamu menjauhkan sahabatmu itu dariku!  Hendaknya ia mencari teman seperjalanan yang lain saja."  Aku bertanya: "Mengapa demikian? Sungguh aku tidak melihat orang yang setara  dengannya di kota Kuffah ini dalam kebagusan akhlak dan perangainya.  

Aku pernah berlayar bersamanya, dan yang kulihat darinya hanyalah kebaikan."  Lelaki itu menjawab: "Celakalah kamu, setahuku, ia ini orang yang banyak menangis, hampir tak pernah berhenti tangisnya.  Hal itu akan menyusahkan kami sepanjang perjalanan."  Aku menanggapi:  "Engkaulah yang celaka, terkadang tangisan itu datang tidak lain hanyalah dari mengingat Allah.  Yakni, hati seseorang itu melembut, sehingga ia mengais.  Bukankah kadangkala engkau juga menangis?"  Lelaki itu menjawab:  "Memang benar.  Tetapi kudengar, terkadang ia mengais kelewatan sekali."  Aku berkata:  "Temanilah dirinya.  Semoga kamu bisa mengambil manfaat darinya."  Ia berkata:  "Aku akan sholat istikharah terlebih dahulu!"

Tepat pada hari keberangkatan mereka berdua, onta telah didatangkan dan dipersiapkan.  Tiba-tiba Bahim duduk di bawah pohon sambil meletakkan tangannya di bawah janggutnya dan air matapun menetes di kedua belah pipinya, lalu turun membasahi ke janggutnya, dan akhirnya menetes membasahi dadanya, sampai-sampai  -demi Allah- kulihat air matanya membasahi bumi."

Lelaki itu berkata: "Lihatlah, belum apa-apa sahabatmu itu sudah menangis.  Orang seperti itu tak pantas menjadi temanku." :"Temani saja dirinya." Pintaku: "Barangkali dia teringat keluarganya dan kala ia berpisah dengan mereka, sehingga ia bersedih."  Namun ternyata Bahim mendengar pembicaraan kami dan menanggapi: "Bukan begitu persoalannya.  Aku semata-mata hanya teringat dengan perjalanan ke akhirat."  Mukhawwal melanjutkan: "Maka suara beliaupun melengking karena tangisan."

Ia melanjutkan:  "Temanku berkomentar: "Demi Allah, janganlah ini menjadi awal permusuhan dan kebencian dirimu terhadapku.  Tak ada hubungan antara aku dengan Bahim.  Hanya saja, ada baiknya engkau mempertemukan antara Bahim dengan Dawud Ath-Tha-i dan Sallaam Abul Ahwash 1 agar mereka saling membuat yang lainnya menangis hingga mereka puas, atau meninggal dunia bersama-sama."

Lelaki itu terus berkata: "Aku terus saja menemaninya dan berkata dalam hati: "Susah nian, mudah-mudahan ini menjadi perjalananku yang terbaik."  Perawi menyebutkan: "Lelaki itu orang yang menyukai perjalanan panjang untuk berhaji, lelaki yang shalih, namun di samping itu ia juga pedagang kaya raya yang rajin bekerja; bukan orang yang mudah bersedih dan menangis."  Perawi menyebutkan: "Lelaki itu berkata: "Sekali inilah hal itu terjadi pada diriku, dan udah-mudahan bermanfaat."

Mukhawwal menyebutkan:  "Bahim tidak mengetahui sedikitpun tentang hal itu.  Kalau ia mengetahui sedikit saja, niscaya ia tak pergi bersama lelaki itu."
Mukhawwal melanjutkan: "Maka merekapun berangkat berdua hingga melaksanakan haji dan pulang kembali.  Masing-masing dari kedunya begitu akrab sampai-sampai tidak menyadari bahwa mereka memiliki saudara lain selain sahabat yang menemainya.  Setelah tiba, aku mengucapkan salam kepada lelaki tetanggaku itu.  Ia pun berkata: "Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas saranmu kepadaku.  Tak kusangka, bahwa diantara manusia sekarang ini ada juga yang seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.  Demi Allah, ia membiayai kebutuhanku, sementara ia orang miskin, aku justru orang kaya.  

Beliau sudi melayani diriku, padahal beliau sudah tua dan lemah sedangkan aku masih muda dan kuat.  Beliau juga memasak untukku, padahal beliau bershaum sementara aku tidak."  Mukhawwal bertanya: "Bagaimana soal tangisan panjangnya yang tidak engkau sukai?"  Lelaki itu menjawab: "Akhirnya aku terbiasa dengan tangisan itu.  Demi Allah, hatiku merasa senang, sampai-sampai akupun turut menangis bersamanya, sehingga orang-orang yang bersama kami merasa terganggu.  Namun kemudian -demi Allah-, merek pun akhirnya terbiasa.  mereka juga turut menangis, bila kami berdua menangis.  Sebagian mereka bertanya kepada sebagian yang lain: "Keapa mereka lebih mudah menangis daripada kita, padahal jalan hidup kita dan mereka sama?"  Merekapun akhirnya menangis, sebagaimana kami juga menangis."

Mukhawwal melanjutkan: "Kemudian aku keluar dari rumah lelaki itu untuk menemui Bahim.  Aku bertanya kepadanya setelah terlebih dahulu memberi salam: "Bagaiamana tentang teman perjalananmu?"  Beliau menjawab: "Sungguh, ia teman yang terbaik.  Ia banyak berdzikir, banyak membaca dan mempelajari Al Qur'an, mudah menangis dan mudah memaafkan kesalahan orang lain.  Semoga Allah memeberimu pahala kebaikan atas saranmu." 2
------------
Catatan kaki:
1. [Dalam "Shifatush Shafwah" disebutkan: Sallaam bin Al-Ahwash.  Ynag betul adalah Sallaam Abul Ahwash.  Lihat "At-Taqrieb" biografi no.2703.  Namanya adalah Sallam bin Sualaim Al-Hanafi Al-Kufi, wafat tahun 179 H]
2. ["Shifatush Shafwah" III:179-182 ]

diketik ulang dari: "Panduan Akhlak Salaf", Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Baha-uddien 'Aqiel. Penerjemah: Abu Umar Basyir AL-Medani. Editor: Abu Ihsan. Penerbit: At-Tibyan, Solo. Cetakan Pertama, September 2000, hal.19-21

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE