1. Kafarat Bagi Laki-Laki yang Menjama'i Istrinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i istrinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus meng-qadha puasanya dan membayar kafarat, yaitu membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan kalimat kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih, karena perawinya lebih banyak jumlah dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
2. Gugurnya Kafarat
Barangsiapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman:
3. Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, kaena ketika dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja, Wallahu a'lam
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i istrinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus meng-qadha puasanya dan membayar kafarat, yaitu membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan kalimat kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih, karena perawinya lebih banyak jumlah dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
2. Gugurnya Kafarat
Barangsiapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman:
"Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya." (Al Baqarah : 286)Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah kurma untuk diberikan keluarganya.
3. Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, kaena ketika dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja, Wallahu a'lam