ALLAH MENGINGINKAN KEMUDAHAN BAGI KALIAN DAN TIDAK MENGINGINKAN KESULITAN
1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, Kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah kitab yang mulia, Allah berfirman: (yang artinya): "Barangsiapa yang sakit atau dalam safar gantilah pada hari yang lain, Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan." (QS. Al Baqarah:185)
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam : "Apakah boleh aku berpuasa dalam safar? -dia banyak melakukan puasa- maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): "Puasalah jika kamu mau dan berbukalah kalau mau." 1)Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita nyatakan juga afdhal adalah berbuka dengan hadits-hadits yang umum; seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya): "Sesungguhnya Allah senang didatangi rukhsah yang ia berikan, sebagaimana membenci orang yang melakukan maksiat." 3)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu berkata: "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di bulan Ramaadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa." 2)
Dalam satu riwayat yang lain: "Sebagaimana Allah senang diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan." 4)
Tapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melencengkan dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan segamblang-gamblangnya, dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiallahu 'anhu : "Para shahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa itu baik, dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka juga bagus." 5)
Ketahuilah saudaraku seiman mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman dalam agama- sesungguhnya puasa dalam safar jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tapi berbuka lebih utama dan lebih disenangi Allah, yang menjelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang shahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda (yang artinya): "Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar." 6)
Peringatan
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang tidak diperbolehkan berbuka, hingga mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini, orang-orang seperti ini perlu kita "usik" ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya): "Rabmu tidak pernah lupa." (QS. Al-Maryam:64)
dan firman-Nya (yang artinya): "Allah telah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahuinya." (QS. Al-Baqarah:232)
Dan perkataan-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya): "Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan." (QS. Al- Baqarah:185)
Yakni: Kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syariat, cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyariatkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia, Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang maslahat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya): "Tidakkah kalian tahu siapa yang mencipta Dialah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui." (QS. Al-Mulk:14)
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mu'min yang tidak mendahulukan perkataaan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya:
"Wahai Rabb kami mendengar dan taat, ampunilah kami, wahai Rabb kepada-Mu-lah kami kembali." (Al-Baqarah:285)
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, kemudahan bagi orang yang sakit, sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang bila dibawa berpuasa akan menyebabkan satu madharat atau semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu A'lam.
3. Haid dan Nifas
Ahlul Ilmi telah ijma bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan puasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha kalaupun keduanya puasa tidaklah sah, akan datang penjelasannya. Insya Allah
4. Kakek dan Nenek yang sudah tua
Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma berkata: "Kakek dan nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin." 7)
Diriwayatkan dari Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca: (yang artinya): "Orang-orang yang ridak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makanan bagi orang miskin." (QS. Al-Baqarah:184)
Kemudian beliau berkata: "Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya ½ sha gandum. 8)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu: "Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya 1 mud gandum." 9)
Dari Anas bin Malik: "Beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid, dan mengundang 30 orang miskin hingga mereka kenyang." 10)
5. Orang hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah, Allah memberi rukhshah pada mereka untuk berbuka, dan di antara mereka adalah orang hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik 11): "Kudanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , aku temukan dia sedang makan pagi, beliau bersabda: "mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnyaa Allah Tabaroka wa Ta'ala menggugurkan ½ shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa. Demi Allah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, aduhai lahfa jiwaku kenapa tidak makan makanan nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . 12)
----------------
1) HR Bukhari (4/156), Muslim (1121)
2) HR Bukhari (4/163), Muslim (1118)
3) HR Ahmad (2/108), Ibnu Hibban (2742) dari Ibnu Umar dengan sanad yang SHAHIH
4) HR Ibnu Hibban (354), Bazzar (990), Thabrani di (Al-Kabir) (11881) dari Ibnu Abbas, dengan sanad yang SHAHIH. Dalam hadits –dengan dua lafadznya ini- ada pembicaraan yang panjang bukan di sini tempat menjelaskannya.
5) HR Tirmidzi (713), Al-Baghawi (1763) dari Abu Said, sanadnya SHAHIH, walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abdul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-ijili dan lainnya.
6) HR Bukhari (4/161), Muslim (1110) dari Jabir
7) HR Bukhari (4505), lihat Syarhus Sunnah (6/316), Fathul Bari (8/180), Nailul Authar (4/315), Irwaul Ghalil (4/22-25), Ibnul Mundzir menukil dalam "Al-Ijma" (no.129). Akan adanya ijma dalam maslah ini.
8) Lihat ta'liq barusan
9) HR Daruquthni (2/208) dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih, dia dhaif, tapi punya syahid.
10) HR Daruquthni (2/207), sanadnya SHAHIH
11) Dia adalah Al Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshori, pembantu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , tapi ini adalah seorang pria dari Bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan 1 hadits saja dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , yakni hadits di atas. Lihat "Al-Ishabah" (1/114-115) karya Ibnu Hajar, "Tajridu Asmais Shahabah" (1/13) karya Adz Dzahabi, gandengkan bersama "Fathul Qadiir" (2/268) keduanya da perbedaan yang halus.
12) HR Tirmidzi (715), Nasai (4/180), Abu Dawud (3408), Ibnu Majah (16687). Sanadnya HASAN sebagimana pernyataan Tirmidzi.